Wanita Penghibur Part 2
Aku mulai menyadari apa yang terjadi, oh Tuhan, seketika tangisku pecah. Aku telah membunuh janin yang tidak berdosa, janin yang seharusnya tumbuh dengan nyaman di dalam rahim ibunya, hingga berusia sembilan bulan, lalu dilahirkan, melihat dunia ini, merasakan hidup. Oh Tuhan.
Tubuhku jatuh ke lantai, menangis sejadi jadinya, aku tidak menyangka akan terjebak ke dalam peristiwa yang mematahkan hati ini. Aku merasa diriku kotor, bermandikan darah yang seperti lumpur kering. Awan mendung seketika datang, menghujaniku dengan kepedihan, lalu hujan itu berubah menjadi badai, menghancurkanku, seketika, membuatku tidak mampu berlari, bahkan untuk menyelamatkan diri. Aku sudah tamat, dalam bencana yang mengerikan.
Aku pingsan, tidak sadarkan diri, ini benar benar peristiwa traumatik yang begitu menyakitkan. Aku tidak sanggup, sangat menyesakkan dada, membuatku tidak mampu bernafas dengan benar, hanya menyisakan sesak yang menyiksa.
***
Aku masih tidak sadarkan diri, namun tidak berlangsung lama. Aku mulai sadar, sendirian, berusaha bangkit, tidak ada yang menolong. Bangkit sendiri dalam balutan luka yang tidak terlihat.
Aku duduk di lantai, memikirkan apa yang telah aku lakukan. Perbuatan kejiku, walaupun itu diluar pengetahuanku. Perawat Wiji kembali masuk ke dalam ruang Tindakan, melihatku dengan heran.
"Di mana wanita itu? aku ingin memukulnya sekuat mungkin," ucapku.
"Pasien sudah pergi dok, dokter Arya sudah meresepkan obat untuknya, dia tidak memiliki urusan lagi dengan dokter," ucap perawat Wiji. Dia terlihat biasa saja, tidak merasa bersalah sedikitpun.
Perawat Wiji terlihat membuka tabung vakum yang berisi darah pasien, hasil dari tindakan tadi.
Dengan tenang, tanpa memperlihatkan ekspresi apapun, dia membuang darah juga jaringan yang ada di bengkok ke dalam kloset, lalu menekan flush yang ada di toilet duduk itu.
Semuanya hilang, tersapu air, seperti tanpa jejak, tidak meninggalkan apapun lagi, bahkan rasa penasaran dan bersalah sekalipun.
"Apa kau sama sekali tidak merasa bersalah? aku tahu ini adalah kecurangan!" teriakku pada perawat Wiji.
"Harusnya yang menyesal adalah wanita itu, namun wanita itu terlihat biasa saja, bahkan pergi dengan perasaan yang tenang dan damai, seolah habis membuang sampah, tidak perlu melihatnya lagi," ucap perawat Wiji.
"Dokter tahu, dokter tidak perlu memikirkannya, wanita itu adalah pelacur yang bekerja di pusat kota, dia sudah datang ke tempat ini empat kali, dengan perasaan yang sama, seperti membuang sampah," lanjut perawat Wiji.
Dengan segala perasaan yang bergejolak di dalam diriku, aku melepas seluruh alat pelindung diri, bergegas masuk kedalam kamar mandi.
Aku mengguyur seluruh tubuhku dengan air, menggunakan gayung, satu per satu, secepat mungkin. Aku membubuhkan sabun, sebanyak yang aku bisa, menggosok seluruh kulitku, nyaris lecet, namun tetap saja darah itu seolah masih menempel, sulit dihilangkan.
Aku menjatuhkan diri ke lantai, meratapi segala kebodohan yang telah aku lakukan.
Aku menangis, sejadi jadinya, bahkan dengan menangis begitu keras, perasaan bersalah dan kecewa itu tak juga berkurang.
