Dengan demikian, Lintar langsung pamit kepada Edi dan segera melangkah menuju beranda rumah tersebut untuk menemui Devia dan Eva.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Edi, Devia saat itu tengah berbincang santai dengan Eva di teras rumahnya. Gadis cantik berkulit putih itu tampak senang ketika melihat kedatangan Lintar.
"Ya, Allah! Lintar! Akhirnya datang juga," desis Devia tersenyum lebar meluruskan pandangannya ke arah Lintar.
Lintar balas tersenyum sambil melangkah menuju ke arah beranda rumah sahabatnya itu. Setelah berada di hadapan Devia dan Eva, Lintar langsung mengucapkan salam, "Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam," jawab Devia dan Eva.
Devia bangkit dan langsung mempersilakan Lintar untuk duduk, "Silahkan duduk, Tar!"
"Iya, Dev. Terima kasih," jawab Lintar.
Lintar melangkah menuju ke arah kursi yang ada di teras rumah tersebut,, kemudian ia duduk bersebelahan dengan Eva.
"Kamu pasti mau menjemput Eva. Iya, 'kan?" tanya Devia tersenyum-senyum menatap wajah Lintar.
Lintar balas tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala. Kemudian berpaling ke arah Eva yang tampak biasa-biasa saja, tidak ada respon baik yang tersirat dari raut wajah Eva.
Sikap Eva tampak dingin tidak sebahagia Devia dalam menyambut kedatangan Lintar, Eva tidak mempedulikan adanya Lintar di sebelahnya. Terpancar jelas dari raut wajahnya, ada sebuah perasaan kesal dan benci terhadap Lintar yang sudah menolak mentah-mentah cinta dan kasih sayangnya.
Sebagai seorang tuan rumah, tentu Devia merasa tidak nyaman melihat sikap Eva seperti itu. Lantas, ia pun berkata, "Eva, kamu tidak boleh bersikap seperti ini! Kasihan Lintar yang sudah datang menemui kita di sini." Devia memandang lekat wajah sahabat baiknya itu.
"Maafkan aku, Va. Kita ini sudah lama bersahabat, aku tidak mau karena persoalan kecil, kita jadi bermusuhan," kata Lintar mulai angkat bicara.
"Percuma saja kita bersahabat. Kamu tidak menghargai perasaanku."
Eva menyahut tanpa menoleh sedikit pun ke arah Lintar, ia terus buang muka. Seakan-akan tidak mau melihat wajah Lintar.
"Eva! Lintar, 'kan sudah minta maaf," timpal Devia sedikit memberikan nasihat kepada sahabat baiknya itu.
Eva hanya diam saja tidak menyahut perkataan dari Devia, dua bola matanya tampak kosong memandang jauh ke depan. Entah apa yang tengah ia pandang kala itu?
Lintar menarik napas dalam-dalam, kemudian berpaling ke arah Devia yang sedari tadi memandangi dirinya. Lintar memberikan isyarat kepada Devia, seakan-akan meminta bantuan kepada sahabatnya itu agar mau membujuk Eva supaya tidak marah lagi kepadanya.
Devia pun memahami apa yang diisyaratkan oleh Lintar. Lantas, Devia bangkit dan sedikit menggeser kursi tempat duduknya lebih mendekat ke arah Eva. Kemudian, ia duduk kembali, dipandanginya wajah sahabatnya itu.
"Kamu tidak boleh bersikap seperti ini! Walau bagaimanapun, Lintar ini adalah sahabatmu, sahabat kita berdua! Kawan baik kita, dan merupakan seorang kakak yang baik untuk kita yang masih polos ini," kata Devia memberikan nasihat kepada kawan baiknya itu.
Eva hanya diam saja, ia tidak menyahut sepatah kata pun. Seakan-akan tidak mau mendengar nasihat dari Devia.
"Segala masalah di dunia ini akan hilang jika kita saling bicara, bukannya saling membicarakan satu sama lain." Devia terus memberikan nasihat kepada Eva dengan harapan sahabat baiknya itu tidak bersikap seperti itu lagi di hadapan Lintar.
'Persahabatan itu lembut seperti gelas, sekali pecah itu dapat diperbaiki tapi tidak dengan retakan dan serpihannya,' batin Eva.
Setelah lama diam, akhirnya Lintar mulai membuka mulut di hadapan Eva dan Devia. Ia menghela napas dalam-dalam, dua bola matanya lurus memandang wajah Eva yang duduk bersebelahan dengan Devia.
