“UDAH, ah, interogasinya. Aku jadi lapar!” celetuk Heru sambil bergeser mendekati Bunga.
Bunga kembali tersenyum. Sekarang dia harus waspada terhadap Heru, karena pemuda itu mempunyai penyakit birahi, bisa tiba-tiba saja menangkapnya.
“Kita pesan saja ya?” tanya Bunga sambil meraih ponselnya.
“Kita keluar,” sahut Heru cepat.
Sejenak Bunga kelihatan berpikir. “Tapi nggak usah jauh-jauh ya, aku malas ganti baju.”
“Oke, kamu nggak pakai baju juga cantik kok…” goda Heru.
“Apa?” Bunga melotot, pura-pura tersinggung. Tetapi Heru sudah menemukan kembali jati dirinya. Dia bangkit lalu menarik Bunga berdiri. Sebelum Bunga sadar, sebuah ciuman telah mendarat di pipinya!
“Ih, dasar! Main nyosor saja!” protes Bunga.
“Maaf say, diriku tak tahan…” jawab Heru seenaknya.
Bunga menatap Heru. “Kamu sering cium Mila, kan?”
Ah, pertanyaan itu lagi! Tetapi, masa bodoh lah. Bunga tidak akan melepaskan sesuatu pun yang membuat
RUDI meminta pelayan rumah makan menggabungkan meja untuk mereka. Setelah mereka duduk, Rudi berkata kepada Heru. “Her, kamu sama Bunga ya, sekarang?” matanya menatap Heru tajam. Aduh, Rudi! Kok pertanyaannya seperti itu? Muka Heru menjadi pucat, begitu juga dengan Bunga. “Rudi,” tegur Astrid. “Pertanyaannya kok gitu sih? Emang kenapa kalau mereka bersama?” Menyadari kesalahannya, Rudi jadi sibuk menjelaskan. “Sorry… sorry… maksudku… kalian…” Dia mengacukan dua telunjuknya, kiri dan kanan, lalu didempetkan. Dia mengangguk-angguk ke arah Heru dengan mimik nakal menggoda. Heru dan Astrid mungkin sudah mengenal sifat Rudi yang ceplas-ceplos semaunya, tidak memikirkan orang lain mengerti atau tidak. Tetapi Bunga, bisa saja dia akan mengira kalau Heru itu suka ganti-ganti pacar! Akhirnya Heru mengambil inisiatif. “Bunga, jangan kamu dengarkan bos Wiro ini!” katanya. Ketiga temannya itu menjadi bingung. “Kok Wiro?” tanya Bunga.
HERU merasakan bau harum yang sangat menggoda ketika Maira duduk di sampingnya. Otomatis bagian sensitif Heru berreaksi. “Eh, Maira… tinggal sendiri di sini?” tanya Heru sambil meneguk siropnya. Ketika mengangkat gelasnya, mata Heru bisa memandang wanita itu dengan leluasa. Wanita itu cantik, manis. Kulitnya juga masih kencang. Rambutnya hitam dan lurus, dibiarkan tergerai. Ada titik-titik keringat masih menempel di dahinya, mungkin karena repot membawa barang-barang tadi, sedikit membasahi anak rambutnya. Tetapi itu justru menambah manis wajahnya. Bedaknya yang putih merata di wajah, dan bibirnya dipoles dengan lipstik merah… namun tidak terlalu merah. “Sekarang, iya, sendiri,” jawab Maira sambil mengangkat rambutnya ke atas kuping, sehingga wajah dan lehernya menjadi lebih terbuka. Heru melihat, blus putih yang dipakai Maira, kancing atasnya terbuka sehingga menampilkan bagian dadanya hingga ke belahannya. Tampak gundukan kenyal mendorong blus itu hingga me
MALAM itu, hari Selasa malam Rabu, Heru membaringkan diri di kamarnya karena merasa letih. Seharian dia ikut kanvasing bersama anak-anak project, karena sekarang dia harus memberi perhatian pada pekerjaannya. Sebenarnya Heru kurang suka pekerjaan outdoor, karena membuatnya letih. Tetapi hanya project-project seperti ini yang masih mereka dapatkan, dan sesekali terpaksa dia ikut keluar untuk melihat sendiri bagaimana ‘anak-anak project’ melakukannya. Perusahaan yang digelutinya bersama teman-teman kuliahnya bergerak di bidang advertising. Mereka merencanakan campaign promosi untuk produk-produk client. Tetapi sekarang, pekerjaan yang mereka dapat lebih banyak berupa kanvasing sehingga mereka merekrut anak-anak mahasiswa atau new graduate untuk melakukannya. Anak-anak itu sangat bersemangat, walaupun pekerjaan itu bersifat temporer, dan mereka menyebutnya project. “Kamu pindah ke perusahaan aku saja,” bujuk Rudi. “Nanti aku kasih kamu jabatan manager.”
