Home / Urban / Jurnal Sang Dokter / BAB 2 Wanita Penghibur Part 1

Share

BAB 2 Wanita Penghibur Part 1

last update Last Updated: 2023-07-13 14:13:52

Wanita Penghibur Part 1

 

Romansa duduk di depan komputer lipatnya, mungkin ini yang bisa dia lakukan untuk mengobati pikiran dan hatinya yang dihantam rasa bersalah luar biasa. 

Romansa menuliskan segala hal yang bisa dia tulis, cerita yang bisa dia ceritakan mengenai seratus hari yang paling mengerikan di dalam hidupnya. 

Jurnal Romansa.

Hari ketiga puluh di klinik jagal manusia, aku mendapat pasien bernama Ayu, dia datang dengan pakaian serba seksi, dress putih, panjangnya hanya satu jengkal di bawah organ kewanitaannya, sangat pendek sekali, mungkin ketika dia menekuk badannya, dari belakang tubuhnya akan banyak pria hidung belang yang berkumpul, ya untuk sekedar melihat pemandangan luar biasa itu, yang tidak mereka miliki.

"Aku sudah membuat janji dengan dokter Arya," teriak Ayu.

"Baiklah, saya akan memeriksa keadaan anda," ucapku

"Tidak perlu, itu hanya akan menyusahkan, ini surat rujukannya, lakukan saja sesuai prosedur, sekarang dan secepatnya," ucap Ayu dengan pandangan sinis. 

Mendengar itu, aku hanya mengulaskan senyum, berusaha bersabar, dengan segala tingkah arogannya.

"Tidak bisa begitu, saya harus tahu mengenai pasien saya sebelum melakukan tindakan apapun," ucapku, masih dengan ketenangan yang aku pegang teguh. 

Aku membuka surat rujukan, di sana tertulis blighted ovum atau hamil kosong, ada kantung terbentuk di dalam rahimnya, namun tidak ada janin di dalamnya. Kondisi ini menyebabkan pasien harus melakukan proses terminasi kehamilan atau proses medis untuk mengakhiri masa kehamilan. Aku harus mengeluarkan kantong itu dengan cara kuretase, jika tidak, akan sangat berbahaya bagi ibu yang mengandung.

"Lakukan saja, secepat mungkin dan sebaik mungkin," ucap Ayu

"Tolong tunggu di sini sebentar, saya akan menemui rekan yang bertugas di ruang tindakan," ucapku.

 

Aku segera keluar dari ruang periksa dan menemui perawat Wiji, perawat yang menjadi asisten pribadiku dalam melakukan pemeriksaan dan tindakan.

"Wiji, apa kita bisa melakukan tindakan ini di sini?" tanyaku seraya menunjukkan surat rujukan itu. perawat Wiji terlihat membacanya dengan teliti dan seksama. 

"Tentu saja bisa dok, saya akan membantu dokter, ini sudah biasa untuk saya," ucap perawat Wiji yang usianya satu tahun lebih muda di bawahku, dia terlihat mengulaskan senyum.

"Kau serius? apa dokter Arya membiarkanku bekerja sendiri di hari pertama?" tanyaku bingung.

"Tentu saja, ini adalah hal mudah, saya akan segera menyiapkan alat alat di ruang tindakan," ucap perawat Wiji yang terlihat bersiap pergi ke ruang tindakan.

"Tunggu, tunggu Wiji, apa di sini tidak tersedia ultrasonografi (USG) saya harus memastikannya sebelum melakukan tindakan," tanyaku. 

"Dokter Arya sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh di tempat prakteknya, dokter harus mempercayainya, semuanya di bawah tanggung jawab dokter Arya, kita bisa menggunakan USG 2 dimensi selama proses tindakan, bukan untuk pemeriksaan," ucap perawat Wiji seraya tersenyum.

"USG 2 dimensi? yang benar saja, di zaman modern begini masih memakai seri lama? padahal dokter Arya terkenal sebagai dokter kaya yang memilik rumah sakit besar," gumamku dalam hati.

"Baiklah, siapkan semuanya," ucapku berusaha percaya bahwa perawat Wiji bisa menangani semuanya dengan baik.

Aku kembali ke dalam ruang periksa untuk menemui pasien yang bernama Ayu itu.

"Bagaimana? aku tidak ada waktu karna harus bekerja, segera selesaikan," ucap Ayu yang terdengar cukup tidak sopan untuk ukuran anak muda seperti dia.

"Saya mohon, jaga sikap ibu di klinik ini," ucapku.

