“Kenapa antara kamu dan Bian?”
Byanca hanya diam. Dia sudah bisa menebak akan pertanyaan ini yang dilontarkan Clara—sahabatnya. Pertanyaan itu mengundang memori-memori kejahatan Bian. Byanca sendiri tak sanggup untuk membagikannya.
“Kalau mau nangis, nangis aja! Jangan ditahan.” Clara memeluk Byanca dan menepuk pundak sahabatnya itu. Saat ini mereka sedang berada dalam mobil Clara. Tadi, ia sempat bertengkar pada ibu-ibu yang bergosip di belakang Byanca.
“By… jangan ngerasa sendiri. Ada aku yang siap menerima ceritamu. Kapan pun itu dan apapun itu. Berbagilah!”
Byanca membanjiri kemeja Clara dengan air mata. Meski ia tak meraung, tapi tangisnya pecah tanpa bisa dicegah. Clara memang bisa menyimpan rahasia tapi Byanca tetap merasa ini bukan konsumsi Clara jika tentang masalah rumah tangganya. Baginya, hanya dia dan Bian lah yang paling berhak atas cerita mereka.
“Kamu masih aja lindungi Bian padahal dia udah jahatin kamu. Baiklah! Kalau kamu belum siap bercerita. Tak apa, yang penting kamu harus kuat demi Ken.”
Clara melepas pelukan mereka, ia memberikan tisu kepada Byanca. Sudah lama ia tak melihat wanita ini rapuh. Seingatnya, terakhir kali ketika Om Dewo—Papa Byanca pergi meninggalkan mereka. Sekarang Byanca juga terjebak permasalahan yang sama, orang ketiga.
“Aku bersumpah akan membalaskan dendam kepada Bian untuk mu, By.”
“Jangan!”
Clara sudah menebak Byanca tidak akan setuju dengan pendapatnya.
“Biarkan mereka hidup sebagai mana mestinya, Cla. Biar Allah saja yang membalas. Kita tidak perlu.”
Nah, itulah sahabat Clara. Sesakit apapun ia lebih memilih pasrah dan berserah. Memang bagus sih, tapi bagi Clara itu terlalu lembek. Kita juga harus mempunyai cara membela diri kita sendiri. Meski dengan-atau persetujuan Byanca, Clara tetap akan membalaskan dendam itu. Kali ini Bian tak bisa lolos darinya, meski Clara masih belum bisa mengatur rencana apa.
“Kamu punya masker, ngga?”
Clara menggeleng. “Untuk apa?”
“Sebentar lagi Ken keluar kelas, aku ga mau dia tahu aku nangis. Nanti bilang aja aku flu karena debu.”
Setelah menemukan masker yang terselip di tas Clara, mereka berdua pun keluar karena alarm pulang sekolah telah berbunyi. Clara mengamati mata Byanca yang berbinar ketika menatap Ken berlari dan merentangkan tangannya. Wanita ini sangat kuat, padahal lima menit lalu ia menangis.
“Kamu capek?” Byanca berbisik pada Ken. Anak itu langsung melepas pelukan mereka.
“No, Mami. I’m happy because you are here.” Kentara sekali memang Ken tidak berbohong. Ia terus mengumbar senyuman tanpa lelah.
“Anak manis… Kamu ngga kangen Tante?”
Ken menoleh pada Clara dan baru menyadari jika wanita itu di sini. Ia tersenyum cengengesan dan memberi isyarat untuk memeluk Clara. “Ken kangen Tante Cla…”
“Oh, good boy.” Clara mengacak-acak rambut Ken. “Kalau begitu izinkan Tante menginap di rumah kalian malam ini. Okey?”
Ken langsung mengacungkan jempolnya, “Tentu… Bolehkan, Mi?”
Byanca tak punya alasan untuk menolak. Lagi pula rumahnya terlalu sepi tanpa kehadiran Bian. “Boleh, tapi Tante Cla harus tidur bareng kita.”
