Elfarehza
Netra cokelat El melihat Arini dan Brandon bergantian ketika sedang duduk di meja makan. Bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup. Dia memilih menandaskan sarapan terlebih dahulu, sebelum berbicara dengan kedua orang tuanya.
“Papi.” El bersuara ketika melihat Bran menyeka sudut bibir dengan serbet.
“Kenapa, El?” Brandon mengalihkan pandangan kepada putranya.
“Belikan motor dong, Pi. Masa aku ke sekolah dianterin supir terus?” desisnya takut.
Bran mendesah pelan lantas meletakkan serbet di atas meja. Mata sayunya menatap lekat El.
“Kamu masih belum cukup umur untuk dibelikan motor, El.”
“Teman-temanku semua pakai kendaraan sendiri ke sekolah. Cuma aku aja yang masih dianterin supir. Belikan ya, Pi,” pinta El dengan sorot memelas.
Brandon menggeleng tegas. “Papi udah bilang sebelumnya, ‘kan? Kamu dibelikan kendaraan setelah cukup umur.”
“Tapi, Pi—”
“Nggak ada tapi, El! Sekali Papi bilang A ya harus A, nggak bisa ditawar lagi! Mengerti?” tegas Bran.
Arini hanya diam mendengar perkataan suaminya. Dia hanya mengusap punggung Bran seakan mencoba menenangkan.
“Belikan saja, Bran. Toh kamu dulu juga pakai motor sendiri ke sekolah. Antar jemput Arini juga,” komentar Sandy mengerling ke arah Iin.
“Benar, Bran. El sebentar lagi kelas dua belas, pasti butuh kendaraan sendiri juga ke tempat les,” imbuh Lisa.
“Nggak bisa, Ma Pa. Kondisi di jalanan sekarang beda dengan dulu. Peraturan semakin ketat, belum lagi diberlakukan ganjil dan genap juga. Razia pun makin sering,” sanggah Bran beralasan.
“El akan ikuti peraturan, Pi.” Elfarehza masih kekeh minta dibelikan sepeda motor.
“Kamu nggak tahu situasi sekarang, El. Semua udah berubah.” Brandon masih bersikeras dengan pendapatnya.
Arini memejamkan mata sambil menggelengkan kepala, memberi kode agar El tidak lagi menyanggah. Dia khawatir jika Bran marah sebelum mereka berangkat ke sekolah.
Al memilih diam mendengar perdebatan di meja makan pada pagi hari ini. Dia larut dengan pikiran sendiri.
“Berangkat sekarang ya, Prince dan Princess. Mami antar ke depan.” Arini berdiri lantas mengulurkan tangan kepada kedua buah hatinya.
Dia harus bertindak untuk menyelamatkan keadaan. Iin tidak ingin Bran marah pagi-pagi, karena bisa memengaruhi mood El dan Al dalam belajar.
“Maksud Papi baik, El. Papi nggak mau kamu nanti kenapa-napa di jalan. Lihat aja sekarang banyak pengendara yang ugal-ugalan, ‘kan?” tutur Iin ketika tiba di pintu rumah.
El hanya mengangguk lesu, lantas bersalaman dengan Arini. Al juga melakukan hal yang sama berpamitan kepada ibunya. Mereka berdua langsung menaiki mobil sedan yang telah standby di pekarangan rumah.
“Alasan Papi dibuat-buat nggak sih, Al? Kayaknya nggak percaya banget sama aku,” kata El setelah duduk di dalam mobil.
Alyssa mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu, Bang. Papi itu sering larang ini itu. Mami juga diam aja. Padahal menurut cerita Nenek dan Kakek, mereka dulu sering ke sekolah pake motor sebelum Papi punya SIM.”
El mendesah keras dengan wajah mengerucut. “Abang diledekin terus sama anak-anak karena masih dianterin ke sekolah, Al.”
Gadis itu hanya menepuk pundak belakang kakaknya. Suasana mobil kembali hening.
***
Alyssa
Al sedang memasang sepatu setelah menunaikan salat Zuhur. Setelahnya dia duduk termenung di bangku musala beberapa saat sambil menatap nanar ke arah kelas sebelas yang ada di seberang. Keinginan untuk bergabung dengan geng populer di sekolah masih menggelayuti hatinya.