Setelah itu aku bergegas menemui dokter Arya, dengan perasaan marah luar biasa, aku tidak akan bekerja lagi di kliniknya, tidak akan pernah lagi.
Aku akan pergi meninggalkan tempat ini dengan luka, yang membekas di dalam hatiku, namun ternyata harapan hanya tinggal harapan, nyatanya aku berada di klinik itu hampir dua tahun lamanya.
***Romansa menghentikan tulisannya, dia terlihat menangis, lalu jatuh dari kursi. Perawat Erna yang melihat kejadian itu segera berlari ke arah Romansa, membantunya bangun dan menidurkannya di tempat tidur.
"Romansa, sadarlah," ucap perawat Erna dengan ekspresi khawatir.
"Romansa," ucapnya lembut seraya memegang tangan Romansa.
"Bu Erna," ucap Romansa.
"Romansa," ucap perawat Erna yang bersyukur karna Romansa telah sadar dari pingsannya.
"Kau membuat ibu khawatir," ucap perawat Erna.
"Aku harus meneruskan tulisan itu bu," ucap Romansa.
"Istirahatlah dulu," ucap perawat Erna.
"Tidak bu, aku harus menyelesaikannya," ucap Romansa bersikeras.
Perawat Erna tidak bisa mencegah keinginan Romansa. Dia hanya berusaha menguatkan Romansa, sebisa mungkin.
Romansa bangkit dari tempat tidurnya, lalu duduk lagi di depan laptop.
"Aku akan menunggu di luar," ucap perawat Erna.
"Kerjakan saja pekerjaan ibu, jangan pedulikan aku," ucap Romansa.
Perawat Erna keluar dari ruang perawatan Romansa tanpa menjawab apa yang Romansa katakan.
Romansa terlihat menghela nafas panjang, menghapus butiran air mata, lalu melanjutkan ketikannya.
Lanjutan jurnal Romansa.
Aku menemui dokter Arya, di rumahnya, saat itu dia sedang berada di ruang kerjanya.
Aku masuk ke ruang kerja itu, tanpa sengaja melihatnya sedang menghitung tumpukan uang yang terlihat begitu banyak.
Melihatku masuk ke ruangannya, dokter Arya segera memasukkan uang itu ke dalam laci, terlihat gugup dan khawatir.
"Dokter, maafkan saya, saya harus mengundurkan diri," ucapku seraya menyerahkan surat pengunduran diri yang baru saja kubuat.
Melihat hal itu, dokter Arya hanya menatapku, dalam diam, lalu tersenyum.
Tidak ada ekspresi apapun yang istimewa, semuanya biasa saja. Sepertinya hanya aku sendiri yang menyimpan getaran penyesalan dan juga rasa bersalah.
Aku belum menikah, belum memiliki anak, belum pernah juga mengandung, namun memikirkan moment indah seperti itu saja sudah membuat hatiku sejuk.
Aku membayangkan, Membawa janin yang terus berkembang selama sembilan bulan, seperti sebuah keadaan anomali yang tak terlihat namun bisa dirasakan.
Bibir akan terus melangitkan doa, berharap kesehatan dan keberuntungan seperti bayangan yang terus mengiringi langkah. Namun ini? bukankah sama kejamnya seperti seorang psikopat bernyali, yang membunuh korbannya dengan cara mutilasi, lalu menghancurkannya. Oh mengerikan, aku berada dalam situasi yang menyamakan diriku seperti seorang pembunuh berdarah dingin.
Dokter Arya mengambil amplop coklat dari dalam lacinya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorongnya ke arahku. Dia menunjukkan wajah tenang, seolah yang dilakukannya adalah hal benar atau bahkan biasa saja.
"Bacalah surat perjanjian yang sudah kau tanda tangani," pinta dokter Arya. Aku mengambil amplop itu, lalu membacanya.
Aku terperanjat, melihat salinan surat perjanjian yang sudah aku tanda tangani sendiri.
