Semburat senja menetap pada langit. Warnanya jingga melukiskan keindahan dan kedamaian yang tak bisa diragukan. Senja pertanda mentari akan pamit dan berganti rembulan. Tak ada iringan hujan menemani perpisahan kali ini dan tak ada pula suara rengekan langit yang berkilat listrik. Semua terasa damai. Sepertinya semesta memang mengikhlaskan kepergian mentari.
Memang apa yang perlu diratapi dari perpisahan kecil ini? Mentari memang pergi, namun ia juga berjanji akan kembali esok hari. Mentari hanya pergi sementara bukan untuk selamanya. Mentari berjanji karena sangat mencintai bumi.
Jika dalam ranah dua anak manusia yang saling mencintai. Ketika sang pria harus pergi dan menjanjikan kepulangan dengan segera, maka sang wanita tidak akan sengsara bila itu terealisasi. Betapa indahnya menanti, kita bisa memupuk rasa agar mekar ketika bersama. Berdamai dengan semesta di tengah suara-suara kerinduan saling berbisikan.
Got all this time on my hands
Might as well cancel our plans, yeah
I could stay here for a lifetime
So lock the door and throw out the key
Can’t fight this no more it’s just you and me
Nada dering ponsel Byanca membawanya kembali dari renungan seputar senja. Tanpa harus melihat nama penelepon pun dia sudah tahu siapa pelakunya. Nada dering itu khusus dibedakan Byanca.
“Ya, Sayang.”
“By…”
Byanca tak salah. Itu adalah Abian—suaminya. Namun suaranya sangat dalam seakan ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan. Raut bahagia yang sedari tadi terpancar di rona wajah Byanca mendadak menjadi muram. Degup jantung Byanca jadi tak menentu. Hatinya memberi sinyal ada sesuatu buruk yang akan terjadi. Byanca sangat mengenali Bian. Ia hapal setiap sisi dari pria yang menikahinya lima tahun silam.
“Aku akan pulang dan memasakkan sapi panggang untukmu. Cepat kembali!” Byanca mengubah topik pembicaraan. Ia tak siap akan kenyataan yang ingin disampaikan Bian. Entah apapun itu, bahkan kini air mata wanita itu sudah keluar.
Ia melipat bibir ke dalam. Menangis dalam diam agar tak terdengar oleh Bian.
“By, maaf…”
Kaki Byanca melemas, apa yang ditakutkannya terjadi. Ada hal buruk yang ingin disampaikan Bian sampai ia harus meminta maaf. Apa ini ada hubungannya dengan –
“Apa yang kamu dengar dari berita itu benar, By. Aku tak menyangkalnya. Maafkan aku.”
Byanca ingin menolak jika yang mengatakan itu bukan Bian. Semenjak semalam—ketika foto suaminya dan seorang wanita tersebar ke jejaring media, Byanca seolah menutup mata dan telinga. Ia hanya ingin mendengar kalimat bantahan Bian, tapi hari ini Bian mengakuinya. Angin berhembus dari arah jendela seakan ingin membawa Byanca terbang agar hilang dari permasalahan ini.
Sulit bagi Byanca mempercayai ini semua. Bagaimana bisa ia membayangkan pria yang tak pernah bosan mengungkapkan cinta padanya kini berkhianat hanya karena seorang wanita? Apa ia sudah tidak cantik? Apa ia sudah tidak menarik? Apa ia tidak pantas dijadikan istri untuk selamanya? Apa Bian sudah tak mencintainya lagi? Atau karena wanita itu jauh lebih sempurna darinya?
“Kenapa, Bian?” Byanca tak mau menyembunyikan suara tangisnya. Ia berkata dengan sesenggukan. “Kenapa kamu sejahat ini? Apa salahku? Katakan!”
Jika alasan Bian selingkuh karena kesalahan Byanca, mungkin ia bisa menoleransi. Meski bayangan ia sudah menjadi istri yang baik dan penurut terus berputar di kepalanya, tak apa. Mungkin menjadi baik saja tidak cukup untuk seorang Abian. Terkadang seseorang tidak mensyukuri apa yang dimiliki dan ketika itu hilang, maka timbul penyelesaian. Wajarnya memang begitu, manusia terlalu biasa dalam penyesalan.
