LIMPAHAN air dari langit mengguyur secara tiba-tiba. Tiara tak sempat melakukan apa-apa. Tahu-tahu saja segala sesuatu di sekitarnya telah basah. Blus putih dan rok di atas lutut yang dikenakan si gadis perlahan tapi pasti turut basah.
Tiara memandang ke sekeliling dengan panik. Mencari-cari tempat untuk berteduh. Setidaknya bagian di mana laju air hujan dari langit terhalang lebatnya dedaunan. Tapi ia tak menemukan apa yang dicari.
Sambil menggerutu sendiri Tiara beringsut ke bawah sebatang pohon besar nan tinggi. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Demikian pula dengan tas tangan miliknya yang tergeletak di tanah.
"Oh, hapenya!" seru Tiara sembari terjingkat kaget begitu mengingat smartphone miliknya di dalam tas.
Kembali dengan susah payah Tiara beringsut, menggapai tas. Desahan kesal terdengar dari mulutnya begitu tangannya menyentuh benda tersebut. Sudah basah kuyup! Pastilah seluruh isi di dalamnya juga basah.
Buru-buru Tiara membuka risletin
SETELAH dapat menguasai diri, Tiara kemudian bertanya, "Terus sekarang gimana? Apa yang harus kita lakukan?" Abdi diam sejenak. Agaknya pemuda itu tengah berpikir-pikir. "Menurut saya, ini kalau Ibu setuju, akan lebih baik kalau kita kembali ke pondok yang tadi saja. Paling tidak nanti malam Ibu tidak tidur di atas tanah basah seperti ini," jawab Abdi kemudian. Sambil berkata begitu tangan Abdi menepuk-nepuk permukaan tanah yang basah oleh air hujan. Air bercipratan ke mana-mana akibat tepukan telapak tangan tersebut. Tiara mengamini pendapat Abdi. Ia sungguh tak dapat membayangkan jika harus berbaring di atas tanah becek penuh guguran daun kering. Bisa-bisa malah tidak tidur semalaman. Tapi, bagaimana cara untuk kembali ke sana? "Tapi kakiku sakit sekali untuk berjalan," ujar Tiara. Tanpa sadar ia sudah membongkar kebohongannya sendiri. Abdi tak langsung menanggapi. Sebenarnya pemuda itu juga merasa kurang nyaman dengan ide yang ada d
GELAP sudah membayang ketika akhirnya Tiara dan Abdi tiba di pondok. Hujan masih turun, namun sudah berubah menjadi rintik-rintik halus. Berganti kabut yang terlihat menggantung di mana-mana. Abdi langsung turunkan tubuh Tiara ke atas lantai pondok yang lembap. Gadis itu kemudian beringsut masuk lebih dalam, menuju ke tempat yang lebih kering. Tas tangannya yang basah kuyup dibawa serta, lalu isinya dibongkar. Mumpung suasana masih gelap tanpa cahaya, Tiara bermaksud ganti pakaian. Blazer di dalam tas ia keluarkan, lalu sekuat tenaga diperas agar tidak terlalu basah. Setelah beberapa kali memeras dan tak ada air yang mengucur, dilepasnya blus yang basah kuyup untuk diganti blazer. Sedangkan untuk bagian bawah gadis itu mau tak mau memakai celana panjang Abdi lagi. "Lumayanlah, setidaknya tidak basah kuyup seperti tadi," batin si gadis. Tiara ganti memeras blus dan roknya, untuk kemudian disampirkan ke atas dinding pembatas di tengah-tengah lan
HENING kembali menyelimuti keduanya. Abdi masih diselimuti perasaan aneh. Pemuda itu sama sekali tak menyangka bakal mendapat kecupan dari Tiara. Entah kecupan apa itu, tapi kecupan tetaplah sebuah kecupan yang bermakna keintiman. Sementara Tiara sendiri benar-benar menyadari apa yang telah ia perbuat tersebut. Sebuah kecupan yang diniatkannya sebagai ungkapan terima kasih. Sekaligus permintaan maaf karena telah membuat repot Abdi selama seharian ini. Di lain sisi, jauh di dalam hatinya Tiara mulai merasakan benih-benih kekaguman. Yang lambat laun mulai tersamar, apakah itu sekedar kekaguman biasa atau ada rona-rona perasaan tertentu yang lebih mendalam. “Kamu belum jawab lho, Abdi,” ucap Tiara kemudian, memecahkan keheningan. Sekali lagi Abdi tergeragap kaget. "Emm, tidak apa-apa, Bu. Buat pelajaran saja," jawab pemuda itu kemudian. Jawaban tersebut membuat Tiara menduga-duga, apakah Abdi kesal padanya? Tapi kalau pun memang begitu, T
