Share

8

Elang pernah memuji-muji Sarah sebagai perempuan yang mandiri, tidak merepotkan dan bla bla bla. Ok, cukup. Arinda tidak ingin dibanding-bandingkan dengan Sarah. Kini saatnya ia menunjukkan pada Elang bahwa ia bukan gadis manja yang selalu ingin diantar-jemput jika akan atau sedang bepergian. Ia juga bisa mandiri. Maka dari itu ia mengenyahkan rasa takut yang selama ini menggelayuti diri saat akan belajar berkendara. Kini tekadnya sudah bulat, ia harus bisa mengendarai kendaraan sendiri agar Elang tak lagi menganggapnya sebagai gadis manja - ralat - pacar manja.

Pertama-tama, Arinda memilih untuk belajar mengendarai motor. Jika kelak sudah lancar, barulah ia beralih belajar mengendarai mobil. Ia menunjuk Bi Titin sebagai gurunya.

Kata banyak orang, jika awalnya bisa mengendarai sepeda, maka akan lebih mudah untuk mengendarai motor. Itu terbukti benar karena Arinda tidak mengalami kesulitan berarti saat mengendarai motor dengan dipandu Bi Titin yang duduk di belakangnya. Mereka belajar di jalanan komplek yang lengang pada sore hari.

"Sekarang biar aku sendiri aja. Bibi nggak usah ikut."

Arinda ingin mencoba berkendara sendiri tanpa membonceng Bi Titin sebagai pemandu. Ini sudah hari ketiga ia belajar mengendarai motor dengan hanya berputar-putar di jalanan komplek dari satu blok ke blok lain. Ia yakin dengan kemampuannya dan ingin menjajal keberaniannya mengendarai motor sendiri.

"Oke, tapi Neng Arinda jangan ngebut, lho!"

"Siap. Pokoknya Bi Titin tenang aja."

"Satu lagi. Neng Arinda nggak boleh bawa motor keluar dari area komplek. Paham?"

Arinda mengangguk patuh. Lagi pula ia belum berani jika harus mengendarai motor di jalan raya. Ia memang sudah bisa tapi belum lancar, masih harus pelan-pelan dan berhati-hati.

"Ya udah, aku jalan ya, Bi."

"Iya, Neng. Hati-hati."

Motor matic berwarna putih itu melaju perlahan menyusuri jalanan. Arinda berusaha untuk tetap tenang dan fokus. Ia memacu motornya dari satu blok ke blok lain hingga akhirnya sampai di gerbang depan komplek. Tiba-tiba keinginan untuk berkendara di jalanan ramai muncul begitu saja, tapi langsung ditepisnya. Ia belum siap, lain kali saja, pikirnya.

Tidak ada kendala yang menghambat perjalanan Arinda sampai seekor kucing berbulu abu-abu melompat tepat di depannya. Sontak Arinda kaget dan itu membuat konsentrasinya pecah. Ia ingin menghentikan motor tapi karena pikirannya sedang kosong, jadi tak tahu harus berbuat apa. Motor mulai oleng lalu jatuh.

"Bi Titiiiiin, toloooong!"

Arinda berteriak histeris. Tubuhnya terjerembab ke jalan dan sebagian kakinya tertimpa badan motor. Karena syok, ia jadi terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya berusaha bangkit dengan tubuh gemetar. Dalam hati ia berdo'a semoga ada orang lewat lalu membantunya mengangkat motor.

Do'a Arinda langsung dikabulkan. Tiba-tiba ada tangan yang mengangkat motor sehingga kakinya terbebas. Saat ia mendongak, ternyata sang penolong adalah Elang.

"Kakak," panggil Arinda agak merintih.

Itu bukan Elang melainkan Arya yang sedang akan pulang ke rumah dan melewati jalan itu. Ia melihat Arinda yang tergeletak bersama sebuah motor. Ia baru saja dari apartemen untuk mengambil pakaian dan beberapa benda penting lain.

Arya tahu gadis yang ditolongnya ini adalah gadis yang tadi pagi melambaikan tangan padanya di depan jendela kamar. Kalau sudah menyangkut gadis cantik, ingatannya sangat tajam seperti silet yang baru diasah.

