Rumah Sakit Jiwa
Rey memiliki keyakinan bahwa Romansa, sang dokter aborsi berada di rumah sakit jiwa yang akan menjadi tempatnya menyeleseikan praktek kedokteran tahun terakhir.
"Wah apa itu benar?" tanya Simon.
"Kau tidak ingat? peristiwa tiga tahun lalu, itu sangat menggemparkan. Aku mendengar dari sumber yang dipercaya, dokter muda itu ada di sini," ucap Rey.
"Apa itu juga yang membuatmu memilih tempat ini?" tanya Simon.
"Ya, benar sekali, aku ingin membuktikan rumor yang sempat beredar, apakah hal itu benar benar terjadi, karna seperti yang kita tahu, beritanya menguap begitu saja," ucap Rey antusias.
"Kau tahu namanya?" tanya Simon.
"Romansa," ucap Rey yakin.
"Wah, nama yang indah, sayang sekali karirnya harus berakhir, binasa, layu sebelum berkembang," ucap Simon.
"Menurutku dia juga korban, mungkin karena itu juga dia mengalami gangguan kejiwaan, kita harus buktikan kebenarannya," ucap Rey.
"Untuk apa?" tanya Simon.
"Ya, karena aku sangat penasaran, aku sering memikirkan hal ini, aku tidak percaya tempat seperti itu benar benar ada," ucap Rey.
"Kau itu, sebaiknya jangan membuat masalah, ini praktek lapangan kita yang terakhir. Aku tidak mampu menunda kelulusan hanya karna rasa penasaranmu," ucap Simon.
"Ya, aku akan menemukannya," ucap Rey.
Dua mahasiswa dari universitas kedokteran ternama di Jakarta. Mereka akan menghabiskan waktu selama dua minggu di tempat ini untuk melaksanakan program pengabdian masyarakat.
Rata rata teman mereka memilih untuk ditempatkan di desa desa terpencil, namun demi mendapat nilai yang lebih tinggi, Rey dan Simon beserta delapan mahasiswa lain memilih rumah sakit jiwa ini, rumah sakit jiwa Neverland, rumah sakit jiwa yang dikelola secara mandiri.
Selain nilai yang lebih tinggi, rupanya Rey menyimpan misi khusus, dia ingin membuktikan rumor yang selama ini beredar, bahwa ada seorang mantan dokter aborsi yang dirawat di rumah sakit jiwa ini.
Berita penggerebekan itu cukup viral, namun seperti kasus yang lain, lambat laun beritanya hanya seperti debu, menghilang tanpa ada kejelasan.
Tidak ada yang tahu, apakah tenaga kesehatan itu berakhir di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, atau masih dengan bebas berkeliaran di luar sana. Menghirup udara bebas, bahkan melanjutkan pekerjaan kotornya, padahal sebelumnya mereka adalah para jagal manusia yang dengan tega membunuh calon calon manusia tidak berdosa dengan cara berlindung dibalik profesi mulia yang membanggakan.
"Apa kita bisa bertahan di tempat ini? gedungnya masih baru, tapi sepertinya cukup mengerikan, auranya menakutkan," ucap Simon yang terlihat berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit jiwa.
"Kau takut?" tanya Rey yang berjalan di sebelahnya. Di belakang dan di depan mereka juga ada beberapa mahasiswa lain.
"Enak saja, mana mungkin aku takut," ucap Simon.
"Semua rumah sakit itu memang auranya seperti ini, mistis," ucap Rey berbisik.
"Harusnya kau tidak menjadi dokter jika takut dengan hal semacam itu," lanjut Rey.
"Kau tahu, semua keluargaku dokter, mulai dari kakek buyut, nenek buyut, apa kata dunia jika aku tidak menjadi seperti mereka, wah aku tidak sanggup," ucap Simon yang sejujurnya memiliki jiwa humoris, lebih cocok menjadi komedian.
"Mana dunia tahu," ucap Rey.
"Kau ini Rey," ucap Simon seraya mengelus rambut kribonya.