Ken berteriak senang. Ia bergantian mencium pipi Byanca dan Clara. Nanti dia bisa mengajak mereka berdua bermain. Sebenarnya Ken selalu kesepian jika di rumah, temannya hanya Mbak Sri dan Mbok Ros dan terkadang dia bosan.
“Mau ke mal?” tawar Byanca. Ken setuju tapi Clara tidak.
Ia berbisik pada Byanca, “Aku khawatir kamu dan Ken nggak nyaman. Banyak penguntit.” Clara menunjuk dengan dagunya ke kanan dan kiri. Benar saja, ternyata banyak wartawan yang mengikuti mereka.
Tak heran jika wartawan berlomba-lomba mengikuti mereka. Mengingat status Bian sebagai pengusaha terkenal dan juga terlahir dari sepasang musisi legendaris. Berita ini tentunya sangat banyak ditunggu oleh masyarakat luas. Byanca paham akan gerak-geriknya yang bisa saja dijadikan berita palsu atau digiring seolah berita itu penting.
“Bagaimana kalau kita bermain kuda saja. Tiba-tiba Mami kangen Lorenzo.”
Lorenzo adalah kuda kesayangan Byanca. Kuda itu hadiah ulang tahun dari Bian dua tahun yang lalu. Lorenzo adalah jenis kuda kuartal amerika. Ia berlari sangat cepat. Olehnya, Byanca menamai Lorenzo.
“Ken setuju!” Ken melompat kegirangan. Pasalnya, ia sudah sangat lama tidak bermain kuda lagi. “Aku juga ingin menunggangi Lorenzo bersama Mami.”
“Tante juga mau dong kalau begitu.” Clara memamerkan gigi putihnya sebagai bentuk permohonan manis.
Ken langsung menggeleng, “No, Tante! Nanti Lorenzo kelelahan. Lebih baik Tante menunggangi Gypsy saja.”
Byanca hamper tersedak. Gypsy adalah kuda kesayangan Bian. Apakah ia akan marah jika Clara menungganginya? Pasalnya, Byanca pun tak diizinkan menunggangi tanpa ada pengawasan dari Bian. Bian selalu bilang kalau kuda itu sangat langka, jadi ia menjaganya dengan hati-hati.
“Baiklah!” Clara menyetujui perkataan Ken.
“Tapi kita harus izin Daddy dulu.” Clara melototi Byanca yang masih peduli pada Bian. “Karena Gypsy adalah kuda kesayangan Daddy,” terang Byanca agar Clara menyadari bahwa Gypsy bukan kuda sembarangan.
“Biar Ken saja yang menelepon Daddy. Ayo, Mi kita pulang.”
Byanca menggendong Ken. Ia sama sekali tak merasa keberatan, justru ia senang. Seberat apapun badan Ken, baginya Ken adalah bayi mungil seringan boneka.
“Ken..”
Anak perempuan berlari dengan wajah keringat membasahi rambutnya. Anak itu terlihat cantik, serasi dengan kulit putih dan pipi tembemnya beserta poni yang bertengger di atas alis. Ia tersenyum manis kepada Byanca dan Clara. Kemudian ia menyerahkan sebuah bungkusan kepada Ken.
Ken ragu-ragu ingin menerima, karena ia sudah tahu apa isi dalam bungkusan itu. Permen gula-gula. Mami bisa memarahinya tanpa ampun jika tahu itu, namun ia juga tak ingin menolak pemberian Rayya. Ken melirik sebentar ke arah Byanca. Ia menyengir dan memegangi tangan Byanca. “Ken boleh terima hadiah dari Rayya, Mi?”
Byanca tertegun mendengar nama gadis cilik di hadapannya adalah Rayya. Ia masih ingat dengan jelas perkataan Ken tadi. Byanca merasa jika Rayya adalah anak baik hanya saja ia tidak tahu jika kebanyakan memakan permen gula-gula dapat merusak kesehatan giginya.
“Rayya terima kasih hadiahnya.”
