Dani tampak semringah mendengar pernyataan dari Lintar. "Yakin ... kamu akan sungguh-sungguh?" tanya Dani lagi, dua bola matanya menatap tajam wajah Lintar, seakan-akan ia ragu dengan sikap Lintar. Lintar menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab, "Aku sangat yakin bahwa Dewi adalah bidadari yang dapat merubah kehidupanku. Jujur saja semenjak aku mengenal dia, hidupku seakan-akan berwarna. Kamu lihat saja perubahan dalam diriku! Aku lebih semangat, 'kan?" tandas Lintar sambil tersenyum-senyum. "Bagaimana dengan Eva dan juga dengan Melda? Apakah kamu sudah menjelaskan tentang hubungan kamu dengan Dewi kepada mereka?" "Kalau sama Eva, aku belum memberitahukan tentang hubunganku dengan Dewi. Eva sudah tidak ada lagi di sini," jawab Lintar. "Kalau sama Melda aku sudah menjelaskan semuanya, sepertinya Melda menerima keputusanku itu," tambah Lintar. "Ya, syukurlah kalau seperti itu!" desis Dani tampak bahagia melihat kebahagiaan Lintar—sahabat baiknya. Lintar kemudian bangkit. "Kamu tung
Tampak Bu Ira sudah berdiri di depan pintu sambil memegang piring yang berisi beberapa potong kue. "Bu Ira, ada apa, Bu?" tanya Lintar bersikap ramah. "Ini ada kue buat sarapan kamu," jawab Bu Ira tersenyum-senyum. "Kamu belum sarapan, 'kan?" tanya wanita paruh baya itu menambahkan. "Belum, Bu. Saya kesiangan bangun," jawab Lintar. "Tidak Salat Subuh dong?" "Tidak, Bu. Saya kebablasan bangunnya," jawab Lintar cengengesan. "Ha ... payah kamu!" hardik Bu Ira sambil menyerahkan makanan dalam piring plastik kepada Lintar. "Ini Ibu punya kue untuk kamu!" "Ya, Allah, Ibu. Setiap hari saya selalu merepotkan Ibu," kata Lintar sembari meraih piring tersebut dari tangan wanita paruh baya yang merupakan tetangga dekatnya itu. Bu Ira selama ini sudah menganggap Lintar sebagai anaknya sendiri. "Tidak merepotkan, kok. Tapi yang repot itu hidup kamu, selalu terlambat bangun pagi," jawab Bu Ira tertawa kecil. "Iya, Bu. Kebiasaan lama kambuh lagi." "Jangan dibiasakan Lintar! Sebentar lagi ka
Setibanya di tempat kerja, Lintar langsung disambut hangat oleh salah seorang staf wanita yang bekerja di kantor tersebut. "Mas Lintar!" ucap wanita cantik berkulit putih tersenyum lebar memandang Lintar. Senyuman manisnya menampakkan baris giginya yang putih tampak rapi dengan lesung pipi indah menghias wajahnya. Dia adalah Lusi staf wanita paling cantik di kantor tersebut yang diam-diam menyukai Lintar. "Iya, Lusi." Lintar menyahut dan balas melontar senyum. "Selamat pagi, Mas Lintar. Tumben datangnya telat?" tanya Lusi tak henti-hentinya melontarkan senyuman kepada Lintar pria tampan yang dikaguminya. "Pagi juga, Ida. Iya, nih Mas Lintar tadi ada urusan sebentar," jawab Lintar tersenyum kembali sambil mengedipkan mata ke arah Lusi. Kemudian salah seorang staf pria ikut angkat bicara, "Cie ... cie ... Mas Lintar, keren!" "Iya, dong dari lahir. Kamu baru tahu, Ful?" Iful hanya tertawa lepas menanggapi perkataan dari Lintar. Setelah itu, Lintar kembali melanjutkan langkah menu
Pagi itu, tiba-tiba saja, Lintar ditelepon Dewi. Ia diminta untuk segera datang ke kediaman kekasihnya itu, entah ada urusan apa? Lintar pun tidak mengetahuinya, karena Dewi tidak menjelaskan maksudnya. Setelah meletakkan ponselnya, Lintar hanya duduk termenung. "Kira-kira ada apa yah, Dewi memintaku untuk datang?" desis Lintar bertanya-tanya. Setelah itu, ia bangkit dari duduknya. Lintar melangkah masuk ke dalam kamar hendak mengganti pakaian, karena saat itu ia akan langsung berangkat ke rumah Dewi. Setelah berpakaian rapi, Lintar langsung beranjak dari kediamannya dengan menggunakan sepeda motor barunya pemberian dari Dewi. Ketika dirinya hampir tiba di kediaman Dewi. Tiba-tiba saja, motornya mengalami bocor ban. Lintar tampak kesal dan segera menuntun motornya ke sebuah bengkel tambal ban yang ada di depan jalan raya tidak jauh dari kediamannya Dewi. "Maaf, Bang. Tolong tambalkan ban motor saya, sekalian saya titip, yah." "Iya, Mas," jawab seorang pria tambun bersikap sopan k
