Share

Tak Lagi Rumah

Yang paling berpotensi menyakiti, ternyata adalah yang paling dicinta. Seseorang yang biasa menjadi tempat berbagi kisah, kini berubah menjadi tempat yang memberi luka. 

Semenyedihkan itu jika jatuh cinta pada seseorang yang tidak tepat. Tapi, bagaimana kita bisa tahu bahwa orang itu tepat atau tidak. Jika diawal ia selalu bersikap manis dan perhatian. Menjadikanmu ratu diatas ratu. Menyanjung dengan segala pujian hingga terbang. Lalu kini, ia berbelok dari kesetiaan. Haruskah kita melakukan tes seperti masuk ke perguruan tinggi atau seperti tes menjadi pegawai negeri agar mengetahui kelayakannya. 

Bergulat dengan pemikiran tentang Bian dan perceraian. Tak terasa, Byanca sudah berada di depan rumah. Ia telah menempuh jalan panjang dari kantor dengan basah berlinang air mata dan dimandikan hujan. Sebelum memasuki rumah, sekali lagi Byanca menenangkan suasana hatinya. Ia ingin mendapatkan kedamaian di rumah ini. Bagaimana pun ia dan Bian selalu menerapkan itu. Urusan luar akan berlaku sampai depan gerbang, begitupun urusan rumah. Mereka sepakat tak mau mencampur adukkan kedua urusan tersebut. Karena rumah ini diciptakan untuk kebahagiaan mereka. 

“Loh.. Ibu kok basah-basah begini?” teriakan Pak Madi—penjaga rumah ketika Byanca membuka gerbang. Ia menoleh ke belakang dan tak mendapatkan mobil bosnya. 

“Saya masuk dulu, ya, Pak.” Byanca tak ingin menerangkan apapun. Suaranya memelan seiring tangisan yang coba ditahan. Sedikit saja ada yang mengingatkannya pada Bian, maka sakit itu otomatis akan menganga. 

Byanca berjalan menunduk dan ketika berada di depan garasi, ia tak melihat ada mobil Bian—yang dipakai pagi tadi. Ia pun menoleh pada halaman, sama; tak menemukan mobil tersebut. 

“Oh, anu, Bu. Bapak belum pulang.” Pak Madi ternyata mengikuti langkah Byanca dan dia bisa melihat kegelisahan di mata Byanca. 

Apa ia tak mau bertemu dengan ku?

Apa dia sudah tak ingin pulang lagi? 

Apa wanita itu mengancam Bian untuk kembali pada Byanca? 

Apa Bian tak ingin bertemu dengan anaknya? 

Byanca tak mampu menahan emosinya, ia berlari dalam keadaan menangis. Membiarkan lantai basah, ia segera memasuki kamar. Tangisnya pecah, Byanca memukul-mukul dinding. Melampiaskan segala kekesalan. Kemana perginya Bian yang selalu menantinya pulang? Sesak itu kian menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia merosot ke lantai dan melihat sehelai pakaian tergeletak.

Byanca mengikuti instingnya. Berjalan ke arah walk-in closet. Hatinya memberi insting bahwa Bian tadi pulang untuk pergi kembali. Benar saja, semua pakaian Bian tak ada, bahkan lemarinya dibiarkan terbuka. Byanca memeriksa koper-koper mereka dan menemukan tiga koper yang hilang. Ternyata Bian memang akan meninggalkannya. Bian sudah merencanakan perpisahan mereka, tanpa ada pertemuan sebelumnya.

Byanca mengacak-acak ruangan itu, melemparkan barang-barang; melampiaskan kekesalannya. Ia meraung sendirian. Hatinya begitu pedih. 

Bian pernah berjanji tak akan meninggalkannya meski Byanca mendahului. Bian juga berjanji akan jujur atas apapun permasalahan yang ia hadapi kepada Byanca. Sekarang, semua itu hanya omong kosong yang direka ulang oleh pemikiran Byanca. 

“Aku membenci mu, Bian,” teriak Byanca dengan suara tangisnya. Siapapun yang mendengar itu, akan merasakan kasihan. 

Byanca tak menyangka Bian kalah dengan pesona wanita lain dan menjatuhkan Byanca ke jurang kehancuran. Wanita itu adalah orang yang tega merusak rumah tangga bahagia Byanca dan Bian. Ia adalah satu-satunya orang yang pantas disalahkan. 