Ken tersenyum hangat, ia segera meringsut ke hadapan Rayya. Rayya menatap Ken dengan malu-malu hingga wajahnya memerah. “Terima kasih, Ayya.”
Rayya tersenyum malu-malu hingga wajahnya memerah kemdian ia mengangguk.
“Rayya apakah kamu mau bermain bersama Ken?” Clara mengelus rambut panjang Rayya. Meski pun ia belum pernah melahirkan, namun rasa suka kepada anak kecil tumbuh secara naluriah.
Rayya mengangguk bahagia. Baginya, Ken adalah satu-satunya teman yang paling dekat dengannya.
“Bagaimana kalau kita mengajak Rayya menunggangi kuda bersama kita?” Clara menatap sepasang ibu dan anak itu dengan penuh harapan. Jika Rayya bisa ikut, setidaknya Ken tidak akan menempeli Byanca terus sehingga Clara bebas menanyakan tentang Bian.
“Tidak… Rayya cengeng. Dia akan menangis terus-terusan dan menghabiskan waktu kita. Ken tidak mau, Mi.”
Byanca tak menyangka bila Ken sangat ketus. Di pikirannya anak ini adalah anak berkelakuan manis. “Rayya bukan cengeng, itu wajar bagi anak perempuan.” Byanca memeringati Ken karena melihat mata Rayya berkaca-kaca.
“Aku menyayangi, Tante.” Rayya memeluk kaki Byanca.
Byanca sudah lama mengidamkan anak perempuan. Setelah Ken berusia empat tahun, ia dan Bian sempat berkonsultasi pada dokter kandungan untuk melakukan program kehamilan dan meminta tips agar bisa memiliki anak perempuan. Namun, semuanya musnah seiring waktu berpisah.
Clara menemani Rayya mendatangi supir yang menjemputnya. Ia juga menelepon ibunya Rayya untuk meminta izin. Untungnya, ibu Rayya sudah mengenal Ken karena ternyata diam-diam Rayya sering menceritakan Ken di rumah. Rayya pun diizinkan dan pengasuhnya harus mendampingi. Ibunya beralasan agar Rayya tidak merepotkan mereka. Padahal, Clara sudah menjelaskan bahwa ia tidak merasa direpotkan.
“Tante… jangan beri tahu Ken.” Rayya menarik tangan Clara. Gadis kecil itu mencebik bibirnya. Bagi Clara, Reyya terlihat lucu maka ia mencium pipi tembem itu.
“Tante akan memberi tahunya agar selalu bermain denganmu.”
Rayya tersenyum senang. Namun, ketika ingatan tentang kejadian di kelas tadi membuatnya menarik kembali tangan Clara.
“Kenapa kamu jadi sedih?”
“Tante, sebenarnya tadi Ken diejek sama Morgan.” Rayya melukis lingkaran dengan kakinya. Ia menunduk tak senang.
“Siapa Morgan? Apa yang dikatakannya pada Ken kita?”
Mendengar ‘Ken Kita’ Rayya tersipu dan mendongakkan wajahnya. “Morgan bilang kalau sebentar lagi Ken akan punya ibu tiri seperti kisah bawang putih.” Rayya menggoyangkan tangan Clara lagi. “Itu tidak akan terjadi kan, Tante?”
