GADIS-gadis itu, berjumlah lima orang, adalah teman-teman sejak SMA. Setelah mereka berpisah untuk melanjutkan kuliah masing-masing, hari ini mereka mengadakan reuni kecil-kecilan.
Yang tinggal di apartemen Kalimaya, tempat Heru tinggal, bernama Mila. Anaknya cukup manis, namun tidak secantik teman-temannya yang mirip artis. Tetapi, yang Heru rasakan, Mila mempunyai sex appeal yang tinggi. Memandanginya saja sudah membuat pucuk hidung Heru berdenyut, ingin memeluk dan menciumnya.
Yang mirip BCL memang bernama Bunga Lestari, alias BL saja.
“Kok nama dan mukanya mirip banget, sih?” tanya Rudi menggoda.
“Gak tahu tuh, mami yang memberi nama,” jawab Bunga.
Yang mirip Luna Maya bernama bernama Astrid.
“Kok beda namanya?” tanya Rudi lagi, yang memang tidak bisa diam tidak berkomentar.
“Kenapa harus sama?” Astrid balik bertanya.
“Ya biar asyik gitu,” jawab Rudi sembarangan, sambil tertawa.
“Enak saja, emang gue gak asyik, gitu?” cemberut si Astrid sambil mengarahkan tangannya ingin mencubit tangan Rudi.
“Hehe kamu tentu asyik, sayang… apalagi kalau digitu…” sahut Rudi semakin menggoda. Dia dengan gampang memanggil Astrid dengan kata sayang.
“Ih, kamu genit ya. Digitu apa maksudmu?” desak Astrid pura-pura tersinggung.
“Yah, tahulah. Masak udah gede nggak tahu. Udah sering kali…” sambut Rudi sambil meraih badan Astrid seakan-akan ingin memangku dan memeluknya.
“Dasar buaya lu!” jerit Astrid bangkit menghindar dari jangkauan Rudi. Teman-temannya pada tertawa melihat adegan itu.
“Cie.. cie… tambah mesra nih!” goda teman-temannya.
Mereka sekarang sedang duduk bergerombol di salah satu sudut di sebuah kafe yang ada di apartemen Kalimaya, setelah mereka berganti pakaian.
Gadis keempat bernama Asti, dan mukanya memang mirip Asti Ananta, begitu juga rambutnya, serta tingginya.
“Asti Ananta?” kali ini Heru yang mencoba bersuara, biar tidak diborong oleh Rudi.
“Bukan,” jawab Asti.
“Jadi, Asti apa?”
“Asti aja.”
“Huh, pelit banget orang tuamu. Masa anaknya yang cantik begini cuma dikasih nama ‘Asti Aja’,” sahut Rudi menggoda.
Gadis bernama Asti itu tersenyum berwibawa, kayaknya dia keturunan ningrat sehingga dalam bergaul pun masih jaim alias jaga image. Tetapi senyumnya benar-benar seperti Asti Ananta si artis dan presenter cantik asal Semarang itu. Apalagi rambutnya yang cukup panjang dan di ujungnya bergelombang. ‘Ya Tuhan, rezeki apa aku hari ini,’ seru Heru dalam hati memandang Asti.
Gadis kelima berwajah etnis Sunda banget, namanya Aura Kinasih, mirip Aura Kasih, artis penyanyi dan pemain sinetron. Selain wajahnya, terutama bibirnya, kemiripan juga ada pada dadanya yang membusung, yang membuat Heru tidak berani menatap langsung tetapi selalu mencuri pandang.
“Kenapa lu?” tanya Rudi ketika menangkap basah lirikan Heru.
“Hahaha…” meledak tawa teman-temannya yang juga melihat gerak-gerik Heru mencuri pandang.
Tentu saja Heru menjadi merah mukanya karena malu. Tetapi Rara, panggilan akrab Aura, hanya tersenyum. Dia lembut banget, dan sangat menjanjikan kedamaian dan ketenangan.
…
Dua hari kemudian, Heru memberanikan diri menelepon Mila.
“Mil, kamu ada di apartemen gak?”
“Iya ada. Kenapa?”
Suara Mila terdengar agak lemas, mungkin dia sedang tiduran. Jam 12 siang begini tiduran? Hari Selasa pula.
“Aku mampir ya, tadi aku beli pizza, gak enak kalau makan sendiri.”
“Bener? Wah, kebetulan aku juga udah lapar.”
Apartemen Mila cukup luas. Mila tinggal bersama kedua orang tuanya, namun kedua-duanya bekerja.
“Tumben lu ingat gue?” tanya Mila ketika mereka sudah duduk di sofa ruang tamu.
“Tiap hari sih ingat. Bahkan ingat banget,” sahut Heru merayu. Mila pun pengertian dan tersenyum.