"Aku mohon ... tolong berikan waktu untuk aku! Supaya aku bisa memutuskan hal yang terbaik, aku menolak cintamu bukan karena tidak menyayangimu. Semua demi kebaikan persahabatan kita untuk saat ini!" timpal Lintar bersuara lirih. "Aku harap kamu mengerti, biarkanlah waktu yang akan menjawab semuanya!" sambung Lintar berusaha memberikan penjelasan atas keputusannya yang sudah menolak cinta Eva.
Demikianlah, setelah mendengar kalimat yang terucap dari mulut Lintar, Eva mulai mengangkat wajahnya. Gadis itu tersenyum dingin menatap wajah pria tampan yang sangat dicintainya.
"Ya, aku mengerti," kata Eva singkat, kemudian kembali menundukkan kepala.
Lintar dan Devia tersenyum lebar. Mereka saling berpandangan tampak bahagia, karena Eva sudah mulai membuka diri untuk memaafkan Lintar.
"Nah, seperti itu. Kita ini sahabat sejak dulu, jadi tidak elit banget kalau harus pecah gara-gara perasaan cinta," kata Devia sambil tertawa kecil.
"Ah, kamu, Dev. Bisa saja," hardik Eva mendelik ke arah Devia.
Devia pun tertawa lagi ketika melihat Eva yang tersipu-sipu mendengar perkataan darinya, "Hahaha...."
"Sekarang kamu ikut pulang denganku, yah?! Ibumu sangat mengkhawatirkan kamu, Va!" ajak Lintar lirih, dua bola matanya terus memandangi wajah Eva yang cantik itu.
Eva menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab, "Tidak usah, Tar! Aku bisa pulang sendiri, kok."
"Baiklah, kalau memang kamu tidak mau pulang bersamaku. Tapi kamu janji! Harus pulang hari ini!" kata Lintar terus memandangi wajah Eva yang duduk di sebelahnya. "Tadi ibumu datang ke rumahku. Ibumu bilang, jika hari ini kamu tidak pulang, maka dia akan melaporkan aku ke pihak kepolisian," tambah Lintar memberitahu Eva tentang ancaman dari ibunya.
"Iya, aku janji. Hari ini aku pasti pulang, kok. Maafkan atas sikap ibuku ya, Tar," sahut Eva meyakinkan Lintar yang masih penuh keraguan terhadap dirinya.
Dengan demikian, Lintar sedikit merasa lega. Lantas, ia pun langsung pamit saat itu juga kepada Devia dan juga Eva, karena Lintar ada urusan penting dengan Dani sore itu.
Setelah berlalunya pria tampan dari hadapannya, Eva pun kembali melanjutkan perbincangannya dengan Devia.
"Ternyata apa yang kamu katakan tadi benar, Dev. Lintar akhirnya datang juga ke sini," kata Eva lirih.
"Tapi—" Devia tidak melanjutkan perkataannya.
"Tapi kenapa, Dev?" tanya Eva tampak penasaran.
Sedikit ragu-ragu, Devia pun menjawab, "Itu, masalah ibumu mau melaporkan Lintar kepada polisi. Itu sungguhan, Va?"
"Ah, kamu! Kamu, 'kan tahu sendiri ibuku seperti apa?"
Dengan demikian, Devia pun tersenyum lebar. Lantas, ia coba mengalihkan pembicaraan.
"Aku yakin! Sebenarnya Lintar itu menyayangi kamu. Akan tetapi, ada hal lain yang menjadi penghalang, sehingga Lintar tidak menerima cinta kamu," imbuh Devia berkesimpulan.
Bola mata Eva tampak membulat menatap wajah Devia, ia penasaran dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu.
"Maksud kamu penghalang apa?" tanya Eva mengerutkan kening.
"Hemmm! Sudahlah, nanti juga kamu tahu sendiri apa yang menjadi penyebabnya," jawab Devia enggan mengatakan sesuatu yang baru ia duga. Tentang alasan Lintar menolak cinta sahabatnya itu.
"Kamu itu tidak jelas kalau bicara!" hardik Eva mendelik ke arah Devia.
"Sudahlah, kita bahas nanti saja! Sekarang kita makan dulu!" sahut Devia bangkit dan langsung mengajak Eva untuk segera masuk ke dalam rumah.
