Keesokan harinya ....
Sekitar pukul delapan pagi, Lintar menyempatkan diri berkunjung ke rumah Eva, karena ia ingin memastikan bahwa Eva benar-benar sudah memaafkan dirinya. Sebelum berangkat ke rumah Eva, Lintar meneleponnya terlebih dahulu.
Kebetulan saat itu Rasti tidak ada di rumah, sehingga Lintar dan Eva menjadi lebih leluasa lagi dalam melakukan perbincangan.
"Assalamualaikum," ucap Lintar lirih.
"Waalaikum salam," sahut Eva yang saat itu sedang berada di teras rumah. Eva langsung mempersilahkan duduk kepada sahabatnya itu, "Silakan duduk, Tar!"
Lintar hanya mengangguk dan langsung duduk di sebuah kursi yang ada di teras rumah tersebut. Setelah itu, Lintar langsung berbincang dengan Eva.
"Aku harap kamu tidak marah lagi, karena sedikit pun aku tidak bermaksud hendak menyakiti perasaan kamu, Va," ucap Lintar di sela perbincangannya dengan Eva.
"Iya, Tar. Aku juga paham," jawab Eva masih bersikap dingin.
Lintar tersenyum lebar dan merasa lega mendengar perkataan dari sahabatnya itu. Meskipun ia tahu, bahwa Eva masih kecewa dengan keputusannya yang sudah menolak cinta sahabat baiknya itu. Setelah berbicara panjang lebar dengan Eva, Lintar langsung pamit kepada sahabatnya itu. Ia khawatir jika kedatangannya diketahui oleh Rasti, sudah barang tentu dia akan marah besar jika mengetahui Lintar datang menemui putrinya.
"Aku pulang sekarang ya, Va. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, takut ibumu keburu pulang," kata Lintar bangkit dari duduknya.
"Iya, Tar. Maafkan aku yah, aku terlalu banyak berharap sama kamu."
"Iya, Va. Tidak apa-apa."
Setelah itu, Lintar langsung mengucap salam dan berlalu dari hadapan Eva. Lintar melangkah dengan diiringi tatapan bola mata Eva yang berkaca-kaca, seolah Eva merasa sedih dengan semua keputusan Lintar yang tidak mau membuka hati untuknya.
Ketika Lintar sedang berjalan. Tiba-tiba saja, sebuah mobil sedan putih berhenti di bahu jalan yang hendak dilaluinya. Mobil tersebut dalam posisi menghalangi langkahnya. Lintar tampak kaget sekali dengan pemandangan seperti itu.
"Astaghfirullahal'adzim," ucap Lintar langsung menghentikan langkahnya.
Mobil tersebut adalah mobil Rasti yang baru saja pulang. Setelah menghentikan laju mobilnya, Rasti langsung keluar dari mobil tersebut.
"He, kamu habis dari rumah saya?" tanya Rasti bernada tinggi.
"I—iya, Bu," jawab Lintar gugup.
Mendengar jawaban Lintar, Rasti tampak geram sekali. "Mau apa kamu datang ke rumah saya?"
Lintar mencoba untuk tetap tenang dalam menghadapi sikap kasar Rasti. Lintar menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan ibu paruh baya itu, "Saya datang hanya untuk menemui putri Ibu."
"Untuk apa?"
"Meminta maaf saja, Bu." Lintar menundukkan kepalanya, ia tak kuasa jika harus bertatap muka dengan wanita paruh baya yang sangat angkuh itu.
"Kamu ini memang tidak tahu diri, yah! Saya sudah katakan berulang kali, kamu tidak boleh mendekati anak saya lagi!" tegas Rasti berdiri angkuh di hadapan Lintar.
"Iya, Bu. Saya minta maaf, karena saya sudah lancang mendatangi Eva," jawab Lintar lirih.
Lintar sangat menghargai Rasti, meskipun sikap wanita paruh baya itu sangatlah kasar dan tidak beretika. Namun, Lintar tetap berusaha untuk tidak terpancing emosi dalam menghadapi sikap Rasti.
"Ingat, yah! Sekali lagi saya tekankan, kamu jangan pernah coba-coba mendekati anak saya lagi! Kamu ini orang miskin, tidak patut bergaul dengan anak saya!" kata Rasti penuh hinaan. "Harusnya kamu ini ngaca! Siapa kamu, dan siapa Eva?" sambungnya menatap tajam ke arah Lintar yang sedari tadi hanya menundukkan kepala di hadapannya.
