Share

Bab 3 Mengesalkan

Pov Riyanti

"Mulai kapan saya antar pindangnya, Pak?" seruku pada Pak Alfa dosen baruku yang tampan tapi mahal senyum, atau dia hanya ketus padaku saja gara-gara pindang.

"Besok siang. Ingat ya selama seminggu," jawabnya.

"Astaghfirullah, seminggu." inginku berteriak, tapi aku hanya menghentakkan dua kakiku yang tertutupi sepatu murah yang kubeli di pasar. Semoga sepatuku tidak jebol keseringan aku hentakkan dengan lantai.

Ini pertama kali aku ketemu dosen baru yang mengesalkan. Dia mengerjaiku untuk membelikannya pindang selama seminggu. Apakah dia seorang maniak pindang? Dia nggak tahu dompet ini selalu dijaga untuk tidak tergesa kempes karena masih harus menunggu sebulan untuk dapat HR privat.

"Kamu kenapa, Ti?"

"Aku kesal tahu nggak, Mel. Pak Alfa maksa banget sih minta dibelikan pindang selama seminggu."

"Hahaha." Amel sudah menertawakanku karena ulahku sendiri.

"Jangan gitu dong, Mel. Bantu aku setidaknya menemaniku beli pindang. Tahu sendirikan warung Mbok Nem menunya berbeda-beda tiap harinya."

"Hmm, gimana kalau kita minta tolong Mbok Nem aja nyiapin pindangnya selama seminggu."

"Ah, benar juga, idemu bagus, Mel. Tapi ... kasihan juga nanti Mbok Nem kalau harus nyiapin cuma untuk kita doang. Belinyakan enggak banyak, cuma untuk seorang Pak Alfa aja atau paling banyak tiga orang sama kita."

"Yeay, aku nggak mau makan pindang seminggulah, Ti," tolak Amel yang kubalas dengan cengiran.

"Aku juga enggaklah, Mel."

----

Esok hari selesai kuliah Amel mengajakku duduk santai di gazebo taman kampus.

Ting, notif pesan masuk di ponselku.

[Kak, les hari ini bisa maju jadi jam 1, nggak? Aku ada ekstra karate sore]

[Oya, siap! Kak Yanti Insya Allah bisa]

[Makasih, Kak]

[Sama-sama]

"Ada apa, Ti?"

"Les privat minta maju jadi jam 1, anaknya mau ada karate sorenya."

"Oh Ya, sudah. Ayo segera ishoma biar nggak telat berangkat ngasih privatnya."

Aku mengangguk mengikuti ajakan Amel. Namun segera kutepuk jidatku kalau ingat ini.

"Astaghfirulloh, Mel. Kalau aku ngajar privat siang ini, pindangnya gimana?"

"Iya ya, kamu W* aja, Ti. Bilang Pak Alfa aja, kamu sore nganternya, pasti ga akan marah."

"Baiklah nanti aku W*."

Siang hari aku sudah di rumah muridku Arsy namanya. Dia adalah salah satu muridku tingkat SD, sedangkan muridku yang lain SMP dan SMA.

Perlu ekstra kesabaran untuk mengajar anak SD yang satu ini. Pasalnya aku jadi bukan sekedar pengajar matematika tapi semua mata pelajaran(mapel). Bahkan aku tak jarang juga berprofesi jadi psikolog dadakan karena muridku tidak hanya minta diajari materi tapi mereka butuh teman curhat atau ngobrol. Karakter murid yang kuajar juga berbeda-beda. Ada yang dengan mudah menerima materi matematika yang aku jelasin. Ada juga yang butuh jembatan keledai atau cara mudah memahami dengan membawa masalah matematika ke dalam kehidupan nyata.

Seperti kali ini, aku sudah menyiapkan soal latihan setelah menjelaskan materi. Baru satu soal perkalian kami bahas, setelahnya Arsy ngobrolin tadi di sekolah beli jajan apa aja. Lalu dia bercerita ada temannya yang suka usil dan membuatnya kesal. Aku hanya geleng-geleng kepala, mengajar itu melatih kesabaran.

"Yuk, Dik. Kita lanjutin soal nomer dua, berapa hasil 5 dikali 12?"

"Hmm...." Arsy tampak berpikir dan menggaruk kepalanya.

"Susah, Kak."

'Hufh, sabar Yanti ... ngajar anak orang,' batinku.

Aku sudah ingin menjerit kalau saja di depanku ini adikku. Sebentar lagi muridku ini naik kelas lima tapi masih susah berhitung.

"Baiklah, coba kakak tanya nih. Kalau kamu punya lima keranjang, tiap keranjangnya berisi apel 12. Nah, ada berapa jumlah apel semuanya?"

Sejenak dia mulai menghitung dengan penuh semangat.

"60 apel, Kak."

"Perfect. Seratus buat kamu. Ayo, kita coba lagi!"

....

"Wah, hebat kamu pintar sekali, Dik. Jadi perkalian ini bisa kita artikan dengan penjumlahan berulang. Contohnya, 5 x 12 sama artinya 12+12+12+12+12=60." Arsy mengangguk paham sambil tersenyum padaku.

Ternyata, beginilah seharusnya mengajar dengan karakter siswa yang berbeda. Aku harus menyesuaikan metodenya. Dia sangat antusias untuk mengerjakan lagi soal yang kuberikan, tentunya masih sambil diselingi bercerita. Aku pikir sudahlah tidak apa-apa, bukankah belajar dengan hati riang gembira akan lebih mudah diserap dari pada belajar dalam keadaan terpaksa.

"Wah, serunya." Tiba-tiba Bu Salma datang menghampiri kami.

