Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, aku dan Adrian sudah makin terbiasa berjualan. Dari yang semula menawarkan barang dagangan malu-malu, sekarang sudah makin berani saja. Apalagi, ternyata pekerjaan Ibu, berdiam di ruangan itu hanya berjualan label keripik. Kemarin saja yang Mang Salim kasih ke Ibu, cuma dua puluh ribu. Berarti Ibu kerja seharian itu dapat uangnya tak seberapa.
Setiap seminggu sekali, kami masih rutin berjualan di lampu merah. Uangnya lumayan dari pada hanya jualan di sekolah.Hari ini pun sama. Aku dan Adrian sudah berada di tempat mencari nafkah, lampu merah. Kuedarkan penglihatan. Rupanya pengemis yang biasanya mangkal di sana belum datang.Sepeda sudah kami titip di depan ruko-ruko, bayar dua ribu seperti biasa. Lantas kami berjalan beriringan dengan semangat. Aku selalu bersemangat ketika membayangkan bisa dapat uang sendiri untuk membantu Ibu."Are you ready?" Adrian memasang topi warna hitam penutup kepalanya dan mengangkat kerdus miliknya."Yess, I am ready!" Aku pun memasang topi milikku dan mengangkat satu alisku. Kami tos dulu sebelum turun ke jalanan, tak lupa membaca bismillah.“Keripiknya tiga ribuan! Ada yang manis dan gurih! Ayo bisa milih!” Aku menawarkan bungkusan keripik dalam dusku sambil menghampiri pintu-pintu mobil yang kuanggap pintu rejeki.“Keripiknya empat, Neng! Jadi sepuluh ribu, bisa?” Seorang perempuan menawar. Bagianku seribu tiap bungkus, kalau ditawar berarti aku dapat lima ratus rupiah saja. Hmmm … berpikir sejenak.“Gimana, bisa gak, Neng?” tanyanya lagi.Lampu merah tak lama. Aku pun tak bisa berpikir lama-lama. Lekas aku mengangguk, “Iya, Bu! Mau berapa?”“Empat saja, ya! Ini uangnya!”Lenganku yang kini semakin berwarna gelap cekatan mengambil keripik dari dalam dus dan menyerahkan padanya. Dia mengangsurkan uang dua puluh ribuan. Lekas aku mencari kembalian.“Silakan, Bu!” Aku bergegas karena lampu akan segera hijau.Aku pun berjalan tergesa sambil menuju tepi, sebelum lampu berwarna menjadi hijau lagi.Aku menepi ketika lampu tepat menjadi hijau. Adrian tampak menepi ke sisi yang berseberangan denganku. Biasanya sambil menunggu lampu menjadi merah, aku akan duduk dulu berselonjor mengusir pegal. Lelah juga sebetulnya berdiri lama-lama. Aku duduk sambil meneguk air mineral isi ulang yang kujadikan bekal. Ada pohon kersen di sini yang cukup rindang.Kulihat Adrian bicara tanpa suara sambil melambaikan tangan. Aku berusaha menebak apa yang ingin dia katakan. Namun, tak mengerti. Tanpa kukira, Adrian berusaha menyebrang. Aku menggeleng dan menyilangkan tangan. Aku melarangnya, memang agak sepi tapi lampu masih hijau.“Sepi,” tukasnya.Aku melihat, memang laju kendaraan agak sedikit sepi. Namun, aku tetap menggeleng melarangnya. Hanya saja, Adrian tak menggubris dan kakinya cekatan berlari menyebrang.“Awaaaas! Iaaaan!” Aku menutup wajah ketika sebuah mobil kecepatan agak tinggi keluar dari arah gerbang tol.Suara lengkingan Adrian membuat lututku lemas dan gemetar. Kulihat keripik dan botol air jualannya berhamburan. Tubuhnya terpelanting ke tepi jalan.“Iaaaaan!” Aku berlari menghampirinya. Tangisku sudah pecah. Decitan rem dari mobil yang menabraknya terdengar.“Astaghfirulloh!” Seorang lelaki tua tergopoh turun dari balik kemudi. Dia menghampiriku yang meraung-raung. Aku menangis karena Adrian tak sadarkan diri. Darah mengalir dari pelipisnya. Sepertinya dia membentur trotoar.“Dek, permisi!” Suara Bapak-bapak itu terdengar. Aku mendongak dengan mata yang basah. Aku takut, benar-benar takut. Adrian diam saja.“Iaaaan, bangun! Iaaan jangan mati! Iaaaan, harus bangun jangan bikin Ibu sedih.” Aku sesenggukkan di samping tubuhnya yang terkapar.“Lekas bawa masuk, Pak Rohim! Sepertinya anaknya mengalami pendarahan! Kita bawa ke rumah sakit!”Suara lelaki lain. Aku tak bisa melihatnya. Mataku basah oleh air mata.“Iya, Tuan! Baik!”Tiba-tiba tangan itu membopong tubuh Adrian.“Jangan bawa adik saya! Jangaaaan!” Aku menepisnya. Namun lelaki itu menoleh dan menatap tajam.“Dek, adiknya harus segera di bawa ke rumah sakit! Sebaiknya Ade ikut kami!” tukasnya seraya langsung membawa tubuh Ian yang tergeletak tak sadarkan diri masuk ke dalam mobil.Aku menatap dia sekilas. Kulihat kumisnya yang jarang dan perutnya yang gendut. Namun begitu, wajahnya tampak baik.