Share

7

Setiap orang yang berpapasan dengannya tersenyum, menyapa atau hanya mengangguk sopan sebagai tanda hormat sepanjang ia berjalan dari pintu masuk menuju meja resepsionis. Tentu saja tanpa sungkan ia membalas dengan senyum ramah.

Melinda, si resepsionis tersenyum semringah saat melihat sang wakil direktur yang rupawan itu berjalan ke arahnya. Tidak biasanya lelaki bertubuh jangkung itu mendatangi mejanya. Biasanya hanya sekadar lewat sambil tersenyum seperlunya.

"Selamat pagi, Melinda," ucap lelaki berkemeja dark burgundy itu setelah melihat sekilas name tag yang tersemat di dada kiri Melinda.

"Selamat pagi, Pak," balas Melinda yang masih mempertahankan senyum. Oh, hari ini ia benar-benar merasa beruntung karena lelaki dambaan setiap karyawati di kantor ini menyapanya dengan hangat. Ini jarang sekali terjadi. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" lanjutnya berbasa-basi.

Lelaki itu tersenyum yang membuat jantung Melinda berdetak tak karuan. "Ya. Saya ingin bertemu dengan Pak Shahreza Erlangga Sunarso. Ruangannya di lantai berapa, ya?"

Senyuman indah yang terukir di wajah Melinda lenyaplah sudah berganti dengan raut kebingungan. Apa ia tidak salah dengar? Pak Erlangga menanyakan ruangannya sendiri? Astaga! Sepertinya lelaki itu sedang terserang amnesia.

***

"Bonita, ke ruangan saya sekarang."

Beberapa detik kemudian seorang perempuan bertubuh tinggi semampai dengan rambut sebahu memasuki ruangan Elang.

"Ada apa, Pak?"

"Menurut kamu, penampilan saya gimana? Udah oke, belum? Apa masih ada yang kurang?" Elang bertanya sambil agak merentangkan kedua tangan.

Kedua mata Bonita melebar. Ia kira akan disuruh untuk mengerjakan sesuatu tapi ternyata ... Bonita terkikik geli dalam hati. Setelah tiga tahun bekerja bersama Elang, baru kali ini ia dimintai pendapat soal penampilan bosnya itu. Tumben sekali, tidak biasa. Sepertinya lelaki itu akan bertemu dengan seorang perempuan. Gebetan atau malah calon istri, mungkin?

"Sempurna, Pak," komentar Bonita diiringi senyuman dengan menunjukkan ibu jari dan telunjuk membentuk huruf O.

"Benar?"

"Ya." Bonita mengangguk pasti. Setiap hari penampilan bosnya itu memanglah selalu sempurna. Ya, lelaki tampan dan bertubuh atletis seperti Elang meskipun hanya memakai jins belel dan kaos oblong pasti tetap akan terlihat keren.

"Memangnya Bapak mau ketemu siapa? Calon istri, ya?"

"Bukan. Nanti juga kamu tau."

Terdengar suara pintu diketuk. Elang melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul sembilan tepat. Tiba-tiba ia jadi deg-degan seperti akan bertemu dengan gebetan. Bahkan lebih deg-degan dari itu.

"Nah, itu dia orangnya sudah datang. Bonita, tolong bukakan pintu."

"Baik, Pak."

Bonita berjalan menuju pintu lalu membukanya. Setelah tahu siapa sosok yang berdiri di balik pintu, ia terperangah. Seorang lelaki menyerupai bosnya tengah berdiri sambil tersenyum ramah padanya.

"Benar ini ruangan Pak Shahreza Erlangga, direktur keuangan perusahaan ini?"

"I-i-iya, Pak. Benar," jawab Bonita terbata-bata. Bukan hanya fisik, suara lelaki itu pun sama dengan bosnya. Jangan-jangan mereka adalah sepasang saudara kembar yang telah lama terpisah, pikirnya.

"Boleh saya masuk?"

"Oh, maaf. Iya, Pak. Silakan masuk. Pak Erlangga sudah menunggu Anda."

Bonita menepi agar duplikat bosnya itu bisa leluasa masuk, kemudian ia permisi untuk kembali ke ruangannya. Sebelum keluar, ia sempat mendengar Elang minta dibuatkan dua cangkir kopi.