"Kenapa kamu bisa jatuh?"

"Tadi ada kucing lewat. Aku kaget, motor oleng terus jatuh."

Arya membantu Arinda bangun lalu memapahnya saat sudah berdiri. "Kita ke klinik, ya. Tangan dan kaki kamu lecet-lecet, tuh," katanya sambil menunjuk luka ringan di dekat siku dan kaki Arinda.

"Nggak mau. Aku mau pulang aja, Kak."

"Tapi luka kamu harus diobati."

"Diobati di rumah aja pake Betadine."

"Ya udah, aku antar kamu pulang."

Arinda merasa ada yang aneh di pendengarannya. Elang memanggil diri sendiri dengan sebutan 'aku'? Biasanya lelaki itu memanggil diri sendiri dengan sebutan 'Kakak' saat berbicara dengannya. Hmmm, mungkinkah itu karena kini mereka sudah resmi berpacaran? Dalam hati Arinda tersenyum senang. Aku, kamu ...

"Gendong. Kakiku sakit."

Di saat seperti ini Arinda menjadi dua kali lebih manja dari biasanya, apalagi pada Elang. Kakinya memang terasa sakit, tapi masih bisa digunakan untuk berjalan. Ia hanya ingin bermanja-manja dengan sang pacar.

"Gendong?"

Arinda mengangguk.

Wow! Ini cewek belum apa-apa udah minta digendong aja.

Arya baru sadar, pasti gadis itu menyangka dirinya adalah Elang. Mereka sudah tentu saling mengenal dengan amat baik ditilik dari cara gadis itu berbicara dengannya bahkan sampai berani minta digendong. Atau jangan-jangan mereka memiliki hubungan spesial mengingat tadi pagi gadis itu meniupkan ciuman ke arahnya. Ia lupa bertanya pada Elang mengenai siapa gadis itu.

Baiklah, kali ini Arya tidak akan membuka identitas terlebih dahulu dan membiarkan saja Arinda menganggapnya sebagai Elang. Pasti akan menarik.

"Kakak, cepat! Kakiku makin sakit kalo lama-lama berdiri." Arinda mulai tak sabar. Ia mengaduh kesakitan.

"Oke, oke. Aku gendong kamu," ucap Arya lalu dengan gerakan cepat Arinda sudah ada dalam gendongannya. Tentu saja ia tak akan menolak untuk menggendong gadis secantik Arinda.

Arinda melingkarkan satu tangan di bahu Arya agar tak jatuh. Ia tak menghiraukan jantungnya yang mulai berdetak cepat. Ia selalu menyukai momen kedekatan dengan sang pujaan hati dan ini pertama kali ia digendong a la pengantin oleh Elang. Dulu waktu ia masih kecil, Elang pernah juga menggendongnya tapi di punggung.

Duh, Gusti nu Ageung ... Iyeu awewe meuni geulis pisan.

Arya terpukau dengan paras ayu yang dimiliki Arinda jika dilihat dari jarak sedekat ini. Ia mengagumi alis gadis itu yang hitam alami tanpa bantuan pensil alis. Juga mata belo yang berbinar indah dihiasi bulu-bulu lentik, dan jangan lupakan bibir mungil itu. Sepertinya bibir berwarna merah muda itu masih perawan alias belum terjamah oleh bibir laki-laki yang sudah pasti bernasib mujur karena bisa mengecapnya.

"Kakak, jangan ngeliatin aku kayak gitu dong! Aku kan, jadi malu."

Arinda jadi salah tingkah karena Arya menatapnya sedemikian rupa dengan jarak wajah mereka yang sangat dekat.

"Kamu sih, cantik banget."

Pipi Arinda langsung merona mendengar pujian yang keluar dari mulut Arya, disusul senyuman malu-malu tersungging dari bibirnya. Tiba-tiba rasa sakit akibat jatuh dari motor hilang untuk sementara waktu.

Senyum itu. Oh, cantik sekali.

