Share

Ch.5 Hanya Teman

"Hari ini bener-bener hari paling menyebalkan buat gue, apa kaki gue terkilir ya, kenapa sakit banget, sakitnya nggak hilang-hilang lagi." Cecil meringis memijit perlahan kakinya sendiri, setelah ia selesai mandi. "Bisa-bisa salah mijit jadi berabe ini kaki, duh gimana ini, mana gue nggak ada kenalan tukang pijit lagi."

Ponsel Cecil berdering di sebelah ia terduduk. [Halo, ada apa Sher?]

[Lo ikut gue deh mendingan Cil. Kaki lo masih sakit kan? Siapa tau kaki lo terkilir, harus diurut itu.]

[Lah, lo kek cenayang. Emang ini gue lagi mikirin itu, tapi gue nggak pernah pijit, nggak ada kenalan tukang urut. Lo ada?]

[Gue gitu loh, kebetulan sepupu gue lagi ngundang tukang pijit langganannya ke tempat tinggalnya. Dia itu kebiasaan, setiap seminggu sekali pasti pijit, kek hal wajib yang emang kudu dia lakuin, katanya kalau nggak, badannya sakit semua. Lo ke sana aja deh mendingan.]

[Hah! Lo gila. Gue kan nggak kenal sepupu lo, maen ke sana aja gimana maksud lo.]

[Iya sama gue, bentar lagi gue jemput lo. Lo siap-siap aja deh.]

[Thanks ya Sher, lo emang besti gue.]

[Iyuh, masaa? Bay.]

Cecil segera ke kamar untuk mengganti bajunya. "Eh, gue sepertinya melupakan sesuatu, tapi apa?!" Cecil berpikir dengan keras. "Ah, gue kan mau menghubungi Barra tadi."

Cecil men-scrol benda pintarnya, ia langsung masuk pada menu 'Block Number.' "Pantas saja, Barra tidak bisa menghubungi gue. Gue salah nge-blok nomor dia." Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.

Cecil mengambil nafas dalam dan menghembuskannya perlahan selama beberapa kali, sebelum ia memencet nomor Barra dalam panggilannya. [Halo, Bar. ini gue Cecil.]

[Hai Cil, kamu sudah sampai di rumah? Ada angin apa ini tiba-tiba aku dapat telepon darimu?] Jawab Barra dari seberang sambungan.

[Iya Bar, gue udah di rumah. Sorry banget, tadi sore lo nungguin gue ya, kata Sherly begitu.]

[Hehehe ... Bisa dibilang begitu Cil, aku hanya-]

[Mau mestiin jawaban gue ya, Bar. Barra, sebelumnya sorry banget, bukannya gue nggak pengen ada hubungan sama lo, gue mau kok punya hubungan sama lo, seperti kemarin-kemarin. Sebagai teman dan partner kerja lo yang asyik. Gue harap, lo bisa ngerti, Bar. Gue mau lo sama gue tetep seperti dulu. Lo nggak mau juga kan, ngelihat gue pura-pura cinta sama lo. Sementara, perasaan gue sendiri nggak ngerti gimana, Bar. Gue cuma ingin fokus ke karir gue dulu, mengenai urusan percintaan, gue skip dulu deh.] Terang Cecilia mantap, setelah menimbang dan menelisik ke dalam perasaannya sendiri, ternyata, ia masih bimbang dengan bagaimana cara menjalin sebuah hubungan dengan seorang laki-laki, termasuk dengan Barra.

[Oh gitu ya, Cil. Aku mengerti kok, aku bener-bener salut sama kamu. Usia kamu masih muda sekali, tapi mimpi kamu begitu besar dan istimewa. Tidak melulu memikirkan tentang kesenangan semata, pacaran atau yang lainnya. Betapa beruntungnya lelaki yang nantinya bisa menjadi suamimu.] Jawaban Barra di luar perkiraan Cecil, gadis itu berpikir bahwa Barra pasti akan kecewa dengannya dan langsung memutus sambungan teleponnya, tapi ternyata ia salah kaprah. Barra menanggapi pernyataan Cecil dengan begitu bijak. Membuat Cecil merasa semakin bersalah telah menolak, menyakiti perasaan orang sebaik Barra.

[Bar, thanks banget ya. Tapi, semisal kapan-kapan gue butuh bantuan lo, lo masih mau kan bantuin gue?]