Keesokan harinya .... Sekitar pukul delapan pagi, Lintar menyempatkan diri berkunjung ke rumah Eva, karena ia ingin memastikan bahwa Eva benar-benar sudah memaafkan dirinya. Sebelum berangkat ke rumah Eva, Lintar meneleponnya terlebih dahulu. Kebetulan saat itu Rasti tidak ada di rumah, sehingga Lintar dan Eva menjadi lebih leluasa lagi dalam melakukan perbincangan. "Assalamualaikum," ucap Lintar lirih. "Waalaikum salam," sahut Eva yang saat itu sedang berada di teras rumah. Eva langsung mempersilahkan duduk kepada sahabatnya itu, "Silakan duduk, Tar!" Lintar hanya mengangguk dan langsung duduk di sebuah kursi yang ada di teras rumah tersebut. Setelah itu, Lintar langsung berbincang dengan Eva. "Aku harap kamu tidak marah lagi, karena sedikit pun aku tidak bermaksud hendak menyakiti perasaan kamu, Va," ucap Lintar di sela perbincangannya dengan Eva. "Iya, Tar. Aku juga paham," jawab Eva masih bersikap dingin. Lintar tersenyum lebar dan merasa lega mendengar perkataan dari saha
Dengan demikian, Dani pun langsung menjawab, "Menurut pandanganku, Sekar itu baik. Tapi—" kata Dani berhenti sejenak. "Kok, ada tapinya?" potong Lintar mengerutkan kening menatap wajah Dani. "Dengarkan dulu!" "Baik, aku akan mendengarkan saran kamu. Tapi ingat, jangan becanda!" Dani hanya tersenyum, kemudian melanjutkan perkataannya, "Kamu cocok dengan dia, tapi akan lebih cocok lagi jika kamu berhubungan dengan wanita lain! Jangan sama si Sekar, dia itu rumahnya dekat dengan si Eva. Jangan sampai hubungan kamu dengan si Sekar akan menumbuhkan rasa sakit hati dalam diri si Eva." Apa yang dikatakan oleh Dani memang benar adanya. Sejatinya, Dani tidak mau jika sahabatnya itu, kembali terlibat masalah jika memutuskan untuk berhubungan dengan Sekar yang merupakan tetangga dekatnya Eva. "Terus sama siapa, dong?" tanya Lintar bingung. "Ya, kamu carilah! Kamu ini, 'kan playboy, masa tidak bisa cari wanita yang lebih baik dari si Eva," jawab Dani sambil tersenyum lebar. Lintar hanya di
Lintar tersenyum mendengar pertanyaan dari Sekar. "Pertanyaannya membuat Kakak bingung harus jawab apa?" jawab Lintar meluruskan dua bola matanya ke wajah Sekar. "Kok, bingung? Kan, tinggal jawab saja, Kak," desak Sekar. Dengan demikian, Lintar pun langsung menjawab pertanyaan gadis cantik itu, "Antara Kakak dengan Eva tidak ada hubungan spesial. Kami hanya bersahabat saja sama seperti dengan hubungan kita," tandas Lintar menjelaskan. Dengan demikian, Sekar pun merasa lega mendengar jawaban tersebut. Seakan-akan, ia memiliki peluang besar untuk mendekati pemuda tampan yang selama ini sangat ia kagumi. "Memangnya ada hal apa, Kar? Kamu kok, bertanya masalah hubungan Kakak dengan Eva?" Ditanya seperti itu oleh Lintar, mendadak Sekar menjadi salah tingkah, bibirnya terasa kelu, dadanya pun mulai berdebar-debar. Apalagi ketika melihat dua bola mata sang pemuda tampan yang terus menatapnya. "Maaf ya, Kak. Sebenarnya—" Sekar tidak melanjutkan perkataannya, ia terdiam sejenak sambil men
Mira balas tersenyum, dalam hatinya berkata, 'Aku juga tahu, Kak Lintar tidak mungkin bisa servis ponselku. Ini hanya trik, agar aku bisa dekat dengan kamu, kakak tampan.' "Hai! Kamu kenapa, Mir?" tanya Lintar sedikit mengagetkan Mira yang terus memandanginya. "Ti–tidak apa-apa, Kak." Mira menyahut dengan gugupnya. "Kirain—" "Kirain kenapa, Kak?" "Kirain kamu kesambet," jawab Lintar tertawa lepas. "Kak Lintar jahat!" Mira tampak ketus. Namun, meskipun demikian, ia tetap bahagia bisa berada di dekat pria tampan yang sangat ia kagumi itu. 'Aku hanya ingin melihatmu bahagia meski pada akhirnya kau tidak bersamaku. Walau pada akhirnya aku tidak bersamamu maka yang paling aku inginkan adalah melihatmu bahagia. Ketahuilah aku akan merasa sedih ketika kau bersedih dan aku merasa tidak tega jika harus melihatmu menderita, meski aku bukan siapa-siapa bagimu namun aku berharap kau bahagia,' kata Mira dalam hati. Mira memiliki perasaan cinta dan sayang terhadap Lintar. Namun, ia tidak sep