Akhirnya Arya bisa melihat senyum sama yang ia lihat pagi tadi dengan amat jelas sekarang. Mata gadis itu ikut tersenyum dan membentuk seperti bulan sabit saat ujung-ujung bibirnya terangkat. Sungguh cantik, tak bosan dipandang.

Arya juga gemas melihat pipi tembam Arinda yang merona karena malu. Jika tidak sedang dalam posisi menggendong seperti ini, ingin sekali ia mencubitnya. Untuk keseluruhan, gadis yang sedang dibopongnya ini cantik, menarik, dan menggemaskan.

"Kakak, ayo jalan! Jangan ngeliatin aku terus kayak gitu. Aku bisa meleleh nanti."

Arinda benar-benar lupa sedang merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Tatapan mata Arya dan pujian untuknya membuat ia terhipnotis.

"Oh. Iya, iya."

Arya tersadar dari keterpukauan akan kecantikan paras Arinda. Ia juga baru menyadari bahwa bobot tubuh gadis itu cukup berat yang membuatnya harus segera berjalan ke arah mobil.

"Kamu berat juga, ya."

Arya mendudukkan Arinda di jok depan, lalu menutup pintu mobil sebelum gadis itu membalas ucapannya. Ia sempat melihat sekilas wajah Arinda berubah menjadi cemberut.

"Iya, emang. Nanti aku diet lagi," balas Arinda dengan nada ketus saat Arya sudah berada di balik kemudi.

Dulu tubuh Arinda memang gemuk, tapi saat beranjak remaja ia mulai melakukan diet sehingga kehilangan bobot tubuh yang lumayan banyak. Ia tahu tubuhnya memang tak seramping Gigi Hadid si supermodel itu, tapi tetap saja tak suka dibilang berat saat digendong. Apalagi pacar sendiri yang mengatakan. Baru saja dipuji cantik, tapi beberapa menit kemudian ia diledek. Seperti diterbangkan lalu dijatuhkan begitu saja. Sakit rasanya.

"Jangan, dong. Badan kamu udah bagus kayak gitu. Lagian aku nggak suka cewek kurus, nggak enak dipeluk."

Wajah cemberut yang ditunjukkan Arinda tadi hilang seketika dan digantikan dengan senyuman malu-malu. Baiklah, ia akan mempertahankan bentuk tubuhnya yang sekarang karena sang pacar menyukainya.

"Kamu ngegemesin banget, sih."

Arya tak tahan melihat pipi Arinda yang terlihat semakin menggemaskan di kala gadis itu tersenyum. Akhirnya ia berhasil mencubit pipi yang terasa empuk itu dengan geregetan hingga Arinda menjerit dan meringis kesakitan.

"Udah, Kakak! Sakit."

Arinda menyingkirkan tangan Arya yang mencapit kedua pipinya. Tumben sekali lelaki itu mencubitnya dengan keras sehingga menimbulkan rasa sakit. Biasanya tidak begitu.

"Maaf. Sakit, ya?" ucap Arya sambil mengusap-usap pipi Arinda.

Pipinya halus banget. Jadi pengen ngelus terus.

Sayang sekali keinginan Arya harus tertahan karena Arinda cepat-cepat menepis tangannya. Arinda benar-benar merasa kesal.

"Ayo, jalan! Aku pengen cepat sampe rumah."

Tanpa banyak basa-basi Arya langsung menyalakan mesin mobil lalu menjalankannya untuk mengantar Arinda.

Selama di perjalanan mereka saling diam. Arya masih merasa bersalah sedangkan Arinda masih merasa kesal akibat cubitan yang menyakitkan dari lelaki itu.

"Mau digendong lagi?"

Arya akhirnya berani bersuara saat mobil yang dikendarainya sampai di depan rumah Arinda. Ia jadi merasa sudah akrab dan tidak canggung pada gadis itu padahal baru sekali bertemu dan belum berkenalan.

"Nggak usah. Aku masih bisa jalan." Nada suara Arinda masih ketus dan raut wajahnya pun tak bersahabat.