"Baik, Pak," balasnya.

Pintu ditutup.

Hening.

Dua orang di dalam ruangan itu hanya bisa saling menatap. Mereka seperti sedang bercermin. Bahkan kemeja yang mereka pakai berwarna sama, hanya saja milik Elang bergaris hitam di bagian kerah, kancing dan pergelangan tangan. Hati dan pikiran sepasang anak kembar memang selalu terhubung meski mereka terpisah jarak.

Mereka mendadak bisu. Entah kata apa yang harus mereka ucap. Namun, dari tatapan mata keduanya sama-sama menyiratkan ketidakpercayaan, kerinduan dan kebahagiaan.

Elang masih berdiri di balik meja, sedangkan Arya tetap mematung beberapa langkah di depan pintu. Keduanya hampir tak percaya bahwa mereka kini bisa bertemu setelah dua puluh empat tahun terpisah.

"Yaya."

Perlahan-lahan Elang mulai berjalan ke arah saudara kembarnya yang terlihat kebingungan. Arya menoleh ke sana- ke mari seperti sedang mencari sesuatu. Elang jadi sedikit heran.

"Mana Raisa? Mana?"

"Raisa?" Elang yang sudah berhadapan dengan Arya mengerutkan kening tapi sesaat kemudian tersadar. "Hei! Yaya itu kamu, bukan Raisa. Kata Mama, Yaya itu panggilan kamu waktu kecil."

"Oh, nama panggilan gue Yaya? Sama dong, kayak penyanyi favorit gue."

"Lo suka Raisa?" Setelah mendengar Arya menggunakan kata 'gue' untuk dirinya sendiri, akhirnya Elang memutuskan untuk ber-elo gue dengan saudara kembarnya itu.

"Banget. Suaranya itu, lho. Seksi."

"Sama dong. Gue juga suka Raisa," kata Elang bersemangat.

"Wah, lo emang bener kembaran gue." Arya tertawa bahagia.

"Belum tentu."

"Lho, kok?"

"Coba buka baju lo." Tangan Elang sudah menyentuh kancing kedua kemeja Arya.

"Hei, mau ngapain lo?" Arya menyingkirkan tangan Elang kemudian melangkah mundur. Tiba-tiba ia merasa seperti akan diperkosa. Ah, kenapa bisa jadi begini? Ia kira pertemuan pertama dengan saudara kembarnya akan berlangsung mengharu biru bukan konyol seperti ini.

"Gue cuma mau liat di punggung lo ada tahi lalat nggak? Kalo ada, berarti lo beneran Arya kembaran gue yang hilang," jelas Elang.

"O, itu. Iya, ada."

"Ya udah, gue mau lihat." Elang maju selangkah dan Arya mundur lagi selangkah.

"Jadi gue harus buka baju nih?"

"Iya lah."

Arya mendengkus sebal. Mau tak mau akhirnya ia membuka satu per satu kancing kemeja lalu setelah itu menarik ke atas kaus dalamnya. "Tuh, lihat! Ada, 'kan?" katanya sambil memunggungi Elang.

"Iya, ada," seru Elang kemudian membalik tubuh Arya. "Benar, lo emang Shahreza Ariandra kembaran gue!"

Tanpa sungkan Elang memeluk Arya, Arya pun membalasnya. Untuk beberapa saat mereka terdiam, larut dalam kebahagiaan dan keharuan yang menyelimuti sampai akhirnya terdengar suara pintu terbuka disusul pekik tertahan seorang perempuan.

"Owh!"

Elang dan Arya saling melepaskan pelukan lalu melihat ke arah pintu. Di sana berdiri Bonita dengan nampan berisi dua cangkir kopi di tangan kanan sementara tangan kirinya menutupi mata.

***

Hari ini Rahma memilih tidak pergi ke klinik. Entah mengapa rasanya ia ingin berada di rumah saja. Ia menyuruh asisten rumah tangga agar membuat rumah lebih bersih dan rapi, sedangkan ia sendiri memasak di dapur. Benar-benar seperti akan kedatangan seorang tamu istimewa.

