Share

Merawat Kenangan

Sang mentari dengan gagahnya menyinari bumi. Tak ada keraguan teriknya menyengat setiap jiwa, namun tak membuat Byanca, Clara, Ken dan Rayya patah semangat untuk menunggangi kuda. Lorenzo dan Gypsy—sang kuda sudah siap menunggu mereka.

“Mi, kita naik Lorenzo saja!” Ken menarik tangan Byanca. “Hai, Lorenzo,” sapanya begitu manis.

Sementara Clara dan Rayya mulai mendekati Gypsy. “Ayo kita kalahkan Ken, Tante…” Rayya mengulurkan lidahnya ke arah Ken.

Pelatih—yang sengaja dipanggil Byanca memberi instruksi kemudian mengajak mereka beserta Lorenzo dan Gypsy untuk mengelilingi lapangan terlebih dahulu. Setelah itu barulah mereka menunggangi kuda.

Sepanjang permainan yang ada dalam bayangan Byanca adalah kenangan ia bersama Bian. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Bian begitu antusias mengajarinya menunggangi kuda. Sebenarnya Byanca sudah pernah berlatih naik kuda, namun ketika bertemu Bian rasa canggungnya datang dan seketika ia tak mengingat bagaimana caranya menunggangi kuda. Begitulah terkadang dengan orang yang kita cinta, mendadak kita jadi melupakan semua kecerdasan hingga yang tersisa hanya kecanggungan.

“Mi…”

Byanca mengalihkan pandangannya kepada Ken. Anak itu sedang mengerucutkan bibir karena ternyata Clara dan Rayya sudah mendahului mereka. “Maafin, Mami, ya,” bisik Byanca. “Baiklah, anak manis kita akan kalahkan mereka.”

Ken bertepuk tangan bahagia. Ia mencengkram sisi-sisi kuda agar tak terjatuh. “Ayo, Lorenzo… Kalahkan Gypsy!!!”

Seperti mengerti, Lorenzo mulai mendahului Gypsy. Ia berlari begitu kencang meninggalkan bayang-bayang ditelan pasir. Dari arah belakang terdengar suara teriakan Rayya yang menginterupsi Gypsy agar menyusul Lorenzo, sementara Ken tertawa senang karena bisa menang.

Kejadian ini membawa Byanca kembali pada kenangan usang, ketika ia dan Bian saling berlomba dan berpacu dengan kuda masing-masing menuju garis finish. Byanca sudah bisa menebak bahwa pemenangnya pasti Bian, namun akalnya seakan mengkhianati. Ia terus berupaya agar menang. Tenang dalam mengendalikan Lorenzo adalah salah satu cara untuk menang, pikirnya.

Tanpa Byanca sadari, Bian mengintruksikan Gypsy berjalan pelan agar memberi ruang pada Lorenzo menang. Byanca tidak tahu itu, ia hanya terus memacu dan menyemangati Lorenzo sampai akhirnya Lorenzo menginjakkan garis yang telah disepakati. Bian berpura-pura kesal dengan wajah ditekuk, ia menghampiri Byanca dan merentangkan tangan. “Selamat sayang. Lain kali tidak akan kubiarkan kamu menang.”

Untuk pertama kalinya, Byanca bisa mengungguli Bian dalam menunggangi kuda. Oleh sebab itu, Byanca meminta hadiah dan tanpa diduga Bian memberikannya sebuah tiket untuk liburan. Sungguh menggelikan sekaligus menyenangkan. Namun sebelumnya, Bian memberitahu Byanca bahwa ia memang sengaja mengalah. Byanca seperti terjatuh dari kayangan. Baru saja bahagia sudah merana.

“Mi….”

Teriakan Ken membuyarkan lamunan Byanca, ia segera memasuki dunia nyata. Panik ketika menyadari bahwa  Lorenzo hilang keseimbangan. Ia berjalan sedikit terburu-buru dan dapat mengakibatkan Ken dan Byanca jatuh.

“Pegang yang erat, Ken!”

Byanca menarik fokusnya pada Lorenzo agar ia tak terjatuh. Ia berusaha tenang dalam duduknya. Berusaha tetap duduk dalam posisi yang pas, tidak ke kanan maupun ke kiri. Ia juga meminta Ken agar di posisi yang sama. Tak lama setelahnya, Lorenzo mulai memelankan larinya dan di saat itulah Byanca pelan-pelan menginterupsi agar berhenti.

“Hampir saja,” leganya.

Clara dan Rayya berlari dengan kencang, “Kalian tidak apa-apa?” Clara membolak-balik badan Ken, “ Ada yang luka?”