Rey, yang memiliki nama panjang Reyndra Pratama Putra, adalah salah satu mahasiswa terbaik di fakultas kedokteran tempatnya belajar. Rasa ingin tahunya cukup tinggi, dan dia tidak akan berpuas diri sebelum apa yang mengganggu pikirannya mendapat jawaban.
Selain pintar, Rey juga memiliki visual yang begitu luar biasa. Tinggi, berkulit putih bersih. Wajahnya oval, matanya tajam, dengan alis sedikit tebal dan juga hidung tinggi namun tidak berlebihan. Tulang pipinya terbentuk sempurna, tegas, sangat proporsional. Rambutnya terbelah tengah, lurus, dan hitam berkilau. Senyum yang tergambar di wajahnya seolah menghanyutkan, apalagi ketika tertawa, seolah dunia ikut bahagia mendengarnya. Visual yang luar biasa untuk seorang mahasiswa kedokteran, terlihat setara dengan visual aktor aktor ternama.
Di dalam gedung rumah sakit jiwa, tepatnya ruang perawatan nomor 33, ada seorang wanita muda. Duduk di kursi kayu, menghadap jendela, melihat ke arah taman yang ditumbuhi bunga bunga indah.
Benar, dia adalah Romansa, dokter Romansa. Salah satu tenaga kesehatan yang ditangkap dalam peristiwa penggerebekan rumah aborsi tiga tahun lalu. Dia harus dibawa ke rumah sakit jiwa ini lantaran kondisi kejiwaannya yang tidak setabil.
Romansa terdiam, memandang dengan kekosongan, tidak ada sinar cahaya kebahagiaan, hanya penyesalan dan kepedihan yang bisa ditangkap dari sorot matanya. Semburat awan mendung, seolah menjadi peneduh di atas kepalanya, penuh hujan kepedihan yang siap turun membasahi tubuhnya.
Lalu, beberapa detik setelah itu, Romansa berteriak histeris, membuat semua tenaga medis yang mendengar teriakan itu gugup dan segera bertindak cepat untuk menenangkannya.
"Tidak apa apa, tenang saja," ucap perawat senior yang terlihat memeluknya erat.
"Lupakan saja, kau tidak bersalah, lupakan semua itu," ucap perawat yang bernama Erna, perawat senior yang usianya sekitar lima puluh tahun.
"Kamu tidak sendiri, ada kami semua, kami akan melindungimu, tenang saja," ucap perawat Erna yang masih berusaha menenangkan Romansa.
Tidak butuh waktu lama, Romansa mulai mendapat kesadarannya.
"Perawat Erna, tolong ambilkan laptop, saya akan mulai menuangkan semua yang ada di kepala, supaya sesak ini berkurang, bahkan lenyap," ucap Romansa.
"Iya, kau pasti akan siap, iya," ucap perawat Erna seraya mengelus rambut lurus Romansa.
Dokter yang bertanggung jawab atas perawatan Romansa menyarankan Romansa untuk menulis, menceritakan semuanya, yang dia alami, rasakan, menggali cerita yang tersembunyi di dalam hati, juga pikiran, supaya beban di hati dan pikirannya berkurang. Lewat tarian jemari, menuangkan isi kepala dan juga hati, meski dosa tidak mampu dihapus semudah itu, namun penyesalan dapat tersalur lewat berbagai jalan yang bisa ditempuh. Semua kisah yang tidak harus diceritakan, tidak harus meminta pengertian, cukup disimpan dalam kenangan, lewat tulisan yang tadinya dia pikir tidak akan pernah bisa dipublikasikan.
Selama enam bulan ini, Romansa terus berpikir dengan keras, apa mungkin dia bisa menggali kembali semua ingatan itu, sedangkan ketika mengingatnya sedikit saja dia akan mulai histeris dan menggila.
Romansa memantapkan hati, mungkin ini adalah jalan keluar yang bisa dia ambil supaya tidak terus dikejar dosa masa lalunya. Sedikit pengobat dalam ketidak mungkinan, sedikit pereda dalam nyeri berkepanjangan.
"Kau pasti bisa, pasti kuat, kau harus mencobanya," ucap perawat Erna yang sudah seperti ibunya sendiri.