“Kamu sempurna, By.”
Semakin Byanca mendengar pujian Bian. Semakin hatinya sakit tak tertahan. Byanca menggigit bibirnya, menahan sesak yang siap menyeruak.
“Aku yang salah. Aku mengkhianati mu.”
Terdengar nada penyesalan menyapu telinga Byanca. Ia tahu Bian pasti melakukan itu karena tidak sengaja. Byanca tak boleh menjadi orang lain untuk Bian. Ia harus memaafkan dan menerimanya. Ia harus membantu Bian. Byanca yakin dia pasti bisa.
“Bi… Aku akan selalu ada untukmu. Tak peduli …”
Belum sempat ia menghabiskan kalimatnya, Bian langsung menyeka, “Jangan!”
“Aku akan melepas mu. Tinggalkan aku dan carilah kebahagiaan lain. Aku menceraikan mu, Byanca Anesta Tanjung.”
“Bi…. Bi… Abian…” Byanca terus meneriaki nama Bian meski panggilan itu sudah terputus seiring kalimat perceraian yang terlontar.
Bercerai tidak pernah ada dalam kamus hidup Byanca. Selain itu, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk bercerai, bahkan Allah sangat membenci perceraian meski tak mengharamkannya.
Semesta bisakah tidak bercanda? Kemarin aku masih menemukan versi Bian yang setia tapi kenapa sekarang kau mengubahnya menjadi seorang pria yang berbeda? Bisakah ia menjadi seperti dulu saja? Aku ingin dia yang mencintai ku tanpa syarat dan tak akan pernah berkhianat.
Bian adalah cinta pertamanya. Lelaki yang ia mantapkan menjadi imam sepanjang hidup hingga surga. Byanca menghabiskan banyak waktu di masa lalu untuk meyakinkan kedua orang tuanya agar merestui pernikahan mereka. Ini kah hasil yang ia tuai? Perpisahan dan menyakitkan. Bian terlalu kejam kali ini.
Tak ingin membuang waktu, Byanca membereskan barangnya dan bergegas pulang. Ia ingin meminta penjelasan dari Bian secara langsung. Bagaimanapun Byanca masih memiliki hak untuk mendengar kebenaran. Byanca siap menuruti keinginan Bian. Ia hanya ingin melihat wajah itu, meski untuk terakhir kali.
Ketika Byanca memasuki lift. Ia mendapati dirinya sendiri. Berangsur rasa sakit kembali memberi sinyal pada dirinya. Ia beringsut dan terduduk. Menangis dan menenggelamkan wajah di lipatan lutut. Byanca hancur kali ini. Ia hancur karena pria yang ia cintai.
Biasanya Bian menyiapkan bahunya sebagai tempat bersandar. Mengulurkan tangan untuk mengajak Byanca bangkit dari keterpurukan. Bian pula yang menghadiahi dengan kata-kata penenang. Tapi, sekarang Bian menghilang. Tenggelam di telan masa dan yang tersisa hanya kenangan. Tak ada lagi Bian sebagai penawar lukanya. Yang ada Bian lah menjadi duri untuk luka itu sendiri.
Entah apa yang terjadi. Senja yang begitu menawan tadi mendadak berubah muram. Senja tak lagi jingga dan berganti hujan. Entah berapa lama waktu dihabiskan Byanca meratapi pilunya hingga tidak menyadari perubahan cuaca. Byanca merasa jika semesta kali ini bernasib sama dengannya. Sebelumnya pernikahannya dan Bian adalah pernikahan yang diidamkan banyak orang. Mereka bahagia dan penuh cinta, tapi kini semua berubah menjadi bencana hanya karena wanita lain.
Byanca melupakan mobilnya dan berjalan di bawah hujan. Merentangkan tangan dengan tangis tak pernah hilang. Ia hanya ingin terus berjalan tanpa tahu tujuan.
Akankah Bian sama dengan mentari yang pergi untuk kembali. Melepaskan untuk menarik kembali. Apakah ini juga sementara? Perpisahan ini hanya sementara, bukan?
