Share

4. Kedatangan Dani ke Rumah Lintar

Keesokan harinya ....

Sekitar pukul delapan pagi, Lintar menyempatkan diri berkunjung ke rumah Eva, karena ia ingin memastikan bahwa Eva benar-benar sudah memaafkan dirinya. Sebelum berangkat ke rumah Eva, Lintar meneleponnya terlebih dahulu.

Kebetulan saat itu Rasti tidak ada di rumah, sehingga Lintar dan Eva menjadi lebih leluasa lagi dalam melakukan perbincangan.

"Assalamualaikum," ucap Lintar lirih.

"Waalaikum salam," sahut Eva yang saat itu sedang berada di teras rumah. Eva langsung mempersilahkan duduk kepada sahabatnya itu, "Silakan duduk, Tar!" 

Lintar hanya mengangguk dan langsung duduk di sebuah kursi yang ada di teras rumah tersebut. Setelah itu, Lintar langsung berbincang dengan Eva.

"Aku harap kamu tidak marah lagi, karena sedikit pun aku tidak bermaksud hendak menyakiti perasaan kamu, Va," ucap Lintar di sela perbincangannya dengan Eva.

"Iya, Tar. Aku juga paham," jawab Eva masih bersikap dingin.

Lintar tersenyum lebar dan merasa lega mendengar perkataan dari sahabatnya itu. Meskipun ia tahu, bahwa Eva masih kecewa dengan keputusannya yang sudah menolak cinta sahabat baiknya itu. Setelah berbicara panjang lebar dengan Eva, Lintar langsung pamit kepada sahabatnya itu. Ia khawatir jika kedatangannya diketahui oleh Rasti, sudah barang tentu dia akan marah besar jika mengetahui Lintar datang menemui putrinya.

"Aku pulang sekarang ya, Va. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, takut ibumu keburu pulang," kata Lintar bangkit dari duduknya.

"Iya, Tar. Maafkan aku yah, aku terlalu banyak berharap sama kamu."

 "Iya, Va. Tidak apa-apa."

 Setelah itu, Lintar langsung mengucap salam dan berlalu dari hadapan Eva. Lintar melangkah dengan diiringi tatapan bola mata Eva yang berkaca-kaca, seolah Eva merasa sedih dengan semua keputusan Lintar yang tidak mau membuka hati untuknya.

Ketika Lintar sedang berjalan. Tiba-tiba saja, sebuah mobil sedan putih berhenti di bahu jalan yang hendak dilaluinya. Mobil tersebut dalam posisi menghalangi langkahnya. Lintar tampak kaget sekali dengan pemandangan seperti itu.

 "Astaghfirullahal'adzim," ucap Lintar langsung menghentikan langkahnya. 

Mobil tersebut adalah mobil Rasti yang baru saja pulang. Setelah menghentikan laju mobilnya, Rasti langsung keluar dari mobil tersebut. 

"He, kamu habis dari rumah saya?" tanya Rasti bernada tinggi. 

"I—iya, Bu," jawab Lintar gugup. 

Mendengar jawaban Lintar, Rasti tampak geram sekali. "Mau apa kamu datang ke rumah saya?" 

Lintar mencoba untuk tetap tenang dalam menghadapi sikap kasar Rasti. Lintar menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan ibu paruh baya itu, "Saya datang hanya untuk menemui putri Ibu." 

"Untuk apa?"

"Meminta maaf saja, Bu." Lintar menundukkan kepalanya, ia tak kuasa jika harus bertatap muka dengan wanita paruh baya yang sangat angkuh itu. 

"Kamu ini memang tidak tahu diri, yah! Saya sudah katakan berulang kali, kamu tidak boleh mendekati anak saya lagi!" tegas Rasti berdiri angkuh di hadapan Lintar. 

"Iya, Bu. Saya minta maaf, karena saya sudah lancang mendatangi Eva," jawab Lintar lirih. 

Lintar sangat menghargai Rasti, meskipun sikap wanita paruh baya itu sangatlah kasar dan tidak beretika. Namun, Lintar tetap berusaha untuk tidak terpancing emosi dalam menghadapi sikap Rasti.