Setelah makan pizza yang dibawa Heru, keduanya terus ngobrol dan semakin akrab. Seperti ketika jumpa pertama, Heru merasakan sex appeal Mila sangat mempengaruhinya. Bagian dirinya yang vital sudah menegang, bahkan meronta-ronta.
Apalagi Mila sepertinya memang sengaja memancarkan daya tarik seksnya yang luar biasa itu. Tatap matanya juga lama kalau memandang Heru. Suaranya pun mendesah-desah. Bahkan bajunya yang longgar, model daster atau yang semacam itu, seakan-akan sengaja dibiarkan tidak rapi.
“Mil,” panggil Heru, suaranya parau karena bergejolak.
“Ya?” sahut Mila acuh tak acuh.
Hmm… Heru tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Otaknya sudah penuh dengan imajinasi. Dia bergeser mendekati Mila sehingga mereka bersentuhan. Mila membiarkannya.
“Mil, boleh nggak?”
“Boleh apa?” Mila melirik, dan lirikan itu membuat Heru seperti dipanah hatinya.
Heru meraih tangan Mila, lalu menciumnya. Deburan ombak di dadanya sudah menderu-deru, napasnya memburu.
Mila menarik tangannya. “Ih, kenapa sih kamu?”
“Mil, sungguh mati, aku cinta kamu.”
Mila hampir tersedak mendengar rayuan gombal Heru. Dia melirik Heru beberapa saat, mencoba menaksir-naksir apakah Heru serius atau hanya sekadar merayu saja.
“Segampang itu?” tanya Mila ringan, seakan apa yang didengarnya itu biasa saja. Padahal Heru sudah terkapar, hati dan jiwanya. Tidak sanggup dia menahan daya tarik seksual yang dipancarkan Mila.
“Eh… A-aku nggak tahu Mil,” Heru mencoba menenangkan diri. “Aku merasakan hal yang aneh sejak pertama bertemu kamu.” Heru mengatur napasnya untuk membendung sex appeal yang dipancarkan Mila.
“Kita baru bertemu, baru kenalan,” kata Mila. “Tidak segitu gampangnya kamu menyatakan cinta.”
Heru diam. Secara logika mana pun, apa yang dilakukan dan diucapkannya memang konyol. Heru malu sendiri. Tetapi degup jantung yang dia rasakan ketika berdekatan dengan Mila menghalau semua logika yang ada di kepalanya.
“Mila, please…” rengek Heru.
“Kamu mau apa?” tanya Mila.
Dengan memberanikan diri, Heru menarik pundak Mila dan mencoba memeluknya. Harum semerbak rambut Mila menerpa hidung Heru membuat pemuda itu melayang jauh ke awan.
Mila memberontak, tetapi pelukan Heru semakin kuat. Heru membenamkan kepala Mila ke dadanya, dan menciumi aroma harum di rambut gadis itu dengan lahap.
Kini tubuh keduanya bergulat di atas sofa. Heru menindih badan Mila, dan mulutnya berusaha mencari-cari wajah dan mulut Mila.
Mila seperti menolak, namun dia tidak berteriak. Hal itu diartikan Heru bahwa Mila tidak keberatan untuk dipeluk dan diciumnya.
Heru akhirnya mendapatkan mulut Mila, dan langsung meumatnya.
Mila pasrah, dan akhirnya membalas juga ciuman Heru. Napas keduanya memburu, mereka saling berpelukan dan berciuman dengan rakus sekali.
Ketika tangan Heru mulai bergerilya di lekuk-lekuk tubuh Mila, gadis itu mendorongnya. “Jangan”, desis Mila.
Heru sadar dari maboknya. Dia memandang Mila yang sudah lusuh. Sebagian wajah gadis itu tertutup oleh rambutnya, sedangkan bajunya lusuh tidak karuan. Mila menunduk mengatur napasnya yang memburu.
Tetapi rasa rindu di dalam hati Heru seperti belum terpuaskan. Biasalah, laki-laki selalu ingin mendaki hingga puncaknya.
“Mil, maafkan ya,” kata Heru akhirnya.
Mila diam saja, dan tetap menunduk.
“Mila…” panggil Heru cemas.
“Iya, nggak apa-apa…” sahut Mila mencoba menetralisir suasana.
“Mila, benar aku jatuh cinta kepadamu,” berkata Heru yakin. Dia merasa seakan-akan dia sudah mengenal Mila lama sekali. Hatinya seakan-akan sudah dipenuhi oleh Mila.
Mila menoleh ke arah Heru, mencoba memahami kata-kata yang barusan didengarnya. “Kamu yakin?” tanyanya.
Heru menatap Mila dalam-dalam, seakan mencoba meyakinkan Mila tidak dengan kata-kata, tetapi melalui perasaan yang penuh dari hatinya.
“Kita akan membuktikannya,” kata Mila.