"Baik, Bu. Saya paham itu," jawab Lintar pelan.
Dengan demikian, Rasti langsung masuk kembali ke dalam mobilnya. Lintar langsung menepi mepet ke pinggiran pagar menghindari laju mobil yang dikemudikan Rasti yang hampir menyerempet dirinya.
"Ya, Allah! Semoga Allah menjadikan sikap buruknya Bu Rasti," desis Lintar kembali melanjutkan langkahnya menuju pulang.
Dengan demikian, Lintar pun memantapkan diri untuk tidak lagi bergaul dengan Eva. Ia tidak mau lagi ada masalah dengan ibunya Eva.
Setibanya di rumah, Lintar langsung menghubungi Devia, dan ia pun memberitahukan tentang kejadian tersebut kepada sahabatnya itu.
"Ya, Allah! Kok, bisa sih?" tanya Devia menanggapi perkataan dari Lintar.
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Kenapa Bu Rasti begitu membenciku?" jawab Lintar bingung dengan sikap orang tuanya Eva.
"Ya, sudah. Lebih baik kamu menghindar saja dulu! Nanti aku akan memberikan penjelasan kepada Eva agar dia mengerti dengan situasi yang sedang kamu hadapi," saran Devia lirih.
"Iya, Dev. Terima kasih banyak," ucap Lintar.
Setelah itu, ia langsung mengakhiri perbincangannya melalui sambungan telepon dengan Devia.
* * *
Pukul lima sore ...
Dani datang berkunjung ke rumah Lintar. Seperti biasa, pemuda bertubuh kekar itu, selalu datang untuk sekadar berbincang dan ngopi bersama dengan Lintar yang merupakan sahabat baiknya.
Dani langsung mengetuk pintu, dan sedikit berteriak memanggil Lintar, "Tok! Tok! Lintar ...!"
"Siapa?" sahut Lintar dari dalam.
Mendengar jawaban dari sahabatnya, Dani hanya geleng-geleng kepala. Kemudian menjawab, "Ya, Allah! Kamu tidak kenal suaraku atau sudah amnesia?"
"Iya, kenal. Tukang kredit, 'kan?" sahut Lintar bergurau. Lintar bangkit dan langsung membuka pintu.
"Ya, Allah! Aku kira siapa? Ternyata yang datang seorang pemuda tampan yang selalu gagal bercinta," sambut Lintar bergurau, kemudian mempersilakan sahabatnya itu untuk segera masuk ke dalam rumahnya, "Silahkan masuk, Bro!"
"Kamu ngurung terus di dalam rumah, lama-lama bisa karatan loh," kata Dani sambil menepuk pundak sahabatnya itu.
"Jangan banyak bicara! Ayo, masuk!" hardik Lintar mendelik. "Lain kali kalau bertamu itu harus mengucapkan salam dulu. Jangan asal teriak-teriak!" gerutu Lintar langsung duduk di sopa yang ada di ruang tengah kediamannya.
"Iya, maaf, Bro." Dani memandangi wajah Lintar sambil tersenyum-senyum. "Kusut banget muka kamu, tidak punya uang, yah?" sambung Dani bertanya.
"Banyak pikiran, pusing aku," jawab Lintar menyandarkan tubuh di atas sopa yang sudah lapuk termakan usia. "Kalau uang sih masih banyak di bank," tambahnya.
Mendengar ucapan sahabatnya itu, Dani pun tertawa lepas, "Hahaha...."
"Maksudmu, Bank Emok?" tanya Dani lagi tak henti-hentinya bercanda.
"Enak saja!" hardik Lintar mendelik.
"Mending, kita main catur, yuk! Bete aku." Dani langsung duduk di samping sahabatnya.
"Orang lagi pusing diajak main catur," jawab Lintar.
Dani tertawa kecil, kemudian berkata lagi, "Kamu pusing mikirin apa sih, Tar? Hidup kamu itu bebas, 'kan?"
Lintar menghela napas dalam-dalam. Lalu menjawab, "Iya, memang bebas. Tapi penuh dengan beban."
Dani tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan dari sahabatnya itu. Seakan-akan lucu didengarnya.
"He, kamu ini kesurupan jin, atau hantu penunggu pohon sawo? Dari tadi tertawa terus seperti orang gila saja!"