"Baiklah, aku hanya tidak bisa menunggu lama. Kehamilan sialan ini membuatku tidak bisa bekerja dengan leluasa," ucap Ayu seraya memukul mukul perutnya.

"Apa yang kau katakan, kehamilan adalah sesuatu yang luar biasa, seharusnya kau senang dan juga bersedih karna dia tidak tumbuh dengan baik sebagaimana mestinya," ucapku sedikit emosi, namun aku berusaha untuk menahan kemarahan itu tidak keluar dari mulutku.

 

"Sudahlah, kau dan aku sama, aku yang membeli, kau yang menjual jasa," ucap Ayu.

Aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan dan aku tidak ingin mencari tahu, bahkan aku sudah tidak memiliki rasa hormat lagi. Namun sebagai dokter, aku tidak bisa seperti itu, aku harus sebisa mungkin menekan ego dan rasa sakit yang muncul di hati ini.

Aku masuk ke ruang tindakan, cukup terkejut karna perawat Wiji bisa menyiapkan semuanya dengan begitu baik, dia sendiri, tanpa bantuan orang lain, karna yang bekerja di klinik ini hanya aku sebagai dokter dan Wiji sebagai perawat yang membantu dokter bekerja.

"Saya akan menyiapkan pasiennya," ucap perawat Wiji.

"I-iya, terima kasih," ucapku. Aku mulai bersiap menjalankan prosedur yang aku sebut dengan operasi. 

Mulai dari mencuci tangan, memakai alat pelindung diri lengkap dari atas kepala hingga kaki. Penutup kepala, masker, googgles, Apron, gaun, sepatu boot dan sarung tangan, menempel lengkap ke tubuhku.

Aku melakukannya sesuai dengan standar operasional, yang aku pelajari sejak masih duduk di bangku kuliah kedokteran.

Perawat Wiji dan Ayu masuk ke dalam ruang tindakan, mereka terlihat tersenyum, bahkan Ayu tertawa melihat penampilanku.

"Kau mau melakukan operasi?" tanya Ayu. 

"Tentu, prosedur ini juga merupakan operasi, walaupun bukan operasi besar," ucapku yakin.

"Dokter, lain kali cukup memakai yang diperlukan saja," ucap perawat Wiji.

Mendengar itu aku mengerutkan dahi, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dia maksudkan, karna aku melakukan seuai standar yang berlaku dan ini sudah umum dilakukan.

"Kau tahu, bahkan dokter Arya tidak pernah memakai sarung tangan, dia hanya butuh waktu lima menit," ucap Ayu. Lagi lagi aku mengerutkan dahi, benar benar belum mengerti apa yang sedang dia bicarakan.

Prosedur dilaksanakan, sebenarnya itu bukan pengalaman yang pertama, aku pernah beberapa kali melakukan prosedur itu sewaktu masih menjadi co-asisten. Tidak terlalu sulit, aku sudah mempelajarinya, aku juga harus menunjukkan bahwa aku mampu, pada orang yang sudah mempekerjakanku, memberi gaji besar, untuk dapat menjalankan klinik ini seorang diri.

Aku mulai melakukan proses kuretase, perawat wiji terlihat cukup trampil dan cekatan. 

 

Mulai dari memposisikan pasien, memberikan obat injeksi dan menyiapkan pasien hingga aku siap melakukan tugasku, bahkan aku tidak perlu memerintahnya, dia sudah tahu tugasnya.

Setelahnya aku baru tahu dia sudah menemani dokter Arya melakukan semua itu sejak lulus SMA dan dokter Arya pula yang menyekolahkannya di akademi keperawatan.

Aku tertegun kaget, aku tidak mengeluarkan kantong kosong, melainkan ada janin kecil yang mulai hancur karna alat vakum. Teknik yang digunakan adalah vakum aspirasi / suction aspiration yang merupakan suatu teknik mengeluarkan isi rahim melalui leher rahim. 

Janin kecil itu aku perkirakan sebesar kacang merah, dengan panjang sekitar 2,7 sentimeter. Aku bisa memperkirakan kehamilan itu sekitar tujuh atau delapan minggu.

 

Aku terdiam di tengah proses tindakan, perawat Wiji menegurku supaya aku segera menyeleseikan tindakanku. 

Aku segera menyeleseikannya, hingga tidak ada bagian tersisa karna itu bisa menyebabkan perdarahan atau infeksi yang akan membahayakan pasien. 