Sementara, seorang pemuda duduk di bangku yang ada di tempat pintu keluar jamaah laki-laki. Dia memandang Al yang masih termanggu, asik dengan pikiran sendiri. Sebuah senyum kagum terbit di paras tampan itu melihat siswi cantik rajin menunaikan salat wajib.
“Kayaknya ada yang lihatin kamu dari tadi tuh, Al,” ujar seorang siswi duduk di samping Al tanpa disadari.
Al terkesiap lantas mengalihkan pandangan kepada siswi berambut ikal, panjang sepunggung. Keningnya berkerut tidak paham dengan maksud perkataan gadis yang juga teman satu kelas Alyssa.
Gadis itu mengerling ke arah pintu masuk jamaah laki-laki. Tilikan mata hitam kecil Al berpindah ke tempat yang dimaksud. Dia melihat seorang pemuda sedang tersenyum menyapa dirinya. Alyssa hanya menanggapinya dengan ekspresi datar.
“Anak rohis (Rohani Islam) tuh. Tumbenan dia senyum sama cewek. Biasanya beuh dingin banget kayak es, padahal ganteng loh,” komentar Ulfa.
Al merekam penampilan pemuda yang dimaksudkan ulfa. Rambut rapi selaras dengan pakaian yang licin tanpa kerutan.
“Kamu sejak kapan duduk di situ?” tanya Al tidak menanggapi perkataan Ulfa barusan.
“Sejak kamu melamun. Mikirin apa sih serius banget?”
Al mengangkat bahu. “Mau turun ke bawah sekarang nggak?”
“Nggak mau ngobrol dulu?” goda Ulfa menyikut lengan Al.
Netra Al menyipit sebentar, lantas tergelak. “Apaan sih? Nggak kenal juga.”
Keduanya berdiri, bersiap melangkah menuju tangga.
“Kirain kenal, kemarin itu aku lihat kamu ngobrol sama dia.” Ternyata Ulfa masih kepo.
“Kapan ya?” Kening Al kembali berkerut.
“Itu waktu selesai salat Zuhur. Kamu lupa?”
Bola mata Al terangkat ke atas ketika berusaha mengingat kapan bertemu dengan pemuda tersebut.
“Oh, iya. Aku baru inget.” Al melihat Ulfa sebentar. “Dia cuma kasih mukena yang ketinggalan di atas bangku kok.”
“Feeling aku nih ya, Al. Dia itu tertarik sama kamu loh.” Ulfa menaik-naikkan kedua alis ke atas.
Al mengibaskan tangan sambil berdecak. “Nggak mungkin. Anak rohis ‘kan nggak ada yang pacaran.”
“Siapa bilang? Duh siapa itu namanya aku lupa. Pokoknya dialah, pacaran backstreet tuh. Tapi nggak kayak yang lain sih.”
“Lagian kalau dia suka, nggak akan ngaruh kali. Aku aja nggak dibolehin pacaran sama Papi,” tanggap Al duduk di kursi ketika tiba di kelas.
“Bisa backstreet, Alyssa,” kata Ulfa gemas.
Al menggelengkan kepala. “Serem kalau ketahuan sama Papi. Bisa-bisa ….” bisik Al sambil mengarahkan jari telunjuk ke leher.
“Kalau gitu sahabatan aja kayak Papi dan Mami kamu dulu. Sweet banget ‘kan kalau sampai nikah nanti.”
“Kamu aja gih yang kayak gitu. Aku nggak mau. Gelay,” canda Al terkekeh.
Keduanya terdiam beberapa saat ketika Al kembali larut dengan pikirannya.
“Eh, Fa. Geng Jelita. Kriteria buat deketin mereka apa ya? Kayaknya seru tuh bisa deket, bisa belajar modis juga.”
Ulfa bergidik mendengar pertanyaan Al. Kepalanya menggeleng cepat.
“Nggak ada tempat buat anak kayak kita, Al.”
“Kenapa?”
