Share

Bab 2 Kucing

Pov Alfa

Namaku Alfa Mahendra asli Bandung. Aku memperkenalkan diri dihadapan mahasiswa sejumlah sekitar 40 orang. Baru dua bulan aku lulus  studi doktoral di kampus ternama di Singapura, yaitu NTU. Aku mengambil spesialis Analisis. Hari ini pertama aku masuk kelas untuk menggantikan dosen senior yang sedang bertugas ke luar kota. Aku akan mengampu mata kuliah analisis riil. Ada kata riil artinya nyata, berarti isinya tentang matematika di dunia nyata. Mungkin itu pemikiran para mahasiswa, tetapi setelah mereka melihat-lihat isi buku tebalnya yang bertuliskan real analysis, maka akan terjadi perbedaan arti. Riil yang dimaksud adalah bilangan riil. Jadi, analisis riil mempelajari kaitannya dengan bilangan riil.

"Setelah ini nanti akan ada lanjutannya yaitu mata kuliah analisis kompleks," ucapku dengan tegas, sontak membuat seisi kelas berteriak horor.

"Hwaaa, macam mana itu, Pak?" ucap salah satu laki-laki bernama Galang.

Ternyata dia hanya mewakili suara teman-temannya. Kenyataannya dia sangat paham isi materi analisis karena dia salah satu mahasiswa yang sering ikut olimpiade matematika dan tak jarang mendapat penghargaan. Aku mendapat info ini sebelumnya dari dosen senior yang membimbing olimpiade karena sebentar lagi akan menambah tugasku menggantikan beliau.

Di kelas, aku berusaha memecahkan keheningan dari rasa takut mereka terhadap mata kuliah yang belum dikenalnya. Analisis riil ini butuh pemikiran yang lebih dibanding kalkulus atau aljabar linear yang lebih banyak porsi teknis perhitungan.

Dari sekian mahasiswa yang histeris, aku memicingkan mata ke salah satu mahasiswi yang tak berekspresi sama sekali, justru dia sering menutupi wajahnya baik dengan buku ataupun kedua tangannya seraya menundukkan kepala.

"Kamu tidak apa-apa?"

Perempuan itu masih menunduk sambil menggelengkan kepala.

"Aneh, seisi kelas hanya dia yang termenung."

"Namanya Riyanti, Pak Alfa. Biasa dipanggil Yanti, soulmatenya Amel dan Putri serta pasangan sejatinya, Galang!" teriak salah satu mahasiswa yang duduk di pojok.

"Apa kamu nggak suka ikut kuliah saya?" tanyaku tapi dia masih tetap diam dalam posisinya.

"Riyanti...!" teriakku.

"Ah iya, Pak!" pekiknya sembari mengangkat wajah, menyisakan aku yang tersentak kaget saat mengetahui dia perempuan yang berebut pindang denganku di warung dekat kontrakan.

"Maaf, Pak Alfa," pintanya dengan lirih namun tulus. Aku yakin dia merasa bersalah dengan kejadian kemarin, hingga takut memandangku yang kenyataannya adalah dosen pengganti di kelasnya.

Terbesit ingin mengerjainya dengan sebuah pertanyaan yang kuajukan.

"Jadi, apa isi mata kuliah yang akan kita pelajari nanti, Yanti?"

"Eh … hmm."

Dia menoleh ke kanan kiri mencari pembelaan. Ada perempuan yang kemarin bersamanya saat di warung kini sedang ditolehnya dan menggelangkan kepala. Dia beralih ke belakang ke arah Galang, tapi segera kupanggil namanya lagi.

"Riyanti, jawab!"

Dia semakin bergetar dan gugup. Mahasiswa yang sederhana, tapi tak kalah cantik dengan mahasiswi lainnya yang pintar berdandan. Kenyataannya, dia hanya berdandan tipis atau bisa jadi tanpa make up.

"Baiklah, Yanti. Apa jawabanmu?"

"Hmm, analisis riil mempelajari hal nyata yang tidak nyata."

Terdengar riuh tawa teman-teman sekelasnya yang membuatnya tertunduk malu karena kentara tidak mendengarkan penjelasanku tadi.

