Dengan demikian, Dani pun langsung menjawab, "Menurut pandanganku, Sekar itu baik. Tapi—" kata Dani berhenti sejenak.
"Kok, ada tapinya?" potong Lintar mengerutkan kening menatap wajah Dani.
"Dengarkan dulu!"
"Baik, aku akan mendengarkan saran kamu. Tapi ingat, jangan becanda!"
Dani hanya tersenyum, kemudian melanjutkan perkataannya, "Kamu cocok dengan dia, tapi akan lebih cocok lagi jika kamu berhubungan dengan wanita lain! Jangan sama si Sekar, dia itu rumahnya dekat dengan si Eva. Jangan sampai hubungan kamu dengan si Sekar akan menumbuhkan rasa sakit hati dalam diri si Eva."
Apa yang dikatakan oleh Dani memang benar adanya. Sejatinya, Dani tidak mau jika sahabatnya itu, kembali terlibat masalah jika memutuskan untuk berhubungan dengan Sekar yang merupakan tetangga dekatnya Eva.
"Terus sama siapa, dong?" tanya Lintar bingung.
"Ya, kamu carilah! Kamu ini, 'kan playboy, masa tidak bisa cari wanita yang lebih baik dari si Eva," jawab Dani sambil tersenyum lebar.
Lintar hanya diam saja mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu.
Kemudian Dani kembali berkata, "Kalau menurutku, kamu itu lebih cocoknya pacaran sama Ci Memen tukang jualan bapau itu!" seloroh Dani sambil tertawa lepas.
Mendengar perkataan Dani seperti itu, sontak Lintar langy melempar bantal ke arah Dani sambil berkata, "Bukannya memberikan jawaban yang benar malah meledek," hardik Lintar mendelik.
Dani terus tertawa, seakan-akan merasa puas melihat sahabatnya mulai tersulut emosi. Kemudian, ia berkata lagi, "Cari kekasih itu harus disesuaikan dengan kualitas umur, Tar! Biar kamu tidak merasa jomplang!" saran Dani tak henti-hentinya tertawa.
Lintar mengerutkan kening, menatap tajam wajah Dani. Seakan-akan, ia tidak memahami apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.
"Maksudmu?"
"Iya, pacaran sama wanita seumuran apa pun memang cocok-cocok saja. Tapi, 'kan tidak baik juga pria tampan seperti kamu punya kekasih seorang anak ABG seperti si Sekar, ditambah lagi dia itu tetangga dekatnya Eva," tandas Dani.
Lintar diam termangu, sejatinya ia mulai menyadari bahwa ucapan kawannya itu ada benarnya juga. "Ya, apa yang kamu katakan memang benar," desis Lintar.
Dengan demikian, Lintar mulai memutuskan untuk tidak menerima Sekar atau siapa pun gadis yang ada di sekitar tempat tinggalnya yang selama ini sudah terang-terangan menyatakan perasaan mereka terhadapnya.
Tidak terasa, perbincangan mereka terus berlanjut hingga menjelang tiba waktunya azan magrib. Setelah itu, Dani pun mengakhiri perbincangan tersebut. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Lintar, "Sudah mau magrib, aku pulang dulu, Tar."
"Tidak mau makan dulu, Dan?"
Dani menatap wajah Lintar, kemudian menjawab, "Makan daging tikus?" Dani tertawa sambil melangkah berlalu dari hadapan sahabat baiknya itu.
Lintar hanya bergeleng kepala sambil tertawa memandangi langkah Dani yang sudah melangkah keluar dari kediamannya. Lantas, ia kembali merebahkan tubuh di atas sopa. Saat itu, Lintar mulai menelaah ucapan Dani.
"Benar juga apa yang dikatakan Dani tadi, aku harus mencari calon pendamping yang usianya sedikit lebih tua dariku yang mapan dan yang berpendidikan, juga bukan orang sini," desis Lintar. "Berarti apa yang dikatakan oleh almarhum kakekku itu memang benar. Jodohku bukan seorang gadis dari kampung ini," desisnya lagi sambil tersenyum-senyum sendiri.
Hingga pada akhirnya, Lintar memutuskan untuk berhenti memberikan harapan bagi para gadis yang suka mendekatinya. Terutama bagi para gadis yang ada di sekitar kediamannya yang selama ini mengejar-ngejar cintanya.
"Ya, Allah! Maafkan hamba-Mu ini, karena selama ini hamba telah banyak memberikan harapan kepada gadis-gadis di kampung ini."