Dengan gerakan cepat, Lintar langsung berlari menghampiri kedua pria tersebut. Tanpa basa-basi, Lintar langsung menghujamkan dua pukulan keras mengenai wajah dua pria itu, sehingga mereka terjatuh dengan mulut mengeluarkan darah segar, akibat hantaman tinju keras dari Lintar. "Kurang ajar! Siapa kau?" bentak salah seorang di antar kedua pria itu, tampak kesal dengan kehadiran Lintar. Tampang mereka terlihat sangar, berkulit hitam legam dan wajahnya dipenuhi banyak bekas luka. Sepertinya, mereka adalah para preman di tempat tersebut. Dari tampang mereka sudah jelas tergambar, bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan. "Aku tidak pernah menghendaki adanya perkelahian. Namun, kalianlah yang telah memulainya," kata Lintar berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi kedua pria itu. "Jangan banyak bicara! Hadapi saja aku!" tantang salah satu dari mereka bangkit dan langsung memburu Lintar dengan mengayunkan tangan hendak memukul ke bagian wajah Lintar. Lintar bukan
Setibanya di dalam restoran, mereka berdua langsung duduk saling berhadapan. Dada mereka mulai berdebar-debar ketika mata mereka saling berpandangan, keduanya terus saling memandang satu sama lain. Merasakan getaran-getaran yang tumbuh dalam jiwa dan pikiran mereka. Saling menilai, mengamati, dan menelaah kepribadian di antara mereka melalui pandangan mata. Sehingga, rasa suka sulit ditahan lagi, tumbuh dan berkembang seiring dengan kebersamaan mereka saat itu. "Terima kasih ya, Wi. Sudah mengajakku ke sini," kata Lintar lirih. Dewi hanya tersenyum sambil memegang erat telapak tangan Lintar. "Sama-sama. Justru aku yang harus berterima kasih kepada kamu." Dewi menyahut dengan suara lembutnya. Tidak lama kemudian, datang seorang pelayan dengan membawa catatan menu makanan. Pelayan tersebut langsung menyapa Dewi dan Lintar, “Selamat datang di restoran kami, Pak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan sikap ramahnya. Dewi langsung meraih catatan menu yang diberikan ol
Tidak terasa hari sudah semakin sore, dan sebentar lagi waktu magrib akan segera tiba. Dua jam sudah berlalu di antara kebersamaan indah Lintar dan Dewi di tempat tersebut. "Sebentar lagi mau magrib. Kita pulang sekarang ya, Tar!" ajak Dewi lirih. Lintar mengangguk sambil tersenyum. Lalu bangkit dari duduknya. "Ayo!" ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Dewi. "Aku ke rumah kamu yah! Sekalian lewat, tapi aku tidak mampir dulu!" kata Dewi meraih uluran tangan Lintar. Lintar hanya mengangguk dan langsung melangkah bergandengan tangan dengan wanita cantik yang baru ia kenal itu. Dunia terasa indah bagaikan milik mereka berdua, langkah kaki pun terasa ringan. Napas terasa segar, penuh warna yang hadir dalam kehidupan mereka saat itu. Itulah cinta, datang secara tiba-tiba—tanpa terduga. Tak ada proses panjang yang mengharuskan tumbuhya perasaan cinta di antara mereka, hanya satu pertemuan—mampu menyiram benih-benih cinta yang bersemayam sehingga tumbuh subur dan berkembang dalam s
Dewi menelepon Lintar cukup lama, selain meminta diantar ke Cikampek, ia pun sedikit berbincang mengenai hal lain yang bersangkutan dengan masalah perusahaan miliknya. Setelah hampir setengah jam melakukan perbincangan melalui sambungan telepon dengan Lintar, Dewi langsung mengakhiri perbincangan tersebut. Ia berpesan kepada Lintar agar senantiasa menjalankan ibadah dengan baik. Apa yang dikatakan oleh Dewi melalui sambungan telepon itu, menjadikan Lintar lebih semangat lagi. Seakan-akan kehidupannya kembali bersinar terang. Setelah itu, Lintar langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak. "Semoga malam ini aku mimpi indah bersama Dewi," desis Lintar tersenyum-senyum. Ia merebahkan tubuh di atas kasur, membaca doa sebelum tidur, dan langsung membenamkan tubuhnya ke dalam selimut besar. Keesokan harinya .... Tepat pukul setengah lima pagi, Lintar sudah terbangun dari tidurnya, pagi itu tidak seperti biasanya. Lintar tampak bersemangat, bangun dan langsung mandi, kemudi