"Neng geulis, udahan dong marahnya. Aku kan, udah minta maaf. Abisnya kamu ngegemesin banget kalo lagi senyum. Jadi aku nggak tahan pengen nyubit pipi tembem kamu. Maaf, ya."

Neng geulis? Kening Arinda berkerut. Ia heran mengapa sang pacar berubah menjadi kesunda-sundaan begitu. Apakah lelaki itu sudah ketularan mamanya yang kadang menyelipkan bahasa Sunda ke dalam obrolan? Tapi meski begitu ia merasa senang dipanggil dengan sebutan itu. Hmm ... tuh kan, lelaki pujaan hatinya itu pintar sekali mengubah raut cemberut di wajahnya menjadi senyuman manis.

"Ya udah, aku maafin Kakak."

"Nah, gitu dong," ujar Arya sambil tersenyum. "Yuk, sekarang kita turun. Luka kamu harus cepat-cepat diobati."

Arinda mengangguk lantas membuka pintu mobil, tapi Arya langsung melarangnya. "Biar aku aja," katanya.

Arya membukakan pintu untuk Arinda kemudian membantunya keluar. Dengan sabar ia memapah Arinda memasuki halaman rumah.

Bi Titin yang sedang menyiram tanaman langsung panik tatkala melihat Arinda berjalan dengan dipapah Arya. Wanita tiga puluh tahunan itu menduga bahwa anak sang majikan telah terjatuh dari motor.

"Neng Arinda jatuh dari motor, ya? Tuh kan, harusnya tadi Bibi ikut. Neng 'kan, belum terlalu lancar bawa motor."

Bi Titin langsung mematikan kran air lalu tergopoh-gopoh menghampiri Arinda. Ia sangat khawatir dan merasa bersalah karena tidak menemani Arinda belajar mengendarai motor walau memang tidak diminta.

"Iya, Bi. Aku jatuh tapi nggak parah, kok. Cuma lecet dikit. Bibi nggak usah khawatir. Untung tadi ada Kak Elang, jadi dia yang nolongin aku."

Aku bukan Elang, Neng. Aku Beo, hehehe ..., kata Arya dalam hati seraya tersenyum samar.

"Syukur deh, kalo Neng Arinda cuma lecet-lecet. Bibi beneran khawatir, Neng."

"Bibi tenang aja. Aku nggak papa, kok."

"Mendingan sekarang Bibi ambil Betadine sama perban buat ngobatin luka Arinda," sela Arya.

Akhirnya Arya tahu nama gadis itu. Arinda, Arinda ... Ariandra. Kok, namanya mirip, ya? Jodoh, mungkin. Arya tersenyum sendiri.

"Baik, Mas Elang. Saya ambilkan."

Bi Titin segera menghambur ke dalam rumah, sedangkan Arya membawa Arinda ke tempat kran air untuk membersihkan luka.

"Aaaa ... perih, Kak."

Arya membasuh luka-luka di tangan dan kaki Arinda dengan air yang mengalir perlahan lewat selang yang masih terpasang di mulut kran.

"Udah, Kak. Sakit."

"Tahan. Sebentar lagi selesai."

"Udah, udah! Aaaaa ...."

Arya tak mempedulikan teriakan Arinda yang kesakitan. Ia terus saja membersihkan luka ringan yang mencederai kaki mulus gadis itu.

"Nah, udah selesai. Yuk, masuk!"

Tanpa aba-aba lagi Arya langsung membawa Arinda ke dalam gendongannya seperti tadi. Tentu saja Arinda terkejut dan spontan menjerit. Meski begitu ia merasa senang.

Sampai di dalam rumah, Arya menurunkan Arinda di atas sofa lalu mendudukkannya dengan posisi kaki diselonjorkan.

"Ini, Mas."

Bi Titin datang membawa apa-apa yang dibutuhkan untuk mengobati luka Arinda. Tadi sempat melihat Arya membasuh luka anak majikannya itu dengan air, jadi ia membawa handuk kecil juga.

"Makasih, Bi," ucap Arinda dan Arya hampir bersamaan.

"Bi, tolong ambilin motor di jalan dekat gerbang komplek. Kuncinya tadi dicabut 'kan, Kak?"