SEJAK hari Selasa itu, hubungan Heru dan Mila semakin akrab. Mereka sering bertemu, karena masih dalam satu apartemen, hanya beda lantai saja. Kadang mereka bertemu di apartemen Mila, kalau orang tua Mila tidak ada. Kadang di apartemen Heru, yang walaupun kecil, hanya berbentuk studio saja, namun mereka lebih leluasa. Tetapi Mila kurang suka di apartemen Heru, katanya apartemen itu berhantu! “Ah, Mila. Ada-ada saja kamu,” protes Heru. “Bener, sumpah! Aku melihatnya.” “Melihat apa?” “Sosok perempuan, masih muda, namun wajahnya pucat sekali. Rambutnya hitam terurai, ya seperti di film-film hantulah.” “Masak sih?” “Ya aku tidak begitu jelas juga, sih. Namanya juga hantu,” seloroh Mila. “Tapi aku jadi takut kalau dia menatapku, kayaknya dia benci banget melihat aku. Apa dia istrimu?” “Hah, istri? Aku kan belum punya istri.” “Yah siapa tahu hantu itu naksir sama kamu, hahaha…” Namun kerinduan di antara mereka
DI LANTAI dasar Tower A terdapat mall yang cukup besar sehingga penghuni kompleks apartemen Kalimaya tidak perlu jauh-jauh jika ingin berbelanja. Mall itu bahkan cukup terkenal sehingga pengunjung dari luar pun berbelanja di situ. Heru jika tidak ada kegiatan sering main ke mall. Kadang hanya nongkrong di salah satu café yang ada di situ, atau melihat-lihat barang atau pakaian yang lagi trend sekaligus cuci mata melihat SPG atau penjaga toko yang lumayan cantik-cantik dan seksi. “Hallo bang, lagi nyantai, nih,” sapa seorang satpam yang sudah dikenal Heru. “Hehe, biasalah pak,” jawab Heru. Satpam itu, bernama Sriyono, sudah sering melihat Heru sehingga mereka pun berkenalan. Heru bahkan sudah tidak perlu malu lagi ketahuan sering cuci mata di situ, dan pernah juga kong-kali-kong dengan pak satpam untuk berkenalan dengan seorang penjaga toko yang ‘aduhai cantik manis dan seksinya’. “Gak ada yang baru, bang,” celetuk Sriyono menggoda Heru.
BUNGA Lestari, nama gadis itu, bukan Bunga Citra Lestari atau BCL yang menjadi artis. Tetapi, wajahnya memang mirip sekali dengan BCL. Wajahnya lonjong, hidungnya panjang, dan rambutnya lurus dengan ujung bergelombang. Tetapi yang membuatnya mirip banget dengan BCL adalah tatapan mata dan bentuk bibirnya yang sangat sensual. Mirip banget dengan BCL, apalagi jika bibir itu sedikit terbuka. Heru yang memandangnya tidak bisa menahan untuk tidak menelan ludah. Bibir itu seksi banget, seakan mengandung madu yang manis dan segar sehingga kalau dikecup bisa melepaskan dahaga seorang perindu! Tatap matanya agak-agak sayu, membuat orang yang memandangnya akan merasa iba, merasa sayang, dan tidak ingin membiarkannya menderita. Mata itu dihiasi oleh bulu mata yang lentik, dan alis tipis yang melengkung indah. “Bunga, kamu cantik sekali…” desis Heru sambil memandang gadis itu tanpa berkedip. Bunga mengangkat matanya menatap Heru, namun tetap diam dan kemb
BUNGA dan Heru berjalan tergesa-gesa keluar dari mall dan Tower A, menghindari pandangan orang-orang yang melihat keributan yang terjadi di kafe tadi. Langkah keduanya seakan tidak ragu mengarah ke Tower C, tempat apartemen Heru berada. “Sialan si Hendra itu,” sungut Bunga. Bagaimana pun, dia dibuat malu di tempat umum, dan merasa tidak enak dengan Heru yang baru dikenalnya. ‘Tukang selingkuh? Hendra bilang aku tukang selingkuh? Sialan bener!’ Menyadari langkahnya yang menuju ke Tower C, Bunga tiba-tiba berhenti. “Ngapain kita ke sini?” tanyanya bingung. “Tidak apa-apa,” sahut Heru. “Kita ke tempatku saja.” “Tempatmu? Kamu tinggal di sini?” “Iya, ayo kita naik.” “Ah!” Bunga tampak ragu-ragu. Melihat itu, Heru segera menarik tangannya dan menggandengnya menuju ke lift. Teteapi Bunga tetap ragu. “Aku tidak mau, aku mau pulang saja!” Heru tidak ingin memaksanya, nanti malah menimbulkan salah pengertian. “Oke, apaka
