Rombongan Bima dan Bian telah sampai di sebuah pelabuhan di mana biasanya para mafia itu bertransaksi. Pelabuhan yang memang telah lama tidak terpakai. Mereka berpencar untuk memeriksa sekitar. Namun sayang, mereka tidak berhasil menemukan apa pun. Bahkan jejak para mafia itu tidak terlihat. Pelabuhan itu tampak sepi, mereka bahkan tak menemukan satu orang pun manusia di sana. "Sialan! Kemana mereka membawa istriku!" Bima berseru kesal. Ia menendang kerikil di depannya. Dosen muda itu tampak sangat mengkhawatirkan istrinya juga geram dalam waktu bersamaan. Dua tempat yang di datangnya tak membuahkan hasil. Marina belum ditemukan. "Dimana kau Rina!!" Melihat bagaimana khawatirnya Bima, para anak buah hanya bisa diam dan ikut merasa prihatin pada nasib bos mereka. Baru kemarin menikah, istrinya sudah di culik orang. Sungguh kasihan. Dibelakang Bima, Bian rupanya diam-diam merekam aksi marah-marah adiknya. Lelaki matang itu mengulum senyum melihat hasil rekamannya. Bisa-bisanya si B
15.Marina menatap ombak yang berdebur di laut sana. Bintang di langit pun tampak bertebaran m indah menambah keramaian malam ini. Suasana malam begitu syahdu dan indah itu membuat Marina merenung sedemikian dalam."Inikah waktunya? Haruskah akhirnya aku menyerah Bunda?" Bayangan Sintia melambai di peluku mata. Cairan bening yang tertahan sejak tadi kini akhirnya meleleh, tumpah ruah membasahi pipi cantik berlesung."Ayah, takdir inikah yang kau inginkan terjadi padaku? Apa benar aku anakmu?" Buliran air bening itu semakin deras mengalir mengingat bagaimana dulu Riandi membuangnya dan juga Ibunya. "Bayu ... Bay, maafkan kakak." Bayangan Bayu menari indah di pelupuk mata. Andai dia pergi apa yang akan terjadi dengan adiknya itu? Marina tergugu menatap lautan juga bintang yang menghiasi malam.Bayangan Bhaskara dan Amelia pun membayang di langit malam. Bagaimana dulu kedua paruh baya itu datang merangkul dan menyelamatkannya dari kesengsaraan. Mereka memberikan kasih sayang keluarga y
Marina meringis saat Miranda menyisir kembali rambutnya yang dibuat berantakan oleh tangan keji Madam Diana. "Pelan-pelan, sakit," lirihnya terdengar meringis. Seringai culas tampak membayangi wajah Miranda. Dengan sengaja lelaki berdandan seperti perempuan itu menarik rambut Marina hingga perempuan cantik itu semakin meringis dan memekik kesakitan. "Apa yang kau lakukan? Kau sengaja!" Marina berbalik dan menatap marah pada Miranda yang tak peduli pada protesannya. Ia mengembalikan wajah Marina kedepan dan kembali menyisir rambutnya. "Ini belum seberapa sayang ... Jika kau ingin nyawamu selamat, lakukan apa pun keinginan Madam," kata Miranda menasehati sekaligus tersirat ancaman didalamnya. "Tugas pertamamu adalah melayani Mister. Dan kau harus melakukannya dengan benar."Mister? Marina menatap kosong pada pantulan wajahnya. Mahkota yang dia jaga untuk suaminya kelak, ternyata harus berakhir di tangan lelaki bernama Mister. Setelah kembali dirias dan kembali segar. Marina digiring
Bhaskara, Batara, Ari dan Bima berhasil memasuki sebuah resort megah yang berdiri di sebuah pulau milik seorang pengusaha terkenal. Di balik nama sang pengusaha, Edwinlah pemilik sebenarnya resort beserta pulau tersebut. Bima bernafas lega sesaat setelah melewati penjaga yang dengan mudah mereka lewati. "Berpencar Tara," perintah Bhaskara pada adiknya. "Bima, kamu ikut Papi." Bhaskara meminta Bima ikut dengannya. Meski Bima sudah dewasa dan mengusai ilmu bela diri yang cukup bagus, tetap saja Bhaskara mengkhawatirkan putra bungsunya itu. Belum selesai Bhaskara membagi tugas, Bima sudah lebih dulu masuk untuk mencari sang istri. Di dalam resort tersebut ternyata tengah di adakan pesta besar. Pengusaha dan beberapa orang pemerintahan yang sering mejeng di layar kaca tampak tengah bersenang-senang dengan para perempuan penghibur."Pesta apa ini? Kenapa mereka melakukannya seenaknya!" Bima mencebik saat melihat beberapa pasangan bercumbu bahkan di gerbang masuk dan di pojokan. Pesta