JAM di ponsel Heru menunjukkan pukul dua lebih dinihari ketika Heru terbangun karena mendengar ada keributan di luar apartemennya. Terdengar suara orang-orang yang berteriak dan ada yang berlarian. Ada apa? Heru berdebar. Heru lalu membuka pintu apartemennya dan melihat banyak orang berkerumun, bukan di depan pintunya, tetapi di depan pintu apartemen Maira! “Pak, ada apa?” tanya Heru kepada seseorang. “Ada pembunuhan!” “Apa??” Heru hampir berteriak, lalu dengan cepat menuju apartemen Maira. Di situ banyak orang berkerumun, sementara di dalam apartemen sudah ada petugas polisi dan ahli penyidik yang sedang memeriksa. Di lantai, terlihat jasad yang ditutup dengan kain, tapi Heru merasa pasti bahwa itu jasad Maira! “Bagaimana kejadiannya, pak?” tanya Heru kepada orang-orang di situ, namun tidak seorang pun yang bisa memberikan jawaban. Ketika Heru melihat satpam yang dikenalnya, dia lalu mendekatinya. “Pak Imam, bagaimana kejadian
“TIDAK, pak,” jawab Heru. Dia tidak ingin terlibat lebih jauh lagi, biarlah Maira tenang di alam barunya. Polisi itu menatap Heru seakan-akan ingin menyelami kebenaran jawabannya, kemudian menghela napas. Saat ini, tidak ada alasan untuk tidak mempercayai kata-kata Heru. Ketika polisi itu pamit dan mengakhiri pertanyaannya, Heru tidak dapat menahan diri untuk berkata, “Pak, bolehkah saya melihat jenazah ibu Maira? Saya kasihan tidak menolongnya semalam.” Kata-kata itu sebenarnya tulus murni karena perasaan kasihan, apalagi Heru sudah pernah berhubungan mesra dengan Maira. Tetapi, mata polisi penyidik itu justru kembali memperhatikannya. ‘Sebenarnya, sejauh apa hubungan anak muda ini dengan korban? Kenapa korban dalam kekalutannya meminta tolong kepada anak ini? Kenapa dia minta menginap di apartemen anak muda ini?’ Tetapi polisi itu tidak mengajukan pertanyaan apa-apa. Dia hanya menjawab, “Oke, kamu ikut saya.” Heru dibawa masuk ke apartemen M
MILA mengangkat wajahnya dan memandang Heru, berusaha meyakinkan hatinya setelah mendengar kata ‘sayang’ yang tulus dari Heru. ‘Benarkah Heru sayang sama aku? Apakah ini bukan sebuah rayuan gombal semata?’ Tetapi dilihatnya Heru tidak sedang bercanda, atau mempermainkannya. ‘Apakah Heru benar kalau dia hanya salah paham? Apakah dia hanya cemburu buta, dan mengira Heru sudah memiliki wanita lain dalam hatinya? Jangan-jangan, memang dia hanya salah sangka!’ “Mas Heru tidak salah, kok…” kata Mila kemudian. Dia mencoba tersenyum, dan mulai tampak keceriaan di wajahnya. Kini, giliran Heru yang menjadi waspada. Jangan-jangan, Mila salah paham lagi karena dia memanggil sayang… Itulah repotnya! Bagaimana membujuk seorang wanita tanpa mengatakan sayang?? Dan jika itu dilakukan, wanita akan menganggap laki-laki hanya sayang kepadanya semata, menjadi miliknya. Sikap posesif itu pun muncul! Padahal Heru memang galau, sayang kepada semua perempuan… (hahaha!)
HERU tidak tahu harus menjawab apa. Dia tetap ingin tampak sopan, karena memang sifatnya seperti itu, jaim, tetapi dalam hati dia dongkol juga. Walaupun Laksmi sangat cantik dan tentu orang kaya dilihat dari penampilannya, tetapi dia tidak berhak membuat rusak suasana dia dengan Mila! Sambil menunggu kasir membuatkan pembayarannya, Heru berdiri berdampingan dengan Laksmi. Entah ngapain Laksmi berdiri di situ, sehingga Heru merasa perlu memberitahunya bahwa dia telah merusak suasana mereka. “Mbak tadi menyebut-nyebut anyelir di depan Mila,” kata Heru berharap Laksmi menyadari kesalahan yang dibuatnya. “Ya. Kok jadi masalah?” tanya Laksmi tidak mengerti. Heru mendekatkan diri ke arah Laksmi, lalu berkata pelan, “bunga itu bukan buat dia!” Aha! Teriak Laksmi dalam hati. Dia mengerti sekarang, sehingga dia malah tersenyum nakal menggoda. “Jadi, ada yang lain lagi?” bisik Laksmi kepada Heru. Cara dia berbisik dan berdiri dekat Heru menunjuk
SABTU, hari masih pagi sehingga kompleks Kalimaya belum ramai. Biasanya Sabtu pagi adalah hari molor sekompleks (atau sedunia?), karena merupakan hari libur dan orang-orang masih melepaskan kepenatan kerja dari Senin hingga Jum’at. Hari Minggu pagi justru lebih ramai karena merupakan hari olah raga atau rekreasi sekompleks (bisa jadi sedunia). Tetapi Heru sudah janji mau jalan-jalan dengan Bunga ke daerah Puncak, Bogor. Kata Bunga, kalau mau ke Puncak, mending pagi-pagi, jadi belum begitu macet. Di tempat parkir basement di mana biasanya Heru menaruh mobil, juga masih sepi. Sepertinya tidak ada orang lain selain dia. Namun ketika dia hendak masuk ke mobil, tiba-tiba ada dua orang laki-laki mendatanginya. Salah seorang yang mendekati Heru, mengeluarkan sebilah pisau yang mengkilap dan menodong Heru. “Kamu ikut kami!” perintahnya sambil mendorong Heru. Temannya segera merangkul Heru dan menggandengnya menuju ke sebuah mobil. Tidak lama mobil van yang me