"Sebentar," teriak Rahma saat mendengar suara bel tanda rumahnya kedatangan seseorang.

Rahma bergegas menuju bagian depan rumah untuk membuka pintu, lalu seketika terkesima melihat dua sosok pemuda dengan wajah serupa yang tengah berdiri tepat di hadapannya. Ia tahu yang berkemeja dengan paduan warna hitam adalah Elang, tapi yang satu lagi ... Benarkah itu adalah anaknya yang telah hilang selama dua puluh empat tahun? Nyatakah ini atau hanya sekadar halusinasi karena ia selalu berharap anaknya itu akan kembali suatu hari nanti.

Lama Rahma memandangi pemuda itu sampai akhirnya bersuara. "Nak, Mama enggak lagi mimpi, 'kan? Kamu Arya?"

Arya menyentuh kedua tangan Rahma yang menangkup wajahnya. "Ini nyata, Ma, bukan mimpi. Iya, ini Arya," jawabnya, kemudian mencium punggung tangan Rahma lalu memeluk ibu kandungnya itu.

"Alhamdulillah. Mama tahu Allah mendengar do'a Mama dan hari ini Dia mengabulkannya. Kamu kembali, Nak, dalam keadaan hidup dan sehat. Alhamdulillah."

Rahma tak henti-henti mengucap syukur di sela isak tangisnya di pelukan sang anak. Ia tak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya saat ini. Bahagia, haru, tak percaya, semua bercampur menjadi satu. Sementara Arya sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Suaranya tertahan di tenggorokan karena menangis bahagia.

Elang tersenyum bahagia melihat pemandangan di depannya lalu ikut bergabung memeluk mama dan saudara kembarnya. Akhirnya keluarganya lengkap kembali walau minus kehadiran sang papa.

***

"Mama, aku mohon maafkan orang tua angkatku. Mereka emang salah karena nggak ngembaliin aku ke Mama dan Papa tapi aku sayang banget sama mereka, begitu juga sebaliknya," kata Arya pada Rahma setelah mereka selesai makan malam. "Sebelum aku tahu kalo aku bukan anak mereka, yang aku tahu mereka itu orang tua kandungku."

Dulu Arya ditemukan sepasang suami istri di area luar sebuah tempat rekreasi keluarga. Kebetulan mereka sedang mengajak keponakan karena mereka berdua tak memiliki anak. Sang suami divonis mandul oleh dokter. Saat melihat seorang anak kecil yang sedang menangis sendirian, mereka langsung tertarik lalu membawanya pulang. Sehari kemudian berita kehilangan anak gencar diberitakan di stasiun televisi, juga surat kabar.

Mereka tidak mengembalikan Arya pada orang tuanya, malah membawa serta anak berusia lima tahun itu ke Jerman, tempat si suami bekerja. Mereka lama menetap di sana dan hanya sesekali pulang ke Indonesia. Hingga akhirnya si suami pensiun, barulah mereka memutuskan untuk menghabiskan masa tua di Indonesia tapi tidak dengan Arya. Anak angkatnya itu memilih tinggal lebih lama di Eropa untuk melanjutkan pendidikan, bahkan lalu mendapatkan pekerjaan di benua biru itu.

Sekitar dua tahun lalu saat papa angkatnya mulai sakit-sakitan, barulah Arya memutuskan untuk tinggal di Indonesia, tepatnya di Bandung tempat asal orang tua angkatnya. Di sebuah rumah di tengah kebun sayuran Arya menemani orang tua angkatnya menghabiskan sisa usia mereka.

Papa angkatnya meninggal lebih dulu lalu disusul mamanya setahun kemudian. Sehari sebelum meninggal, mama angkatnya memberi tahu sebuah rahasia besar yaitu kebenaran tentang Arya bukanlah anak kandung mereka. Lalu wanita itu menceritakan semuanya juga memberikan sebuah potongan koran yang telah menguning. Tak hanya itu, mama angkatnya pun memberikan dua potong baju anak kecil yang telah usang. Baju itu yang dipakai Arya saat menghilang dulu.

