Byanca gelisah. Dahinya basah. Matanya terbuka lebar. Ini sudah tengah malam tapi wanita itu tak bisa tidur.
Kemana kamu, Bi? Kenapa belum pulang juga?
Byanca melepaskan Ken yang memeluknya dengan erat. Wanita itu menggeser pelan tubuh Ken agar tak terjaga. Setelah berhasil, ia bergegas menelepon Bian. Ia khawatir pada Bian. Apakah pria itu tidur nyaman? Apa ia sudah makan?
Biasanya Bian selalu merengek jika tidur tak dipeluk Byanca. Bian juga tak nyaman bila tidur tanpa Byanca. Pernah sewaktu Bian dalam perjalanan bisnis ke Belanda. Ia tak tahan walau hanya 2 hari saja. Bian buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar bisa pulang dan menemui Byanca. Byanca tak bisa ikut seperti biasa karena ia sedang hamil besar dan dokter melarangnya. Jadilah, Bian dilanda frustrasi dan pulang-pulang dengan kantong mata seperti panda.
Lantas bagaimana dengan hari ini? Akankah Bian juga tak tidur? Sebenarnya itu hanya terdengar sebuah alasan di balik alasan, karena nyatanya Byanca sangat merindukan suara lembut Bian menyapanya.
Byanca mengambil ponsel untuk langsung bertanya pada Bian.
“Halo…”
Kalimat itu meruntuhkan Byanca. Seperti luka yang diberi perasan jeruk. Itu suara serak wanita. Byanca tak bodoh menyadari jika tak mungkin seorang wanita bersama dengan pria di jam seperti ini, jika mereka tidak memiliki hubungan. Bisa jadi itu adalah selingkuhan Bian. Wanita si perebut suami orang.
“Saya tidak akan bertanya kamu siapa.” Byanca tak mau menyiakan kesempatan untuk berbicara dengan wanita ini. “Seharusnya jika kamu berpendidikan, kamu menemui saya, bukan? Seseorang yang mengambil barang temannya saja perlu izin jika tidak, maka dia dianggap pencuri.” Hati dan mulut Byanca berkhianat. Tadinya ia ingin bertanya tentang Bian, tetapi suara wanita itu menarik Byanca ke luar rasionalitasan.
“Aku menunggu kalian datang. Setidaknya tanyakan pendapatku.”
Berbicara dengan Bian atau pun wanita itu hanya menambah luka bagi Byanca. Hatinya masih rapuh dan mudah hancur. Namun, ia berusaha tegar meski gusar. Byanca kembali menangis dalam diam. Tak ingin putranya terjaga.
Tadinya, ia masih mengkhawatirkan kualitas tidur Bian. Tapi ternyata dia bodoh, sudah ada wanita lain yang mengurus Bian. Sementara Byanca masih mengemis rasa. Byanca tersenyum getir mengingat bayangan kemesraan mereka di kamar ini. Mungkinkah Bian juga sedang mengumbar mesra pada wanita itu.
Ketidak hadiran Bian merupakan tantangan terbesar dalam hidup Byanca. Ia sudah terbiasa menyaksikan wajah tenang Bian ketika tidur, melihat segala ekspresi yang dikeluarkan Bian, bahkan semua ucapan cinta yang Bian lontarkan masih terekam jelas di ingatannya.
Byanca menghabiskan malam di balkon kamar. Kebetulan di depan rumahnya ada sebuah apartemen. Dari ratusan jendela, ada satu yang menarik perhatian Byanca. Potret sepasang kekasih yang menikmati angin malam. Mereka saling berpelukan. Byanca bisa menyaksikan gerak-gerik itu meski kurang jelas. Namun hatinya memberi sinyal bahwa kedua insan itu sedang dimabuk cinta.
Bian dulu sering memperlakukannya seperti itu. Bian selalu meminta Byanca menemaninya menghabiskan malam di balkon ini. Bian bilang jika ia merasa tenang ketika menikmati pemandangan kota di malam hari. Sepi. Semua manusia bersarang pada mimpi masing-masing.
Bayangan ia dan Bian yang saling bermesraan di balkon terus mengusik Byanca. Ia sangat merindukan pria itu. Entah kenapa susah bagi Byanca untuk membenci pria yang sudah mengkhianatinya. Namun, bayangan kekasih tadi juga menjadi bumerang bagi Byanca. Dia membayangkan jika itu Bian dan selingkuhannya. Sial.
Byanca buru-buru menutup pintu. Ia kembali ke tempat tidur dan memeluk Ken dengan erat. Ken sempat mengerang namun segera terlelap kembali ketika merasa kehangatan.
Cara terbaik melupakan sementara adalah tidur. Mungkin jiwa yang lelah juga raga membutuhkan rehat yang berkualitas.
***
“Kenapa Ken tidak boleh sekolah, Mami?”
