Share

Bab 5

Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, aku dan Adrian sudah makin terbiasa berjualan. Dari yang semula menawarkan barang dagangan malu-malu, sekarang sudah makin berani saja. Apalagi, ternyata pekerjaan Ibu, berdiam di ruangan itu hanya berjualan label keripik. Kemarin saja yang Mang Salim kasih ke Ibu, cuma dua puluh ribu. Berarti Ibu kerja seharian itu dapat uangnya tak seberapa.

Setiap seminggu sekali, kami masih rutin berjualan di lampu merah. Uangnya lumayan dari pada hanya jualan di sekolah.

Hari ini pun sama. Aku dan Adrian sudah berada di tempat mencari nafkah, lampu merah. Kuedarkan penglihatan. Rupanya pengemis yang biasanya mangkal di sana belum datang.

Sepeda sudah kami titip di depan ruko-ruko, bayar dua ribu seperti biasa. Lantas kami berjalan beriringan dengan semangat. Aku selalu bersemangat ketika membayangkan bisa dapat uang sendiri untuk membantu Ibu.

"Are you ready?" Adrian memasang topi warna hitam penutup kepalanya dan mengangkat kerdus miliknya.

"Yess, I am ready!" Aku pun memasang topi milikku dan mengangkat satu alisku. Kami tos dulu sebelum turun ke jalanan, tak lupa membaca bismillah.

“Keripiknya tiga ribuan! Ada yang manis dan gurih! Ayo bisa milih!” Aku menawarkan bungkusan keripik dalam dusku sambil menghampiri pintu-pintu mobil yang kuanggap pintu rejeki.

“Keripiknya empat, Neng! Jadi sepuluh ribu, bisa?” Seorang perempuan menawar. Bagianku seribu tiap bungkus, kalau ditawar berarti aku dapat lima ratus rupiah saja. Hmmm … berpikir sejenak.

“Gimana, bisa gak, Neng?” tanyanya lagi.

Lampu merah tak lama. Aku pun tak bisa berpikir lama-lama. Lekas aku mengangguk, “Iya, Bu! Mau berapa?”

“Empat saja, ya! Ini uangnya!”

Lenganku yang kini semakin berwarna gelap cekatan mengambil keripik dari dalam dus dan menyerahkan padanya. Dia mengangsurkan uang dua puluh ribuan. Lekas aku mencari kembalian.

“Silakan, Bu!” Aku bergegas karena lampu akan segera hijau.

Aku pun berjalan tergesa sambil menuju tepi, sebelum lampu berwarna menjadi hijau lagi.

Aku menepi ketika lampu tepat menjadi hijau. Adrian tampak menepi ke sisi yang berseberangan denganku. Biasanya sambil menunggu lampu menjadi merah, aku akan duduk dulu berselonjor mengusir pegal. Lelah juga sebetulnya berdiri lama-lama. Aku duduk sambil meneguk air mineral isi ulang yang kujadikan bekal. Ada pohon kersen di sini yang cukup rindang.

Kulihat Adrian bicara tanpa suara sambil melambaikan tangan. Aku berusaha menebak apa yang ingin dia katakan. Namun, tak mengerti. Tanpa kukira, Adrian berusaha menyebrang. Aku menggeleng dan menyilangkan tangan. Aku melarangnya, memang agak sepi tapi lampu masih hijau.

“Sepi,” tukasnya.

Aku melihat, memang laju kendaraan agak sedikit sepi. Namun, aku tetap menggeleng melarangnya. Hanya saja, Adrian tak menggubris dan kakinya cekatan berlari menyebrang.

“Awaaaas! Iaaaan!” Aku menutup wajah ketika sebuah mobil kecepatan agak tinggi keluar dari arah gerbang tol.

Suara lengkingan Adrian membuat lututku lemas dan gemetar. Kulihat keripik dan botol air jualannya berhamburan. Tubuhnya terpelanting ke tepi jalan.

“Iaaaaan!” Aku berlari menghampirinya. Tangisku sudah pecah. Decitan rem dari mobil yang menabraknya terdengar.

