Share

BAB 3 Wanita Penghibur Part 2

Wanita Penghibur Part 2

 

Aku mulai menyadari apa yang terjadi, oh Tuhan, seketika tangisku pecah. Aku telah membunuh janin yang tidak berdosa, janin yang seharusnya tumbuh dengan nyaman di dalam rahim ibunya, hingga berusia sembilan bulan, lalu dilahirkan, melihat dunia ini, merasakan hidup. Oh Tuhan.

Tubuhku jatuh ke lantai, menangis sejadi jadinya, aku tidak menyangka akan terjebak ke dalam peristiwa yang mematahkan hati ini. Aku merasa diriku kotor, bermandikan darah yang seperti lumpur kering. Awan mendung seketika datang, menghujaniku dengan kepedihan, lalu hujan itu berubah menjadi badai, menghancurkanku, seketika, membuatku tidak mampu berlari, bahkan untuk menyelamatkan diri. Aku sudah tamat, dalam bencana yang mengerikan.

Aku pingsan, tidak sadarkan diri, ini benar benar peristiwa traumatik yang begitu menyakitkan. Aku tidak sanggup, sangat menyesakkan dada, membuatku tidak mampu bernafas dengan benar, hanya menyisakan sesak yang menyiksa.

 

***

 

Aku masih tidak sadarkan diri, namun tidak berlangsung lama. Aku mulai sadar, sendirian, berusaha bangkit, tidak ada yang menolong. Bangkit sendiri dalam balutan luka yang tidak terlihat.

Aku duduk di lantai, memikirkan apa yang telah aku lakukan. Perbuatan kejiku, walaupun itu diluar pengetahuanku. Perawat Wiji kembali masuk ke dalam ruang Tindakan, melihatku dengan heran.

"Di mana wanita itu? aku ingin memukulnya sekuat mungkin," ucapku.

"Pasien sudah pergi dok, dokter Arya sudah meresepkan obat untuknya, dia tidak memiliki urusan lagi dengan dokter," ucap perawat Wiji. Dia terlihat biasa saja, tidak merasa bersalah sedikitpun.

Perawat Wiji terlihat membuka tabung vakum yang berisi darah pasien, hasil dari tindakan tadi. 

Dengan tenang, tanpa memperlihatkan ekspresi apapun, dia membuang darah juga jaringan yang ada di bengkok ke dalam kloset, lalu menekan flush yang ada di toilet duduk itu. 

 

Semuanya hilang, tersapu air, seperti tanpa jejak, tidak meninggalkan apapun lagi, bahkan rasa penasaran dan bersalah sekalipun.

"Apa kau sama sekali tidak merasa bersalah? aku tahu ini adalah kecurangan!" teriakku pada perawat Wiji.

"Harusnya yang menyesal adalah wanita itu, namun wanita itu terlihat biasa saja, bahkan pergi dengan perasaan yang tenang dan damai, seolah habis membuang sampah, tidak perlu melihatnya lagi," ucap perawat Wiji.

"Dokter tahu, dokter tidak perlu memikirkannya, wanita itu adalah pelacur yang bekerja di pusat kota, dia sudah datang ke tempat ini empat kali, dengan perasaan yang sama, seperti membuang sampah," lanjut perawat Wiji.

Dengan segala perasaan yang bergejolak di dalam diriku, aku melepas seluruh alat pelindung diri, bergegas masuk kedalam kamar mandi. 

Aku mengguyur seluruh tubuhku dengan air, menggunakan gayung, satu per satu, secepat mungkin. Aku membubuhkan sabun, sebanyak yang aku bisa, menggosok seluruh kulitku, nyaris lecet, namun tetap saja darah itu seolah masih menempel, sulit dihilangkan. 

Aku menjatuhkan diri ke lantai, meratapi segala kebodohan yang telah aku lakukan.

Aku menangis, sejadi jadinya, bahkan dengan menangis begitu keras, perasaan bersalah dan kecewa itu tak juga berkurang.

Setelah itu aku bergegas menemui dokter Arya, dengan perasaan marah luar biasa, aku tidak akan bekerja lagi di kliniknya, tidak akan pernah lagi. 

Aku akan pergi meninggalkan tempat ini dengan luka, yang membekas di dalam hatiku, namun ternyata harapan hanya tinggal harapan, nyatanya aku berada di klinik itu hampir dua tahun lamanya.

***

Romansa menghentikan tulisannya, dia terlihat menangis, lalu jatuh dari kursi. Perawat Erna yang melihat kejadian itu segera berlari ke arah Romansa, membantunya bangun dan menidurkannya di tempat tidur.

"Romansa, sadarlah," ucap perawat Erna dengan ekspresi khawatir.

"Romansa," ucapnya lembut seraya memegang tangan Romansa.

"Bu Erna," ucap Romansa.

"Romansa," ucap perawat Erna yang bersyukur karna Romansa telah sadar dari pingsannya.

"Kau membuat ibu khawatir," ucap perawat Erna.

