Pov Riyanti
"Kamu nggak apa-apa? Kenalkan saya Hendra, Papanya Niko."
"Oh, saya Riyanti, Pak." Aku balas memperkenalkan diri saat Pak Hendra mau menyalamiku, tapi kubalas dengan menangkupkan kedua tanganku.
"Terima kasih sudah mengajar anak saya, Yanti."
"Sama-sama, Pak. Alhamdulillah Niko cepat kok memahami materi yang saya jelaskan."
"Syukurlah, besok ke sini lagi bisa?"
"Insya Allah."
Aku mengayuh sepeda membelah jalanan yang sudah mulai ramai karena senja telah tiba. Beginilah aktivitasku selain di kampus, aku mengajar privat hingga senja tiba. Ini menjadikanku menyukai senja yang indah dipandang mata. Sepanjang aku mengayuh sepeda, tak henti-hentinya aku bersyukur karena hari ini mengajar dua anak artinya dapat HR 2x. Selain itu, aku gembira karena telah membawa pindang pesanan Pak Alfa.
Tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar tertera nama "Dosen Alfa".
‘Haah, Pak Alfa pasti mencariku.'
“Hallo, Yanti. Di mana sekarang? Pindangnya mana?”
Terdengar suara Pak Alfa sambil teriak mengesalkan.
“Iya-iya, tunggu setengah jam lagi.”
“Lama amat, keburu lapar nanti ngamuk.”
'Haah serius Pak Alfa ngamuk, nih?' batinku.
“Sabar Pak, saya cuma nyepeda nih.”
“Kamu dimana sih?”
Tut ... tut
Aku menutup sepihak teleponnya. Suaranya sudah membuatku kesal. Ini benar-benar salahku lagi, karena lupa mengirim pesan pada Pak Alfa kalau aku mengajar privat dulu sampai menjelang Maghrib. Alhasil dia sampai menelponku menanyakan pindang saat aku sedang diperjalanan. Dan apalagi dia bilang tadi, akan mengamuk karena lapar. Wah horor sekali kalau aku diamuk nih.
----
Aku sudah sampai di depan kontrakan Pak Alfa. Segera kupencet bel dan orang yang kucari sudah terlihat batang hidungnya. Oh tidak, godaan lagi melihat penampilan santai Pak Alfa dengan baju kaos dan celana jeansnya selutut. Beruntung lampu halaman depannya tidak begitu terang sehingga tidak menampakkan wajahku yang pasti sudah memerah karena mengaguminya.
"Sudah Magrib?" tanyanya menginterogasi, aku pun menggelang.
"Ckk, kamu dari kos?" Aku menggeleng lagi tak bersuara, karena masih menetralkan napas yang ngos-ngosan memburu waktu sholat, membelah jalanan menembus senja.
Pak Alfa menunjukkan masjid yang berselisih dua rumah dengan kontrakannya. Aku pun bergegas sholat di masjid yang ditunjukkannya. Sedikit lega terasa karena sudah melaksanakan kewajiban sholat.
"Sini, mana pindangnya!"
Aku mengeluarkan satu bungkusan yang dibawakan Bu Salma dan satu lainnya buat makan malam sampai kos nanti.
"Kenapa pakai nasi, kan aku bilang pindang saja."
Kudengar Pak Alfa lalu memanggil pusy … pusy.
'Pussy...? Astaga jadi pindang itu untuk kucingnya.'
Aku menepuk jidatku dan segera pulang ke kos dengan perasaan kesal. Kupikir Pak Alfa yang mau makan dan sudah kelaparan, kupikir dia yang akan mengamuk. Oh ternyata ... seekor kucing besar beserta satu kucing kecil yang butuh pindang. Padahal aku sudah mengayuh sepedaku dengan kecepatan lebih sampai ngos-ngosan dan perut ini keroncongan.
---
Pov Alfa
Riyanti berlalu dari kontrakanku dengan muka kesal yang aku pun tidak tahu penyebabnya. Apa karena pindangnya aku kasih ke kucing? Jangan-jangan dia mengira aku yang akan memakannya sampai-sampai dia ngos-ngosan datang dengan sepedanya.
Sebenarnya dia dari mana? Itulah rentetan tanya dibenakku. Namun aku justru senang saat semakin membuatnya kesal. Apakah aku sudah gila? Ah, entahlah aku pun tidak tahu.
Dia gadis manis berpenampilan sederhana. Suka berkata apa adanya dan sepertinya enak diajak ngobrol asal aku tidak membuatnya kesal. Seandainya dilihat dengan seksama maka akan terpancar pesona yang menarik dari wajahnya.
Aku jadi teringat ucapan temannya di kelas kalau Riyanti pasangan sejatinya Galang.
‘Apakah benar mereka berpacaran?’ tanyaku dalam hati.