"Ingat, yah! Sekali lagi saya tekankan, kamu jangan pernah coba-coba mendekati anak saya lagi! Kamu ini orang miskin, tidak patut bergaul dengan anak saya!" kata Rasti penuh hinaan. "Harusnya kamu ini ngaca! Siapa kamu, dan siapa Eva?" sambungnya menatap tajam ke arah Lintar yang sedari tadi hanya menundukkan kepala di hadapannya.

"Baik, Bu. Saya paham itu," jawab Lintar pelan.

Dengan demikian, Rasti langsung masuk kembali ke dalam mobilnya. Lintar langsung menepi mepet ke pinggiran pagar menghindari laju mobil yang dikemudikan Rasti yang hampir menyerempet dirinya.

"Ya, Allah! Semoga Allah menjadikan sikap buruknya Bu Rasti," desis Lintar kembali melanjutkan langkahnya menuju pulang.

Dengan demikian, Lintar pun memantapkan diri untuk tidak lagi bergaul dengan Eva. Ia tidak mau lagi ada masalah dengan ibunya Eva.

Setibanya di rumah, Lintar langsung menghubungi Devia, dan ia pun memberitahukan tentang kejadian tersebut kepada sahabatnya itu.

"Ya, Allah! Kok, bisa sih?" tanya Devia menanggapi perkataan dari Lintar.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Kenapa Bu Rasti begitu membenciku?" jawab Lintar bingung dengan sikap orang tuanya Eva.

"Ya, sudah. Lebih baik kamu menghindar saja dulu! Nanti aku akan memberikan penjelasan kepada Eva agar dia mengerti dengan situasi yang sedang kamu hadapi," saran Devia lirih.

"Iya, Dev. Terima kasih banyak," ucap Lintar.

Setelah itu, ia langsung mengakhiri perbincangannya melalui sambungan telepon dengan Devia. 

* * * 

Pukul lima sore ...

Dani datang berkunjung ke rumah Lintar. Seperti biasa, pemuda bertubuh kekar itu, selalu datang untuk sekadar berbincang dan ngopi bersama dengan Lintar yang merupakan sahabat baiknya.

Dani langsung mengetuk pintu, dan sedikit berteriak memanggil Lintar, "Tok! Tok! Lintar ...!"

"Siapa?" sahut Lintar dari dalam.

Mendengar jawaban dari sahabatnya, Dani hanya geleng-geleng kepala. Kemudian menjawab, "Ya, Allah! Kamu tidak kenal suaraku atau sudah amnesia?"

"Iya, kenal. Tukang kredit, 'kan?" sahut Lintar bergurau. Lintar bangkit dan langsung membuka pintu.

"Ya, Allah! Aku kira siapa? Ternyata yang datang seorang pemuda tampan yang selalu gagal bercinta," sambut Lintar bergurau, kemudian mempersilakan sahabatnya itu untuk segera masuk ke dalam rumahnya, "Silahkan masuk, Bro!"

"Kamu ngurung terus di dalam rumah, lama-lama bisa karatan loh," kata Dani sambil menepuk pundak sahabatnya itu.

"Jangan banyak bicara! Ayo, masuk!" hardik Lintar mendelik. "Lain kali kalau bertamu itu harus mengucapkan salam dulu. Jangan asal teriak-teriak!" gerutu Lintar langsung duduk di sopa yang ada di ruang tengah kediamannya.

"Iya, maaf, Bro." Dani memandangi wajah Lintar sambil tersenyum-senyum. "Kusut banget muka kamu, tidak punya uang, yah?" sambung Dani bertanya.

"Banyak pikiran, pusing aku," jawab Lintar menyandarkan tubuh di atas sopa yang sudah lapuk termakan usia. "Kalau uang sih masih banyak di bank," tambahnya.

Mendengar ucapan sahabatnya itu, Dani pun tertawa lepas, "Hahaha...."

"Maksudmu, Bank Emok?" tanya Dani lagi tak henti-hentinya bercanda.

"Enak saja!" hardik Lintar mendelik. 

"Mending, kita main catur, yuk! Bete aku." Dani langsung duduk di samping sahabatnya.