Aku melanjutkan mengisi kuliah sampai 10 menit menjelang waktu kuliah berakhir. Kugunakan sisa waktu untuk memberikan kesimpulan dan materi yang harus dipelajari berikutnya. Tak lupa kuberikan tugas untuk dikerjakan secara kelompok guna menambah pemahaman mereka.

Aku mendekati Yanti yang masih takut menatapku.

"Berikan nomer ponselmu!"

"Buat apa, Pak?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Biar saya mudah kasih info kalau ada perubahan jadwal."

"Nomernya Galang saja Pak, dia ketua kelasnya."

"Saya minta Galang juga, barangkali salah satunya lagi off."

"Siap Pak!" seru Galang, yang aku tau Riyanti sudah memelototinya.

Akhirnya Galang mengirimkan nomer ponselnya beserta nomer Riyanti. Aku menutup pertemuan dengan salam dan bergegas menuju ruangan. Namun seperti ada langkah yang membuntutiku dari belakang. Saat kutoleh ternyata Riyanti yang mengikutiku sambil menyeret Amel temannya.

"Ada apa kalian mengikuti saya?" tanyaku dengan ekspresi datar, niatku hanya ingin mengujinya sampai mana dia berani saat berada di kampus. Apakah keberaniannya masih sama seperti saat berdebat pindang di warung. Ah, aku jadi kesal sendiri mengingatnya  karena gagal memberi makan kucing yang sering mendatangi kontrakanku.

"Hmm, ada yang ingin saya sampaikan pada Pak Alfa," ucapnya lirih dan masih tersirat rasa takut di wajah manisnya saat tersenyum simpul.

'Dasar ni otak, kenapa aku malah memuji orang yang sudah membuatku kesal dan berujung kucing kesayanganku lapar.'

"Oh, kalau begitu ayo di ruang saya saja!"

Mereka mengikutiku dengan patuh, sementara otakku sudah berkeliaran mencari ide untuk mengerjainya. Saat memikirkannya justru membuat hormon endorpinku meningkat.

'Bolehkan aku mengerjai muridku, biar jadi pembelajaran positif untuk tidak selamanya ingin menang sendiri.'

"Silakan duduk!"

Digeretnya dua kursi tepat di depanku yang terhalang meja kerja masih kosong karena aku baru menempatinya hari ini.

"Pak Alfa, saya mau minta maaf atas kejadian kemarin."

"Kejadian yang mana? Memangnya kita pernah bertemu sebelumnya?" kilahku. Sontak dia menahan kesal karena terlihat guratan di keningnya lantas menyikut lengan Amel.

"Itu Pak kejadian di warung makan dekat kos kami," ucap temannya membela.

"Iya, saya salah sudah merebut kesempatan Pak Alfa untuk makan pindang kemarin. Seharusnya saya tidak seperti itu, maafkan saya," ucap Riyanti tulus sambil tertunduk.

"Oh, saya nggak nyangka kalau yang berdebat dengan saya kemarin adalah seorang mahasiswi. Kirain penjual buah di pasar." Wajahnya terlihat kesal namun lucu.

"Jadi, Bapak memaafkan sayakan?" mohonnya dan aku jawab dengan anggukan.

"Tapi ada syaratnya."

"Haah, syaratnya apa?"

"Seminggu ini kamu harus belikan pindang untuk makan."

"Apa?" tanya dia, tampak sekali Riyanti menimbang-nimbang saling berpandangan dengan Amel.

"Baiklah, lalu pindangnya saya bawa ke ruang sini?"

"Antarkan saja ke kontrakan saya! Nanti saya kirim ke ponselmu alamatnya."

Dia mengangguk lesu dan bergegas pamit dengan muka kusutnya, sedangkan aku menahan diri untuk tidak tertawa di depannya supaya tidak membuatnya tersinggung. Sampai di pintu dia menoleh kembali kearahku.

"Mulai kapan saya antar pindangnya, Pak?"

"Besok siang. Ingat ya selama seminggu," ucapku penuh penekanan.

"Astaghfirullah, seminggu," jawabnya sambil menghentakkan dua kakinya yang tertutupi sepatu. Ekspresinya lucu sekali menurutku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status