"Iya. Ini," kata Arya sambil mengambil kunci motor dari saku celana lalu diberikan pada Bi Titin.

"Oke, Neng. Semoga aja motornya belum diambil maling, ya."

"Kalo udah diambil, berarti rejeki si maling," celetuk Arinda yang langsung disambut tawa oleh Arya dan Bi Titin.

Kini Arinda dan Arya hanya tinggal berdua di dalam rumah. Dengan telaten lelaki itu mengobati luka-luka Arinda mulai dari mengeringkan dengan handuk kecil sambil sesekali meniupinya agar Arinda tak merasakan sakit, memberi obat merah sampai membalutnya dengan kain kasa.

Arinda memperhatikan Arya yang sedang merawat lukanya. Ingatannya tertuju kembali pada saat ia masih kecil. Dulu Elang juga melakukan hal sama seperti yang Arya lakukan sekarang jika ia terluka. Elang memang sangat perhatian dan sayang padanya dan karena itulah ia jatuh cinta pada lelaki itu.

"Kenapa ngeliatin terus? Suka, ya?" kata Arya yang sadar dirinya sedang diperhatikan.

"Iya, emang. Aku suka, bahkan cinta sama Kakak."

Arya terkejut mendengar pengakuan Arinda, tapi ia menutupinya dengan tetap melanjutkan membalut luka menggunakan kain kasa dan plester.

"Makasih karena Kakak udah bersedia jadi pacarku dan belajar mencintaiku. Itu bikin aku bahagia, Kak." Arinda tersenyum lembut.

Arya membalas senyum Arinda. Ia tak tahu harus berkata apa karena ia bukan Elang. Ternyata dugaannya benar, Arinda adalah pacar Elang. Namun sepertinya cinta gadis itu belum terbalas. Kasihan sekali. Mengapa Elang mau menjadi pacar Arinda jika tidak mencintainya? Apa karena Elang merasa kasihan? Ah, sebaiknya nanti ia tanyakan langsung pada saudara kembarnya itu.

"Ya Allaaah. Arinda, kamu nggak papa? Kata si Titin, kamu jatuh dari motor?"

Arya dan Arinda sontak melihat ke arah pintu. Seorang wanita dengan raut wajah panik tergesa-gesa berjalan menghampiri mereka.

Yulia yang baru saja pulang dari butik langsung memeriksa tubuh anaknya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia ingin memastikan bahwa Arinda hanya mengalami luka ringan seperti apa yang dikatakan Bi Titin. Rasa panik langsung menyerangnya saat tadi di jalan bertemu Bi Titin yang sedang mengambil motor di lokasi Arinda terjatuh. Lalu asisten rumah tangganya itu menceritakan apa yang telah terjadi pada anak semata wayangnya.

"Iya, Ma. Aku jatuh pas lagi belajar bawa motor."

"Udah, jangan dilanjutin lagi belajar bawa motornya. Mama khawatir kamu jatuh lagi. Mama nggak mau kamu kenapa-napa, Sayang."

Yulia memeluk Arinda seakan tak ingin kehilangan. Tangannya sibuk mengusap-usap kepala dan merapikan helai-helai rambut Arinda.

"Aku pengen mandiri, Ma. Nggak mau ngerepotin Mama Papa, apalagi Kak Elang, kalo aku mau bepergian. Masa aku diantar jemput terus? Kayak anak TK aja."

"Ya, nggak masalah. Mama Papa nggak merasa direpotin. Elang juga nggak keberatan, 'kan?" Yulia menoleh ke arah Arya.

"Maaf, Tante. Aku bukan Elang, aku saudara kembarnya."

Akhirnya Arya mengaku. Ia tak mau lama-lama bersandiwara, apalagi di depan orang tua. Cukup Arinda dan Bi Titin saja yang ia kelabui.

"Apa?"

Kedua mata Yulia dan Arinda terbelalak. Saudara kembar? Tiba-tiba Yulia ingat Rahma pernah bercerita padanya bahwa Elang memiliki saudara kembar, tapi menghilang saat berada di tempat rekreasi. Namanya Arya dan belum ditemukan.