“Mami…”

Tapi, satu yang tidak boleh direbut oleh wanita itu lagi adalah Ken, putra semata wayangnya dan Bian. 

“Are you okey?” Ken duduk di pangkuan Byanca, ia menghapus bulir air mata di wajah ibunya. 

Byanca memeluk Ken dan menangis begitu pilu seakan Ken dapat menerjemahkan tangisnya. Ken membiarkan maminya menangis karena ia ingat, sewaktu ia menangis mami adalah satu-satunya orang yang membawanya ke dalam pelukan hangat dan membiarkannya menangis. Tapi, Ken hanya anak kecil. Ia merasa tak nyaman karena pakaian maminya basah. 

“Baju mami basah.” 

Byanca segera melepaskan pelukan mereka dan menurunkan Ken. Ia menjepit pipi tembem itu, “Ayo! Mami temani ganti baju.” 

“No!” Ken segera bangkit, ia berkacak pinggang. Ken punya kebiasaan malu jika ditemani maminya mandi atau berganti baju. Karena ia mengingat perkataan Daddy, jika beberapa bagian tubuh kita hanya boleh dilihat oleh diri kita sendiri ataupun orang yang sejenis kelamin sama. Ken selalu menerapkan itu.

Byanca sengaja menggoda Ken. Ia berlari mengikuti bocah empat tahun itu ke kamarnya. Hanya dengan melihat Ken, kesedihan berganti tawa bagi Byanca. Ia terus menggelitik perut Ken hingga bocah itu berguling-guling di kasur. 

“Mam- hahaha…. Am-puuuuuuun.” Ken tak henti tertawa.

Kini ia tak sengaja menarik tangan Byanca hingga kepala mereka saling terbentur. “Aduh…” Byanca mengusap dahinya. 

Ken terduduk dan memelaskan wajahnya, “Mami… maaf.” 

Byanca melupakan sakitnya dan terharu dengan sikap Ken. Anak ini sangat dewasa. Ia tulus meminta maaf padahal kepalanya juga sakit. Tak terasa, air mata Byanca menetes. Entah sejak kapan ia menjadi cengeng. 

Suatu hari nanti Bian akan menyesal karena pernah meninggalkan seorang putra manis seperti Ken. Tapi, bagaimana jika Bian menuntut hak asuh Ken? Tidak, itu tak boleh terjadi. Maka, Byanca akan egois jika menyangkut Ken. Ia adalah ibunya. Seseorang yang paling berhak atas Ken. Atau setidaknya, biarlah Ken yang menentukan pada siapa ia tinggal.

Ken membesarkan suara tangisnya ketika mendengar Byanca menangis. Tak berkata apapun, Byanca memeluk Ken (lagi).

Satu-satunya harta terbesar yang ia miliki saat ini adalah ken. Tuhan telah banyak menganugerahkan Ken kecerdasan. Byanca beruntung menjadi ibunya Ken. 

“Terima kasih, Ken.”

“Maaf, Mami.”

Rumah ini sudah kehilangan kepala keluarganya. Sosok yang selalu dirindukan oleh kedua orang yang sedang berpelukan itu. Padahal dulu ia berjanji menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang, dalam arti kata pulang dari segala rasa dari luar, baik suka maupun duka. Tempat yang menerimanya apa ada, yang siap mendengarkan seluruh kesah.

Di rumah ini pula, Bian menyematkan Byanca sebagai ratu satu-satunya. Namun sekarang gelar itu akan berganti dengan wanita lain—yang Byanca bahkan tidak kenal. Akankah istana ini ikut runtuh seiring rumah tangga yang tak lagi utuh? Atau hanya ratunya saja yang berganti dan istana dibiarkan beralih tangan? Entahlah, membayangkannya saja Byanca tak mampu bahkan tak mau.

Rumah ini ia desain dengan penuh suka cita bersama Bian. Setiap ruangannya berisi filosofi yang mereka berdua ketahui. Setiap pajangan yang tertata menyimpan cerita. Setiap warna yang menghiasi dinding penuh dengan arti kehidupan sesuai perjalanan cinta mereka. Semoga saja suatu hari nanti Bian berubah pikiran dan kembali pulang. Semoga saja dan semoga saja ia pulang sendiri tanpa menggandeng wanita lain. Seperti semula saja, intinya. Semoga Tuhan mengabulkan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Romi Chan
bagus sekat yang pasti aku wes seneng banget ceritanya tentang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status