Share

Jurnal Sang Dokter
Jurnal Sang Dokter
Penulis: Nietha_setiaji

BAB 1 Rumah Sakit Jiwa

Rumah Sakit Jiwa

Rey memiliki keyakinan bahwa Romansa, sang dokter aborsi berada di rumah sakit jiwa yang akan menjadi tempatnya menyeleseikan praktek kedokteran tahun terakhir. 

"Wah apa itu benar?" tanya Simon.

"Kau tidak ingat? peristiwa tiga tahun lalu, itu sangat menggemparkan. Aku mendengar dari sumber yang dipercaya, dokter muda itu ada di sini," ucap Rey.

"Apa itu juga yang membuatmu memilih tempat ini?" tanya Simon.

"Ya, benar sekali, aku ingin membuktikan rumor yang sempat beredar, apakah hal itu benar benar terjadi, karna seperti yang kita tahu, beritanya menguap begitu saja," ucap Rey antusias.

"Kau tahu namanya?" tanya Simon.

"Romansa," ucap Rey yakin.

"Wah, nama yang indah, sayang sekali karirnya harus berakhir, binasa, layu sebelum berkembang," ucap Simon.

"Menurutku dia juga korban, mungkin karena itu juga dia mengalami gangguan kejiwaan, kita harus buktikan kebenarannya," ucap Rey.

"Untuk apa?" tanya Simon.

"Ya, karena aku sangat penasaran, aku sering memikirkan hal ini, aku tidak percaya tempat seperti itu benar benar ada," ucap Rey.

"Kau itu, sebaiknya jangan membuat masalah, ini praktek lapangan kita yang terakhir. Aku tidak mampu menunda kelulusan hanya karna rasa penasaranmu," ucap Simon.

"Ya, aku akan menemukannya," ucap Rey.

Dua mahasiswa dari universitas kedokteran ternama di Jakarta. Mereka akan menghabiskan waktu selama dua minggu di tempat ini untuk melaksanakan program pengabdian masyarakat. 

Rata rata teman mereka memilih untuk ditempatkan di desa desa terpencil, namun demi mendapat nilai yang lebih tinggi, Rey dan Simon beserta delapan mahasiswa lain memilih rumah sakit jiwa ini, rumah sakit jiwa Neverland, rumah sakit jiwa yang dikelola secara mandiri.

Selain nilai yang lebih tinggi, rupanya Rey menyimpan misi khusus, dia ingin membuktikan rumor yang selama ini beredar, bahwa ada seorang mantan dokter aborsi yang dirawat di rumah sakit jiwa ini.

Berita penggerebekan itu cukup viral, namun seperti kasus yang lain, lambat laun beritanya hanya seperti debu, menghilang tanpa ada kejelasan.

Tidak ada yang tahu, apakah tenaga kesehatan itu berakhir di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, atau masih dengan bebas berkeliaran di luar sana. Menghirup udara bebas, bahkan melanjutkan pekerjaan kotornya, padahal sebelumnya mereka adalah para jagal manusia yang dengan tega membunuh calon calon manusia tidak berdosa dengan cara berlindung dibalik profesi mulia yang membanggakan.

"Apa kita bisa bertahan di tempat ini? gedungnya masih baru, tapi sepertinya cukup mengerikan, auranya menakutkan," ucap Simon yang terlihat berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit jiwa.

"Kau takut?" tanya Rey yang berjalan di sebelahnya. Di belakang dan di depan mereka juga ada beberapa mahasiswa lain.

"Enak saja, mana mungkin aku takut," ucap Simon.

"Semua rumah sakit itu memang auranya seperti ini, mistis," ucap Rey berbisik.

"Harusnya kau tidak menjadi dokter jika takut dengan hal semacam itu," lanjut Rey.

"Kau tahu, semua keluargaku dokter, mulai dari kakek buyut, nenek buyut, apa kata dunia jika aku tidak menjadi seperti mereka, wah aku tidak sanggup," ucap Simon yang sejujurnya memiliki jiwa humoris, lebih cocok menjadi komedian.

"Mana dunia tahu," ucap Rey.

"Kau ini Rey," ucap Simon seraya mengelus rambut kribonya.

Rey, yang memiliki nama panjang Reyndra Pratama Putra, adalah salah satu mahasiswa terbaik di fakultas kedokteran tempatnya belajar. Rasa ingin tahunya cukup tinggi, dan dia tidak akan berpuas diri sebelum apa yang mengganggu pikirannya mendapat jawaban.

Selain pintar, Rey juga memiliki visual yang begitu luar biasa. Tinggi, berkulit putih bersih. Wajahnya oval, matanya tajam, dengan alis sedikit tebal dan juga hidung tinggi namun tidak berlebihan. Tulang pipinya terbentuk sempurna, tegas, sangat proporsional. Rambutnya terbelah tengah, lurus, dan hitam berkilau. Senyum yang tergambar di wajahnya seolah menghanyutkan, apalagi ketika tertawa, seolah dunia ikut bahagia mendengarnya. Visual yang luar biasa untuk seorang mahasiswa kedokteran, terlihat setara dengan visual aktor aktor ternama.

Di dalam gedung rumah sakit jiwa, tepatnya ruang perawatan nomor 33, ada seorang wanita muda. Duduk di kursi kayu, menghadap jendela, melihat ke arah taman yang ditumbuhi bunga bunga indah.