Lihat bangkit dan langsung keluar rumah, ia melangkah menuju sebuah warung yang berada di sebrang jalan tidak jauh dari kediamanya. Lintar hendak membeli makanan dan minuman ringan untuk persediaannya di rumah.
"Assalamualaikum, Bu," ucap Lintar berdiri di depan warung tersebut.
"Waalaikum salam," sahut sang pemilik warung dari dalam warung.
"Saya mau beli air mineral sama kue ini, Bu!" Lintar menunjukkan sebungkus kue kering yang ia raih dari meja warung tersebut.
"Iya, Nak. Minumannya ambil saja ada di depan!" jawab wanita paruh baya itu.
Lintar langsung mengambil sebotol air mineral berukuran besar dan langsung meletakkannya di atas meja.
"Ini kantung keseknya, Nak!" Pemilik warung itu menyerahkan kantong kresek merah kepada Lintar.
"Iya, Bu." Lintar langsung memasukan makanan dan minuman itu ke dalam kantong kresek tersebut. Setelah itu, ia langsung membayarnya.
"Maaf ya, Nak Lintar. Bukan maksud Ibu mau ikut campur dalam persoalan kamu dengan Bu Rasti, tapi Ibu hanya kasihan saja melihat kamu dimarahi Bu Rasti kemarin," ucap wanita paruh baya itu sambil meraih uang yang diberikan Lintar. "Sebaiknya kamu tidak usah dekat lagi dengan anaknya Bu Rasti!" sambungnya lirih.
"Iya, Bu. Orang kaya memang seperti itu, mungkin Bu Rasti tidak ingin melihat Eva bergaul dengan saya karena saya orang miskin dan hidup sebatang kara," jawab Lintar.
"Iya, Nak Lintar. Buka hany Ibu saja, semua tetangga di merasa prihatin melihat kamu dicaci maki sama Bu Rasti. Ibu harap kamu tetap bersabar dan tawakal! Insya Allah, orang baik sepertimu akan mendapatkan kedudukan yang baik pula," tandas wanita paruh baya itu.
"Iya, Bu. Terima kasih banyak," ucap Lintar.
Setelah itu, ia langsung pamit kepada sang pemilik warung, dan langsung berlalu dari warung tersebut, kembali melangkah menuju kediamannya.
'Kasihan si Lintar, hidupnya terus dibayangi oleh kebencian Bu Rasti,' kata pemilik warung itu dalam hati.
* * *
Pagi harinya, sekitar pukul setengah delapan. Lintar tengah melakukan aktivitas di kediamannya, karena hari itu merupakan hari libur nasional.
Selesai menjemur pakaian, Lintar menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan di depan rumah, ia merapikan pot bunga dan menyiram tanaman bunga kesayangannya itu.
"Kak Lintar!" panggil seorang gadis melangkah menghampiri Lintar yang tengah melakukan aktivitas di depan rumah.
Lintar menghentikan aktivitasnya sejenak, lantas berpaling ke arah gadis tersebut. "Ada, apa, Kar?" tanya Lintar menatap wajah seorang gadis yang usianya terpaut jauh darinya.
"Maaf, Kak. Sekar mengganggu, ada hal penting yang ingin Sekar bicarakan sama Kakak," jawab gadis itu lirih.
Lintar mengerutkan keningnya, menatap tajam wajah gadis tersebut. Lantas bertanya lagi, "Memangnya ada masalah apa, Kar?" Suara Lintar terdengar lembut menyentuh gendang telinga Sekar, membuat Sekar semakin salah tingkah.
Sekar terdiam sejenak. Seakan-akan, ia tengah mempersiapkan sesuatu yang hendak dibicarakan dengan pemuda tampan itu.
"Maaf, ya, Kak. Sekar hanya ingin mempertanyakan tentang kedekatan Kakak dengan Eva," jawab Sekar lirih.
Lintar hanya diam menyimak apa yang dikemukakan oleh gadis cantik berkulit putih itu.
Kemudian, Sekar kembali melanjutkan perkataannya, "Apakah Kakak punya hubungan spesial dengan dia?" tanya Sekar.
Lintar hanya tersenyum-senyum saja mendengar pertanyaan tersebut. Ia merasa bingung kenapa Sekar bertanya seperti itu?
"Kok, malah diam sih, Kak?" tanya Sekar penasaran.
