Lintar saat itu berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang sudah terlontar dari mulut manisnya Dewi. "Maksud kamu siapa, Wi?" tanya Lintar mengerutkan keningnya, seakan-akan ia tidak memahami ucapan Dewi. Dengan demikian, Dewi langsung memasang wajah ketus. Ia merasa kesal mendengar apa yang dikatakan oleh Lintar, kemudian langsung duduk dengan membelakangi Lintar. Lintar tersenyum tipis, lalu bertanya, "Kamu kenapa, Wi?" "Kamu tidak peka. Kamu pikir saja sendiri!" jawab Dewi tidak menoleh sedikit pun ke arah Lintar. Lintar tertawa kecil sembari meletakkan tangannya di atas pundak Dewi. "Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu kok," kata Lintar lembut. Perlahan Lintar mengangkat tangannya dan memberanikan diri menyentuh lembut rambut Dewi yang terurai. Tidak sulit bagi Lintar untuk kembali membuat Dewi tersenyum, seketika Dewi langsung membalikan tubuhnya. Kemudian memeluk erat tubuh Lintar sambil berbisik lirih, “Aku sayang kamu, Tar." Bola mata Dewi berkaca-kaca tampak bulir ben
Setelah itu, Lintar pun langsung melangkah keluar dengan diikuti Dewi dari belakang. Sementara sang supir sudah lebih dulu keluar. "Kalau malam jangan keluyuran lagi! Ada hati yang harus kamu jaga!" desis Dewi sambil tersenyum-senyum penuh kebahagiaan. "Siap, Nona!" sahut Lintar menjura. Ia langsung mengucapkan salam dan melangkah masuk ke dalam mobil. "Jaga hatiku juga ya, Sayang!" kata Lintar setelah berada di dalam mobil. Dewi hanya tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Lintar yang sudah berada di dalam mobil. Perlahan, mobil yang ditumpangi Lintar mulai melaju meninggalkan halaman rumah tersebut. Tidak ada yang memiliki porsi lebih besar dalam menjaga hati. Setiap pasangan memiliki peran yang sama untuk saling menjaga. Begitulah yang tertuang dalam pikiran Dewi dan Lintar, hasrat mereka yang hendak merajut kasih, hari itu telah terlaksana. Hubungan mereka telah diikat dengan tali cinta dan kasih sayang. 'Ya, Allah! Aku bahagia sekali hati ini,' kata Dewi dalam hati. D
Koh Iwan turut bahagia melihat perubahan dalam diri Lintar, meskipun di antara mereka berbeda keyakinan. Akan tetapi, mereka sudah bersahabat lama dan saling mengenal satu sama lain, dan juga saling menghargai perbedaan di antara mereka. "Tampan ya, Koh, kalau sudah seperti ini?" gurau Lintar sambil tersenyum-senyum. "Iya, kamu memang tampan. Sudah sana, nanti ketinggalan salat berjamaah!" sahut Koh Iwan. Dengan demikian, Lintar pun langsung pamit kepada rekan mainnya itu. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju Musala. Usai melaksanakan Salat Magrib berjamaah, Lintar langsung pulang ke rumah. Setelah berganti pakaian, ia langsung melangkah ke ruang dapur. Malam itu, ia hanya makan di rumah saja. Menanak nasi sendiri dengan menggunakan magicom, dan memasak ikan sarden kemasan. Tidak seperti biasanya, Lintar selalu makan di warung nasi langganannya yang ada di dekat rumahnya. "Mulai sekarang, aku harus mandiri dan mulai berhemat. Masak sendiri dan makan seadanya, karena aku harus
"Ya, seriuslah. Kapan sih aku bohong sama kamu?" tandas Lintar meyakinkan sahabatnya. "Alhamdulillah, ya, Allah!" ucap Dani tampak senang mendengar kabar tentang berakhirnya hubungan Lintar dengan Mia. "Kok, alhamdulillah, sih?" Lintar menatap wajah Dani sambil mengerutkan kening. "Kamu terlepas dari jerat Mia, jujur saja aku tidak suka dengan sikap Mia. Kamu pasti akan tahu sendiri nanti!" terang Dani sambil meletakkan telapak tangannya di atas pundak Lintar. Akan tetapi, Lintar masih belum paham dengan apa yang dikatakan oleh sahabat baiknya itu. Ia pun mendesak Dani agar mengatakan hal yang selama ini disembunyikannya, terkait sikap dan perbuatan Mia di belakangnya. "Tolong katakan, Dan! Apa saja yang kamu tahu tentang Mia?" desak Lintar. 'Haduh harus dimulai dari mana aku menjelaskan tentang Mia ke Lintar?' kata Dani dalam hati. "Kok malah diam sih? Ayo, katakan saja, Dan!" Lintar terus mendesak Dani agar mengatakan apa yang Dani tahu tentang Mia. Dengan demikian, Dani pun
Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara seseorang memanggil Lintar dari luar rumah, Lintar dan Dani paham jika itu adalah suara Bu Rasti. Entah ada maksud apa, malam-malam dia datang ke rumah Lintar. "Lintar! Keluar kamu!" Mendengar teriakan Bu Rasti, Lintar segera menyahut, "Iya, Bu." "Ayo, kita keluar, Dan! Temani aku!" ajak Lintar bangkit dan langsung keluar rumah. Dani pun tidak banyak tanya lagi, ia bangkit dan langsung mengikuti langkah sahabatnya keluar dari rumah tersebut. "Ada apa ya, Bu?" tanya Lintar setelah berada di hadapan wanita paruh baya yang selama ini sangat menaruh kebencian terhadapnya. "Kamu sekarang sudah benar-benar tidak mau lagi dekat dengan anak saya?" Bu Rasti balas bertanya dengan nada tinggi. Lintar dan Dani saling berpandangan, mereka tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh wanita paruh baya itu. "Kenapa diam? Ayo, jawab!" Bentak Bu Rasti. Lintar menarik napas dalam-dalam, ia berusaha untuk tenang dan tidak mau terpancing emosi dengan
Dani terbangun dari tidurnya jam setengah lima pagi, dan langsung keluar kamar untuk segera mandi. Sebelum mandi, Dani membangunkan Lintar terlebih dahulu yang masih terlelap tidur di atas kursi di ruang tengah kediamannya. "Tar, bangun! Sudah mau subuh!" Lintar langsung membuka matanya dan bergegas bangkit dari tidurnya. “Jam berapa sekarang, Dan?” tanya Lintar masih dalam kondisi ngantuk. Dani pun menjawab, "Setengah lima, sudah mau subuh. Ayo, mandi!" "Kamu mandi duluan saja!" kata Lintar sambil menguap. "Ya, sudah." Dani bangkit dan langsung melangkah ke arah kamar mandi. Mereka mandi secara bergantian. Setelah selesai, kedua pemuda itu langsung berangkat ke Musala untuk menunaikan Salat Subuh berjamaah bersama warga lainnya. Semenjak pindah ke kampung itu, Dani memang rajin dalam melaksanakan ibadah lima waktu. Beda dengan Lintar yang jarang sekali ke Musala. Namun, setelah mengenal Dewi Lintar pun menjadi giat dalam melaksanakan ibadahnya, terutama salat lima waktu. Denga
Setelah berlalunya Dian, datang seorang staf kantor lainnya. Staf itu memberitahukan Lintar, bahwa dirinya diminta untuk menghadap atasannya yang merupakan pemilik utama perusahaan tersebut. Saat itu juga, Lintar bangkit dan langsung keluar dari ruangannya untuk menemui bosnya yang berada di ruangan utama di kantor tersebut. Lintar disambut hangat oleh rekan kerjanya, terutama rekan kerja wanita. Sikap mereka sangat mengganggu Lintar dan membuatnya merasa tidak nyaman. Meskipun demikian, Lintar selalu berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyamannya itu. Lintar tetap menjaga sikap, ia selalu menampakkan keceriaan dan selalu tersenyum ramah kepada semuanya. "Hai tampan!" sapa salah seorang wanita sambil tersenyum menyambut kehadiran Lintar. "Pak Lintar sini dulu dong!" teriak wanita lainnya. 'Menyebalkan sekali sikap mereka, memangnya aku ini artis?!' umpat Lintar dalam hati. Lintar hanya tersenyum sambil mengangguk pelan, ia tidak menampakkan sikap tidak senangnya kepada rekan-r
Setibanya di tempat yang dituju, Lintar langsung memutar stir mobilnya ke arah kiri dan langsung masuk ke dalam area parkir pusat perbelanjaan terbesar di kota tersebut. "Ayo, Wi!" ajak Lintar langsung keluar dari dalam mobil, kemudian mengarah kebagian samping kiri mobil tersebut. Ia bergegas membukakan pintu mobil untuk Dewi. "Silakan turun, Bidadari Surgaku!" ucap Lintar tersenyum penuh gurauan. Dewi balas tersenyum dan bangkit dari duduknya melangkah keluar dari mobil. "Sudah seperti supir pribadi saja," ucapnya meraih lengan Lintar, kemudian melangkah bersama menuju ke dalam restoran tersebut. Lintar dan Dewi tidak menyadari, jika pada saat itu ada dua orang pria yang tengah mengintai mereka. Kedua pria tersebut, mengikuti mobil yang dikemudikan oleh Lintar semenjak keluar dari halaman parkir kantor tempat kerjanya Lintar. "Kita tunggu saja di sini! Nanti, setelah mereka keluar kita ikuti ke mana mereka pergi!" desis pria berkepala plontos. "Ya, kita tunggu saja!" sahut kawa