Aku terdiam, mengamati jaringan yang tertampung di bengkok. Iya, aku mulai menyadarinya, itu bukan kehamilan kosong, apa mungkin janin tidak berkembang? tapi sepertinya kehamilan itu adalah kehamilan sehat. 

Aku terdiam, perawat Wiji dengan segera menyeleseikan tugasnya. Aku berdiri dari posisi dudukku, dengan wajah bingung dan juga pucat pasi.

Pasien sudah di bawa perawat Wiji ke ruang pemulihan, menyisakan diriku sendiri dalam kebingungan luar biasa.

"Dokter, lain kali jangan seperti itu. Berhenti di tengah jalan adalah hal yang berbahaya bagi pasien, bisa fatal akibatnya, dokter harus selalu fokus dengan apa yang dokter kerjakan," ucap perawat Wiji yang menghampiriku.

"Wiji, tolong jelaskan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi," teriakku pada perawat Wiji  seolah tidak mempedulikan rasa hormat terhadap sesama, harusnya aku bisa mengontrol diri, namun kemarahan sudah terlanjur terbentuk di dalam diriku.  

"Bukannya dokter sudah tahu, kita di sini bertugas menghentikan kehamilan, anggap saja kita melakukan terminasi kehamilan sebelum waktunya, istilahnya induksi haid, tidak masalah," ucap perawat Wiji yang kemudian meninggalkan ruang tindakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 57 Rahasia Terbesar Dokter Gede

    Rahasia Terbesar Dokter GedeDokter Gede dan perawat Dante terlihat berbicara cukup serius di lorong ruang perawatan VVIP.“Apa kau sudah menghapus semua data mengenai Romansa?” Tanya dokter Gede.“Sudah dok,” jawab perawat Dante.“Ya, jangan sampai ada orang lain yang tahu, apapun status mengenai dia, harus tetap tersimpan di Neverland selamanya,” ucap dokter Gede.“Ba-baik dok,” ucap perawat Dante.Dokter Gede terlihat menarik pikirannya ke belakang, ke satu waktu, menjadi titik mula Romansa berada di rumah sakit jiwa itu.Tiga tahun lalu, dokter Gede menemui dokter Arya, yang ternyata memiliki cerita di masa muda mereka.“Bawa dokter itu ke tempatmu, jangan sampai dia bicara lebih jauh dengan polisi,” ucap dokter Arya.“Aku sudah memperingatkanmu, jangan meneruskan bisnis itu, hentikan, kau dokter yang hebat, tidak perlu mengikuti jejak ayah dan kakekmu,” ucap dokter Gede. Mereka terlihat berbincang di sebuah ruangan, ruangan tertutup yang ada di kantor polisi.“Ya, kau tahu sendiri

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 56 Down Syndrome Bukan Salah Mama Part 2

    Down Syndrome Bukan Salah Mama Part 2“Skrining untuk down syndrome sudah dapat dilakukan sejak usia kehamilan 11 hingga 14 minggu melalu pemeriksaan USG dan tes darah di trimester pertama. Atau bisa juga dilakukan antara usia 15 minggu dan 20 minggu dengan tes darah yang disebut dengan tes skrining multiple marker serum,” jawabku.“Namun tidak 100% tes ini memberikan hasil yang akurat. Uji diagnostikpun bisa dilakukan, seperti memeriksa biopsi vili korionik (sampel plasenta), amniocentensis (cairan ketuban), chordocentesis (darah tali pusat) saat bayi masih berada di dalam kandungan, namun tidak semudah seperti yang dibayangkan, semua itu memiliki risiko komplikasi yang jauh lebih besar, sehingga harus dipertimbangkan dengan matang untuk memilih melakukan pemeriksaan itu,” lanjutku.“Jika bukan karma, kenapa selalu ibu yang disalahkan ketika memiliki anak seperti itu,” ucapnya yang diiringi dengan derai air mata.Aku menggenggam tangannya semakin erat, berusaha memahami sesuatu yang b

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 55 Down Syndrome Bukan Salah Mama

