MINGGU pagi, Mila mendapat pesan WA dari sahabatnya, Asti.
“Mil, nanti siang aku ada acara di Kalimaya, Tower A. Kita ketemu ya.”
Mila termenung, tidak langsung menjawab pesan itu. Tentu dia senang bertemu dengan Asti, mereka sudah bersahabat sejak lama. Namun akhir-akhir ini dia kurang suka main ke bawah atau ke Tower lain. Malas, apalagi jika harus ketemu Heru, atau yang terkait dengannya.
Mungkinkah dia akan ketemu Heru di acaranya Asti? Mila sudah mendengar akan ada acara semacam music show di Tower A, tentu akan ramai pengunjung. Mila bisa menduga acara yang disebut Asti tentu acara show itu, karena Asti memang sering menjadi presenter.
Tetapi tidak mungkin dia menolak untuk bertemu Asti. Tidak ada alasan baginya untuk tidak menemui Asti.
Akhirnya Mila membalas pesan, “Ok. Nanti kalau kamu sudah sempat, kamu telpon ya. Aku akan berada di sekitar situ.”
Mila ingin memperhatikan acara itu dari jauh saja supaya tidak terliha
ASTI bingung. Dia melihat ke arah Heru, lalu ke arah Mila. “Kalian…” Asti menunjuk Heru dan Mila bergantian. Heru mendekati Asti, lalu berkata lirih, “dia lagi marah…” Sekarang Asti paham. Gadis itu langsung tersenyum gembira. Rupanya sahabatnya itu sudah berhubungan dengan Heru, namun sekarang lagi marah. ‘Hahahaha…’ Asti tidak dapat menahan ketawa dalam hatinya, sehingga bibirnya menyungging senyuman. “Mila, sayang…” panggil Asti lembut sambil memeluk bahu sahabatnya. “Jangan marah terus, itu Heru kasihan. Sampai nabrak orang gara-gara ngelamunin kamu…” Mila tertunduk. Rupanya, dia tidak mampu membendung air dari matanya sehingga sampai menetes. Kini dia pasrah. Ada perasaan lega juga setelah perasaannya terungkap, dan sahabat baiknya itu ternyata memakluminya. Iya ya… kenapa dia tidak curhat sama seseorang, sama sahabat-sahabatnya, tentang keadaan yang dialaminya… tentang perasaan merana yang dideritanya… ternyata, setelah seseorang mengeta
“MILA…” panggil Heru cepat-cepat menarik gadis itu kembali. “Kamu jangan selalu begitu dong, apa-apa langsung pergi.” Mila menghempaskan diri kembali ke sofa. Wajahnya cemberut, tidak kuasa menahan rasa cemburu. “Mila, ingat baik-baik. Kamu ke sini waktu aku pulang dari rumah sakit, lalu kita…” Mila terlihat kaget. “Kamu… dari rumah sakit?” Sekarang Heru jadi berutang penjelasan kepada Mila. “Iya, aku diculik orang, disiksa, lalu di buang di daerah Puncak. Untung Rudi, Astrid, dan Bunga menemukan aku dan membawa ke rumah sakit.” “Kok aku tidak dikasih tahu?” tanya Mila penasaran. “Aku nggak tahu. Ponsel aku hilang!” “Tapi aku nggak pernah ke sini, mas…” Heru menatap Mila tidak mengerti. “Waktu aku pulang dari rumah sakit, kamu ke sini… kita melakukan itu di sini…” “Tidak, mas. Itu bukan aku! Aku tidak pernah ke sini!” Tiba-tiba terdengar bunyi barang jatuh dan pecah. Sontak Heru dan Mila melihat, kaca ce
SETELAH mengantar Mila, Heru lalu turun ke lobby. Dia ingin mengorek keterangan dari satpam yang dikenalnya, mudah-mudahan ada cerita tentang apartemennya. Tetapi si satpam tidak ada, sehingga dia menuju ke Tower A. Mungkin pak Sriyono, satpam Tower A, juga mempunyai cerita-cerita seputar apartemen Kalimaya. Hari sudah sore dan acara music show di Tower A sudah usai. Heru melihat orang-orang yang sibuk memberesi barang-barang di seputar pentas, dan dalam hati dia berharap-harap bisa melihat Asti. Ternyata harapan Heru tidak sia-sia, Asti tiba-tiba muncul dari ruang artis dan berjalan ke arahnya! “Hai…” sapa Heru mengagetkan Asti. “Eh… Heru! Mana Mila?” “Mila sudah kembali ke apartemennya,” jawab Heru. Dia senang bisa berjumpa Asti lagi, dan mencoba menahan gadis itu. “Kamu… nggak terburu-buru, kan?” Asti memandang Heru, dan dia juga masih ingin berbicara dengan pemuda itu. “Hmm… nggak sih, sudah mau pulang saja,” jawabnya. Sepe
TERDENGAR suara Mila, terasa sinis banget. “Hebat kamu, mas!” lalu telepon itu ditutup. Heru masygul, tidak tahu harus ngomong apa atau bersikap bagaimana. Dikembalikannya ponsel Asti tanpa berkata apa-apa. Cukup lama mereka terdiam, sampai akhirnya Asti bisa menguasai dirinya kembali. “Mila marah lagi, ya? Dia pencemburu banget,” cetus Asti. Heru mencoba mengatasi situasi tidak enak itu dengan tersenyum. Dia tidak bisa berkata apa-apa, jadi hanya menyeruput minumannya saja. “Oke, Her. Sebaiknya aku pulang dulu,” kata Asti seraya bangkit. Heru tidak bisa menahannya lagi. “Ok, aku antar…” “Tidak usah, ntar Mila tambah marah,” kata Asti. Dia tidak ingin terlibat lebih jauh dalam urusan asmara sahabatnya itu. Tetapi Heru bersikeras. Perasaan terpojok dan malu yang dideritanya membuat dia menjadi keras kepala. “No, biarkan aku memenuhi janjiku untuk mengantarmu. Ayo,” kata Heru sambil bangkit lalu menggandeng Asti menuju meja kasir