"Orang lagi pusing diajak main catur," jawab Lintar.

Dani tertawa kecil, kemudian berkata lagi, "Kamu pusing mikirin apa sih, Tar? Hidup kamu itu bebas, 'kan?"

Lintar menghela napas dalam-dalam. Lalu menjawab, "Iya, memang bebas. Tapi penuh dengan beban."

Dani tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan dari sahabatnya itu. Seakan-akan lucu didengarnya.

"He, kamu ini kesurupan jin, atau hantu penunggu pohon sawo? Dari tadi tertawa terus seperti orang gila saja!"

"Iya, maaf, Bro," sahut Dani. "Kamu tinggal bilang saja! Beban apa yang ada dalam diri kamu?" sambung Dani meluruskan pandangannya ke wajah sahabatnya.

"Mau kasih solusi apa mau ngejek lagi?" tanya Lintar tampak ragu.

"Biar sekalian aku bantu pundak, kalau kamu punya beban berat. Jadi kita sama-sama merasakan beratnya beban kamu itu, tapi jangan terlalu berlebihan beratnya! Bisa-bisa—"

"Tuh, 'kan mulai lagi. Aku sudah paham, kamu ini tidak pernah serius kalau diajak ngomong," potong Lintar.

"Sudah katakan saja! Mau curhat apa, sih?" tanya Dani meluruskan dua bola matanya ke wajah Lintar dengan sikap bersungguh-sungguh.

Lintar hanya menggaruk-garuk kepala tanpa gatal. Kemudian, ia menarik napas lagi. Lalu bertanya, "Memangnya kalau aku curhat boleh?"

"Katakan saja! Aku siap mendengarkan keluh kesah kamu!" jawab Dani tegas.

Lintar diam sejenak, seolah dirinya masih ragu untuk mengungkapkan persoalan yang tengah dialaminya itu. Namun, karena terus didesak oleh Dani, akhirnya ia pun mengatakannya langsung kepada sahabatnya itu, "Menurut kamu, sebaiknya aku ini terima cintanya Sekar jangan, yah?"

"Ya, elah. Aku kira pusing urusan bisnis, tidak tahunya hanya urusan perasaan cinta saja," kata Dani.

"Jawab saja dulu!" Lintar menggeser posisi duduknya lebih sejajar dengan sahabat baiknya itu.

"Jelaskan dulu! Kenapa tiba-tiba kamu bicara seperti ini?"

"Aku baru saja dimarahi Bu Rasti," jawab Lintar lirih.

Dani mengerenyitkan kening menatap tajam wajah LIntar. "Kok, bisa?"

Lintar menghela napas sejenak, seakan-akan dirinya tengah merasakan beban yang begitu besar dalam kehidupannya. Lantas, ia pun menjawab, "Aku dimarahi Bu Rasti gara-gara menolak cintanya si Eva. Jujur saja, aku sakit hati banget" kata Lintar menjelaskan. "Tapi, Eva masih saja mengharap balasan cintaku. Aku bingung," sambungnya.

"Terus, apa urusannya dengan Sekar?" tanya Dani lagi.

"Maksud aku gini, aku mau menghindar dari Eva dengan cara mencintai cewek lain, agar si Eva tidak terus-menerus mengharap balasan cinta dari aku. Aku cape, Dan. Tiap hari aku terus dimarahi Bu Rasti, dia tidak suka kalau aku dekat dengan anaknya."

"Lah ... kok, bisa? Kamu ini, 'kan tidak ada hubungan apa-apa dengan Eva?" tanya Dani tampak bingung.

"Iya, memang tidak ada hubungan apa-apa. Tapi Bu Rasti tetap tidak mau jika aku berteman dengan Eva," jawab Lintar memperjelas perkataannya. "Makanya aku putuskan untuk menghindar dari Eva dan akan menerima Sekar sebagai kekasihku, agar Eva tidak lagi mengharapkan aku," sambung Lintar menuturkan.

Dani mengerutkan keningnya menatap wajah Lintar. Sejatinya, ia merasa bingung harus memberikan solusi apa kepada sahabatnya itu.

"Kok, malah diam sih?" tanya Lintar. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status