“Bu, mobil yang kemarin itu ada lagi, loh!” Aku masuk dan mendekati Ibu yang tengah duduk dengan Nek Wasti---istri Kakek Anom. “Ya, itu kan jalan umum, Cha.” Ibu menjawab santai. Dih, Ibu tuh. Kadang gemes. Kenapa coba gak ada takut-takutnya. Jelas-jelas mobil itu aneh. Masa tiap jam segini berhenti di sana. Namun karena Ibu cuek saja, akhirnya aku tak memaksa. Aku akan bicara pada Adrian saja. Biar dia dan teman-temannya menangkap sang pelaku segera. Warung makan Ibu biasanya baru akan tutup jam sembilan malam. Ibu akan sudah mengusirku semenjak adzan maghrib berkumandang. Dia akan menyuruhku untuk belajar. Kini di ruang tengah rumah kami yang sempit, beralaskan tikar yang digelar. Aku dan Adrian tengah tepekur dengan buku masing-masing di tangan. “Ian, Kamu masih banyak gak PR-nya?” Aku bicara sambil melirik sekilas pada Adrian. Dia tengah membaca buku sambil tiduran telentang. “Udah kelar dari tadi, kok. Kenapa?” “Kakak lagi mau ngajak kamu menjalankan misi.” Aku bicara samb
Pov Salmah “Ini terkait beasiswa. Bapak ada kenalan seorang pemilik pondok dan sekaligus ada SMP dan SMA di sana. Bapak ingat pada kalian.” “Masya Allah … terima kasih banyak, Pak. Rupanya Adrian dan Alisha merupakan siswa yang diingat guru di sekolahnya. Saya cukup terharu mendengarnya. Apalagi Bapak sudah jauh-jauh sampai ke sini mencari keberadaan keduanya.” Aku cukup terkejut mendengar penuturannya. “Iya, saya waktu perpisahan kelas enam itu niatnya mau bicara dengan Bu Salmah, tapi gak sempat. Pas saya nyari sudah gak ada. Saya ke rumah lama Bu Salmah, eh rupanya sudah berganti pemiliknya. Beruntung pas saya habis ada acara ke sini, kebetulan sekali melihat orang yang mirip Bu Salmah, eh rupanya benar.” Pak Rayyan bicara panjang lebar. Senyumnya tersungging dan tatapan matanya lurus memandang wajahku. “Wah tersanjung sekali saya, Pak. Terima kasih banyak.” Aku tak henti mengucapkan terima kasih. Obrolan kami sesekali terjeda oleh kedatangan pembeli. Beruntung Nek Wasti bisa
Pov Salmah Aku memeluk Icha berulang kali sebelum melepasnya ke boarding school. Pagi ini kami di antar Pak Rayyan. Wajah Icha mendung dari semalam. Dia banyak berpesan pada Adrian.“Ian, harus jaga Ibu. Bantu Ibu di warung. Cuci baju sendiri, jangan manja.” “Iya, Kak.” “Ian harus belajar ngepel yang bener. Kalau Ian ngepel tuh masih ada jejak-jejak putihnya. Nanti Ibu harus beresin lagi, kasian Ibu capek.” “Iya, Kak.” “Kemarin Kakak sudah ngajarin ‘kan cara nyetrika yang bener. Bukan asal keinjek gosokan saja terus kelar. Di perhatiin lipatan-lipatannya juga.” “Iya, Kak.” “Ian harus belajar masak juga. Jangan bisanya cuma masak air. Kakak sudah ajarin beberapa kali ‘kan?”“Iya, Kak.” Alisha terus-menerus memberikan wejangan untuk Adrian. Sejak tadi, tak henti. Aku yang hendak mengantarkan selimut baru untuk Alisha hanya mampu mengelus dada. Aku berdiri di balik pintu sambil mendengarkan obrolan mereka. “Kakak nanti pulangnya kapan?” Kudengar Adrian kali ini yang bertanya. “
Malam ini, rasanya asing. Tak ada Alisha di sini membuat sebagian hatiku terasa kosong. Ya, belum sehari saja aku sudah merindukannya. Padahal aku bilang sama Icha kalau jangan cengeng, tapi ternyata aku yang cengeng. Aku menatap kamar Alisha yang kini sudah kosong. Hanya ada tempat tidur di sana dan sisa-sisa barang yang tak dia bawa. Kuberjalan menuju rak dan mengambil beberapa buku miliknya. Kuusap dan kudekap. Ingin rasanya dia masih di sini. Air mata luruh, tak kuasa kutahan lagi. Kupejamkan mata dan beristighfar banyak-banyak. Ikhlas … ikhlas … ikhlas ….Namun, kata itu tak semudah yang kutulis dan kuucapkan. Aku mengajarkan dia untuk iklhas dan tegar, tapi aku pun sama, masih harus banyak belajar. Ikhlas … ikhlas … ikhlas …. Terbayang lagi senyuman, tawa, ketegasan dan kemandirian Alisha. Dialah putriku, perempuan yang kuharap jauh lebih tangguh dan beruntung dari pada aku. Icha … Ibu rindu, Nak! Aku bergerak naik ke atas tempat tidurnya dan membaringkan diri sambil mem