Lintar tersenyum mendengar pertanyaan dari Sekar. "Pertanyaannya membuat Kakak bingung harus jawab apa?" jawab Lintar meluruskan dua bola matanya ke wajah Sekar. "Kok, bingung? Kan, tinggal jawab saja, Kak," desak Sekar. Dengan demikian, Lintar pun langsung menjawab pertanyaan gadis cantik itu, "Antara Kakak dengan Eva tidak ada hubungan spesial. Kami hanya bersahabat saja sama seperti dengan hubungan kita," tandas Lintar menjelaskan. Dengan demikian, Sekar pun merasa lega mendengar jawaban tersebut. Seakan-akan, ia memiliki peluang besar untuk mendekati pemuda tampan yang selama ini sangat ia kagumi. "Memangnya ada hal apa, Kar? Kamu kok, bertanya masalah hubungan Kakak dengan Eva?" Ditanya seperti itu oleh Lintar, mendadak Sekar menjadi salah tingkah, bibirnya terasa kelu, dadanya pun mulai berdebar-debar. Apalagi ketika melihat dua bola mata sang pemuda tampan yang terus menatapnya. "Maaf ya, Kak. Sebenarnya—" Sekar tidak melanjutkan perkataannya, ia terdiam sejenak sambil men
Mira balas tersenyum, dalam hatinya berkata, 'Aku juga tahu, Kak Lintar tidak mungkin bisa servis ponselku. Ini hanya trik, agar aku bisa dekat dengan kamu, kakak tampan.' "Hai! Kamu kenapa, Mir?" tanya Lintar sedikit mengagetkan Mira yang terus memandanginya. "Ti–tidak apa-apa, Kak." Mira menyahut dengan gugupnya. "Kirain—" "Kirain kenapa, Kak?" "Kirain kamu kesambet," jawab Lintar tertawa lepas. "Kak Lintar jahat!" Mira tampak ketus. Namun, meskipun demikian, ia tetap bahagia bisa berada di dekat pria tampan yang sangat ia kagumi itu. 'Aku hanya ingin melihatmu bahagia meski pada akhirnya kau tidak bersamaku. Walau pada akhirnya aku tidak bersamamu maka yang paling aku inginkan adalah melihatmu bahagia. Ketahuilah aku akan merasa sedih ketika kau bersedih dan aku merasa tidak tega jika harus melihatmu menderita, meski aku bukan siapa-siapa bagimu namun aku berharap kau bahagia,' kata Mira dalam hati. Mira memiliki perasaan cinta dan sayang terhadap Lintar. Namun, ia tidak sep
Dengan gerakan cepat, Lintar langsung berlari menghampiri kedua pria tersebut. Tanpa basa-basi, Lintar langsung menghujamkan dua pukulan keras mengenai wajah dua pria itu, sehingga mereka terjatuh dengan mulut mengeluarkan darah segar, akibat hantaman tinju keras dari Lintar. "Kurang ajar! Siapa kau?" bentak salah seorang di antar kedua pria itu, tampak kesal dengan kehadiran Lintar. Tampang mereka terlihat sangar, berkulit hitam legam dan wajahnya dipenuhi banyak bekas luka. Sepertinya, mereka adalah para preman di tempat tersebut. Dari tampang mereka sudah jelas tergambar, bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan. "Aku tidak pernah menghendaki adanya perkelahian. Namun, kalianlah yang telah memulainya," kata Lintar berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi kedua pria itu. "Jangan banyak bicara! Hadapi saja aku!" tantang salah satu dari mereka bangkit dan langsung memburu Lintar dengan mengayunkan tangan hendak memukul ke bagian wajah Lintar. Lintar bukan
Setibanya di dalam restoran, mereka berdua langsung duduk saling berhadapan. Dada mereka mulai berdebar-debar ketika mata mereka saling berpandangan, keduanya terus saling memandang satu sama lain. Merasakan getaran-getaran yang tumbuh dalam jiwa dan pikiran mereka. Saling menilai, mengamati, dan menelaah kepribadian di antara mereka melalui pandangan mata. Sehingga, rasa suka sulit ditahan lagi, tumbuh dan berkembang seiring dengan kebersamaan mereka saat itu. "Terima kasih ya, Wi. Sudah mengajakku ke sini," kata Lintar lirih. Dewi hanya tersenyum sambil memegang erat telapak tangan Lintar. "Sama-sama. Justru aku yang harus berterima kasih kepada kamu." Dewi menyahut dengan suara lembutnya. Tidak lama kemudian, datang seorang pelayan dengan membawa catatan menu makanan. Pelayan tersebut langsung menyapa Dewi dan Lintar, “Selamat datang di restoran kami, Pak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan sikap ramahnya. Dewi langsung meraih catatan menu yang diberikan ol