Tapi sekilas dilihat mereka hanya sekedar dekat dan tidak lebih. Memang mereka terlihat akrab satu sama lain tapi Riyanti terlihat mampu menjaga batasan, untuk tidak berbuat lebih jauh seperti kontak fisik dengan lawan jenis. Bolehkah aku berandai-andai untuk menjadikan dia sebagai pasanganku?
‘Ah, kenapa juga berandai-andai. Bukankah lebih bagus berprasangka yang baik pada Allah dan berdoa jika memang dia perempuan baik semoga bisa dipasangkan denganku,’ pikirku.
Aku rasa perlu mengenalinya lebih jauh supaya tidak berakhir kecewa.
“Riyanti, apa Galang itu pacarmu?” tanyaku spontan membuatnya tergelak.
“Haah.”
Pov RiyantiBaru saja aku menerima pesan singkat dari ibuku. Beliau butuh uang untuk membayar cicilan mingguan. Di kampung memang sedang gencar pinjaman praktis sekitar 500rb sd 1 juta hanya dengan modal FC KTP. Banyak tetangga yang tergiur tak terkecuali ibuku. Oh tidak, kini ibuku terjebak pinjaman dari orang yang bisa dikatakan lintah darat. Padahal kalau dihitung-hitung ini sangat memberatkan, bunganya pun tergolong tinggi. Alhasil, warga yang pinjam jadi terlilit hutang dan dikejar-kejar angsuran mingguan.‘Oh ibuku, bisakah aku segera menjadi orang kaya saja supaya hidup kita tidak susah?’ ratapku dalam hati.Flashback onSaat aku SMA, ada tamu seorang juragan kaya raya datang menyambangi rumah."Pak Rahmat, kapan kalian akan mengembalikan uangnya? Katanya bulan ini, hah," ucapnya setengah berteriak. Aku menguping pembicaraan di ruang tamu. Sebenarnya bukan sengaja menguping, tapi karena sua
Pov AlfaNetraku tak salah bukan, atau aku yang hanya berhalusinasi saja. Kenapa wajah Riyanti selalu terpampang di pelupuk mataku. Ah, lama-lama aku bisa gila kalau hanya memikirkannya. Segera aku memicingkan mata ke arah bangunan belakang kontrakanku. Aku sedang menjemur pakaian kerjaku karena hari ini tidak ada jadwal mengajar, jadi waktu luang aku pakai untuk mencuci baju. Sebenarnya bisa saja dilondry tapi kalau tidak sibuk, aku lebih suka mencucinya sendiri.Mataku mengerjap beberapa kali dan benar saja, bisa kupastikan itu Riyanti. Ngapain dia ada di sana. Itukan tempat para pekerja menjahit baju orderan. Kontrakanku memang dekat dengan industri tailor. Apa dia juga bekerja di sana? Apa dia benar-benar maniak kerja? Kenapa dia tak sayang dengan badannya. Apa dia sengaja memporsir tenaganya, memangnya sekuat apa dia. Berbagai tanya melintas dibenakku. Kenapa aku jadi peduli padanya, kenapa aku tak suka dia sok kuat. Aku bahkan ingin selalu mengaw
Pov Riyanti Hari ini ada kuliah Pak Alfa di jadwal pagi. Aku dan Amel sudah berangkat lebih awal karena tidak mau terlambat dan jadi bahan bullyan di kelas pastinya. Karena Pak Alfa suka bercanda di kelas dengan contoh-contoh mahasiswanya yang tidak disiplin. Mengingat kejadian kemarin di Graha Tailor membuatku tak berhenti mengulas senyum. "Ti, pagi-pagi udah senyum sendiri. Ada apa sih? Aku perhatiin dari kemarin pulang nyampai kos juga gitu." "Kamu pasti nggak nyangka kalau aku ceritain, Mel." "Sini-sini bisikin aku dong." "Kemarin aku di Graha Tailor lihat Pak Alfa jemur baju." "Haah, serius? Keren dong. Astaga Riyanti, kamu sudah kesengsem pesona Pak Al..." Aku langsung membungkam mulut Amel yang nggak kira-kira ngomongnya. Tiba-tiba putri dan Galang masuk ke ruang kuliah. Di belakangnya pun ada sosok yang sedang kami bicarakan. "Haa, Pak Alfa datang Mel. Isshh kamu teriak nggak kira-kira sih Mel.
