Share

Bab 4 Salah mengira

Pov Riyanti

"Kamu nggak apa-apa? Kenalkan saya Hendra, Papanya Niko."

"Oh, saya Riyanti, Pak." Aku balas memperkenalkan diri saat Pak Hendra mau menyalamiku, tapi kubalas dengan menangkupkan kedua tanganku.

"Terima kasih sudah mengajar anak saya, Yanti."

"Sama-sama, Pak. Alhamdulillah Niko cepat kok memahami materi yang saya jelaskan."

"Syukurlah, besok ke sini lagi bisa?"

"Insya Allah."

Aku mengayuh sepeda membelah jalanan yang sudah mulai ramai karena senja telah tiba. Beginilah aktivitasku selain di kampus, aku mengajar privat hingga senja tiba. Ini menjadikanku menyukai senja yang indah dipandang mata. Sepanjang aku mengayuh sepeda, tak henti-hentinya aku bersyukur karena hari ini mengajar dua anak artinya dapat HR 2x. Selain itu, aku gembira karena telah membawa pindang pesanan Pak Alfa.

Tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar tertera nama "Dosen Alfa".

‘Haah, Pak Alfa pasti mencariku.'

“Hallo, Yanti. Di mana sekarang? Pindangnya mana?”

Terdengar suara Pak Alfa sambil teriak mengesalkan.

“Iya-iya, tunggu setengah jam lagi.”

“Lama amat, keburu lapar nanti ngamuk.”

'Haah serius Pak Alfa ngamuk, nih?' batinku.

“Sabar Pak, saya cuma nyepeda nih.”

“Kamu dimana sih?”

Tut ... tut

Aku menutup sepihak teleponnya. Suaranya sudah membuatku kesal. Ini benar-benar salahku lagi, karena lupa mengirim pesan pada Pak Alfa kalau aku mengajar privat dulu sampai menjelang Maghrib. Alhasil dia sampai menelponku menanyakan pindang saat aku sedang diperjalanan. Dan apalagi dia bilang tadi, akan mengamuk karena lapar. Wah horor sekali kalau aku diamuk nih.

----

Aku sudah sampai di depan kontrakan Pak Alfa. Segera kupencet bel dan orang yang kucari sudah terlihat batang hidungnya. Oh tidak, godaan lagi melihat penampilan santai Pak Alfa dengan baju kaos dan celana jeansnya selutut. Beruntung lampu halaman depannya tidak begitu terang sehingga tidak menampakkan wajahku yang pasti sudah memerah karena mengaguminya.

"Sudah Magrib?" tanyanya menginterogasi, aku pun menggelang.

"Ckk, kamu dari kos?" Aku menggeleng lagi tak bersuara, karena masih menetralkan napas yang ngos-ngosan memburu waktu sholat, membelah jalanan menembus senja.

Pak Alfa menunjukkan masjid yang berselisih dua rumah dengan kontrakannya. Aku pun bergegas sholat di masjid yang ditunjukkannya. Sedikit lega terasa karena sudah melaksanakan kewajiban sholat.

"Sini, mana pindangnya!"

Aku mengeluarkan satu bungkusan yang dibawakan Bu Salma dan satu lainnya buat makan malam sampai kos nanti.

"Kenapa pakai nasi, kan aku bilang pindang saja."

Kudengar Pak Alfa lalu memanggil pusy … pusy.

'Pussy...? Astaga jadi pindang itu untuk kucingnya.'

Aku menepuk jidatku dan segera pulang ke kos dengan perasaan kesal. Kupikir Pak Alfa yang mau makan dan sudah kelaparan, kupikir dia yang akan mengamuk. Oh ternyata ... seekor kucing besar beserta satu kucing kecil yang butuh pindang. Padahal aku sudah mengayuh sepedaku dengan kecepatan lebih sampai ngos-ngosan dan perut ini keroncongan.

---

Pov Alfa

Riyanti berlalu dari kontrakanku dengan muka kesal yang aku pun tidak tahu penyebabnya. Apa karena pindangnya aku kasih ke kucing? Jangan-jangan dia mengira aku yang akan memakannya sampai-sampai dia ngos-ngosan datang dengan sepedanya.

Sebenarnya dia dari mana? Itulah rentetan tanya dibenakku. Namun aku justru senang saat semakin membuatnya kesal. Apakah aku sudah gila? Ah, entahlah aku pun tidak tahu.

Dia gadis manis berpenampilan sederhana. Suka berkata apa adanya dan sepertinya enak diajak ngobrol asal aku tidak membuatnya kesal. Seandainya dilihat dengan seksama maka akan terpancar pesona yang menarik dari wajahnya.

Aku jadi teringat ucapan temannya di kelas kalau Riyanti pasangan sejatinya Galang.

‘Apakah benar mereka berpacaran?’ tanyaku dalam hati.

Tapi sekilas dilihat mereka hanya sekedar dekat dan tidak lebih. Memang mereka terlihat akrab satu sama lain tapi Riyanti terlihat mampu menjaga batasan, untuk tidak berbuat lebih jauh seperti kontak fisik dengan lawan jenis. Bolehkah aku berandai-andai untuk menjadikan dia sebagai pasanganku?

‘Ah, kenapa juga berandai-andai. Bukankah lebih bagus berprasangka yang baik pada Allah dan berdoa jika memang dia perempuan baik semoga bisa dipasangkan denganku,’ pikirku.

Aku rasa perlu mengenalinya lebih jauh supaya tidak berakhir kecewa.

“Riyanti, apa Galang itu pacarmu?” tanyaku spontan membuatnya tergelak.

“Haah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status