"Kau lupa dengan itu? akan saya ingatkan lagi, kau harus tahu bahwa kau menandatanganinya sendiri, tanpa paksaan, dengan sadar," ucap dokter Arya.
Aku membaca poin bahwa kontrak kerja berjalan selama lima tahun, jika aku menyalahi kontrak maka aku harus membayar denda sebesar lima ratus juta rupiah.
Aku mengingat ingat, sepertinya aku tidak membaca poin ini. Benar juga kata orang tua dulu, jangan sembarangan menandatangani surat apapun sebelum membacanya dengan serius dan memahaminya dengan sadar. Aku menorehkan tanda tangan, yang berarti persetujuan, dengan sadar dan perasaan bahagia saat itu.
Aku terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak memiliki uang sebanyak itu, bagaimana bisa membayar dendanya.
"Aku bisa melaporkanmu ke polisi karena menyalahi kontrak, selain di penjara, kamu juga harus membayar denda," ucap dokter Arya.
"Sa-saya juga bisa melaporkan anda," ucapku berusaha berani.
"Benarkah? kau yang melakukan tindakan itu, apa saya yang akan dipenjara?" ucap dokter Arya dengan mudahnya.
Tubuhku bergetar, nyaris jatuh terhuyung, kaki seperti tidak kuat lagi menahan tubuh untuk berdiri tegap. Aku menarik nafas panjang, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, semua yang dia katakan seketika menjatuhkan hatiku. Bagai buah simalakama, semua serba salah.
Aku keluar dari rumah dokter Arya, dengan mata yang terus saja menangis. Aku kembali ke klinik itu, masuk ke dalam kamar pribadiku yang ada di dalam klinik.Di sana aku menangis sejadi jadinya, berusaha mencari solusi, namun semakin mencari, semakin menemukan jalan buntu. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu? aku menyalahkan diriku sendiri, betapa bodohnya aku ini, bisa bisanya menandatangi kontrak yang mengerikan itu. Seperti pisau yang menghujam jantung, aku sendiri yang membeli pisau itu, mengasahnya dan menghujamkannya.
Wanita Penghibur Part 3Perawat Wiji mendatangiku. "Dokter, tidak perlu sedih begini, itu sudah profesinya," ucap perawat Wiji yang melihatku duduk di bangku ruang tunggu, sendirian, menerawang, dengan pandangan kosong. "Apa? profesi? hah," ucapku seolah mencibir. "Segala sesuatu yang menghasilkan uang dan dilakukan secara terus menerus bisa dibilang sebagai profesi," ucap perawat Wiji dengan tenang, tidak terpancing dengan kekesalanku, kekesalan yang sudah menjalar, merasuki seluruh tubuh. "Aku tidak setuju," ucapku dengan nada sedikit tinggi. "Tidak ada pembenaran, menjual diri bukan profesi, itu penyakit, apapun alasannya," lanjutku dengan mata tajam. "Penyakit itu harus disembuhkan. Berikan bimbingan yang baik, dia harus keluar dari zona nyamannya, pekerjaan yang dipikir mudah, menghasilkan banyak uang, kemewahan," ucapku lagi, masih dengan amarah yang menggebu. "Dngan satu tubuh, melayani banyak pria hidung belang. Aku bukannya ingin menjelekkan mereka, namun itu kenyataann