"Masya Allah. Jadi kamu teh Arya, kembaran si Aa Elang yang udah lama hilang itu, ya?"

"Muhun."

Yulia berbicara dengan logat Sunda yang sangat khas sehingga membuat Arya yakin bahwa keluarga Arinda berasal dari tanah Pasundan. Lalu ia mengimbanginya.

"Eh, tiasa nyarios Sunda?"

"Tiasa. Orang tua angkatku asli Bandung. Kita sering pake bahasa Sunda kalo di rumah."

"Oh, begitu."

Yulia manggut-manggut lalu lanjut bertanya ini itu pada Arya untuk memuaskan rasa penasarannya. Ia ingin tahu banyak bagaimana Arya bisa ditemukan, ke mana saja Arya selama ini sehingga sulit untuk ditemukan dan lain-lain. Biasalah, namanya juga ibu-ibu kepo. Arinda yang tadi sangat dikhawatirkannya kini malah diabaikan.

"Aku lama tinggal di luar negeri, Tante."

"Lama tinggal di luar negeri tapi nggak lupa bahasa daerah, ya. Salut, euy."

Arya hanya tersenyum sedangkan Arinda masih diam membisu. Ia masih tak percaya bahwa lelaki yang tadi menggendongnya itu bukan Elang. Ia jadi malu tapi juga kesal karena Arya sudah menipunya.

Arinda juga tahu Elang memiliki saudara kembar. Foto Elang dan Arya kecil terpajang di ruang tengah rumah mereka. Arinda yang sering berkunjung ke sana pernah bertanya tentang siapa yang ada di dalam foto tersebut dan Elang menjawab bahwa itu adalah foto dirinya bersama saudara kembarnya, Arya, yang telah lama hilang.

Kini Arya telah kembali. Arinda mengira Arya adalah Elang karena tak ada beda di antara mereka. Ia bermanja-manja padanya dan mengucapkan kata cinta. Ah, memalukan.

"Kakak jahat. Kakak udah bohongin aku."

Teriakan Arinda menghentikan obrolan seru antara Arya dan Yulia. Mereka mengalihkan pandangan pada gadis itu.

"Arinda, kenapa kamu teriak-teriak?"

"Kak Arya udah bohongin aku, Ma. Dia nyamar jadi Kak Elang. Aku kan, jadi malu."

"Jangan panggil 'Kakak', tapi 'Aa'," kata Arya pada Arinda sambil tersenyum manis. "Aku nggak bohong, Tante. Si Neng geulis aja nggak tanya dulu. Main minta gendong aja tadi pas jatuh dari motor," jelasnya pada Yulia.

"Harusnya Kakak-"

Arya menggoyang-goyangkan telunjuk di udara. "Aa," ralatnya. "Kakak itu buat si Elang aja. Biar beda."

Bibir Arinda mengerucut. "Iya, iya. Aa." Ia menurut walau merasa kesal dipaksa-paksa. "Harusnya Aa yang ngenalin diri duluan, bukan aku yang malah disuruh nanya. Dasar aja Aa sengaja mau ngerjain aku," sambung Arinda sewot.

"Emang," balas Arya tanpa dosa lantas tertawa.

"Tuh, kan. Ih, Aa nyebelin banget sih. Nggak kayak Kakak."

"Arinda, stop! Kamu harusnya berterima kasih sama si Aa karena udah ditolongin, bukan malah nyalahin," ujar Yulia menasihati.

Arinda terdiam. Benar juga apa yang dikatakan mamanya. Arya sudah menolongnya tapi tetap saja ia masih kesal dan malu mengingat bagaimana tadi dengan percaya diri minta digendong.

"Oke. Aku berterima kasih sama Aa tapi aku nggak mau maafin Aa karena udah bohongin aku."

"Lagian siapa yang mau minta maaf sama kamu?"

"Iiiiih, sumpah, ya. Aa nyebelin banget."

Arya tertawa. Semakin kesal Arinda, semakin terhibur dirinya. "Tante, anaknya kalo lagi marah makin cantik."