"Saya akan membawakan laptopmu, kau harus bangkit dari keterpurukan ini, menulislah, namun dokter berpesan, itu hanya akan menjadi naskah pribadi, tersembunyi," lanjut perawat Erna yang kemudian membantu Romansa bangkit, lalu duduk di tempat tidur.
Perawat Erna meminta beberapa perawat yang berkumpul untuk pergi, perawat Erna sudah berhasil menenangkan Romansa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
"Apa aku bisa?" tanya Romansa.
"Iy, kau pasti bisa," ucap perawat Erna yang dengan penuh kasih menggenggam kedua tangan Romansa.
"Kepalaku dipenuhi dengan suara suara aneh, suara suara bayi yang terus saja menangis, saya tidak bisa menghentikannya," ucap Romansa.
"Tidak apa apa, semua akan berlalu," ucap perawat Erna seraya mengelus rambut Romansa yang panjang sebahu.
Wanita cantik berusia dua puluh delapan tahun, memiliki wajah nyaris sempurna, berkulit putih bersih, harus terjebak dalam situasi yang menghancurkan karir gemilangnya. Dia menyesal dan penyesalan itu harus dibayarnya seumur hidup.
***
Simon terlihat mendekat ke arah perawat yang sedang membantu seorang pasien dengan gangguan jiwa.
"Sus, apa benar di sini ada yang namanya Romansa? pasien," tanya Simon.
"Si-siapa?" tanya perawat wanita itu.
"Ro-man-sa," ucap Simon dengan sangat jelas.
"Ti-tidak, tidak ada nama itu di sini, kau dengar dari siapa ada pasien dengan nama itu di sini?" tanya perawat yang memiliki name tag dengan tulisan Nika.
"Sus, saya serius, saya dengar rumor itu," ucap Simon.
"Ma-maaf saya sedang sibuk," ucap Nika.
"Sus, ayolah, sus," ucap Simon.
Rey terlihat menarik tangan Simon.
"Mereka tidak akan menjawab, keberadaan dokter aborsi itu dirahasiakan, bodoh sekali kau ini," ucap Rey.
"Enak saja mengataiku bodoh," ucap Simon.
"Aku ini jenius, dari pada mencari, lebih baik bertanya. Tidak mau bertanya sesat di lautan, di makan ikan," ucap Simon kesal.
Wanita Penghibur Part 1 Romansa duduk di depan komputer lipatnya, mungkin ini yang bisa dia lakukan untuk mengobati pikiran dan hatinya yang dihantam rasa bersalah luar biasa. Romansa menuliskan segala hal yang bisa dia tulis, cerita yang bisa dia ceritakan mengenai seratus hari yang paling mengerikan di dalam hidupnya. Jurnal Romansa. Hari ketiga puluh di klinik jagal manusia, aku mendapat pasien bernama Ayu, dia datang dengan pakaian serba seksi, dress putih, panjangnya hanya satu jengkal di bawah organ kewanitaannya, sangat pendek sekali, mungkin ketika dia menekuk badannya, dari belakang tubuhnya akan banyak pria hidung belang yang berkumpul, ya untuk sekedar melihat pemandangan luar biasa itu, yang tidak mereka miliki. "Aku sudah membuat janji dengan dokter Arya," teriak Ayu. "Baiklah, saya akan memeriksa keadaan anda," ucapku "Tidak perlu, itu hanya akan menyusahkan, ini surat rujukannya, lakukan saja sesuai prosedur, sekarang dan secepatnya," ucap Ayu dengan pandangan s