Pov AlvaAku mengantar Riyanti sampai ke rumah muridnya. Dia berpesan supaya aku meninggalkannya. Kalau kalian berpikir aku akan ninggalin dia jawabnya enggak. Aku memilih menunggunya di mobil sampai dia selesai ngajar. Dia sebenarnya perempuan sekuat apa sih, seharian kuliah dan kerja part time. Refreshing sebentar sudah kerja lagi. Aku nggak habis pikir, apakah dia sempat memikirkan kesehatannya. Apa dia ingat dengan jam makannya hingga kelihatan kurus begitu. Hufh, kenapa aku jadi perhatian banget sama Riyanti. Aku mengacak rambutku sendiri karena bingung dengan pikiranku. Aku melihat Riyanti dan muridnya belajar di teras. Tampak sekali kalau dia mengajar dengan sabar. Tak jarang muridnya tertawa senang belajar dengannya.Setengah jam berlalu, aku mendengarkan musik sambil menscroll email atau materi yang ada di ipad. Kulihat ada laki-laki paruh baya entah papanya atau kakeknya si murid. Tapi kurasa dia lebih cocok kakeknya deh. Dia mendatangi Riyan
Pov RiyantiMas Alfa mengantarku sampai kos malam itu. Eh, bolehkan aku memanggilnya dengan Mas kecuali di kampus harus tetap panggil Pak. Aku sangat bersyukur dia sudah menyelamatkanku dari laki-laki brengsek itu. Tapi aku tidak bisa berhenti begitu saja mengajar Niko. Kasihan dia tidak salah apa-apa. Pak Hendra juga baik sudah memberi HR ku di awal. Setidaknya aku harus membayar kembali dengan tetap mengajarnya.Mas Alfa memintaku mengajar Niko di kontrakannya tepatnya di teras depan yang lumayan luas. Dia tidak ingin kejadian yang menimpaku terulang lagi. Aku heran kenapa Mas Alfa baik padaku sekarang. Aku merasakan lebih dekat dengannya atau hanya perasaanku saja, barangkali dia memang baik dengan semua orang. Buktinya bukan hanya aku yang akan mengajar les dikontrakannya. Ternyata dia membuka jasa les dengan mahasiswa yang akan mengajar. Ada aku, Gilang, Amel dan Putri yang sementara menjadi staf pengajar.Selesai mengajar, Mas Alfa mengham
Pov Riyanti Weekend ini aku merasakan tak sabar menerima HR pertama dari Graha Tailor. Kerja kerasku dari skill yang diajarkan ibukku. Meski sedikit yang kudapat tapi aku merasa bahagia mendapat uang dengan cara halal. Aku masih terngiang-ngiang ucapan Pak Hendra yang mengatakan telah mentransfer uang sebesar yang aku minta. Tapi kenyataannya saat aku tanya adikku nominalnya 2x lipat. Setelah aku konfirm ke Pak Hendra ternyata yang transfer waktu itu adalah ayahnya, yang tak lain adalah kakek Niko, karena Pak Hendra baru memimpin meeting besar. Pantas saja kakek Niko berbuat seenaknya padaku waktu itu. Aku merasa telah berhutang pada laki-laki brengsek itu. Aku berjanji dalam hati harus bisa melunasi hutang itu karena aku takut jika sampai ajal tiba tapi masih berhutang, bisa terhalang jalan masuk ke surga."Hmm, ada yang mau traktiran nih?" Galang sudah mencoba menggodaku karena bahagia mendapat HR pertama d
Pov AlfaSetelah menurunkan Riyanti di tempat yang dia minta, aku melajukan mobilku dan berhenti tak jauh dari jangkauan pandanganku ke dia.Aku sengaja ingin mengikuti sampai ke rumahnya tanpa dia tahu. Aku tak menyangka dia sangat sayang pada keluarganya terbukti dia menyempatkan beli buah tangan sebelum naik angkot.Aku pun mengikuti angkot yang dia tumpangi, sampai di suatu persimpangan dia turun dan membonceng laki-laki bermotor yang telah menunggunya.Deg, siapa laki-laki itu. Kenapa aku kawatir dan tidak rela jika laki-laki itu ada hubungan khusus dengan Riyanti.Aku rupanya takut mendapati kenyataan itu, ternyata setelah kuamati laki-laki itu masih muda, pasti adiknya. Jauh aku mengikutinya sampai ke desa tempat tinggalnya yang memang pelosok. Aku berhenti di sebuah warung kelontong dan membeli minuman sambil mengobrol. Aku mencari cara mendapatkan info tentang Riyanti tanpa dicurigai. Ternyata satu kalimat tanya mampu mema
Pov Riyanti"Kamu lagi dekat dengan seorang laki-laki kah? Atau kamu justru sudah punya pasangan?"Lidahku kelu mencerna pertanyaanya. Berbagai pikiran melintas dibenakku dan akupun bingung tak bisa menjawab secara langsung."Hmm, Aku..." Kuhela nafas untuk menetralkan detak jantung yang memburu. Kurangkai kata yang terbaik supaya tidak salah ucap."Tidak perlu dijawab sekarang, Ri. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Juga keluargamu, apa boleh?" katanya sedikit memohon. Ada setitik kelegaan karena dia tak menuntut jawab sekarang. Aku perlu berpikir panjang untuk hubungan kami jauh ke depan."Baiklah. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Aku hanya orang miskin, yang sedang berjuang mengembalikan senyum keluargaku. Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti aku, Mas. Bahkan aku hanya seorang yang gila kerja untuk mencari uang.""Jangan katakan itu, Ri. Aku mendukungmu, tapi ingat juga kesehatanmu. Jangan terlalu kera