“Menurut info yang aku denger, mereka nggak akan mau bergaul dengan siswa yang nggak selevel dengan mereka,” tutur Ulfa setengah berbisik.
“Maksudnya secara materi?”
Kepala Ulfa kembali berputar ke kanan dan kiri. “Bukan begitu maksudnya. Secara materi udah jelas kamu lebih kaya dari mereka.”
“Trus apa dong?”
“Penampilan, Al. Mereka maunya terima orang-orang yang tampil modis kayak mereka. Rok pendek dan ketat. Baju juga sama.” Ulfa mendekatkan kepala ke telinga Al, lantas berbisik, “Di luar sekolah, penampilan mereka parah banget.”
“Parah gimana?” Al semakin penasaran.
“Tanktop dan hotpants. Kamu mau pakai baju kayak gitu?” tanya Ulfa membuat wajah Al mengernyit ngeri.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya, jika ikut berpenampilan seperti itu? Jiwa remaja Al memberontak, menginginkan kebebasan dalam berekspresi, termasuk ekspresi dalam penampilan.
Desahan pelan keluar dari sela bibir Alyssa ketika melihat kerudung yang menutupi kepala sejak masih berusia lima tahun. Jauh dari lubuk hati terdalam, dia belum siap mengenakannya.
Bersambung....
ElfarehzaEl tersenyum melihat Arini yang masih berkutat dengan papan Scrabble. Sejak lima belas menit yang lalu wanita itu memikirkan bagaimana menyusun abjad menjadi sebuah kata.“Payung,” ujar El menukar letak huruf Y dan G yang salah.Arini menoleh ke arah El dengan kening berkerut.“Payung, Mami. Yang biasa kita pakai lagi hujan.”Wanita paruh baya itu mengangguk cepat, kemudian kembali lagi melihat papan Scrabble.“Sekarang mainnya udah dulu ya, Mi. Ada yang mau aku ceritakan sama Mami.” El memegang lengan sang Ibu kemudian membantunya duduk di sofa.Arini melihat putranya dengan tersenyum samar. Sejak beberapa bulan terakhir ini, dia mengalami penurunan dalam mengucapkan kosa kata. Iin memilih banyak diam dan mendengar cerita El dan Bran, termasuk Al yang baru menikah lima bulan yang lalu.“Mami masih ingat nggak dulu aku pernah cerita tentang perempuan yang disu
Arini dan BrandonDua tahun berlalu setelah Brandon mengetahui apa yang terjadi antara Arini dan Farzan. Sejak saat itu, Farzan jarang pulang ke rumah. Hubungannya dengan sang Kakak tidak lagi sebaik dulu.Ketika ingatan membaik, Iin menanyakan kenapa Farzan tidak berkunjung? Bran mengatakan adiknya sedang sibuk dengan pekerjaan, sehingga hanya bisa datang satu kali dalam sebulan. Selama berada di kediaman keluarga Harun, Farzan hanya berinteraksi sekedarnya dengan Arini.Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi Alyssa. Tepat satu bulan lalu, Alfatih datang melamar bersama dengan kedua orang tua. Pria itu menunaikan janji untuk menikahi Al empat tahun setelah hari pertama kunjungannya ke Menteng Dalam.Selama empat tahun nyaris tidak ada komunikasi secara langsung yang terjalin antara Alyssa dan Fatih. Keduanya hanya mendapatkan kabar melalui kedua kakak masing-masing. Mereka terkesan sedikit kuno, tapi begitulah Fatih yang memegan
BrandonSejak tadi pikiran Brandon tidak tenang. Dia menduga kemungkinan yang terjadi antara Arini dan Farzan dua tahun silam. Pria itu tidak bisa marah dengan Iin, karena penyakit yang dideritanya. Apalagi saat itu sang Istri juga pernah salah mengenali putranya sendiri.Selepas salat Isya, Brandon meminta Arini tidur terlebih dahulu. Dia memutuskan untuk menunggu Farzan datang. Hari ini adiknya pulang ke Menteng Dalam.Setelah lulus dari Zurich, Farzan memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan tempatnya bekerja di daerah Cikarang. Pemuda itu baru bisa pulang ke Menteng Dalam setiap akhir minggu.Brandon menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Arini untuk memastikan apakah telah tidur atau belum? Perlahan-lahan, dia turun dari tempat tidur lalu bergerak ke luar kamar.Farzan pasti udah di rumah. Aku harus menanyakan langsung apa yang sebenarnya terjadi, batin Brandon tidak tenang.Langkah pria itu terus berlanjut menuju kamar adiknya yang berada di lantai dua. Bran melihat pi