"Siapa dulu mamanya, hehehe."

Wajah Arinda cemberut tapi hatinya tersenyum mendapat pujian begitu.

"Ya udah, aku pulang ya, Tante."

"Kok buru-buru?"

"Aku mau beres-beres barang pindahan," jelas Arya sambil beranjak dari kursi lalu dengan sopan menyalami dan mencium punggung tangan Yulia.

"Nanti ke sini lagi, ya. Ngelanjutin obrolan yang tadi."

"Sip, Tante. Neng geulis, Aa pulang, ya," pamit Arya pada Arinda yang masih terlihat kesal.

"Iya," balas Arinda malas-malasan sambil agak melengos.

Yulia mencolek tangan Arinda lalu berbisik pelan sambil berjalan mengantar Arya sampai depan pintu. Ia merasa tak enak pada Arya. "Arinda, nggak boleh gitu."

Arinda mencuri-curi pandang ke arah Arya yang berjalan beriringan bersama Yulia. Tanpa diduga lelaki kembaran pacarnya itu menoleh ke arahnya dan ia tak bisa berpaling, sudah terlanjur ketahuan. Untuk menghilangkan rasa malu, ia memelototi Arya lalu dibalas lelaki itu dengan meniupkan ciuman kepadanya persis seperti yang ia lakukan tadi pagi di depan jendela kamar.

Seketika Arinda tersadar, tadi pagi bukanlah Elang yang ia kirimi ciuman di udara melainkan Arya. Ah, salah sasaran. Memalukan.

***

Jam tujuh tepat Elang baru bisa keluar dari ruang kerjanya. Dengan langkah cepat ia meninggalkan kantor. Ia ingin segera melihat Arinda, ingin tahu bagaimana keadaan pacarnya itu. Ia sangat khawatir saat mendapat kabar bahwa gadis itu jatuh dari motor. Dari dulu ia selalu merasa khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk pada Arinda.

Elang menyempatkan membeli sebuah boneka. Ia tahu Arinda sangat menyukai boneka. Sudah banyak boneka yang ia berikan sejak gadis itu masih kecil sampai sekarang di usia dua puluh satu.

Keluar dari toko boneka, Elang mencari toko bunga. Karena kini mereka berpacaran meski ia belum mencintai Arinda, ia ingin ada sentuhan romantis dengan memberikan gadis itu seikat bunga.

"Mbak, saya mau pesan bunga melati satu kilo untuk hari Kamis. Bisa, 'kan?"

Elang yang sedang memilih-milih rangkaian bunga berhenti sejenak untuk mendengarkan dengan seksama suara lembut itu. Ia sangat mengenalnya, tak mungkin salah. Sudah pasti pemilik suara itu adalah seorang perempuan dari masa lalunya. Benarkah Sarah ada di kota ini, ada di toko bunga ini?

Elang meletakkan tangan di depan dada. Entah mengapa jantungnya berdebar-debar hanya karena mendengar suara perempuan itu.

"Berarti hari Rabu sore ya, bunganya bisa diambil? Oke. Makasih, ya."

Rupanya perempuan itu telah selesai bertransaksi. Kini Elang mendengar langkah kaki mendekat dan semakin dekat ke arahnya yang sedang berdiri di depan display berundak penuh rangkaian bunga pada vas-vas keramik besar dekat pintu toko.

Satu langkah mendekat, jantung Elang satu kali lebih cepat berdetak. Ia masih menghadapi berbagai bunga dengan aneka warna hingga aroma lembut violet yang dulu pernah dihirupnya hampir tiap hari kini menghampiri indera penciumannya lagi saat perempuan itu berjalan melewatinya. Ia semakin yakin perempuan pemesan bunga melati itu adalah Sarah.

"Sarah," panggil Elang dengan suara agak bergetar sebab merasa terkejut bercampur bahagia.

Perempuan berjilbab merah marun itu menghentikan langkah lalu menoleh. Dua insan yang telah terpisah karena keegoisan orang tua masing-masing itu kini saling pandang, sama-sama tertegun.

"Er."