Wanita Penghibur Part 2 Aku mulai menyadari apa yang terjadi, oh Tuhan, seketika tangisku pecah. Aku telah membunuh janin yang tidak berdosa, janin yang seharusnya tumbuh dengan nyaman di dalam rahim ibunya, hingga berusia sembilan bulan, lalu dilahirkan, melihat dunia ini, merasakan hidup. Oh Tuhan. Tubuhku jatuh ke lantai, menangis sejadi jadinya, aku tidak menyangka akan terjebak ke dalam peristiwa yang mematahkan hati ini. Aku merasa diriku kotor, bermandikan darah yang seperti lumpur kering. Awan mendung seketika datang, menghujaniku dengan kepedihan, lalu hujan itu berubah menjadi badai, menghancurkanku, seketika, membuatku tidak mampu berlari, bahkan untuk menyelamatkan diri. Aku sudah tamat, dalam bencana yang mengerikan. Aku pingsan, tidak sadarkan diri, ini benar benar peristiwa traumatik yang begitu menyakitkan. Aku tidak sanggup, sangat menyesakkan dada, membuatku tidak mampu bernafas dengan benar, hanya menyisakan sesak yang menyiksa. *** Aku masih tidak sadarkan diri
Wanita Penghibur Part 3Perawat Wiji mendatangiku. "Dokter, tidak perlu sedih begini, itu sudah profesinya," ucap perawat Wiji yang melihatku duduk di bangku ruang tunggu, sendirian, menerawang, dengan pandangan kosong. "Apa? profesi? hah," ucapku seolah mencibir. "Segala sesuatu yang menghasilkan uang dan dilakukan secara terus menerus bisa dibilang sebagai profesi," ucap perawat Wiji dengan tenang, tidak terpancing dengan kekesalanku, kekesalan yang sudah menjalar, merasuki seluruh tubuh. "Aku tidak setuju," ucapku dengan nada sedikit tinggi. "Tidak ada pembenaran, menjual diri bukan profesi, itu penyakit, apapun alasannya," lanjutku dengan mata tajam. "Penyakit itu harus disembuhkan. Berikan bimbingan yang baik, dia harus keluar dari zona nyamannya, pekerjaan yang dipikir mudah, menghasilkan banyak uang, kemewahan," ucapku lagi, masih dengan amarah yang menggebu. "Dngan satu tubuh, melayani banyak pria hidung belang. Aku bukannya ingin menjelekkan mereka, namun itu kenyataann
Terjebak Seks Bebas Part 1 Romansa berteriak teriak, membekap kepalanya, di atas tempat tidur, lalu meringkuk. Dia merasakan tekanan yang begitu keras, dalam diri, hati, juga pikirannya. Perawat Erna segera berlari, mendekap tubuh Roamansa, mengelus tubuhnya, berusaha memberi kekuatan. “Tenanglah Romansa, tenang, ada saya di sini, saya akan menjagamu,” ucap perawat Erna. “Tidak bu, tidak, dia mengikutiku, saya takut, saya takut,” ucap Romansa dengan wajah ketakutan. “Tidak ada yang mengikutimu, tidak ada,” ucap perawat Erna seraya tetap memeluk Romansa, bahkan dekapan itu semakin erat. Beberapa saat, Romansa berusaha menenangkan diri, mengendalikan segala hal yang meluap luap dari dalam dirinya. “Saya ingin menulis lagi, hanya itu yang bisa membuat saya lebih tenang,” ucap Romansa. “Iya, saya akan menyiapkannya untukmu, tenangkan dirimu,” ucap perawat Erna. Perawat Erna terlihat menyiapkan laptop Romansa, di atas meja yang kemarin dia gunakan untuk mengetik cerita. Perawat Er
Terjebak Seks Bebas Part 2 "Apa kau pernah melihat calon bayimu? yang sedang kau kandung,” tanyaku pada gadis kecil itu. “Dok, tidak perlu menanyakan apapun padanya, dia tidak mengerti, dia sedang tidak baik baik saja, tertekan," ucap ibu itu. "Baiklah, saya anggap jawabannya adalah belum pernah. Mungkin memang kalian belum pernah melihat bayi kecil itu, padahal pemeriksaan USG (ultrasonografi) sudah dilakukan. Dengan senang hati saya akan memberikan gambaran yang sempurna pada kalian," ucapku berusaha dengan suara yang lembut, tenang dan penuh kesabaran. "Dua belas minggu, ukuran janin itu sudah sebesar buah rambutan dengan berat kira kira 18 gram dan panjang 7,5 sentimeter. Seluruh tubuhnya mulai memenuhi Rahim kecil itu. Dia bersama plasenta, yang juga sudah berkembang dengan baik untuk bisa menyalurkan gizi dan nutrisi. Pada usia ini, otaknya sudah mulai berkembang pesat. Kuku tangan dan kaki, pita suara, organnya, akan mulai berkembang,” ucapku. “Ibu yang mengandung sudah bis