"Aku harus meneruskan tulisan itu bu," ucap Romansa.

"Istirahatlah dulu," ucap perawat Erna.

"Tidak bu, aku harus menyelesaikannya," ucap Romansa bersikeras.

Perawat Erna tidak bisa mencegah keinginan Romansa. Dia hanya berusaha menguatkan Romansa, sebisa mungkin.

Romansa bangkit dari tempat tidurnya, lalu duduk lagi di depan laptop.

"Aku akan menunggu di luar," ucap perawat Erna.

"Kerjakan saja pekerjaan ibu, jangan pedulikan aku," ucap Romansa. 

Perawat Erna keluar dari ruang perawatan Romansa tanpa menjawab apa yang Romansa katakan.

Romansa terlihat menghela nafas panjang, menghapus butiran air mata, lalu melanjutkan ketikannya.

Lanjutan jurnal Romansa.

Aku menemui dokter Arya, di rumahnya, saat itu dia sedang berada di ruang kerjanya. 

Aku masuk ke ruang kerja itu, tanpa sengaja melihatnya sedang menghitung tumpukan uang yang terlihat begitu banyak.

Melihatku masuk ke ruangannya, dokter Arya segera memasukkan uang itu ke dalam laci, terlihat gugup dan khawatir.

"Dokter, maafkan saya, saya harus mengundurkan diri," ucapku seraya menyerahkan surat pengunduran diri yang baru saja kubuat.

Melihat hal itu, dokter Arya hanya menatapku, dalam diam, lalu tersenyum. 

Tidak ada ekspresi apapun yang istimewa, semuanya biasa saja. Sepertinya hanya aku sendiri yang menyimpan getaran penyesalan dan juga rasa bersalah.

Aku belum menikah, belum memiliki anak, belum pernah juga mengandung, namun memikirkan moment indah seperti itu saja sudah membuat hatiku sejuk. 

Aku membayangkan, Membawa janin yang terus berkembang selama sembilan bulan, seperti sebuah keadaan anomali yang tak terlihat namun bisa dirasakan.

Bibir akan terus melangitkan doa, berharap kesehatan dan keberuntungan seperti bayangan yang terus mengiringi langkah. Namun ini? bukankah sama kejamnya seperti seorang psikopat bernyali, yang membunuh korbannya dengan cara mutilasi, lalu menghancurkannya. Oh mengerikan, aku berada dalam situasi yang menyamakan diriku seperti seorang pembunuh berdarah dingin.

Dokter Arya mengambil amplop coklat dari dalam lacinya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorongnya ke arahku. Dia menunjukkan wajah tenang, seolah yang dilakukannya adalah hal benar atau bahkan biasa saja.

"Bacalah surat perjanjian yang sudah kau tanda tangani," pinta dokter Arya. Aku mengambil amplop itu, lalu membacanya.

Aku terperanjat, melihat salinan surat perjanjian yang sudah aku tanda tangani sendiri. 

"Kau lupa dengan itu? akan saya ingatkan lagi, kau harus tahu bahwa kau menandatanganinya sendiri, tanpa paksaan, dengan sadar," ucap dokter Arya. 

Aku membaca poin bahwa kontrak kerja berjalan selama lima tahun, jika aku menyalahi kontrak maka aku harus membayar denda sebesar lima ratus juta rupiah. 

Aku mengingat ingat, sepertinya aku tidak membaca poin ini. Benar juga kata orang tua dulu, jangan sembarangan menandatangani surat apapun sebelum membacanya dengan serius dan memahaminya dengan sadar. Aku menorehkan tanda tangan, yang berarti persetujuan, dengan sadar dan perasaan bahagia saat itu.

Aku terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak memiliki uang sebanyak itu, bagaimana bisa membayar dendanya.

"Aku bisa melaporkanmu ke polisi karena menyalahi kontrak, selain di penjara, kamu juga harus membayar denda," ucap dokter Arya.

"Sa-saya juga bisa melaporkan anda," ucapku berusaha berani. 

"Benarkah? kau yang melakukan tindakan itu, apa saya yang akan dipenjara?" ucap dokter Arya dengan mudahnya.

 

Tubuhku bergetar, nyaris jatuh terhuyung, kaki seperti tidak kuat lagi menahan tubuh untuk berdiri tegap. Aku menarik nafas panjang, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, semua yang dia katakan seketika menjatuhkan hatiku. Bagai buah simalakama, semua serba salah.

Aku keluar dari rumah dokter Arya, dengan mata yang terus saja menangis. 

Aku kembali ke klinik itu, masuk ke dalam kamar pribadiku yang ada di dalam klinik. 

Di sana aku menangis sejadi jadinya, berusaha mencari solusi, namun semakin mencari, semakin menemukan jalan buntu. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu? aku menyalahkan diriku sendiri, betapa bodohnya aku ini, bisa bisanya menandatangi kontrak yang mengerikan itu. Seperti pisau yang menghujam jantung, aku sendiri yang membeli pisau itu, mengasahnya dan menghujamkannya.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status