Terjebak Seks Bebas Part 1 Romansa berteriak teriak, membekap kepalanya, di atas tempat tidur, lalu meringkuk. Dia merasakan tekanan yang begitu keras, dalam diri, hati, juga pikirannya. Perawat Erna segera berlari, mendekap tubuh Roamansa, mengelus tubuhnya, berusaha memberi kekuatan. “Tenanglah Romansa, tenang, ada saya di sini, saya akan menjagamu,” ucap perawat Erna. “Tidak bu, tidak, dia mengikutiku, saya takut, saya takut,” ucap Romansa dengan wajah ketakutan. “Tidak ada yang mengikutimu, tidak ada,” ucap perawat Erna seraya tetap memeluk Romansa, bahkan dekapan itu semakin erat. Beberapa saat, Romansa berusaha menenangkan diri, mengendalikan segala hal yang meluap luap dari dalam dirinya. “Saya ingin menulis lagi, hanya itu yang bisa membuat saya lebih tenang,” ucap Romansa. “Iya, saya akan menyiapkannya untukmu, tenangkan dirimu,” ucap perawat Erna. Perawat Erna terlihat menyiapkan laptop Romansa, di atas meja yang kemarin dia gunakan untuk mengetik cerita. Perawat Er
Terjebak Seks Bebas Part 2 "Apa kau pernah melihat calon bayimu? yang sedang kau kandung,” tanyaku pada gadis kecil itu. “Dok, tidak perlu menanyakan apapun padanya, dia tidak mengerti, dia sedang tidak baik baik saja, tertekan," ucap ibu itu. "Baiklah, saya anggap jawabannya adalah belum pernah. Mungkin memang kalian belum pernah melihat bayi kecil itu, padahal pemeriksaan USG (ultrasonografi) sudah dilakukan. Dengan senang hati saya akan memberikan gambaran yang sempurna pada kalian," ucapku berusaha dengan suara yang lembut, tenang dan penuh kesabaran. "Dua belas minggu, ukuran janin itu sudah sebesar buah rambutan dengan berat kira kira 18 gram dan panjang 7,5 sentimeter. Seluruh tubuhnya mulai memenuhi Rahim kecil itu. Dia bersama plasenta, yang juga sudah berkembang dengan baik untuk bisa menyalurkan gizi dan nutrisi. Pada usia ini, otaknya sudah mulai berkembang pesat. Kuku tangan dan kaki, pita suara, organnya, akan mulai berkembang,” ucapku. “Ibu yang mengandung sudah bis
Terjebak Seks Bebas Part 3 Aku melihat gadis kecil ini, anak kecil yang baru beranjak menjadi remaja, masih jauh waktu yang dibutuhkan untuk dia memikirkan hal hal yang berhubungan dengan rumah tangga. "Saya boleh tahu siapa nama panjangmu?" tanyaku membuka pembicaraan. "Elisa Maharani," ucap Elisa sedikit ragu ragu dan sangat lirih. Elisa terlihat mengarahkan pandangan matanya ke bawah, seolah enggan untuk memperlihatkan wajahnya. "Wah, itu nama yang sangat indah. Dokter hanya ingin membantumu, membantu yang sebenarnya," ucapku berusaha tetap mengulaskan senyum. "Apa Dokter boleh meminjam tanganmu," ucapku lembut. Dengan ragu ragu Elisa mulai mengangkat pandangannya, lalu mengulurkan kedua tangan kecilnya. Aku meraih tangan itu, menggenggamnya, juga mengelusnya lembut, berharap Elisa tahu, bahwa aku memiliki ketulusan untuknya, ketulusan kasih yang benar benar aku miliki, bukan sebagai seorang dokter, melainkan teman, atau mungkin kakak, atau bahkan ibu. "Elisa, Elisa tahu, say
Terjebak Seks Bebas Part 4 Elisa melihat ke arah perutnya, perut yang sedang aku pegang, perut kecil, yang bahkan tidak akan disangka bahwa di dalam perut itu bersemayam janin kecil yang tumbuh dengan sehat. "Tapi dia tidak mau bertanggung jawab, dia tidak mengakuinya," ucap Elisa. "Ya, itulah yang terjadi. Semua yang kau alami bukanlah bukti cinta. Melainkan perampasan sepihak, perampasan, perampokan. Kau tahu, keperawanan adalah simbol suci bagi seorang perempuan. Sekalinya hilang tidak akan bisa dipulihkan lagi. Jika itu hilang sebelum adanya pernikahan, maka simbol suci itu juga akan hilang, hanya menjadi angin tanpa bekas, tak berkesan,” ucapku. “Keperawanan tidak seperti rambut dan kuku, yang bisa tumbuh lagi ketika sudah dipangkas. Keperawanan juga merupakan simbol dari moral dan harga diri seorang perempuan," ucapku berusaha menggunakan bahasa yang aku harap bisa dia pahami. "Sebentar, saya perlihatkan sesuatu padamu," ucapku yang kemudian mengambil dua buah minuman dingin