Sang mentari dengan gagahnya menyinari bumi. Tak ada keraguan teriknya menyengat setiap jiwa, namun tak membuat Byanca, Clara, Ken dan Rayya patah semangat untuk menunggangi kuda. Lorenzo dan Gypsy—sang kuda sudah siap menunggu mereka.“Mi, kita naik Lorenzo saja!” Ken menarik tangan Byanca. “Hai, Lorenzo,” sapanya begitu manis.Sementara Clara dan Rayya mulai mendekati Gypsy. “Ayo kita kalahkan Ken, Tante…” Rayya mengulurkan lidahnya ke arah Ken.Pelatih—yang sengaja dipanggil Byanca memberi instruksi kemudian mengajak mereka beserta Lorenzo dan Gypsy untuk mengelilingi lapangan terlebih dahulu. Setelah itu barulah mereka menunggangi kuda.Sepanjang permainan yang ada dalam bayangan Byanca adalah kenangan ia bersama Bian. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Bian begitu antusias mengajarinya menunggangi kuda. Sebenarnya Byanca sudah pernah
Rayya kecil melambaikan tangan. Mobil jemputannya sudah tiba. Mungkin Mama Rayya sudah merindukan sang putri. Langit pun sudah merindukan mentari, kini ia ingin membawa mentari pulang dan berganti dengan rembulan.“Ada yang sedih ni.”“Siapa yang sedih?”Clara hanya mengangkat bahunya kemudian ia merosotkan tubuh ke atas sofa. “Rayya pulang, sepi pun datang.”Ken mencebikkan bibirnya. Dia tak setuju jika Rayya tiada maka rumah akan sepi. Memang gadis itu bisa apa selain menangis. Bahkan Ken masih mengingat, Rayya yang tiba-tiba menangis usai makan siang tadi. Ia terus memanggil mamanya. Untung saja Tante Clara menyimpan nomor telepon Tante Amira—Mama Rayya, jika tidak, bisa dipastikan rumah Ken banjir air mata.“Mikirin apa, Nak?” Byanca mengelus surai hitam Ken. Ia mengangkat tubuh Ken ke atas pangkuannya. Byanca sangat suka
“Daddy tadi Tante Cla menunggangi Gypsy. Tidak apa ‘kan, Dad?” Ken meletakkan ponselnya bersandar di punggung ranjang, sementara ia sedang tengkurap dengan menopang kedua tangan di dagu.Clara melirik pada Ken. Penasaran apa kiranya aduan bocah kecil ini pada ayahnya. Ia juga memerhatikan wajah Byanca yang terlihat sendu sebelum masuk ke kamar mandi. Pasti ia merindukan Bian.“Tante Cla?”Ken dengan cepat mengangguk. Ia menatap Tante Cla—meminta persetujuan agar kamera ponselnya mengarah pada Clara. Tapi, Clara menolak. Yang benar saja, ia ingin melihat wajah Bian. Memikirkannya saja Clara jadi kesal.“Oh, tidak apa dong,” segera Bian berkata karena melihat wajah putranya sendu. “Pasti seru banget main kudanya. Gypsy atau Lorenzo tidak ada yang nakal kan?”Ken menggeleng lemah. “Tidak, Dad. Hanya saja…&rdquo
“By…tepungnya yang mana?” Clara mengangkat dua buah stoples berisi tepung. Dari warnanya yang putih, Clara sangat susah membedakan antara tepung tapioka dan tepung terigu.Sejak subuh tadi, keduanya memutuskan berkolaborasi di dapur. Membuat sesuatu yang baru untuk menu sarapan. Setelah percakapan pada pukul dua dini hari, Byanca memutuskan untuk bercerita semuanya kepada Clara. Ia merincikan setiap kejadian antara dia dan Bian. Byanca juga mengaku bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. Ada rasa sedih, kesal dan amarah yang tak tersalurkan, namun harus Byanca biarkan mengendap dalam hati saja. Kini, tak ada lagi rahasia, Byanca yakin jika Clara mampu menjaga ceritanya. Alhasil, mereka tak tidur lagi dan berakhir dengan aksi memasak.Clara bukanlah seorang wanita yang akrab dengan segala tetek bengek penghuni dapur, hanya saja ketika bersama Byanca entah mengapa ia sangat antusias memasak. Ia sangat suka melihat tan
