"Hai, Arkan. Lama tak bertemu."Aruna mengerutkan kening saat melihat wanita hamil tersebut berdiri di hadapan Arkan dan menyapa Arkan dengan ramah. Siapa lagi wanita itu? Apakah mantan tunangan Arkan? Atau sahabat mantan tunangan Arkan yang lain?"Hai, Vani." Arkan balas menyapa. Tatapannya terlihat biasa saja sekarang. Tak seperti saat bertemu dengan Rissa."Istri kamu?" Wanita hamil bernama Vani tersebut bertanya seraya duduk di samping Arkan. Aruna masih bingung dan penasaran, namun tak mau bersuara karena perutnya sedang tidak enak sekarang."Iya. Kamu sedang hamil juga?" Arkan balik bertanya seraya melihat ke arah perut wanita bernama Vani tersebut."Iya. Semoga nanti jenis kelaminnya bisa terlihat. Istri kamu sudah berapa bulan?" "Belum tahu. Baru periksa sekarang.""Wah, sedang dalam masa mabok parah ya." Vani tersenyum seraya melihat ke arah Aruna yang tak merespon apapun. Bukan apa-apa, Aruna merasa mual dan pusing sekarang. Padahal setelah makan di cafe tadi dia baik-baik
Aruna mengalami morning sickness dari pertama tahu kalau dia hamil sampai usia kandungan 16 minggu. Setelah melewati minggu ke-16, Aruna mulai kembali sehat seperti semula dan sudah tak mual atau muntah lagi. Sangat tak mudah melewati belasan minggu dengan keadaan tubuh kurang sehat dan hampir setiap hari mengalami pusing, mual, bahkan muntah-muntah. Tapi sekarang masa-masa sulit itu sudah berhasil Aruna lewati.Di usia kehamilan 17 minggu, tak banyak perubahan yang terjadi pada tubuh Aruna. Tubuhnya masih ramping seperti awal, hanya perutnya saja yang sudah memperlihatkan keadaan. Saat memakai baju yang ketat, perut Aruna sudah memperlihatkan tanda kehamilan. Namun saat memakai baju longgar, dia tak tampak seperti sedang hamil.Selama mengalami morning sickness, Aruna mengabaikan koleksi make up-nya karena seringnya dia hanya berbaring saja. Bahkan skincare pun sering kelupaan untuk di pakai. Namun sekarang, Aruna sudah kembali merawat tubuh dan wajahnya. Dan tentu saja, itu semua su
Arkan kini berada di ruangan kantor tempat dia biasa bekerja. Dia tidak sendirian di sana, karena hari ini Arkan kedatangan tamu yang sudah memberitahukan kedatangannya lewat chat yang dibaca Aruna tadi pagi."Sebelum menemuimu di sini, aku sudah menemui yang lain untuk memberikan undangan reuni ini. Dan aku sangat kaget saat tahu kalau Salsa adalah istri Andres." Sania, wanita itu berucap dan tak bisa menyembunyikan ekspresi kaget dan tak percaya."Sebuah kejutan kecil," balas Arkan cuek. Dia lalu mengambil undangan yang Sania simpan di atas meja."Aku benar-benar kaget, Arkan. Aku yakin sekali di acara reuni terakhir, Salsa masih pasanganmu. Bahkan aku ingat saat itu kamu mengumumkan akan segera bertunangan dengan Salsa. Jadi-""Jangan membuatku malu karena mengingatkan momen itu. Kamu tahu? Aku sangat menyesal membanggakan dia di depan banyak orang." Arkan memotong perkataan Sania dengan nada kesal."Jadi benar? Kamu dan Salsa putus tidak dengan baik-baik?" tanya Sania."Apakah seb
Arkan dan Aruna kini berada di ruang makan bersama dengan Hana dan Tio. Mereka baru saja selesai makan malam bersama, namun Arkan dan Aruna ditahan untuk jangan dulu masuk ke kamar."Jadi begini. Mama berpikir mau mengadakan tasyakuran empat bulanan untuk kehamilan Aruna." Hana berucap, mengawali topik yang ingin dia bahas."Lakukan saja. Ini cucu pertama kita," balas Tio. Hana lalu menatap Arkan dan Aruna bergantian, menunggu tanggapan dari orang tua si calon bayi."Aku terserah Mama saja. Kalau Mama tak merasa repot, boleh saja." Aruna memberikan jawaban. Hana tersenyum mendengar itu."Biar gak repot masak, kita pesan katering saja. Bagaimana Arkan?" Hana menatap putranya tersebut yang sejak tadi hanya diam saja."Terserah Mama." Arkan menjawab singkat. Hana menatap Arkan dan Aruna bergantian, mulai merasa aneh dengan sikap anak dan menantunya tersebut. Apakah mereka sedang ada masalah? Hana ingat sekali kalau tadi pagi mereka terlihat baik-baik saja. Hana ingin bertanya, namun taku