“Astaghfirulloh!” Seorang lelaki tua tergopoh turun dari balik kemudi. Dia menghampiriku yang meraung-raung. Aku menangis karena Adrian tak sadarkan diri. Darah mengalir dari pelipisnya. Sepertinya dia membentur trotoar.

“Dek, permisi!” Suara Bapak-bapak itu terdengar. Aku mendongak dengan mata yang basah. Aku takut, benar-benar takut. Adrian diam saja.

“Iaaaan, bangun! Iaaan jangan mati! Iaaaan, harus bangun jangan bikin Ibu sedih.” Aku sesenggukkan di samping tubuhnya yang terkapar.

“Lekas bawa masuk, Pak Rohim! Sepertinya anaknya mengalami pendarahan! Kita bawa ke rumah sakit!”Suara lelaki lain. Aku tak bisa melihatnya. Mataku basah oleh air mata.

“Iya, Tuan! Baik!”

Tiba-tiba tangan itu membopong tubuh Adrian.

“Jangan bawa adik saya! Jangaaaan!” Aku menepisnya. Namun lelaki itu menoleh dan menatap tajam.

“Dek, adiknya harus segera di bawa ke rumah sakit! Sebaiknya Ade ikut kami!” tukasnya seraya langsung membawa tubuh Ian yang tergeletak tak sadarkan diri masuk ke dalam mobil.

Aku menatap dia sekilas. Kulihat kumisnya yang jarang dan perutnya yang gendut. Namun begitu, wajahnya tampak baik.

“Ayo, masuk!”

Tanpa pikir panjang lagi. Aku pun segera masuk ke dalam mobil. Duduk di dekat tubuh Adrian yang sudah dibaringkan di sana.

Bapak gendut yang tadi juga masuk lagi dan dia menyetir lagi.

“Lurus saja nanti putar arah. Lima belas menitan dari sini ada sebuah rumah sakit!” Suara lelaki yang membelakangiku. Dia sudah duduk di kursi samping lelaki gendut tadi.

“Baik, Tuan!”

Kudengar lelaki yang sepertinya agak kurus dan mudaan itu dipanggil Tuan. Aku tak bisa melihat wajahnya. Dia tampak sibuk dengan gawainya.

“Hallo! Selamat siang, Pak Heru!”

Kudengar dia bicara sambil menempelkan telepon ke telinganya.

“Ya, Pak Heru! Minta maaf. Sepertinya meetingnya direschedule. Hmmm kalau besok, bisa?”

Dia menyebut-nyebut nama Heru. Apakah dia adalah teman Bapak? Kan nama Bapak, Heru juga.

Ah, tapi ‘kan nama Heru mungkin ribuan di dunia ini. Mungkin Heru yang lain lagi.

“Oke, baik. Mohon maaf merepotkan. Terima kasih.” Dia menutup panggilan.

Setelah selesai menelpon. Dia menoleh padaku.

Deg!

Aku terkesiap. Wajah itu … kenapa wajah Om-Om yang habis nelepon ini mirip sekali dengan Adrian. Aku sibuk mengucek mata. Apakah rasa takutku kalau Adrian meninggal membuat wajah semua orang jadi mirip dengan dia.

“Dek, namanya siapa? Hapal nomor orang tuanya gak?” tanyanya.

“Saya Alisha, Om. Nomor Ibu, gak hapal Om.” Aku menggeleng.

Dia menghela napas kasar. Lalu mengangguk dan tersenyum yang dipaksakan.

“Oke, oke … hmmm, sudah jangan nangis terus, ya! Adiknya Insya Allah segera dapat pertolongan!” Dia bicara dengan lembut. Bibirnya membuat senyuman dan entah kenapa wajahnya malah semakin lebih mirip lagi dengan Adrian.

Aku mengucek-ngucek mata lagi. Apa aku setakut ini Adrian mati? Semua muka orang apakah jadi mirip dia sekarang? Aku lekas menoleh pada Bapak-Bapak gendut yang menyetir. Eh, tapi dia sih mukanya tetap beda. Aku melirik lagi sama Om-Om yang satunya, tetap mirip. Adrian memang tak mirip Ibu sama Bapak, tapi kenapa tiba-tiba malah mirip lelaki asing yang menabraknya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Wah kayaknya itu ayahnya Adrian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status