Terjebak Seks Bebas Part Akhir Tindakan harus dilakukan, terpaksa, tidak mampu aku cegah, aku tidak memiliki daya dan upaya. Akupun menangis, tidak rela janin itu pergi, namun apa yang bisa aku lakukan. Setelah Tindakan dan pasien sudah dipindahkan ke ruang observasi, aku menangis di ruang pemeriksaan, aku tidak bisa melupakan wajah polos Elisa, wajah yang tidak berdosa itu, Seorang gadis muda terjebak dalam ikatan cinta yang membuatnya tidak berdaya, lalu akhirnya terbelenggu dalam dosa, dosa yang sangat besar. Setelah hari itu, aku memutuskan untuk menjadi seorang konsultan, penerang, yang masuk ke setiap pintu sekolah sekolah untuk memberikan pendidikan seks secara gratis juga lugas. Sebuah ilmu yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang tabu dan tidak penting. Aku ingin mereka semua tahu dan mengerti betapa penting dan berharganya diri mereka. Seharusnya mereka semua menuliskan kaya "don't touch me" sebesar mungkin di kepala, punggung, dada dan semua yang bisa dilihat.
Menjual Keperawanan Part 1 Bunga dandelion memiliki bentuk yang unik, teksturnya sangat rapuh, di mana setiap bibit di dalam bunga akan terbang bahkan hanya dalam sekali tiupan saja. Bunga yang mampu tumbuh di mana saja, tidak peduli tempat yang tandus atau bahkan lembab. Dia akan terus bertahan, mudah beradaptasi dan tidak takut untuk berada di manapun. Dia bahkan tidak pernah membenci siapapun yang singgah hanya untuk mengambil sekilas foto, atau meniupnya satu per satu, karna dia yakin, biji yang tebang mampu tumbuh di manapun dia jatuh dan hinggap. Romansa duduk di taman yang ada di rumah sakit, tidak jauh dari ruang perawatannya. Dia nampak melihat dandelion yang bergoyang tersapu angin. “Rey, lihat wanita itu,” ucap Simon. “Dia cantik sekali,” lanjut Simon. “Kau ini, jaga pandanganmu, kita sedang di rumah sakit,” ucap Rey. “Ya siapa tahu dia dokter yang kau maksudkan, dia cantik sekali,” ucap Simon. “Benarkah?” tanya Rey yang kemudian dia melihat ke arah taman di mana wa
Menjual Keperawanan Part 2Suatu ketika, aku dituduh mencuri uang dari salah seorang murid. Dia adalah anak dari pejabat daerah. Tuduhan yang sangat menyakitkan, karna aku tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu.Aku memang bukan orang kaya, namun mencuri bukan menjadi pilihan, bahkan ketika terdesak sekalipun. Tuduhan itu membuat beasiswaku di tangguhkan, aku harus mengganti uang itu, cukup besar, bisa membeli satu unit sepeda motor keluaran terbaru. Aku sangat heran, kenapa seorang murid harus membawa uang sebanyak itu, apa dia ingin menunjukkan bahwa uang baginya hanya seperti lembaran buku? tidak dapat dipercaya, itu sangat tidak wajar.Setelahnya, aku mengetahui bahwa gadis itu sengaja menjebakku, dia iri dengan pencapaian yang aku dapatkan selama ini. Juara kelas dan rekomendasi beasiswa di perguruan tinggi terbaik. Aku sangat kecewa, dia benar benar akan menghancurkan hidupku.Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berusaha mencari pekerjaan sampingan, namun denga