Ken menggeleng.

“Oh… syukurlah!”

Byanca tak tahu harus berkata apa. Hampir saja ia melukai Ken. Ia lalai menjaga Ken padahal Ken berada di dekatnya. “Maafin Mami, Ken.” Byanca tanpa daya memeluk Ken. Menghirup aroma keringat yang bercampur parfum di tubuh Ken. Ia sangat lega ketika Lorenzo masih bisa diajak kerja sama.

“Lain kali anda tidak boleh melamun, Bu Byanca.” Instruktur memberikan Byanca sebuah minuman botol.

“Ya, Coach. Maaf.”

Merasa tidak ada tenaga dan selera untuk bermain kuda kembali, Byanca mengajak Ken, Clara dan Rayya memasuki rumah. Ken bersembunyi dalam gendongan Byanca, seakan tahu jika perasaan Byanca diliputi rindu akan Bian. “Mi, jangan sedih, oke?” suara halusnya menyapu telinga Byanca. Sangat pelan dan terdengar perhatian. Byanca tak mampu untuk tidak tersenyum.

Ingatan tentang Bian yang masuk tanpa permisi, hampir saja membahayakan kondisi. Byanca tak ingin mengulang kecerobohannya, namun kali ini bayangan Bian hadir kembali. Setapak yang sedang mereka jalani pernah menjadi saksi Bian menggendong Byanca dari lapangan kuda menuju rumah. Kala itu, Byanca keseleo, akibat dari kebanyakan berlari.

“By… Kamu makan apa sih sehari-hari?”

“Aku berat, ya? Turunin aja deh!”

Bukannya mengikuti perkataan Byanca, Bian justru semakin menekan punggung Byanca agar lebih menempel kepadanya. “Aku belum selesai ngomong.”

Byanca terperanjat dan hanya bergumam di telinga Bian.

“Jangan menggoda ku, By!”

Byanca menghadiahi Bian dengan pukulan ringan di lengannya. “Mesum!”

“Hahaha… kalau sama istri sendiri mah bebas.” Bian sengaja mengecohkan Byanca, ia berlari sementara Byanca dalam gendongan dibaluti rasa takut. Takut terjatuh hingga mau tak mau ia memeluk Bian dengan erat.

“Bi.. aku takut. Ngga usah lari, okey?”

Bian adalah Bian. Yang suka jahil kepada Byanca. Ia memekakan telinga dan semakin berlari kencang. “Kamu ringan. Aku tidak keberatan setiap hari gendong kamu.”

Pipi Byanca bersemu merah, bibirnya mengumbar senyuman. Jantungnya kian berdecak. Namun Bian tak dapat melihat ekspresinya itu, maka ia membenamkan wajah ke leher Bian. “I Love you,” ucapnya malu-malu.

Entah apa yang ada dalam pikiran Bian, ia semakin bersemangat berlari kencang, tak memedulikan bagaimana takutnya Byanca. Ia segera memasuki rumah tanpa salam, berjalan menuju lantai dua yang merupakan kamar mereka. “Aku sudah memperingati mu, By. Jangan menggoda ku, tapi kamu sepertinya memang sengaja. Nikmati hukumanmu, Sayang.”

Setelah itu tak ada percakapan di antaranya. Byanca sudah tahu arah percakapan mereka, maka ia memilih diam dan pasrah atas apapun yang akan dilakukan Bian. Baginya, semua yang dilakukan Bian terhadapnya adalah bentuk kasih sayang. Semua perhatian itu adalah candu yang ingin ia teguk setiap hari, setiap waktu bahkan jika bisa setiap detiknya.

“Mami memikirkan apa?” Ken memiringkan kepalanya untuk melihat langsung wajah Byanca. Ia meletakkan kedua tangannya di wajah dengan keringat itu, kemudian menyatukan hidung mereka. “Mami kangen Daddy, ya?”

Byanca tak mampu mengelak, karena berbohong dengan Ken sama saja membohongi dirinya sendiri namun ia pun tak mau mengakui secara gamblang. Jadilah ia hanya diam dan tersenyum pada Ken.

“Nanti Ken akan telepon Daddy lagi dan minta dia pulang, okey?”

Sepulang sekolah tadi memang Ken sudah menghubungi Bian. Namun, nomor Bian tak bisa dijangkau, atau sebenarnya Bian memang sengaja. Logikanya, di kota besar seperti ini mana mungkin sinyal tidak ada. Rasanya hampir di seluruh kantor memasang alat radar penangkap sinyal.

“Daddy mungkin lagi sibuk, Mi. Jangan sedih.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status