"Iya, maaf, Bro," sahut Dani. "Kamu tinggal bilang saja! Beban apa yang ada dalam diri kamu?" sambung Dani meluruskan pandangannya ke wajah sahabatnya.
"Mau kasih solusi apa mau ngejek lagi?" tanya Lintar tampak ragu.
"Biar sekalian aku bantu pundak, kalau kamu punya beban berat. Jadi kita sama-sama merasakan beratnya beban kamu itu, tapi jangan terlalu berlebihan beratnya! Bisa-bisa—"
"Tuh, 'kan mulai lagi. Aku sudah paham, kamu ini tidak pernah serius kalau diajak ngomong," potong Lintar.
"Sudah katakan saja! Mau curhat apa, sih?" tanya Dani meluruskan dua bola matanya ke wajah Lintar dengan sikap bersungguh-sungguh.
Lintar hanya menggaruk-garuk kepala tanpa gatal. Kemudian, ia menarik napas lagi. Lalu bertanya, "Memangnya kalau aku curhat boleh?"
"Katakan saja! Aku siap mendengarkan keluh kesah kamu!" jawab Dani tegas.
Lintar diam sejenak, seolah dirinya masih ragu untuk mengungkapkan persoalan yang tengah dialaminya itu. Namun, karena terus didesak oleh Dani, akhirnya ia pun mengatakannya langsung kepada sahabatnya itu, "Menurut kamu, sebaiknya aku ini terima cintanya Sekar jangan, yah?"
"Ya, elah. Aku kira pusing urusan bisnis, tidak tahunya hanya urusan perasaan cinta saja," kata Dani.
"Jawab saja dulu!" Lintar menggeser posisi duduknya lebih sejajar dengan sahabat baiknya itu.
"Jelaskan dulu! Kenapa tiba-tiba kamu bicara seperti ini?"
"Aku baru saja dimarahi Bu Rasti," jawab Lintar lirih.
Dani mengerenyitkan kening menatap tajam wajah LIntar. "Kok, bisa?"
Lintar menghela napas sejenak, seakan-akan dirinya tengah merasakan beban yang begitu besar dalam kehidupannya. Lantas, ia pun menjawab, "Aku dimarahi Bu Rasti gara-gara menolak cintanya si Eva. Jujur saja, aku sakit hati banget" kata Lintar menjelaskan. "Tapi, Eva masih saja mengharap balasan cintaku. Aku bingung," sambungnya.
"Terus, apa urusannya dengan Sekar?" tanya Dani lagi.
"Maksud aku gini, aku mau menghindar dari Eva dengan cara mencintai cewek lain, agar si Eva tidak terus-menerus mengharap balasan cinta dari aku. Aku cape, Dan. Tiap hari aku terus dimarahi Bu Rasti, dia tidak suka kalau aku dekat dengan anaknya."
"Lah ... kok, bisa? Kamu ini, 'kan tidak ada hubungan apa-apa dengan Eva?" tanya Dani tampak bingung.
"Iya, memang tidak ada hubungan apa-apa. Tapi Bu Rasti tetap tidak mau jika aku berteman dengan Eva," jawab Lintar memperjelas perkataannya. "Makanya aku putuskan untuk menghindar dari Eva dan akan menerima Sekar sebagai kekasihku, agar Eva tidak lagi mengharapkan aku," sambung Lintar menuturkan.
Dani mengerutkan keningnya menatap wajah Lintar. Sejatinya, ia merasa bingung harus memberikan solusi apa kepada sahabatnya itu.
"Kok, malah diam sih?" tanya Lintar.