Bhaskara telah sampai lebih dulu di lantai tiga. Ada empat pintu di lantai teratas resort tersebut. Lelaki paruh baya itu menatap ke empatnya bergantian, menebak di mana keberadaan menantunya. "Kamar paling ujung Om," kata Richie memberitahu kamar di mana Marina berada. Bima yang juga mendengar ucapan sepupunya langsung melewati Bhaskara dan menerjang kuat pintu berwarna coklat tua itu. Namun sia-sia, pintu terebut terbuat dari kayu jati pilihan yang kuat."Tolonggg!!" Suara teriakan Marina samar terdengar dari dalam. "Rina!! Marina di dalam Pi." Bima menoleh pada Bhaskara yang juga dilanda kecemasan juga senang, karena akhirnya menemukan keberadaan sang menantu."Kita dorong sama-sama Bim," kata Bhasakara. Bima mengangguk, keduanya mendobrak pintu dengan kuat. Namun sayang pintu bercat coklat tua itu terlalu kuat. Keduanya mendorong terus sekuat tenaga, sampai didorongan keriga, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya. Bima dan Bhaskara terdorong masuk dan hampir tersungkur
Edwin yang tengah menikmati fantasinya terganggu oleh kedatangan Bima juga Bhaskara. Tubuh kekar lelaki paruh baya itu terjungkal ke lantai saat Bima menendangnya sekuat tenaga. Tak hanya sampai di situ, dia pun menjadi bulan-bulanan seorang suami yang marah melihat istrinya dia lecehkan. "Uhukk ... uhuk ..." Edwin terbatuk saat lehernya terlepas dari cengkraman Bima. Dosen tampan itu ditahan oleh Bhaskara. Ia bisa sedikit bernafas setelah di jadikan samsak hidup oleh putra temannya itu. Bima mengakhiri serangannya dengan sangat terpaksa. Dalam hati dia belum puas kalau lelaki itu belum mati di tangannya. Namun, ada yang lebih oenting dari semua itu, yaitu Marina. Sang istri lebih membutuhkannya sekarang. Ia menghampiri sang istri yang tersedu di pojokan. "Putramu lumayan juga," kata Edwin seraya mengusap darah di sudut bibirnya. Dia terengah dengan nafas kembang kempis. Edwin bisa merasakan seluruh tubuhnya lumayan ngilu. Serangan Bima terlalu mendadak, membuatnya tak bisa melawan
Marina bergegas mengganti pakaiannya, rasa takut masih mendominasi. Namun, tak sengaja matanya beradu dengan bayangannya di cermin. Marina menatap bayangan wajahnya yang tampak sembab dan sisa air mata masih terlihat membasahi pipi. Ia tak menyangka dirinya akan selamat. "Tuhan, terima kasih telah menyelamatkanku," ucap Marina bersyukur telah selamat dari lelaki iblis seperti Edwin. Marina terus menatap dirinya dicermin. Kacamatanya telah hilang entah kemana, riasan di wajah membuatnya tampak sangat cantik. Namun di matanya tampak kotor dan tak bernilai keindahan. Bayangan bagaimana Edwin yang menjilati dan menciuminya membuatnya bergidik jijik dan membenci dirinya sendiri. Untuk menghilangkan pikiran buruk, Marina membasuh wajahnya berulang kali, berharap jejak bibir dan ciuman lelaki yang pantas menjadi ayahnya itu lenyap dari tubuhnya."Aku sudah tidak suci?" tanyanya pada cermin. Marina merasa dirinya telah kotor. "Rin?" Suara Bima membuyarkan lamunan Marina. Perempuan itu men
"Aku menginginkan malam pertama sebagai suami."Ucapan Bima sontak membuat mata indah Marina membeliak terkejut. Sedangkan lelaki itu, Bima menyeringai jahil dan kembali mendekatkan wajahnya. "Aku berhak atas semua yang ada pada istriku bukan?" Lanjutnya terus menggoda.Tak kuat dengan semua godaan Bima, Marina menjerit hingga Bian dan beberapa anak buah di sana menatapnya waspada. Takut ada serangan musuh yang mengintai. "Aaaahhh," jerit Maina seraya menginjak kaki suami mesumnya itu. Dia segera berlari ke arah Bian sebelum Bima kembali menariknya. "Ada ada?" tanya Bian menoleh pada Marina yang bersembunyi di belakang punggungnya. "Dia!" Marina menunjuk Bima yang mengaduh kesakitan karena kaki di injak sang istri begitu kencang. "Rina kembali! Awas kau ya!" pekik Bima kesal. Niat hati ingin mendapatkan kemesraan dari sang istri, yang dia dapat malah kekerasan padahal baru dua hari menikah."Apa yang dia lakukan Rin?" Bian tak mnghiraukan adiknya yang mengaduh kesakitan. Bian tent