KETIKA kemudian bangun di pagi hari yang berkabut, Tiara merasakan tubuhnya panas sekali. Dengan punggung telapak tangan disentuhnya kening untuk mengetahui seberapa panas suhu tubuhnya. Tiara jadi terkejut sendiri sewaktu merasakan suhu di keningnya. Masih belum yakin, kedua telapak tangannya diselipkan ke bawah ketiak. Seketika terdengar suara keluhan dari mulutnya. "Oh, panas sekali! Kenapa tubuhku ini?" batin Tiara. Tak salah lagi, Tiara mengalami demam. Perasaan panik tiba-tiba saja menyergap gadis itu. Dengan mata nanar pandangannya diedarkan ke sekitar pondok. Tak ada siapa-siapa. "Ke mana Abdi?" gumamnya mendapati sopir perusahannya itu tidak terlihat. Seperti sebelum-sebelumnya, Tiara mengamati api unggun untuk mengetahui sudah seberapa lama Abdi pergi. Hal itu dapat ditebak dari panjang-pendeknya kayu paling atas di perapian itu. Hati Tiara menjadi lega sewaktu melihat hanya terdapat potongan kecil kayu yang ujungnya menghita
ABDI lantas meninggalkan Tiara sendirian. Pemuda itu hendak menyiapkan menu makan pagi. Sarapan yang tertunda karena tadi pemuda itu langsung mengurusi Tiara begitu tahu atasannya itu demam tinggi. Ikan dan sukun yang dibawanya pulang segera diolah. Cara memasak yang dipakai masih seperti kemarin. Yakni dengan dibungkus daun, lalu dimasukkan ke dalam bola-bola tanah liat. Bulatan-bulatan tersebut lantas dikubur dalam bara api selama beberapa saat. Panas yang membakar permukaan tanah liat akan membuat sukun dan ikan di dalamnya matang. "Kita sarapan dulu, Bu," ajak Abdi setelah masakannya matang. Pemuda itu menata aneka hidangan buatannya di atas lantai pondok. Gerakannya sungguh sangat cekatan. Menu sarapan mereka kali itu masih sama seperti kemarin. Terdiri atas sukun, ikan sungai, serta beberapa dedaunan hijau. Meski sederhana, tapi kandungan gizinya tergolong lengkap. Setidaknya dalam hidangan tersebut ada karbohidrat di dalam sukun
SUASANA di antara kedua insan itu seketika berubah sendu. Tiara yang awalnya hanya menangis dalam diam, lambat laun berubah sesenggukan. Isak tangisnya terdengar menyayat hati. Gadis itu sudah tidak peduli lagi pada rasa sungkan dan malu pada Abdi. Juga tidak memusingkan posisinya sebagai direktur muda, yang notabene adalah atasan pemuda itu. Satu hal yang ingin dilakukan Tiara saat itu hanyalah menumpahkan segumpal rasa sesak di dalam dada. Ia ingin sumbatan tersebut hilang, agar perasaannya kembali menjadi lega. Sementara itu Abdi jadi bingung sendiri hendak berbuat apa. Pada akhirnya pemuda itu hanya dapat diam terpekur di tempatnya. Namun diam-diam Abdi merasa bersalah juga. Ia sadar tadi telah berkata begitu terus terang, yang tanpa ia sadari mungkin saja melukai hati Tiara. Sekali pun yang Abdi sampaikan tadi benar, tapi cara penyampaiannya semestinya dapat lebih diperlembut lagi. Pemilihan kata-katanya juga dapat lebih diperhalus.
UNTUK beberapa saat kedua anak manusia tersebut sama-sama diam. Tiara sudah kembali ke tempatnya semula, duduk bersandar di tiang pondok sembari memeluk kedua kaki. Dagunya ditempelkan di atas lutut. Sedangkan Abdi terlihat masih menata napasnya yang turun-naik akibat guncangan perasaan. Pemuda itu sungguh tidak menyangka bakal dipeluk Tiara sedemikian rupa. Sama sekali tak disangka-sangka. Sebagai pria yang mempunyai nafsu syahwat, tentu saja ada rasa senang pada diri Abdi. Setan di dalam dirinya pun langsung bekerja, membisikkan godaan-godaan untuk menjerumuskannya. Lihatlah, Tiara seorang gadis yang sangat cantik. Tubuhnya juga begitu menawan. Dan gadis itu sudah memelukmu, sedangkan di hutan ini hanya ada kalian berdua, tunggu apa lagi? Demikian bisikan-bisikan hawa nafsu di dalam diri Abdi bersuara. Namun benteng di dalam diri Abdi sangat kokoh. Ia tahu betul hal itu tidak boleh dilakukan. Hanya berdua-duaan laki-laki perempuan seperti mereka saj
DENGAN tatapan matanya yang masih agak mengantuk Tiara ikuti kepergian Abdi. Tubuh pemuda itu segera menghilang dalam kelebatan tanaman perdu yang memenuhi bagian bawah pepohonan. "Lihatlah, Tiara, pemuda itu selama beberapa hari mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menjagamu," batin Tiara saat tubuh Abdi sudah lenyap dari pandangan. "Pantas saja kalau dia merasa jengkel sewaktu aku membohonginya kemarin. Aku memang keterlaluan! Untung saja dia tidak menepati ucapannya yang tidak akan mau ambil peduli kalau terjadi apa-apa denganku," lanjutnya. Karena masih mengantuk, Tiara akhirnya kembali tertidur. Gadis itu sebetulnya juga merasakan tubuhnya pegal-pegal. Terutama pada bagian betis dan paha. Mungkin kelelahan akibat berjalan jauh tempo hari baru dirasakannya sekarang. Paduan rasa kantuk dan lelah membuat tidur direktur utama PT Tirya Parkindo itu sangat nyenyak sekali. Sangat nyenyak sekali, sampai-sampai ia tidak tahu jika Abd