Setelah empat puluh hari kematian mama angkatnya, Arya pergi ke Jakarta untuk menemukan keluarga kandungnya berbekal potongan koran dan dua potong baju itu. Di Jakarta, ia menyewa sebuah apartemen di kawasan Kuningan. Dalam waktu kurang lebih dua minggu ia mencari tahu segala sesuatu tentang keluarga kandungnya sendiri dan berhasil.

"Iya. Meski Mama benci dan kesal karena mereka udah nyulik kamu, tapi Mama tetap memaafkan mereka. Lagian mau dibawa ke jalur hukum juga percuma, mereka udah meninggal, 'kan?"

"Iya, Ma. Makasih ya, udah mau memaafkan orang tua angkatku."

Rahma tersenyum lantas mengusap sayang kepala Arya.

Malam ini terasa indah bagi Rahma. Ia yang pada malam-malam sebelumnya hanya ditemani oleh Elang saat bersantai sambil menyaksikan acara televisi seperti ini, kini bertambah lagi satu anak yang menemani. Rumah jadi tidak terlalu sepi. Lagi, ia menatap Arya. Ia takut ini hanyalah mimpi semata.

Ibu dan anak yang telah lama tidak bertemu itu asyik mengobrol. Kebanyakan Arya yang bercerita tentang kehidupannya di luar negeri. Mulai dari sekolah di Jerman sampai kuliah di Inggris. Lulus kuliah Arya sempat bekerja di perusahaan konsultan global khusus bidang IT di Inggris sebelum akhirnya memutuskan pulang ke tanah air dan menetap di Bandung.

"Tuh kan, Ma. Coba kalo dulu Mama ngizinin aku kuliah di Inggris, pasti udah lama kita ketemu sama Arya," ujar Elang mengenang masa lalu yang juga berkeinginan untuk kuliah di negeri Ratu Elizabeth itu.

"Emang Mama nggak ngizinin lo kuliah di luar negeri?" tanya Arya.

"Boro-boro ke luar negeri, ke luar kota aja nggak diizinin. Gue mah utar-uter di kota ini aja sampe sekarang juga."

Rahma tertawa melihat Elang yang uring-uringan. "Mama takut anak yang tinggal satu hilang lagi. Mama juga nggak mau ditinggal sendirian di rumah. Sepi," jelas Rahma.

"Tenang aja, Ma. Sekarang Mama nggak usah khawatir kesepian lagi. Ada kita berdua di sini yang nemenin Mama," ujar Arya seraya menggenggam tangan Rahma.

Tak terasa malam sudah menjelang larut. Rahma yang sudah mengantuk pamit untuk tidur terlebih dulu. Tak lupa sebelumnya Rahma menunjukan kamar Arya yang terletak tepat di sebelah kamar Elang. Sebuah kamar yang sudah lama tak ditempati, kini penghuninya sudah kembali.

Malam berganti pagi, satu hari baru datang.

Suara gemericik air membangunkan Arya dari tidur. Kedua matanya perlahan-lahan terbuka lalu melihat sekeliling. Kini ia berada di kamar Elang. Semalam mereka asyik mengobrol ngalor-ngidul di sini hingga keduanya diserang rasa kantuk kemudian terlelap.

Baru saja Arya turun dari tempat tidur dan tanpa sengaja melihat ke arah jendela dengan gorden yang sudah terbuka. Ada yang menarik perhatiannya di luar sana, tepatnya di rumah seberang. Seorang gadis sedang berdiri di depan jendela dan sepertinya tatapannya mengarah ke sini.

Penasaran, Arya mendekat ke jendela lalu tanpa diduga gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahnya. Arya pun balas tersenyum. Lalu gadis itu terlihat mencium telapak tangan kanannya kemudian ditiupkan ke arah Arya. Tentu saja ia dengan senang hati meladeni gadis itu. Ia bertingkah seolah-olah menangkap apa yang ditiupkan oleh gadis itu lalu memasukkannya ke dalam dada.

Gadis di seberang sana tersenyum lebar sebelum meninggalkan jendela dan Arya tahu senyum itu sangat cantik walau dilihat dari kejauhan.

Arya penasaran dengan gadis itu. Siapakah gerangan dia?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status