[Tentu saja Cil, kita kan teman. Dan, partner kerja yang baik. Bukan begitu Nona Cecilia Sacharissa?]

[Hahaha ... Baiklah, gue matikan dulu teleponnya, gue harus segera pergi ke tukang pijit untuk menyelamatkan kaki gue.] Cecil terkekeh mendengar Barra memanggilnya dengan sebutan nona.

[Semoga lekas membaik Cil, bay.]

Usai mengakhiri panggilan dari Barra, sekitar sepuluh menit Sherly telah sampai di depan rumah Cecil. "Berangkat sekarang biar nggak kemaleman kita. Pakai mobil gue aja."

"Oh, oke." Cecil segera masuk ke dalam mobil berwarna putih tersebut. "Sepupu lo, tinggal di mana sih?"

"Deket kok, di kuningan." Sherly langsung mengemudikan mobilnya memecah remang-remang sang malam.

"Sepupu lo di Branz Mega?" Tebak Cecil dengan sangat hati-hati. Ia langsung mengunci sabuk pengamannya.

"Yo'i."

Cecil mengambil ponselnya dari dalam tas mungilnya. "Selesai ntar, pulang gue traktir deh lo, kan udah baik banget sama gue hari ini. Mau nganterin gue pijit. Eh ngomong-ngomong, gue tadi udah ngasih jawaban buat Barra." Cecil mulai bercerita.

"Serius lo?! Tumben banget sih ini, lagi pengen makanan jepang gue, terserah lo deh di mananya. Trus, trus si Barra gimana?"

"Astaga, request lo. Yang penting, kaki gue bener dulu deh ini. Males banget kalau besok nggak bisa ngantor. Emang, lo tau jawaban gue apa ke Barra?"

"Kan enak malah bisa rebahan di rumah aja, gimana sih lo, heran gue. Yaelah, gue udah kenal lo nggak cuma baru kemarin sore keles, Cil. Lo itu type cewek keras kepala, batu tau nggak sih lo. Kalau kemauan lo belum kesampaian, lo bakal kejar sampai ujung dunia-pun bakal lo samperin keinginan lo." Sherly memelankan laju kendaraannya ketika sudah sampai di parkiran apartemen.

"Hahaha ... Bisa aja lo, intinya Barra masih mau sih temenan sama gue, biasa aja gitu. Eh ngomong-ngomong sepupu lo kerja di mana, bisa tinggal di apartemen mewah kek begini." Tanya Cecil keluar dari mobil dibantu Sherly.

"Kerja di bank yang nyetak uang. Sekelas manager sih wajar tinggal di sini, tunjangannya juga itu loh."

"Oh, kok lo nggak ngikut dia aja. Sepupu lo laki apa perempuan sih?" Cecil masih terpincang-pincang berjalan, ia terpaksa harus menerima bantuan Sherly dengan cara dituntun.

"Cewek lah, iya kali laki, emang lo mau gue bawa masuk ke tempat cowok." Pintu lift terbuka, kedua gadis itu langsung keluar.

Bugh... Gusrak!

"Aw." Cecil kembali terjatuh di hari yang sama. Hidungnya nyengir menahan sakit. "Fuck you! Lo punya mata nggak sih, hah!!" Amarah gadis tersebut sudah di ubun-ubun, mengingat sakit yang sebelumnya belum kunjung enakan, ini harus kembali terjatuh lagi.

"Kamu!!"

Masih terduduk di lantai, Cecil menatap berang pada orang yang baru saja menabraknya. "Eh! Lo?!"

Mereka saling tatap, Sherly yang melihat ada seorang lelaki tampan di hadapannya itu, rasanya tidak ingin melewatkan pemandangan yang luar biasa indahnya. Sedangkan Cecil kembang kempis menahan amarah yang meluap-luap. Ingin rasanya segera bangun dan meninju laki-laki tersebut, tapi itu mustahil baginya. Kakinya bertambah sakit, luka yang tadinya terbungkus perban mendadak memerah merembes.

"Jaket saya mana?!"

"Sial banget gue hari ini ya Tuhan. Lo punya mata nggak sih, kaki gue lagi sakit, lo bukannya nolongin gue malah nanyain jaket lo yang bau itu, hah!!"

"Lho?! Non geulis?!"

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status