Dengan demikian, Dani pun langsung menjawab, "Menurut pandanganku, Sekar itu baik. Tapi—" kata Dani berhenti sejenak. "Kok, ada tapinya?" potong Lintar mengerutkan kening menatap wajah Dani. "Dengarkan dulu!" "Baik, aku akan mendengarkan saran kamu. Tapi ingat, jangan becanda!" Dani hanya tersenyum, kemudian melanjutkan perkataannya, "Kamu cocok dengan dia, tapi akan lebih cocok lagi jika kamu berhubungan dengan wanita lain! Jangan sama si Sekar, dia itu rumahnya dekat dengan si Eva. Jangan sampai hubungan kamu dengan si Sekar akan menumbuhkan rasa sakit hati dalam diri si Eva." Apa yang dikatakan oleh Dani memang benar adanya. Sejatinya, Dani tidak mau jika sahabatnya itu, kembali terlibat masalah jika memutuskan untuk berhubungan dengan Sekar yang merupakan tetangga dekatnya Eva. "Terus sama siapa, dong?" tanya Lintar bingung. "Ya, kamu carilah! Kamu ini, 'kan playboy, masa tidak bisa cari wanita yang lebih baik dari si Eva," jawab Dani sambil tersenyum lebar. Lintar hanya di
Lintar tersenyum mendengar pertanyaan dari Sekar. "Pertanyaannya membuat Kakak bingung harus jawab apa?" jawab Lintar meluruskan dua bola matanya ke wajah Sekar. "Kok, bingung? Kan, tinggal jawab saja, Kak," desak Sekar. Dengan demikian, Lintar pun langsung menjawab pertanyaan gadis cantik itu, "Antara Kakak dengan Eva tidak ada hubungan spesial. Kami hanya bersahabat saja sama seperti dengan hubungan kita," tandas Lintar menjelaskan. Dengan demikian, Sekar pun merasa lega mendengar jawaban tersebut. Seakan-akan, ia memiliki peluang besar untuk mendekati pemuda tampan yang selama ini sangat ia kagumi. "Memangnya ada hal apa, Kar? Kamu kok, bertanya masalah hubungan Kakak dengan Eva?" Ditanya seperti itu oleh Lintar, mendadak Sekar menjadi salah tingkah, bibirnya terasa kelu, dadanya pun mulai berdebar-debar. Apalagi ketika melihat dua bola mata sang pemuda tampan yang terus menatapnya. "Maaf ya, Kak. Sebenarnya—" Sekar tidak melanjutkan perkataannya, ia terdiam sejenak sambil men
Mira balas tersenyum, dalam hatinya berkata, 'Aku juga tahu, Kak Lintar tidak mungkin bisa servis ponselku. Ini hanya trik, agar aku bisa dekat dengan kamu, kakak tampan.' "Hai! Kamu kenapa, Mir?" tanya Lintar sedikit mengagetkan Mira yang terus memandanginya. "Ti–tidak apa-apa, Kak." Mira menyahut dengan gugupnya. "Kirain—" "Kirain kenapa, Kak?" "Kirain kamu kesambet," jawab Lintar tertawa lepas. "Kak Lintar jahat!" Mira tampak ketus. Namun, meskipun demikian, ia tetap bahagia bisa berada di dekat pria tampan yang sangat ia kagumi itu. 'Aku hanya ingin melihatmu bahagia meski pada akhirnya kau tidak bersamaku. Walau pada akhirnya aku tidak bersamamu maka yang paling aku inginkan adalah melihatmu bahagia. Ketahuilah aku akan merasa sedih ketika kau bersedih dan aku merasa tidak tega jika harus melihatmu menderita, meski aku bukan siapa-siapa bagimu namun aku berharap kau bahagia,' kata Mira dalam hati. Mira memiliki perasaan cinta dan sayang terhadap Lintar. Namun, ia tidak sep
Dengan gerakan cepat, Lintar langsung berlari menghampiri kedua pria tersebut. Tanpa basa-basi, Lintar langsung menghujamkan dua pukulan keras mengenai wajah dua pria itu, sehingga mereka terjatuh dengan mulut mengeluarkan darah segar, akibat hantaman tinju keras dari Lintar. "Kurang ajar! Siapa kau?" bentak salah seorang di antar kedua pria itu, tampak kesal dengan kehadiran Lintar. Tampang mereka terlihat sangar, berkulit hitam legam dan wajahnya dipenuhi banyak bekas luka. Sepertinya, mereka adalah para preman di tempat tersebut. Dari tampang mereka sudah jelas tergambar, bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan. "Aku tidak pernah menghendaki adanya perkelahian. Namun, kalianlah yang telah memulainya," kata Lintar berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi kedua pria itu. "Jangan banyak bicara! Hadapi saja aku!" tantang salah satu dari mereka bangkit dan langsung memburu Lintar dengan mengayunkan tangan hendak memukul ke bagian wajah Lintar. Lintar bukan