    Down Syndrome Bukan Salah MamaRomansa melihat semburat warna orens tergambar di sisi barat, matahari tenggelam yang begitu indah, terlihat sedikit samar. Dia memejamkan mata, membayangkan betapa indahnya matahari terbenam di pinggir pantai yang indah.“Aku sudah selesai dengan Savea, namun hatiku begitu bergetar, aku memikirkan Ibu Kayati, namun jariku sangat lelah dan sulit untuk digerakkan,” ucap Romansa di dalam hati seraya melihat ke arah jari jarinya yang begitu ingin sekali kembali mengetik.“Semoga kau dan anakmu selalu dalam kebahagiaan. Kau memutuskan untuk merawatnya sendiri, kau hebat, Tuhan akan mengasihimu,” ucap Romansa yang tanpa terasa butiran air mata menetes dengan begitu mudahnya.Tiba tiba dia mendengar suara pintu kamar diketuk, beberapa detik setelah itu terlihat perawat Nindi masuk.“Nona, ibu Erna berpesan untuk mengingatkan nona minum obat,” ucap perawat Nindi.“Iya perawat Nindi, terima kasih. Oh iya, apa bu Erna belum kembali? Apa dia cerita sedang ada keper

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 54 Aku Bukan SALOME Part 3

    Aku Bukan SALOME Part 3Romansa terlihat menarik nafas panjang, dia tidak boleh menggantungkan sebuah cerita. Dia pernah berjuang hingga akhir untuk membantu seseorang menemukan keadilan. Romansa menguatkan hati untuk meneruskan tulisannya, karna saat itu dia juga berjuang sekuat tenaga demi mendapatkan keadilan untuk Savea.Cerita Savea selanjutnya.Aku memeluk Savea dengan pelukan yang penuh kasih. Aku mengasihaninya, gadis malang ini, yang direnggut kebahagiaannya dengan paksa, oleh orang orang dalam raga berpendidikan dan rupawan. Aku merasakan kesedihan juga perasaan itu.Kelaminnya dikoyak, namun dia tidak tahu, hanya rasa sakit dan perih yang dirasakannya. Kesakitan yang akhirnya menjadi perasaan trauma yang mendalam.“Tolong dok, tolong ambil bayi ini, bayi yang hidup di dalam tubuh saya,” ucapnya lirih. Aku semakin memeluknya erat, semakin erat, tidak semudah itu, bukan jalan yang terbaik.“Tolong, jangan begini, dokter janji, dokter akan menolongmu, sebisa mungkin,” ucapku pa

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 53 Aku Bukan SALOME Part 2

    Aku Bukan SALOME Part 2Cukup lama aku dan perawat Wiji memberikan ruang untuk Savea, hingga akhirnya dia mulai tenang dan memutuskan untuk melanjutkan sesi konsultasi.“Apa tidak sebaiknya kau pulang dulu?” Tanyaku pada Savea.“Tidak dok, saya sudah lebih baik,” ucap Savea.“Kita bicara di sini? Tidak apa apa, tidak perlu di ruang pemeriksaan,” ucapku yang melihat Savea berusaha turun dari tempat tidur UGD.“Tidak apa apa?” Tanya Savea.“Ya, tentu saja,” ucapku yang kemudian mengambil kursi dan duduk di sebelahnya.“Apa walimu tidak ikut?” Tanyaku pada Savea. Mendengar pertanyaan itu dia hanya menggeleng.“Saya dari pulau lain, di kota ini untuk kuliah,” ucapnya.“Oh begitu ya, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau selalu menyebutkan kata salome,” tanyaku.“Saya khawatir salah mengartikannya,” lanjutku.“Ya, sejak peristiwa itu, semua orang di kampus menyebut saya SALOME, sungguh sangat menyakitkan, saya bahkan berpikir untuk bunuh diri,” ucapnya.“Ada apa?” Tanyaku menelisik.Aku m

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 52 Aku Bukan SALOME

    Aku Bukan SALOMEBeberapa menit sebelumnya.Simon terlihat begitu asik bersama perawat Nindi dan juga perawat Nika, mereka membahas mengenai kondisi salah satu pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa itu. Sebenarnya hanya kasus karangan Simon saja, tidak ada tugas mengenai itu, dia hanya membuat riset sendiri untuk membantu Rey mengelabui perawat di ruang perawatan VVIP.Tiba tiba dari jauh terdengar langkah kaki dari beberapa orang, Simon melirik ke arah lorong rumah sakit yang menuju ke arah ruang perawatan VVIP, dia melihat ada dokter Gede sedang berjalan bersama dengan perawat Dante.“Dok-dokter Gede,” gumam Simon dalam hati. Dia mulai gugup, tidak ingin ketahuan, dia segera mencari alasan supaya bisa secepatnya pergi.“Perawat Nindi, perawat Nika, saya ucapkan terima kasih. Saya ingin berlama lama dengan perawat perawat yang ramah juga baik seperti kalian, tapi sayangnya ada panggilan alam yang tidak bisa ditunda lagi,” ucap Simon seraya menunjukkan ekspresi seseorang yang sedang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status