Panggilan itu. Hanya Sarah yang memanggil dengan penggalan kata dari nama tengahnya, Erlangga. Rasanya saat ini juga ia ingin melompat-lompat saking bahagia bertemu dengan perempuan yang sangat dicintainya. Ini benar-benar seperti mimpi.

"Apa kabar?" Elang berbasa-basi sementara kedua telapak tangannya mulai dingin karena gugup.

"Alhamdulillah, baik. Kamu?" jawab Sarah. Tak lupa perempuan itu tersenyum yang membuat hati Elang berdesir.

"Aku juga baik. Apalagi setelah ketemu kamu. Aku jadi semakin baik."

Sarah tertunduk malu. Elang masih saja seperti itu padahal ia sudah menikah dan memiliki dua orang anak.

"Kamu makin cantik, Sarah."

"Alhamdulillah, makasih."

"Kamu lagi pulang kampung?"

Sarah menikah - lebih tepatnya dijodohkan - saat masih duduk di bangku kuliah semester lima. Meski begitu jalinan asmara dengan Elang masih tetap berlanjut sampai akhirnya di hari wisuda ia memutuskan hubungan terlarang itu. Ia sudah mulai mencintai dan memilih ikut sang suami yang ditugaskan bekerja di Makassar. Sejak saat itu ia dan Elang tak pernah lagi bertemu.

"Enggak. Udah sekitar enam bulan aku emang tinggal di sini lagi."

"Suami kamu udah nggak tugas di Makassar lagi?"

Sarah menggeleng. "Sekarang suamiku udah nggak ditugasin ke mana-mana lagi. Dia udah nggak ada, Er."

"Maksud kamu?"

Mata Sarah berkaca-kaca, wajahnya memerah karena menahan tangis. Ia ingin mengatakan bahwa suaminya telah meninggal, kini ia seorang janda tapi suaranya tersendat di tenggorokan.

"Sarah, kamu kenapa?" Elang panik melihat Sarah menangis.

"Suamiku udah meninggal, Er." Akhirnya Sarah berhasil mengatakannya.

Mulut Elang menggumamkan innalillah tapi dalam hati mengucap alhamdulillah. Ia memang sungguh jahat. Ia ikut bersedih tapi juga ada rasa bahagia yang menelusup di hatinya. Apakah Tuhan mengabulkan harapannya?

"Aku pulang, ya."

Sarah berhasil meredakan tangis singkatnya. Tangannya sibuk menghapus air mata yang membasahi pipi.

"Ini."

Elang menyodorkan sapu tangan pada Sarah, tapi perempuan itu menolak lalu buru-buru keluar dari toko.

"Senang ketemu kamu lagi, Er," katanya sebelum menutup pintu.

"Aku juga, Sarah. Sangat senang," balas Elang sambil terus menatap punggung Sarah dari balik kaca toko sampai mantan pacarnya itu masuk mobil, lalu menghilang dari pandangan.

Elang memilih seikat mawar merah muda untuk Arinda. Suasana hatinya menjadi lebih baik setelah bertemu Sarah. Seulas senyum selalu menghiasi wajah tampannya. Mulutnya bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar dari stereo mobil. Suara merdu Raisa menemani perjalanannya menuju rumah sang kekasih.

Jika wangimu saja bisa

memindahkan duniaku

Maka cintamu pasti bisa

mengubah jalan hidupku

Cukup sekali saja

aku pernah merasa

betapa menyiksa kehilanganmu

Kau tak terganti

Kau yang selalu ku nanti

Takkan ku lepas lagi

Pegang tanganku

Bersama jatuh cinta

Kali kedua pada yang sama

Sama indahnya

Rasa bahagia tengah menyelimuti hati Elang, tapi ia juga galau. Di saat ia sedang mencoba mencintai perempuan lain dan berusaha melupakan Sarah, mengapa matan kekasihnya itu malah datang dengan status tak bersuami lagi.

Ini kesempatan bagus untuk kembali pada Sarah, tapi bagaimana dengan Arinda? Elang tak tega jika harus menyakiti hati gadis itu. Lagi.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marwah Cacabila
kasihan arinda ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status