"Jadi bagaimana keputusan kalian? Papa tidak mau mendengar bantahan lagi." Seorang pria dengan kemeja berwarna navy bicara tegas pada dua anak laki-lakinya. Dia adalah Tio Mahardika, kepala keluarga dalam rumah tersebut."Aku tetap pada keputusanku, Pa. Aku dan Delia sudah mantap dengan keputusan yang kami buat dan sepakati." Adnan, anak kedua dalam keluarga tersebut bicara tak kalah tegasnya pada sang ayah. Berpegang teguh pada prinsipnya dan tak mau berubah pikiran walau didesak dan dipaksa orang tuanya."Sekarang kan Kak Arkan yang meneruskan perusahaan Papa. Jadi biar Kak Arkan saja yang memberikan cucu untuk Papa dan Mama," lanjut Adnan. Dia lalu melirik pada kakaknya yang masih diam sejak tadi."Kau pikir bayi bisa lahir dari sebuah batu apa?" Arkan, anak sulung dalam keluarga tersebut melayangkan pertanyaan sinis pada adiknya."Ya makanya cepetan nikah. Punya istri terus punya anak. Masalah beres," jawab Adnan dengan sebal."Kau pikir cari istri itu gampang?" sentak Arkan marah
Seorang gadis dengan penampilan yang sederhana berjalan di lorong kampus. Matanya menatap sekeliling, terlihat sedang mencari seseorang. Selama berjalan di koridor, gadis tersebut merasakan tatapan banyak mata yang terarah padanya. Gadis tersebut bisa menebak, pasti orang-orang menatap ke arahnya seperti itu karena berita yang sudah menyebar tentang dirinya. Dia adalah Aruna Kinanti, seorang mahasiswi yang sudah menyelesaikan sidang skripsi dan tak lama lagi akan wisuda. Namun untuk mengikuti wisuda, ada beberapa syarat yang salah satunya harus melunasi SPP semester terakhir yang memang belum Aruna bayar karena dia tak ada uang. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Aruna menemukan orang yang dia cari. Empat orang gadis seumuran dirinya terlihat sedang berkumpul di depan kelas. Mereka sedang asyik bicara hingga tak menyadari Aruna yang mendekat ke arah mereka. Dan mereka kaget saat Aruna sudah berdiri di hadapan mereka. "Aku sudah dengar beritanya. Dan aku tak menyangka kalau masal
Sesuai rencana, malam ini Adnan memaksa sang kakak untuk bicara dengannya. Arkan sudah jengkel dengan kelakuan adiknya tersebut, namun tetap membiarkan Adnan masuk ke kamarnya juga. "Ada apa lagi?" Arkan bertanya dengan sebal pada Adnan yang mengganggunya. Padahal Arkan berniat akan tidur. "Bagaimana saranku kemarin?" tanya Adnan tak sabar. "Saran yang gila, Adnan." Arkan menjawab dengan tatapan tajam. "Pikirkan dengan baik, Kak. Maksudku, aku yakin Papa dan Mama akan setuju, asal mereka punya cucu saja." Adnan bicara lagi, yakin sekali dengan perkiraannya. "Walau aku melakukan saranmu tersebut, aku tetap tak mau menikah dengan sembarang wanita, Adnan." "Aku memiliki seseorang yang mungkin cocok untukmu, Kak." Adnan berkata dengan cepat. Dia menyimpan sebuah map di depan Arkan dan menyuruh Arkan melihat isinya. Arkan yang penasaran pun mengambil map tersebut dan melihat isinya. "Siapa perempuan ini?" Arkan bertanya dengan beran. "Dia adalah teman kuliahku dan Delia. Kami tak
Berita tentang Aruna menyebar di kampus, walau banyak yang tak tahu yang sebenarnya terjadi, tetap banyak yang membicarakannya. Setelah menegur teman-temannya, Aruna berharap teman-temannya tersebut memberikan penjelasan pada orang-orang kalau Aruna bukanlah orang yang suka berhutang. Namun ternyata dia memang salah pilih teman. Tanpa meminta maaf, mereka malah menambah fitnah dengan menyebarkan berita tentang Aruna yang tak tahu diri setelah dipinjami uang. Padahal, di antara mereka berempat, tak ada satu pun yang meminjamkan uang pada Aruna. Sekarang, Aruna kembali berhadapan dengan keempat temannya tersebut. Aruna meminta penjelasan kenapa mereka bisa setega itu padanya. "Aku salah apa sama kalian? Kenapa kalian malah memfitnahku seperti ini?" Aruna bertanya dengan mata menatap empat gadis tersebut satu persatu. Empat gadis itu bernama Adara, Tanti, Fania dan Bella. "Fakta kan? Pasti kamu akan mencari orang yang bisa kamu hutangi dan jelas kamu gak akan bayar utangnya. Lah, ibum