Tidak terasa hari sudah semakin sore, dan sebentar lagi waktu magrib akan segera tiba. Dua jam sudah berlalu di antara kebersamaan indah Lintar dan Dewi di tempat tersebut. "Sebentar lagi mau magrib. Kita pulang sekarang ya, Tar!" ajak Dewi lirih. Lintar mengangguk sambil tersenyum. Lalu bangkit dari duduknya. "Ayo!" ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Dewi. "Aku ke rumah kamu yah! Sekalian lewat, tapi aku tidak mampir dulu!" kata Dewi meraih uluran tangan Lintar. Lintar hanya mengangguk dan langsung melangkah bergandengan tangan dengan wanita cantik yang baru ia kenal itu. Dunia terasa indah bagaikan milik mereka berdua, langkah kaki pun terasa ringan. Napas terasa segar, penuh warna yang hadir dalam kehidupan mereka saat itu. Itulah cinta, datang secara tiba-tiba—tanpa terduga. Tak ada proses panjang yang mengharuskan tumbuhya perasaan cinta di antara mereka, hanya satu pertemuan—mampu menyiram benih-benih cinta yang bersemayam sehingga tumbuh subur dan berkembang dalam s
Dewi menelepon Lintar cukup lama, selain meminta diantar ke Cikampek, ia pun sedikit berbincang mengenai hal lain yang bersangkutan dengan masalah perusahaan miliknya. Setelah hampir setengah jam melakukan perbincangan melalui sambungan telepon dengan Lintar, Dewi langsung mengakhiri perbincangan tersebut. Ia berpesan kepada Lintar agar senantiasa menjalankan ibadah dengan baik. Apa yang dikatakan oleh Dewi melalui sambungan telepon itu, menjadikan Lintar lebih semangat lagi. Seakan-akan kehidupannya kembali bersinar terang. Setelah itu, Lintar langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak. "Semoga malam ini aku mimpi indah bersama Dewi," desis Lintar tersenyum-senyum. Ia merebahkan tubuh di atas kasur, membaca doa sebelum tidur, dan langsung membenamkan tubuhnya ke dalam selimut besar. Keesokan harinya .... Tepat pukul setengah lima pagi, Lintar sudah terbangun dari tidurnya, pagi itu tidak seperti biasanya. Lintar tampak bersemangat, bangun dan langsung mandi, kemudi
Setelah berada di dalam rumah, Lintar langsung bersiap-siap. Ia memilih pakaian yang paling bagus yang hendak dipakai pagi itu, agar tampil lebih modis di hadapan janda cantik yang saat ini sudah mewarnai hidupnya. Sekitar pukul delapan lebih beberapa menit, Lintar sudah bersiap dengan dandanan rapi, tampak gagah dan terlihat tampan dengan mengenakan celana jins dan kemeja biru tua. Ia duduk santai di ruang tengah kediamannya menunggu telepon dari Dewi. Beberapa menit kemudian, dering ponsel terdengar nyaring. Lintar segera meraih ponselnya dan menerima panggilan masuk di ponselnya. Ternyata, itu memang telepon dari Dewi, janda cantik itu sudah menunggu Lintar di persimpangan jalan dekat gang yang mengarah ke rumahnya. Dengan demikian, Lintar bergegas bangkit langsung melangkah keluar, dan mengunci pintu rumahnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Lintar melangkahkan kedua kakinya menuju ke persimpangan jalan yang tidak jauh dari kediamannya. Sementara itu, Dewi sudah menunggunya d
Pak Bagus langsung berjabat tangan dengan Dewi dan juga menyapa ramah kepada Lintar seraya memperkenalkan diri. "Senang bertemu dengan Bapak yang selalu bersemangat," kata Lintar tersenyum manis sedikit menyanjungi pria paruh baya itu. Setelah itu, Bagus langsung mengajak Lintar dan Dewi ke sebuah bangunan kecil yang ada di depan proyek. Bangunan tersebut merupakan kantor sementara untuk Bagus yang merupakan orang kepercayaan Dewi CEO perusahaan Wita Contractor—pihak pengembang di proyek tersebut. "Sebaiknya kita ngobrol di sana saja, Bu! Pak!” ajak Bagus dengan penuh keramahan. "Iya, Pak," jawab Dewi tangannya segera menggandeng tangan Lintar, kemudian melangkah menuju bangunan kantor di depan proyek tersebut. "Silakan, duduk!" kata Bagus mengarah kepada Dewi dan Lintar. Dewi dan Lintar hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, kemudian duduk di kursi yang ada di tempat itu. Tatap bola mata indahnya terus bergulir ke bagian bangunan proyek. Lantas, ia pun berkata lagi kepada B