Terjebak Seks Bebas Part 3 Aku melihat gadis kecil ini, anak kecil yang baru beranjak menjadi remaja, masih jauh waktu yang dibutuhkan untuk dia memikirkan hal hal yang berhubungan dengan rumah tangga. "Saya boleh tahu siapa nama panjangmu?" tanyaku membuka pembicaraan. "Elisa Maharani," ucap Elisa sedikit ragu ragu dan sangat lirih. Elisa terlihat mengarahkan pandangan matanya ke bawah, seolah enggan untuk memperlihatkan wajahnya. "Wah, itu nama yang sangat indah. Dokter hanya ingin membantumu, membantu yang sebenarnya," ucapku berusaha tetap mengulaskan senyum. "Apa Dokter boleh meminjam tanganmu," ucapku lembut. Dengan ragu ragu Elisa mulai mengangkat pandangannya, lalu mengulurkan kedua tangan kecilnya. Aku meraih tangan itu, menggenggamnya, juga mengelusnya lembut, berharap Elisa tahu, bahwa aku memiliki ketulusan untuknya, ketulusan kasih yang benar benar aku miliki, bukan sebagai seorang dokter, melainkan teman, atau mungkin kakak, atau bahkan ibu. "Elisa, Elisa tahu, say
Terjebak Seks Bebas Part 4 Elisa melihat ke arah perutnya, perut yang sedang aku pegang, perut kecil, yang bahkan tidak akan disangka bahwa di dalam perut itu bersemayam janin kecil yang tumbuh dengan sehat. "Tapi dia tidak mau bertanggung jawab, dia tidak mengakuinya," ucap Elisa. "Ya, itulah yang terjadi. Semua yang kau alami bukanlah bukti cinta. Melainkan perampasan sepihak, perampasan, perampokan. Kau tahu, keperawanan adalah simbol suci bagi seorang perempuan. Sekalinya hilang tidak akan bisa dipulihkan lagi. Jika itu hilang sebelum adanya pernikahan, maka simbol suci itu juga akan hilang, hanya menjadi angin tanpa bekas, tak berkesan,” ucapku. “Keperawanan tidak seperti rambut dan kuku, yang bisa tumbuh lagi ketika sudah dipangkas. Keperawanan juga merupakan simbol dari moral dan harga diri seorang perempuan," ucapku berusaha menggunakan bahasa yang aku harap bisa dia pahami. "Sebentar, saya perlihatkan sesuatu padamu," ucapku yang kemudian mengambil dua buah minuman dingin
Terjebak Seks Bebas Part Akhir Tindakan harus dilakukan, terpaksa, tidak mampu aku cegah, aku tidak memiliki daya dan upaya. Akupun menangis, tidak rela janin itu pergi, namun apa yang bisa aku lakukan. Setelah Tindakan dan pasien sudah dipindahkan ke ruang observasi, aku menangis di ruang pemeriksaan, aku tidak bisa melupakan wajah polos Elisa, wajah yang tidak berdosa itu, Seorang gadis muda terjebak dalam ikatan cinta yang membuatnya tidak berdaya, lalu akhirnya terbelenggu dalam dosa, dosa yang sangat besar. Setelah hari itu, aku memutuskan untuk menjadi seorang konsultan, penerang, yang masuk ke setiap pintu sekolah sekolah untuk memberikan pendidikan seks secara gratis juga lugas. Sebuah ilmu yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang tabu dan tidak penting. Aku ingin mereka semua tahu dan mengerti betapa penting dan berharganya diri mereka. Seharusnya mereka semua menuliskan kaya "don't touch me" sebesar mungkin di kepala, punggung, dada dan semua yang bisa dilihat.