“Ayo, masuk!”Tanpa pikir panjang lagi. Aku pun segera masuk ke dalam mobil. Duduk di dekat tubuh Adrian yang sudah dibaringkan di sana.Bapak gendut yang tadi juga masuk lagi dan dia menyetir lagi.“Lurus saja nanti putar arah. Lima belas menitan dari sini ada sebuah rumah sakit!” Suara lelaki yang membelakangiku. Dia sudah duduk di kursi samping lelaki gendut tadi.“Baik, Tuan!”Kudengar lelaki yang sepertinya agak kurus dan mudaan itu dipanggil Tuan. Aku tak bisa melihat wajahnya. Dia tampak sibuk dengan gawainya.“Hallo! Selamat siang, Pak Heru!”Kudengar dia bicara sambil menempelkan telepon ke telinganya.“Ya, Pak Heru! Minta maaf. Sepertinya meetingnya direschedule. Hmmm kalau besok, bisa?”Dia menyebut-nyebut nama Heru. Apakah dia adalah teman Bapak? Kan nama Bapak, Heru juga.Ah, tapi ‘kan nama Heru mungkin ribuan di dunia ini. Mungkin Heru yang lain lagi.“Oke, baik. Mohon maaf merepotkan. Terima kasih.” Dia menutup panggilan.Setelah selesai menelpon. Dia menoleh padaku.Deg!Aku terkesiap. Wajah itu … kenapa wajah Om-Om yang habis nelepon ini mirip sekali dengan Adrian. Aku sibuk mengucek mata. Apakah rasa takutku kalau Adrian meninggal membuat wajah semua orang jadi mirip dengan dia.“Dek, namanya siapa? Hapal nomor orang tuanya gak?” tanyanya.“Saya Alisha, Om. Nomor Ibu, gak hapal Om.” Aku menggeleng.Dia menghela napas kasar. Lalu mengangguk dan tersenyum yang dipaksakan.“Oke, oke … hmmm, sudah jangan nangis terus, ya! Adiknya Insya Allah segera dapat pertolongan!” Dia bicara dengan lembut. Bibirnya membuat senyuman dan entah kenapa wajahnya malah semakin lebih mirip lagi dengan Adrian.Aku mengucek-ngucek mata lagi. Apa aku setakut ini Adrian mati? Semua muka orang apakah jadi mirip dia sekarang? Aku lekas menoleh pada Bapak-Bapak gendut yang menyetir. Eh, tapi dia sih mukanya tetap beda. Aku melirik lagi sama Om-Om yang satunya, tetap mirip. Adrian memang tak mirip Ibu sama Bapak, tapi kenapa tiba-tiba malah mirip lelaki asing yang menabraknya?KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Hari wisuda yang ditunggu pun akhirnya tiba. Senyum mengembang dari bibirku. Polesan make up natural tak serta merta membuat aura kebahagiaanku luntur dan kalah dengan mereka yang menggunakan make up tebal. Aku dan Ibu sudah mengenakan kebaya couple hari ini. Ayah Dirga dan Adrian tampak gagah dengan batik couple yang mereke kenakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk bersisian itu, seperti seseorang di masa lalu dan masa depan. Wajah Adrian sangat mirip dengan Ayah Dirga, begitupun tubuh tinggi tegapnya. Adikku kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa. “Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku ketika pintu depan sudah Ibu kuncikan. “Oke! Mari.” Ayah Dirga yang menyahut. Dia pun lekas berdiri dan melempar kunci mobil ke arah Adrian sambil bicara, “Yan, nyetir!”“Siap, Ayah Bos!”tukas Adrian sigap. Kami pun berangkat. Adrian yang menyetir. Adrian duduk di sampingnya. Aku dan Ibu duduk di kursi belakang. Wisuda diadakan di kampus. Aku duduk diam, sambil menimbang-nimbang. Kapan wak
Skripsi yang disusun akhirnya selesai. Perjuangan berdarah-darah itu patut dirayakan. Tak ada makan-makan mewah, kini Alisha, Rifani dan Titan tengah berada di kamar Titan sambil makan cuanki pedas. Kami memilih kamar Titan karena di sana ada televisi. Ruangannya sih sama saja dengan kamarku. “Slide presentasi kamu dah jadi, Sha?” Titan melirik ke arahku yang sudah menutup laptop. “Alhamdulilah, syudah …,” tukasku sambil memiringkan kepala. “Kamu, Fan?” Titan menoleh pada Rifani. “Ahm, nanti dibantuin Alisha,” tukasnya tanpa merasa bersalah. “Dih, kok aku, sih?” Aku pura-pura merajuk. Padahal ya memang sudah biasa kalau Rifani merengek seperti itu. Rahasia umum. “Eh, eh, itu kecelakaan kereta yang tadi jam enam sorean itu! Data-data korban ninggalnya sudah muncul!” Suara Titan mengalihkan fokus kami dari obrolan pada layar kaca. “Kereta jurusan surabaya keberangkatan jam lima sore ini, mengalamai kecelakaan. Setelah bertahap dilakukan evakuasi oleh petugas setempat, berikut na