Setibanya di dalam restoran, mereka berdua langsung duduk saling berhadapan. Dada mereka mulai berdebar-debar ketika mata mereka saling berpandangan, keduanya terus saling memandang satu sama lain. Merasakan getaran-getaran yang tumbuh dalam jiwa dan pikiran mereka. Saling menilai, mengamati, dan menelaah kepribadian di antara mereka melalui pandangan mata. Sehingga, rasa suka sulit ditahan lagi, tumbuh dan berkembang seiring dengan kebersamaan mereka saat itu. "Terima kasih ya, Wi. Sudah mengajakku ke sini," kata Lintar lirih. Dewi hanya tersenyum sambil memegang erat telapak tangan Lintar. "Sama-sama. Justru aku yang harus berterima kasih kepada kamu." Dewi menyahut dengan suara lembutnya. Tidak lama kemudian, datang seorang pelayan dengan membawa catatan menu makanan. Pelayan tersebut langsung menyapa Dewi dan Lintar, “Selamat datang di restoran kami, Pak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan sikap ramahnya. Dewi langsung meraih catatan menu yang diberikan ol
Tidak terasa hari sudah semakin sore, dan sebentar lagi waktu magrib akan segera tiba. Dua jam sudah berlalu di antara kebersamaan indah Lintar dan Dewi di tempat tersebut. "Sebentar lagi mau magrib. Kita pulang sekarang ya, Tar!" ajak Dewi lirih. Lintar mengangguk sambil tersenyum. Lalu bangkit dari duduknya. "Ayo!" ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Dewi. "Aku ke rumah kamu yah! Sekalian lewat, tapi aku tidak mampir dulu!" kata Dewi meraih uluran tangan Lintar. Lintar hanya mengangguk dan langsung melangkah bergandengan tangan dengan wanita cantik yang baru ia kenal itu. Dunia terasa indah bagaikan milik mereka berdua, langkah kaki pun terasa ringan. Napas terasa segar, penuh warna yang hadir dalam kehidupan mereka saat itu. Itulah cinta, datang secara tiba-tiba—tanpa terduga. Tak ada proses panjang yang mengharuskan tumbuhya perasaan cinta di antara mereka, hanya satu pertemuan—mampu menyiram benih-benih cinta yang bersemayam sehingga tumbuh subur dan berkembang dalam s
Dewi menelepon Lintar cukup lama, selain meminta diantar ke Cikampek, ia pun sedikit berbincang mengenai hal lain yang bersangkutan dengan masalah perusahaan miliknya. Setelah hampir setengah jam melakukan perbincangan melalui sambungan telepon dengan Lintar, Dewi langsung mengakhiri perbincangan tersebut. Ia berpesan kepada Lintar agar senantiasa menjalankan ibadah dengan baik. Apa yang dikatakan oleh Dewi melalui sambungan telepon itu, menjadikan Lintar lebih semangat lagi. Seakan-akan kehidupannya kembali bersinar terang. Setelah itu, Lintar langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak. "Semoga malam ini aku mimpi indah bersama Dewi," desis Lintar tersenyum-senyum. Ia merebahkan tubuh di atas kasur, membaca doa sebelum tidur, dan langsung membenamkan tubuhnya ke dalam selimut besar. Keesokan harinya .... Tepat pukul setengah lima pagi, Lintar sudah terbangun dari tidurnya, pagi itu tidak seperti biasanya. Lintar tampak bersemangat, bangun dan langsung mandi, kemudi
Setelah berada di dalam rumah, Lintar langsung bersiap-siap. Ia memilih pakaian yang paling bagus yang hendak dipakai pagi itu, agar tampil lebih modis di hadapan janda cantik yang saat ini sudah mewarnai hidupnya. Sekitar pukul delapan lebih beberapa menit, Lintar sudah bersiap dengan dandanan rapi, tampak gagah dan terlihat tampan dengan mengenakan celana jins dan kemeja biru tua. Ia duduk santai di ruang tengah kediamannya menunggu telepon dari Dewi. Beberapa menit kemudian, dering ponsel terdengar nyaring. Lintar segera meraih ponselnya dan menerima panggilan masuk di ponselnya. Ternyata, itu memang telepon dari Dewi, janda cantik itu sudah menunggu Lintar di persimpangan jalan dekat gang yang mengarah ke rumahnya. Dengan demikian, Lintar bergegas bangkit langsung melangkah keluar, dan mengunci pintu rumahnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Lintar melangkahkan kedua kakinya menuju ke persimpangan jalan yang tidak jauh dari kediamannya. Sementara itu, Dewi sudah menunggunya d