Benar, dia adalah Romansa, dokter Romansa. Salah satu tenaga kesehatan yang ditangkap dalam peristiwa penggerebekan rumah aborsi tiga tahun lalu. Dia harus dibawa ke rumah sakit jiwa ini lantaran kondisi kejiwaannya yang tidak setabil.

Romansa terdiam, memandang dengan kekosongan, tidak ada sinar cahaya kebahagiaan, hanya penyesalan dan kepedihan yang bisa ditangkap dari sorot matanya. Semburat awan mendung, seolah menjadi peneduh di atas kepalanya, penuh hujan kepedihan yang siap turun membasahi tubuhnya.

Lalu, beberapa detik setelah itu, Romansa berteriak histeris, membuat semua tenaga medis yang mendengar teriakan itu gugup dan segera bertindak cepat untuk menenangkannya.

"Tidak apa apa, tenang saja," ucap perawat senior yang terlihat memeluknya erat.

"Lupakan saja, kau tidak bersalah, lupakan semua itu," ucap perawat yang bernama Erna, perawat senior yang usianya sekitar lima puluh tahun.

"Kamu tidak sendiri, ada kami semua, kami akan melindungimu, tenang saja," ucap perawat Erna yang masih berusaha menenangkan Romansa.

Tidak butuh waktu lama, Romansa mulai mendapat kesadarannya. 

"Perawat Erna, tolong ambilkan laptop, saya akan mulai menuangkan semua yang ada di kepala, supaya sesak ini berkurang, bahkan lenyap," ucap Romansa.

"Iya, kau pasti akan siap, iya," ucap perawat Erna seraya mengelus rambut lurus Romansa.

Dokter yang bertanggung jawab atas perawatan Romansa menyarankan Romansa untuk menulis, menceritakan semuanya, yang dia alami, rasakan, menggali cerita yang tersembunyi di dalam hati, juga pikiran, supaya beban di hati dan pikirannya berkurang. Lewat tarian jemari, menuangkan isi kepala dan juga hati, meski dosa tidak mampu dihapus semudah itu, namun penyesalan dapat tersalur lewat berbagai jalan yang bisa ditempuh. Semua kisah yang tidak harus diceritakan, tidak harus meminta pengertian, cukup disimpan dalam kenangan, lewat tulisan yang tadinya dia pikir tidak akan pernah bisa dipublikasikan.

Selama enam bulan ini, Romansa terus berpikir dengan keras, apa mungkin dia bisa menggali kembali semua ingatan itu, sedangkan ketika mengingatnya sedikit saja dia akan mulai histeris dan menggila. 

Romansa memantapkan hati, mungkin ini adalah jalan keluar yang bisa dia ambil supaya tidak terus dikejar dosa masa lalunya. Sedikit pengobat dalam ketidak mungkinan, sedikit pereda dalam nyeri berkepanjangan.

"Kau pasti bisa, pasti kuat, kau harus mencobanya," ucap perawat Erna yang sudah seperti ibunya sendiri.

"Saya akan membawakan laptopmu, kau harus bangkit dari keterpurukan ini, menulislah, namun dokter berpesan, itu hanya akan menjadi naskah pribadi, tersembunyi," lanjut perawat Erna yang kemudian membantu Romansa bangkit, lalu duduk di tempat tidur.

Perawat Erna meminta beberapa perawat yang berkumpul untuk pergi, perawat Erna sudah berhasil menenangkan Romansa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. 

"Apa aku bisa?" tanya Romansa.

"Iy, kau pasti bisa," ucap perawat Erna yang dengan penuh kasih menggenggam kedua tangan Romansa.

"Kepalaku dipenuhi dengan suara suara aneh, suara suara bayi yang terus saja menangis, saya tidak bisa menghentikannya," ucap Romansa.

"Tidak apa apa, semua akan berlalu," ucap perawat Erna seraya mengelus rambut Romansa yang panjang sebahu.

Wanita cantik berusia dua puluh delapan tahun, memiliki wajah nyaris sempurna, berkulit putih bersih, harus terjebak dalam situasi yang menghancurkan karir gemilangnya. Dia menyesal dan penyesalan itu harus dibayarnya seumur hidup.

***

Simon terlihat mendekat ke arah perawat yang sedang membantu seorang pasien dengan gangguan jiwa.

"Sus, apa benar di sini ada yang namanya Romansa? pasien," tanya Simon.

"Si-siapa?" tanya perawat wanita itu.

"Ro-man-sa," ucap Simon dengan sangat jelas.

"Ti-tidak, tidak ada nama itu di sini, kau dengar dari siapa ada pasien dengan nama itu di sini?" tanya perawat yang memiliki name tag dengan tulisan Nika.

"Sus, saya serius, saya dengar rumor itu," ucap Simon.

"Ma-maaf saya sedang sibuk," ucap Nika.

"Sus, ayolah, sus," ucap Simon.

Rey terlihat menarik tangan Simon.

"Mereka tidak akan menjawab, keberadaan dokter aborsi itu dirahasiakan, bodoh sekali kau ini," ucap Rey.

"Enak saja mengataiku bodoh," ucap Simon.

"Aku ini jenius, dari pada mencari, lebih baik bertanya. Tidak mau bertanya sesat di lautan, di makan ikan," ucap Simon kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status