RUDI langsung datang ke apartemen Heru setelah mendapat khabar dari temannya itu bahwa dia dikeroyok orang dekat mall. Heru menceritakan kronologi kejadian itu. “Kamu punya nomor telepon Bunga?” tanya Rudi. Heru memberikan nomor telepon Bunga. “Tetapi jangan kasih tahu Bunga kalau aku dikeroyok!” pinta Heru. “Hmm, gimana aku bisa cari tahu siapa si Hendra kalau nggak tanya sama Bunga?” tanya Rudi bingung. Tetapi dia kemudian mendapat akal. “Aku akan minta bantuan Astrid, kebetulan aku punya nomor teleponnya.” Heru ingat, Astrid adalah teman Bunga yang mirip artis Luna Maya. ‘Wah, rupanya Rudi sudah menjalin kontak dengan si Luna Maya itu…’ pikir Heru. Heru mengubungi Astrid. “Hallo sayang…” ‘Gila, udah sayang-sayangan saja!’ bathin Heru hampir tidak dapat menahan ketawanya. Dia kenal sifat Rudi, orangnya memang tidak panjang sungkan, mudah akrab dengan orang, dan tidak banyak tedeng aling-aling. Cukup lama juga
MEMANG sih Rudi anak orang kaya, bos perusahaan properti yang memiliki perumahan dan apartemen di mana-mana. Tetapi mana bisa dia menyerahkan mobil seperti itu begitu saja? Kawan sih kawan, tetapi apa keuntungan bagi Rudi sehingga begitu baiknya kepada Heru? Tiba-tiba ponsel Rudi berdering. “Ya, hallo?” Sejenak Rudi mendengarkan berita via telepon itu, lalu katanya, “Catcha!!” “Dapat?” tanya Heru. “Yoi! Dia lagi pesta di daerah Tebet, sama kawan-kawannya.” Mobil mereka pun meluncur ke daerah Tebet, masih di area Jakarta Selatan. Oleh karena sudah malam, sudah jam sebelas malam, jalanan sudah mulai sepi sehingga tidak lama mereka sudah sampai di TKP. Seorang lelaki tinggi besar dan beberapa orang lainnya menghampiri mobil mereka. Lelaki tinggi besar itu layaknya si BA di dalam film jadul “The A Team”. Pantas saja namanya Samson! Tetapi ketika berbicara, si Samson ini berlogat seperti orang Batak (sebuah suku di Sumatera Utara, I
RUDI mengantar Heru kembali ke apartemen. Di dalam mobil, Heru hanya diam, tidak tahu harus ngomong apa. Peristiwa tadi benar-benar mencekam bathinnya. Walaupun dia yang menjadi korban pengeroyokan dan mengalami sakitnya, namun dia tidak akan memberikan hukuman sekeras itu. “Sudahlah, Her. Nanti kamu akan terbiasa juga,” kata Rudi memecahkan kekakuan di antara mereka. “Aku tidak tahu kamu bisa sekejam itu,” sahut Heru dengan suara yang tercekat. Rudi menyeringai. “Aku terlalu kejam, ya?” Heru tidak menjawab, jadi Rudi melanjutkan ucapannya, “bukan aku yang melakukannya, kan?” “Tapi atas perintahmu,” tukas Heru. “Her, dunia ini lebih kejam lagi. Samson dan anak buahnya itu hanya mencari makan dengan cara itu, mereka tidak bisa yang lain. Mereka mau kerja kantoran tidak bisa. Lalu siapa yang memberi makan mereka? Aku hanya memanfaatkan jasa mereka, memberi mereka pekerjaan. Aku juga mendidik anak-anak kurang ajar macam Hendra itu agar ti
“MAS, ada apa?” tanya Mila melihat Heru yang berubah jadi murung.Heru menghela nafas, lalu mencoba tersenyum kepada Mila. Kasihan gadis itu, dia pasti sudah jatuh cinta kepadanya.Bagi Heru, Mila cukup manis, dan mempunyai daya tarik atau sex appeal yang sangat tinggi terhadap Heru. Melihatnya saja sudah membuat Heru birahi, apalagi berdekatan, mencium bau harum di rambut dan badannya, menyentuhnya!Heru merasakan kelezatan yang tiada tara ketika mengecup bibir Mila, mengejar-ngejar lidahnya yang menari-nari di rongga mulutnya! Heru merasakan kasih sayang yang luar biasa ketika memeluk Mila, mendekapnya seerat-eratnya, menindihnya. Walaupun sampai saat ini mereka belum sampai bersenggama, hampir-hampir saja karena mereka sudah mabok birahi, namun ada saja yang menghalangi hal itu terjadi.Tetapi, dibandingkan dengan Bunga, Heru lebih memilih Bunga!Bunga termasuk gadis impiannya. Gadis itu tampak lebih putih dan ranum, lebih sumringah.