Pov Salmah Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu juga Pak Rayyan terus-menerus muncul dalam kehidupanku dan Adrian. Kegiatannya setiap akhir pekan dengan Adrian selalu ada saja. Bahkan mereka begitu kompak, sesekali mereka berdualah yang pergi ke pasar untuk berbelanja. “Bu, ada lagi gak yang mau dibeli?” Pak Rayyan muncul. Bahkan panggilannya sudah berubah, hmm entah sejak kapan. Tak lagi memakai embel-embel namaku di belakangnya, mengikuti panggilan Adrian. Itu jika ada dia. Namun, jika kami berdua saja, justru dia hanya memanggil nama dan aku mulai terbiasa.“Sudah semua yang dalam listnya Ian, Pak Rayyan.” Aku, masih memanggilnya seperti dulu. Satu tahun, tapi tak mengubah apapun dalam hatiku selain rasa mulai terbiasa. “Oke, kami berangkat! Assalamu’alaikum!” Dia menautkan jempol dan telunjuknya lalu berangkat bersama Adrian ke pasar. Minggu ini adalah minggu terakhir Adrian berada di rumah. Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan menyusul Alisha ke boarding school
Pov Salmah Di ruang tengah rumah sederhana milik Ibu dan Bapak, aku ,Alisha dan Adrian kini berada. Kemarin sore aku menjemputnya ke asrama. Alisha dan Adrian cukup mendukung keputusanku. Mereka bilang, sudah lama memang menginginkan pengganti Mas Heru. Selain ada aku dan anak-anak, hadir juga Anto dan Intan dan dua anaknya, Febri dan April. Entah kenapa dia sangat suka mengambil anak dari nama bulan. Mungkin jika anaknya ada dua belas, akan dinamainya dari Januari sampai Desember. Dia adikku yang pertama, selama ini mereka tinggal di Bandung. Anto---adikku kerjanya freelance, dia tinggal di rumah mertuanya karena istrinya adalah anak satu-satunya. Ada juga Arif dan Nur, Adik keduaku ini cewek, Nur namanya, Arif itu nama suaminya. Hanya saja, karena dulu selagi masih serumah dia sering iri. Katanya Ibu dan Bapak lebih sayang padaku dari pada dia, karena itu juga kami tak terlalu dekat. Untungnya, dia mau tinggal bersama Ibu dan Bapak menemani hari tuanya. Suaminya kerja di pabrik s
Pov Dirga“Tunggu!!! Hentikan dulu semua ini, tolong!” Aku berdiri mematung menatap adegan ijab qabul yang membuat darahku mendidih. Dua bulan lalu aku meminta Papa mengabarkan pada Rayyan akan kepulanganku ke Indonesia. Aku memintanya menjemput. Tak sabar aku ingin segera mendengar kabar calon keluarga yang kutitip padanya. Namun, sedikit kaget ketika tadi di bandara yang ada hanya Papa dan Mama yang datang, dia bilang hari ini Rayyan menikah. Beruntung, fligthku awal. Aku langsung meluncur ke kediaman Rayyan. Sedikit kesal ketika dia tak mengundangku, padahal selama ini aku sudah meminta banyak pertolongan padanya. Apa dia sudah tak menganggapku kawan? Namun rumahnya sudah sepi, keluarga besarnya sudah pergi ke rumah mempelai perempuan.Dari tetangganya, aku diberi tahu alamat ini. Bergegas aku meminta sopir meluncur ke alamat ini. Namun, duniaku seakan runtuh ketika melihat siapa perempuan yang duduk bersisian dengan Rayyan. Salmah, kenapa Salmah?*** Satu tahun lalu. Tangan yan
Pov Rayyan“Tunggu!!! Hentikan dulu semua ini, tolong!” Ijab qabul yang baru saja hendak kuucap, terhenti. Aku kaget bukan main ketika melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Dirga? Kenapa dia bisa datang pada saat sakral seperti ini. Bukankah kepulangannya masih minggu depan? Padahal aku sudah semaksimal mungkin mengatur pernikahanku dengan Salmah, sebelum dia pulang. “Tenang, Pak! Kami mohon jangan membuat kegaduhan di sini!”Suara adik lelaki Salmah terdengar menghalau. Dia berjalan mendekat ke arah Dirga yang berdiri masih mengenakan tongkat.“Ya, maaf, saya tak bernaksud membuat keributan, maaf. Hanya saja … saya butuh penjelasan dari kawan saya, Rayyan. Kenapa dia malah jadi pagar yang makan tanaman?Selama saya mengobati kebutaan dan kelumpuhan saya akibat kecelakaan, dulu saya titipkan Salmah dan anak-anak padanya. Namun, kenapa kini dia malah mengambil semua yang saya titip itu!” Aku menelan saliva. Keringat dingin terasa mulai bermunculan. Apalagi ketika aku menatap k