Ken menatap wajah Byanca dengan raut tak suka. Ia duduk di atas pangkuan Byanca dan bersedekap tangan di dada. Ken walau umur empat tahun, tetapi ia sangat suka sekolah. Menurutnya ke sekolah bisa bertemu banyak teman dan banyak makanan. Apalagi permen gula-gula ibu kantin, Ken selalu membeli diam-diam.
Byanca yang gemas dengan tingkah bayi bijaknya ini, mencubit hidung kecilnya. “Hari ini libur saja , ya. Satu hari saja. Temani Mami di rumah. Oke?”
Sebenarnya Byanca juga tak mau putranya tak sekolah, karena takut memicu kemalasan. Namun hari ini harus ia lakukan mengingat laporan dari Pak Tio—supirnya yang mengatakan bahwa Ken diejek temannya karena ayahnya selingkuh. Desas-desus kabar perselingkuhan itu memang cepat menyebar bak dihembus angin. Tak heran, jika Byanca menjadi overprotektif untuk putranya. Dia tak mau Ken merasakan apa yang ia rasakan dulu. Namun herannya Ken tidak menanyakan pada Byanca tentang ayahnya sedikitpun, bahkan ia tak bertanya kenapa Bian tak pulang semalam.
“No, Mami. Rayya udah janji mau beliin Ken permen gula-gula.” Ken segera menutup mulutnya karena keceplosan menyebut permen gula-gula. Byanca sudah sering meminta Ken tidak memakan permen itu karena merusak giginya.
“Baiklah. Anak mami ternyata mau permen gula-gula. Ayo! Mami temani sekolahnya.”
“Mami temani Ken sekolah? Mami tunggui Ken?”
Ken langsung saja bersorak gembira ketika melihat Byanca mengangguk tanpa ragu. Sudah lama ia menginginkan hal itu tapi ia tak berani menuntut. Pasalnya ia tahu jika Byanca juga sibuk bekerja, terlebih omanya sering mengatakan bahwa pekerjaan maminya sangat luar biasa.
“Kenapa senyum-senyum dari tadi?”
Ketika lampu merah, Byanca menyempatkan untuk mencium Ken. Anaknya semakin hari semakin tampan, dan mirip Bian.
“I Love you, Mami.”
“Love you too, Kenny.”
“Love you more…”
“Love you more then more…”
Sepasang anak dan ibu itu tertawa selama perjalan ke sekolah. Byanca memang tak mengizinkan supir mengantar mereka. Ia ingin menikmati waktu berdua dengan Ken.
“Mami tunggu di situ aja.”
Byanca memperhatikan arah yang ditunjuk oleh Ken. “Kenapa?”
Ken memasang wajah lesunya. “Tante-tante itu cerewet, Mi.”
Satu hal yang menurun dari Bian kepada Ken adalah sikap peduli dan melindunginya. Bian dulu juga sangat berhati-hati menjaga Byanca, tak dibiarkan siapapun melukai hati Byanca, hingga ia sendiri lah yang menusuk Byanca jauh lebih dalam.
“Terima kasih, Jagoan.”
Byanca menuruti perkataan Ken. Ia duduk di bawah pohon rindang seorang diri. Sesekali ia menatap pintu kaca kelas Ken. Anak itu pandai juga mencari tempat karena dari sini Byanca bisa melihatnya lebih jelas.
“Saya dengar pria selingkuh itu tanpa alasan. Diberi istri cantik malah pilih yang terbuka.”
“Modal cantik doang emang ngga bisa mempertahankan rumah tangga. Harus bisa masak dan menyenangkan suami. Tapi, maklumlah, Ibu-Ibu, kalau waktu kita dihabiskan untuk bekerja bagaimana bisa melayani suami secara sempurna.”
“Ih, iya, Bu. Saya aja sampai berhenti kerja karena kasihan suami. Syukurnya sampai sekarang dia ga cari pengganti saya.”
“Berumah tangga memang ada yang harus dikorbankan. Baik itu karir maupun pendidikan. Intinya jangan egois.”
“Ya, Bu. Saya setuju. Anak orang kaya, harta melimpah, wajah jelita, cerdas pula ternyata tidak menjadi jaminan untuk memikat hati suami ya, Bu.”
Byanca menelan ludah ketika mendengar komentar ibu-ibu di belakangnya. Sebagai seorang istri yang baru saja ditinggal suami, komentar itu cukup melukai. Byanca bahkan hampir menangis, jika tak mengingat ini tempat umum. Seharusnya sesama wanita mereka membela atau setidaknya menghibur Byanca, bukan malah memojokkan. Terkadang, orang lain hanya pandai berkomentar tanpa harus tahu kebenaran. Mereka tidak tahu saja jika Byanca sudah mati-matian menyenangkan hati Bian. Ini sama sekali bukan salahnya.
“By…”
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h