AriniDua tahun kemudian“Ayo, Mi. Coba sambung lagi kata-katanya,” cetus Al menyemangati Arini.Gadis itu sedang bermain scrabble di ruang keluarga bersama dengan El dan Arini, sembari menunggu Brandon pulang kantor. Mereka sekarang menyusun kosa kata dalam bahasa Indonesia.Arini berpikir lama agar bisa membentuk satu kata yang pas dengan kepingan huruf yang sudah tersusun. Dia mengambil huruf C, kemudian huruf T. Setelah diletakkan huruf ketiga, Iin tersenyum puas.El dan Al saling berpandangan saat membaca huruf tersebut tertukar tempat sehingga tidak bisa dibaca dengan benar.“Huruf T ditaruh sebelah sini, Mi.” Al meletakkan huruf T di samping huruf N. “Nah ini masih kurang G.”Setelah dibenarkan posisinya, baru terbentuk satu kata ‘Canting’.Begitulah perkembangan penyakit Arini sekarang. Kemampuan menyusun kata dan kalimat mulai mengalami penurunan. Dia sering lupa dengan ejaan kata. Bukan hanya itu, terkadang Iin tidak bisa menyusun kalimat yang seharusnya.“Mami besok mau aku
AriniDua bulan kemudianSelama dua bulan ini Brandon dan kedua anak-anaknya lebih banyak meluangkan waktu bersama dengan Arini. Banyak hal yang dilakukan mereka ketika waktu senggang, salah satunya bermain Scrabble dan mengisi buku TTS. Sudah banyak buku TTS yang telah diisi Iin. Untungnya kegiatan tersebut bisa memperlambat menurunnya kemampuan berbahasa wanita itu.Rencana jalan-jalan ke Swiss terpaksa dibatalkan, karena kondisi kesehatan Arini. Bran khawatir jika istrinya pergi dan tersesat sendirian di negeri orang. Dia bisa saja mengendap-endap pergi tanpa sepetahuan Bran.“Abang Farzan kok lama banget ya, Mi? Bukannya udah sampai Jakarta siang ini?” celetuk Al melihat tak sabar ke arah jam dinding.Arini mengangkat bahu, lalu mengambil ponsel. Dia menghubungi adik kesayangannya.“Halo, Kakak Cantik.” Terdengar suara bariton Farzan dari ujung telepon.Wanita itu tergelak mendengar pujian yang selalu dilontarkan adiknya. “Kamu udah di mana, Dek? Ada yang dari tadi ngedumel terus
AlyssaPandangan netra hitam Alyssa bergerak menyapu taman belakang sekolah. Ada beberapa siswa duduk santai di sana sambil bercengkerama. Beberapa di antara mereka lesehan di atas rumput hijau yang bersih dan segar, sebagian lain duduk di kursi seperti dirinya dan Fatih sekarang.“Makasih udah mau ngobrol, Kak,” ucap Al memecah keheningan. Dia menoleh sekilas sambil mengulas senyum.“Pasti ada hal penting yang mau kamu bicarakan ya?” tebak Fatih to the point. Selama ini mereka hanya berkomunikasi jika ada hal penting yang ingin dibahas.Al mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangan lurus ke depan. Dia berpikir beberapa detik sebelum mengutarakan maksudnya mengajak Fatih berbicara.“Mami dan Papi … mau ketemu sama, Kakak,” ungkap Al hati-hati.“Katanya mau ucapin terima kasih karena udah tolong aku waktu itu,” sambung Al cepat antisipasi jika Fatih salah paham.Pemuda itu tertawa pelan membuat kening Al berkerut.“Oke. Mau ketemu kapan?” sahutnya santai tanpa beban.Al semakin d