Byanca tak berselera untuk bekerja. Ia menitipkan segala urusan perusahaan pada Nirina, asistennya. Ini baru kali pertama ia lakukan, biasanya sesibuk apapun atau secapek apapun Byanca tetap profesional. Berdiri dan menaungi perusahaan yang ia rintis sejak usia 20 tahun itu dengan senang hati. Namun, tidak dengan sekarang. Semangatnya hilang bersama angan. Ombak menenggelamkannya ke dasar laut.Menemani Ken seperti candu baginya. Berapa waktu yang ia gunakan untuk bekerja hingga tidak memperhatikan perkembangan putra semata wayangnya. Lihatlah, sekarang Ken sudah pandai berenang. Ia tak takut lagi dan terlihat lihai. Entah sejak kapan itu terjadi, Byanca tak tahu dan ia menyesal membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya.“Ken pintar banget. Masih umur empat tahun udah jago ini itu.” Clara datang dengan membawa dua minuman kaleng untuk mereka.Clara pun sama dengan Byanca—tak berselera kerja. Clara memang
‘Abian, anak pasangan musisi David Backson dan Rentina Sarasti mengaku sudah bercerai dengan istrinya, Byanca’‘Tak ada angin, tak ada hujan. Tiba-tiba saja Bian mengumumkan sudah bercerai dengan istrinya dan akan segera melangsungkan pernikahan dengan Indira Baskoro’Tepat pada pukul sepuluh pagi, Bian menghadiri sebuah konferensi pers. Dimana ia mengakui bahwa sedang berkencan dengan Indira dan juga mengakui telah resmi menyandang status duda. Sekitar tiga bulan mendatang, mereka akan menggelar sebuah resepsi pernikahan.Tak ada raut sendu di wajah Bian, justru ia terlihat santai dan tenang. Seakan yang diaktakannya adalah sebuah kenyataan. Tidak, itu sama sekali tidak benar. Ia dan Byanca belum resmi bercerai. Bian hanya melayangkan talak lewat telepon. Byanca ingin memaki di depan Bian, setengah mati ia menahan rasa yang seenaknya dihancurkan begitu saja tanpa sisa. Bian jahat, Bian bukan Bian
Basri menghela napas berat, kemudian ia menatap Byanca. “Tidak ada. Beliau hanya berpesan bahwa rumah ini beserta isinya, villa yang ada di Bali, Appartement lama, Alphard dan Range Rover semua akan ditangguhkan atas nama anda dan Ken. Ah, iya saya lupa ia juga memberikan saham 10% atas perusahaannya untuk Ken dewasa kelak, Bu.”“Saya tidak butuh harta.” Dada Byanca naik turun menahan emosi. Apa Bian berpikir bahwa selama ini Byanca bersamanya hanya karena harta? Apa Bian tak merasakan ketulusan di hati Byanca. Keterlaluan sekali. Bian sama sekali menjijikkan dan tak punya hati. Mengapa Byanca bisa mencintai pria seperti itu.“Sampaikan pada Bian. Aku tak menginginkan harta. Yang aku inginkan adalah ia datang menemui ku dan Ken. Setidaknya ia menyampaikan maksudnya dengan baik. Aku tidak akan menahannya untuk pergi atau menghancurkan mimpi indahnya untuk menikah lagi. Tidak sama sekali. Yang aku inginkan hanya s
Yang membencimu akan semakin membenci ketika kamu dalam kerterpurukan. Tak peduli seberapa baik usahamu menyenangkannya. Karena itu semua hanya kamuflase.“Pak Bian tidak ada. Anda dilarang masuk!” Resepsionis itu — Amel mengusir Byanca dengan nada ketus. Ia bahkan berkacak pinggang seakan lupa bahwa dulu ia sangat menghormati wanita ini.“Amel jangan kurang ajar kamu. Saya mau ketemu Bian,” tekan Byanca. Ia sebenarnya bukan tipe orang yang selalu mempermalukan diri di hadapan publik. Namun, Amel terus saja menghalangi langkahnya.“Kamu yang kurang ajar. Saya sudah bilang kalau kamu tidak boleh masuk.” Amel mencengkeram tangan Byanca kemudian mendorongnya keluar.“Pak… Usir wanita ini! Dia mengganggu saja.”Seorang sekuriti berlari menghampiri Byanca dan segera menarik pergelangan tangan Byanca. Ia tak mengenal siapa se