HARI Selasa, sudah sore, Heru berniat keluar kantor untuk melihat shooting iklan yang dibintangi Rara. Rasanya, Heru kangen dengan kehangatan dan keibuan Rara. ‘Sudahlah, daripada berpolemik terus dengan Mila, aku pilih Rara saja.’ Kayaknya Rara paling pengertian kepadanya, lebih maklum kepadanya sebagai laki-laki. Toh, Rara juga sudah menyerahkan diri seutuhnya kepadanya! Tetapi baru saja dia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Rara, telepon dari Rudi malah masuk. “Bro, lu di kantor? Aku mampir ya, udah dekat nih…” Heru terpaksa membatalkan niatnya mau keluar. Tidak lama Rudi sudah muncul di kantor Heru. Sudah beberapa kali Rudi datang ke situ sehingga sudah terbiasa, bahkan rekan-rekan Heru sudah pada kenal dengan Rudi. Rudi memang ceria dan mudah bergaul. “Hallo Cynthia, kamu makin cantik aja,” sapa Rudi kepada sekretaris kantor Heru. Gadis yang disapa langsung tersenyum dan merona merah mukanya. Heru mengajak Rudi ngobrol di ruan
“TUNGGU, Rud! Bagaimana dengan pekerjaanku yang sekarang?” tanya Heru bingung. Rudi tidak ingin melecehkan sahabatnya itu. Tentu saja pekerjaan yang dia tawarkan jauh lebih baik atau lebih besar dari pekerjaan Heru sekarang, namun dia tetap harus menunjukkan respeknya. “Apa boleh buat, Her, kamu perlu membicarakannya dengan kawan-kawanmu. Aku yakin mereka akan mengerti…” “Iya, tentu mereka akan mengerti. Cuman aku jadi nggak enak juga, karena usaha ini kami rintis bersama-sama.” “Atau…” Rudi memikirkan sesuatu, namun ragu-ragu, takut menyinggung Heru. “Atau apa?” tanya Heru penasaran. “Hmm… ini hanya pikiran aku selintas saja. Tapi tidak usahlah, nanti teman-teman kamu tersinggung…” Sebenarnya Rudi ingin mengambil jalan simpel juga, yaitu membeli perusahaan Heru itu dan melikuidasinya. Walaupun Heru dan kawan-kawannya akan mendapat uang cukup banyak dari penjualan perusahaan, namun mungkin mereka akan tersinggung karena cara se
HARI Jum'at pagi, terpaksa Heru hadir dalam rapat departemen pemasaran, departemen yang dia pimpin. Keperluannya agar dia mengenal siapa saja manager di departemen itu. Untung juga dia hadir dalam rapat, karenanya dia menjadi tahu proyek apa saja yang sekarang aktif, event apa yang sedang mereka adakan atau ikuti, serta kendala apa yang mereka hadapi. Kepada para manager dia berterus terang masih belum tahu bisa berkontribusi apa. Hanya saja pesannya, kalau ada sesuatu yang urgent, jangan segan langsung menghubungi dia, atau melalui mbak Lia. Sebuah hal baru yang dia usulkan adalah agar segera diadakan program outbound untuk seluruh team pemasaran. Dia minta agar Lia mengaturnya dengan departemen HRD. Seusai rapat, Lia memberitahu bahwa direktur utama, pak Kusuma Ardhana, ingin bertemu dengannya. “Baik, aku akan ke ruangannya,” kata Heru. Ruang direktur utama berada di lantai 11. Di lantai itu terdapat juga ruang direktur HRD serta hampir semu
KUSUMA Ardhana mempersilahkan Heru duduk di sofa dalam ruang kerjanya, dan dia pun duduk di dekat Heru. Mbak Retno, sekretarisnya, segera menyediakan Cold Drip Coffee yang dicampur dengan sedikit susu. Minuman ini selalu disiapkan untuk pak dirut, dan hampir selalu dihidangkan jika ada tamu tanpa perlu menanyakannya lagi. “Pak Heru, maafkan kejadian tadi,” kata pak Kusuma mengawali obrolan mereka. Bagi Heru sih kejadian itu bisa dimaklumi dan tidak perlu dibahas lagi. “Tidak apa-apa, pak,” sahut Heru. “Oh, ya, panggil saya Heru saja,” sambungnya merasa risih dengan panggilan ‘pak’. Orang di hadapannya itu sudah sangat senior, mungkin umurnya sudah lebih dari 50 tahun, atau bahkan sudah 60? Penampilannya perlente, memakai jas dan dasi, pantas sebagai seorang direktur utama perusahaan besar. Sementara dirinya, tetap berpakaian ‘biasa’, kemeja polos warna khaki dengan celana ankle warna hitam, sesuai dengan jiwanya yang masih muda. Untung saja dia term