Yang paling berpotensi menyakiti, ternyata adalah yang paling dicinta. Seseorang yang biasa menjadi tempat berbagi kisah, kini berubah menjadi tempat yang memberi luka.Semenyedihkan itu jika jatuh cinta pada seseorang yang tidak tepat. Tapi, bagaimana kita bisa tahu bahwa orang itu tepat atau tidak. Jika diawal ia selalu bersikap manis dan perhatian. Menjadikanmu ratu diatas ratu. Menyanjung dengan segala pujian hingga terbang. Lalu kini, ia berbelok dari kesetiaan. Haruskah kita melakukan tes seperti masuk ke perguruan tinggi atau seperti tes menjadi pegawai negeri agar mengetahui kelayakannya.Bergulat dengan pemikiran tentang Bian dan perceraian. Tak terasa, Byanca sudah berada di depan rumah. Ia telah menempuh jalan panjang dari kantor dengan basah berlinang air mata dan dimandikan hujan. Sebelum memasuki rumah, sekali lagi Byanca menenangkan suasana hatinya. Ia ingin mendapatkan kedamaian di rumah ini. Bagaimana pun ia dan
Byanca gelisah. Dahinya basah. Matanya terbuka lebar. Ini sudah tengah malam tapi wanita itu tak bisa tidur.Kemana kamu, Bi? Kenapa belum pulang juga?Byanca melepaskan Ken yang memeluknya dengan erat. Wanita itu menggeser pelan tubuh Ken agar tak terjaga. Setelah berhasil, ia bergegas menelepon Bian. Ia khawatir pada Bian. Apakah pria itu tidur nyaman? Apa ia sudah makan?Biasanya Bian selalu merengek jika tidur tak dipeluk Byanca. Bian juga tak nyaman bila tidur tanpa Byanca. Pernah sewaktu Bian dalam perjalanan bisnis ke Belanda. Ia tak tahan walau hanya 2 hari saja. Bian buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar bisa pulang dan menemui Byanca. Byanca tak bisa ikut seperti biasa karena ia sedang hamil besar dan dokter melarangnya. Jadilah, Bian dilanda frustrasi dan pulang-pulang dengan kantong mata seperti panda.Lantas bagaimana dengan hari ini? Akankah Bian juga tak
“Kenapa antara kamu dan Bian?”Byanca hanya diam. Dia sudah bisa menebak akan pertanyaan ini yang dilontarkan Clara—sahabatnya. Pertanyaan itu mengundang memori-memori kejahatan Bian. Byanca sendiri tak sanggup untuk membagikannya.“Kalau mau nangis, nangis aja! Jangan ditahan.” Clara memeluk Byanca dan menepuk pundak sahabatnya itu. Saat ini mereka sedang berada dalam mobil Clara. Tadi, ia sempat bertengkar pada ibu-ibu yang bergosip di belakang Byanca.“By… jangan ngerasa sendiri. Ada aku yang siap menerima ceritamu. Kapan pun itu dan apapun itu. Berbagilah!”Byanca membanjiri kemeja Clara dengan air mata. Meski ia tak meraung, tapi tangisnya pecah tanpa bisa dicegah. Clara memang bisa menyimpan rahasia tapi Byanca tetap merasa ini bukan konsumsi Clara jika tentang masalah rumah tangganya. Baginya, hanya dia dan Bian lah yang
Sang mentari dengan gagahnya menyinari bumi. Tak ada keraguan teriknya menyengat setiap jiwa, namun tak membuat Byanca, Clara, Ken dan Rayya patah semangat untuk menunggangi kuda. Lorenzo dan Gypsy—sang kuda sudah siap menunggu mereka.“Mi, kita naik Lorenzo saja!” Ken menarik tangan Byanca. “Hai, Lorenzo,” sapanya begitu manis.Sementara Clara dan Rayya mulai mendekati Gypsy. “Ayo kita kalahkan Ken, Tante…” Rayya mengulurkan lidahnya ke arah Ken.Pelatih—yang sengaja dipanggil Byanca memberi instruksi kemudian mengajak mereka beserta Lorenzo dan Gypsy untuk mengelilingi lapangan terlebih dahulu. Setelah itu barulah mereka menunggangi kuda.Sepanjang permainan yang ada dalam bayangan Byanca adalah kenangan ia bersama Bian. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Bian begitu antusias mengajarinya menunggangi kuda. Sebenarnya Byanca sudah pernah