"Tentu, Ma. Kak Yanti asyik ngajarinnya."

"Alhamdulillah, besok lusa kita sambung lagi ya," janjiku.

"Makasih, Mbak Yanti."

"Sama-sama, Bu. Semoga bermanfaat dan lebih semangat belajar Dik Arsy."

"Oh ya, habis ini bisa ngajari ponakan saya nggak? Dia kelas tiga SMP ingin belajar matematika untuk persiapan ujian akhir."

"Oh, rumahnya mana, Bu? Saya cuma bersepeda."

Aku dengan senang hati menerima karena bagiku ini adalah rejeki, apalagi materi SMP masih bisa aku ajarkan tanpa persiapan banyak. Berbeda kalau yang ditawarkan adalah anak SMA mungkin aku tidak berani dadakan, takut mengecewakan.

"Dekat kok, nanti saya antar, sekarang makan dulu ya. Dik, temani Mbak Yanti makan!"

"Ah, nggak usah repot-repot, Bu."

Aku masih malu-malu merasa sungkan meski di lubuk hati bersorak Alhamdulillah, uang jatah makan satu kali aman. Beginilah saat aku memberikan les, selain dapat HR aku terkadang juga dapat suguhan cemilan atau makan besar. Aku sangat bersyukur setidaknya bisa mengurangi pengeluaran jatah makan. Aku juga memiliki jadwal berpuasa senin kamis atau puasa Daud bersama Amel. Meskipun niat kami awalnya belum lurus puasa untuk ibadah, melainkan menghemat uang, setidaknya kami bisa bertahan di saat kantong ini menipis.

"Ayo, ini enak lho tadi saya masak dibantu, Arsy."

"Wah, anak pintar kamu, Dik. Selain rajin belajar juga rajin bantu Mama."

"Tentu, dong." Muridku langsung senyum riang tatkala aku memberikan pujian padanya. Begitulah anak-anak selalu gembira saat prosesnya dihargai.

Aku seketika ingat Pak Alfa saat memandang satu piring pindang di depanku. Terbesit dalam pikiranku ingin membawa satu biji saja biar aku tidak repot mencarinya karena setelah ini masih harus mengajar ponakan Bu Salma.

"Maaf Bu, apa saya boleh membawa pulang jatah pindang ini? Untuk kucing saya di kos." Tanpa malu aku memberanikan diri meminta ijin, meski sedikit tidak jujur pada Bu Salma karena tidak mungkin aku bilang untuk Pak Alfa.

"Oh ya ampun, Mbak ... kirain mau apa. Santai saja sekarang makan dulu, nanti saya bungkuskan ya buat dibawa pulang."

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Bu," ucapku tersipu malu.

Selesai makan aku sudah diberi nasi bungkus plus pindang dobel untukku dan si kucing, eh maksudku untuk Pak Alfa. Aku diantar ke rumah ponakan Bu Salma, ternyata tidak jauh dari rumahnya.

Aku akan mengajar anak laki-laki yang sudah siap di meja belajarnya, namanya Niko. Setelah mengantarku, Bu Salma pulang ke rumahnya.

"Ayah Ibumu belum pulang ya, Dik Niko? Kok sepi."

"Papa, bentar lagi mungkin datang, Kak. Kalau Mama...?"

Ada jeda kalimatnya dan kutatap wajahnya berubah sendu.

"Kenapa?"

"Mama, pergi jauh."

"Ohh maaf. Mbak Yanti bikin kamu sedih ya? Ya sudah ayo Mbak jelasin materinya." Aku sedikit kaget dengan perubahan sikapnya, Mamanya pergi artinya apa. Bisa jadi Mamanya meninggal atau berpisah dengan Papanya. Ah, entahlah aku fokus mengajar kembali sebelum dia menjadikanku psikolog dadakan.

"Soal yang ini caranya gimana, Kak?"

"Oh, ini namanya menentukan luas permukaan balok. Hmm, kamu punya kotak bekas nggak?"

"Sebentar aku cari, Kak. Ucapnya semangat."

Beberapa detik kemudian dia sudah datang dengan dus snack. Aku membongkarnya menjadi sebuah jaring-jaring balok. Lalu kutuliskan panjang sisi-sisinya pada dus itu. Aku memintanya menghitung luas masing-masing bangun datar dari jaring-jaring tadi.

"Ini sudah kuhitung, Kak," katanya.

"Nah, ini tinggal kamu jumlahkan maka hasilnya adalah luas permukaan balok."

"Wah, iya benar ketemu jawabannya."

"Jadi, luas permukaan balok adalah 2x(pxl)+2x(lxt)+2x(pxt) dengan p panjang, l lebar dan t tinggi balok."

"Lagi, Kak. Soal berikutnya."

.....

Sampai tak terasa sudah 1,5 jam, aku harus segera pulang sebelum kemalaman.

"Eh … ehmm, seru sekali Mas belajarnya?"

"Iya nih, Pa. Sama Kak Yanti." Aku sontak terkaget melihat papanya ternyata masih tergolong muda sekitar 40an umurnya mungkin. Wajahnya 11 12 dengan Pak Alfa, mereka berdua sama dewasanya, sama gantengnya.

Hanya saja laki-laki ini sudah punya anak dan entah di mana Istrinya, seperti yang anaknya tadi bilang pergi jauh. Kalau Papanya ditinggal Mamanya berarti laki-laki ini duda.

'Astaghfirullah, ni otak sudah tercemar. Aku kembali fokus dengan tujuanku untuk tidak memikirkan jatuh cinta selama mimpiku belum tercapai.'

"Kamu nggak apa-apa? Kenalkan saya Hendra, Papanya Niko."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
park park
Keren bgt novelnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status