Dengan demikian, Lintar langsung meraih dompet dari saku celananya, dan mengambil selembar uang pecahan seratus ribuan, lalu ia berikan kepada pria paruh baya itu. "Ini uangnya, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja!" kata Lintar lirih. "Iya, Mas. Terima kasih banyak," jawab Pak Fendi meraih uang tersebut dari tangan Lintar. "Saya yang harus berterima kasih sama Bapak," kata Lintar tersenyum lebar memandang wajah Pak Fendi. Pak Fendi dan balas tersenyum sambil mengangguk pelan. Setelah itu, Lintar pun langsung pamit dan langsung melanjutkan langkahnya menuju ke arah beranda rumah megah yang memiliki halaman begitu luas. Rumah tersebut adalah rumah Dewi yang kini sudah menjadi kekasih Lintar. "Aku tidak boleh memberitahu Dewi tentang kejadian tadi, aku takut dia khawatir dan mencemaskan aku," desis Lintar sambil terus melangkah. Ketika sudah berada di depan pintu rumah kekasihnya itu, Lintar langsung menekan bel pintu tersebut. Mirna yang kebetulan sedang berada di ruang tengah langsu
Sekitar pukul setengah sepuluh siang, Dewi mengajak Lintar berkunjung ke rumah sahabat baiknya yang tidak jauh dari lokasi kediamannya. "Kamu ikut aku ya," kata Dewi lirih. Lintar berpaling ke arah Dewi, lalu menyahut, "Ke mana, Wi?" "Ke rumah sahabatku, kamu hari ini tidak ada acara lain, 'kan?" "Hari ini, aku sengaja datang karena aku sedang tidak ada aktivitas. Pokoknya hari ini spesial untuk menemani kamu," jawab Lintar tersenyum lebar memandang wajah Dewi "Ya, sudah. Kamu ikut aku saja! Aku mau bilang dulu ke Mirna, tunggu sebentar!" Dewi bangkit dan langsung melangkah menaiki anak tangga menuju ke sebuah ruangan yang ada di lantai atas. "Mir! Mirna!" teriak Dewi. Dengan cepat, Mirna pun langsung menyahut panggilan sang nyonya, "Iya, Bu." Mirna langsung melangkah menghampiri Dewi yang sudah ada di depan pintu ruangan tempat keberadaannya. "Mohon maaf, ada apa, Bu?" tanya Mirna ketika sudah berada di hadapan Dewi. "Kamu hati-hati di rumah! Aku mau keluar sebentar," jawab
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan Lintar sudah berhenti di bahu jalan. Tepatnya di depan pintu gerbang rumah mewah milik rekan bisnis Dewi. Lintar langsung menyalakan klakson dua kali, 'Tid! Tid!' Perlahan pintu gerbang rumah mewah itu terbuka dengan sendirinya. Lintar kembali menginjak gas melajukan mobilnya masuk ke dalam halaman rumah tersebut. Tampak dari kejauhan seorang wanita cantik tinggi semampai, berkulit putih tengah berdiri di beranda rumah tersebut sambil tersenyum lebar menyambut kedatangan Dewi dan Lintar. "Itu rekan bisnis kamu, Wi?" tanya Lintar menghentikan laju mobilnya tepat di area parkir rumah mewah itu. "Iya, dia Alena sahabat dan rekan bisnis aku," jawab Dewi lirih. Dengan demikian, mereka langsung keluar dari mobil, dan segera melangkah menghampiri Alena yang sudah menunggu mereka. "Selamat siang Ibu direktur utama," sapa Dewi langsung memeluk tubuh Alena. "Ah, kamu. Aku nunggu kamu dari pagi, kenapa baru datang?" "Maaf, Al. Tadi ada sedik
Dengan sikap ramah, Dewi langsung memesan makanan dan minuman kepada pelayan tersebut. "Aku pesan ikan mas bakar dan terong balado, jangan lupa lauk pendampingnya," kata Dewi lirih. "Baik, Bu. Terus minumannya apa, Bu?" jawab pelayan itu balas bertanya. "Es jeruk dan strawberry saja, Mbak!" Pelayan itu mengangguk pelan sambil menulis semua pesanan Dewi. Setelah itu, dia pamit dan langsung berlalu dari hadapan Dewi dan Lintar. "Suasananya sangat nyaman. Jujur saja, aku baru pertama kali ke sini," kata Lintar lirih. Dewi hanya tersenyum sambil memegangi tangan Lintar. Ia sangat senang melihat Lintar sangat menyukai tempat tersebut. Tidak lama kemudian, makanan dan minuman yang dipesan oleh Dewi sudah dihidangkan oleh pelayan restoran tersebut. Semua makanan dan minuman itu diletakkan di atas meja di hadapan Dewi dan Lintar. "Terima kasih banyak, Mbak," ucap Lintar. "Iya, Pak. Selamat menikmati," jawab pelayan itu dengan sikap ramahnya terhadap Lintar dan Dewi. "Ayo, Sayang. Kit