Rayya kecil melambaikan tangan. Mobil jemputannya sudah tiba. Mungkin Mama Rayya sudah merindukan sang putri. Langit pun sudah merindukan mentari, kini ia ingin membawa mentari pulang dan berganti dengan rembulan.“Ada yang sedih ni.”“Siapa yang sedih?”Clara hanya mengangkat bahunya kemudian ia merosotkan tubuh ke atas sofa. “Rayya pulang, sepi pun datang.”Ken mencebikkan bibirnya. Dia tak setuju jika Rayya tiada maka rumah akan sepi. Memang gadis itu bisa apa selain menangis. Bahkan Ken masih mengingat, Rayya yang tiba-tiba menangis usai makan siang tadi. Ia terus memanggil mamanya. Untung saja Tante Clara menyimpan nomor telepon Tante Amira—Mama Rayya, jika tidak, bisa dipastikan rumah Ken banjir air mata.“Mikirin apa, Nak?” Byanca mengelus surai hitam Ken. Ia mengangkat tubuh Ken ke atas pangkuannya. Byanca sangat suka
“Daddy tadi Tante Cla menunggangi Gypsy. Tidak apa ‘kan, Dad?” Ken meletakkan ponselnya bersandar di punggung ranjang, sementara ia sedang tengkurap dengan menopang kedua tangan di dagu.Clara melirik pada Ken. Penasaran apa kiranya aduan bocah kecil ini pada ayahnya. Ia juga memerhatikan wajah Byanca yang terlihat sendu sebelum masuk ke kamar mandi. Pasti ia merindukan Bian.“Tante Cla?”Ken dengan cepat mengangguk. Ia menatap Tante Cla—meminta persetujuan agar kamera ponselnya mengarah pada Clara. Tapi, Clara menolak. Yang benar saja, ia ingin melihat wajah Bian. Memikirkannya saja Clara jadi kesal.“Oh, tidak apa dong,” segera Bian berkata karena melihat wajah putranya sendu. “Pasti seru banget main kudanya. Gypsy atau Lorenzo tidak ada yang nakal kan?”Ken menggeleng lemah. “Tidak, Dad. Hanya saja…&rdquo
“By…tepungnya yang mana?” Clara mengangkat dua buah stoples berisi tepung. Dari warnanya yang putih, Clara sangat susah membedakan antara tepung tapioka dan tepung terigu.Sejak subuh tadi, keduanya memutuskan berkolaborasi di dapur. Membuat sesuatu yang baru untuk menu sarapan. Setelah percakapan pada pukul dua dini hari, Byanca memutuskan untuk bercerita semuanya kepada Clara. Ia merincikan setiap kejadian antara dia dan Bian. Byanca juga mengaku bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. Ada rasa sedih, kesal dan amarah yang tak tersalurkan, namun harus Byanca biarkan mengendap dalam hati saja. Kini, tak ada lagi rahasia, Byanca yakin jika Clara mampu menjaga ceritanya. Alhasil, mereka tak tidur lagi dan berakhir dengan aksi memasak.Clara bukanlah seorang wanita yang akrab dengan segala tetek bengek penghuni dapur, hanya saja ketika bersama Byanca entah mengapa ia sangat antusias memasak. Ia sangat suka melihat tan
Byanca tak berselera untuk bekerja. Ia menitipkan segala urusan perusahaan pada Nirina, asistennya. Ini baru kali pertama ia lakukan, biasanya sesibuk apapun atau secapek apapun Byanca tetap profesional. Berdiri dan menaungi perusahaan yang ia rintis sejak usia 20 tahun itu dengan senang hati. Namun, tidak dengan sekarang. Semangatnya hilang bersama angan. Ombak menenggelamkannya ke dasar laut.Menemani Ken seperti candu baginya. Berapa waktu yang ia gunakan untuk bekerja hingga tidak memperhatikan perkembangan putra semata wayangnya. Lihatlah, sekarang Ken sudah pandai berenang. Ia tak takut lagi dan terlihat lihai. Entah sejak kapan itu terjadi, Byanca tak tahu dan ia menyesal membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya.“Ken pintar banget. Masih umur empat tahun udah jago ini itu.” Clara datang dengan membawa dua minuman kaleng untuk mereka.Clara pun sama dengan Byanca—tak berselera kerja. Clara memang