Share

Lamaran terhadap Kamila

"Assalamualaikum." Pak Wiguna mengucap salam dan mengetuk pintu rumah nek Sumi. Mereka sudah memutuskan, akan segera menikahkan Kamila dan Setya. Karna Setya, sudah merasa yakin dengan itu. Bu Indri dan pak Wiguna juga tidak bisa menghalangi niat baik putra mereka. 

"Waalaikumsalam." Kamila menjawab dari dalam rumah, sembari membukakan pintu. Gadis berhijab itu tertegun melihat pak Wiguna, bu Indri, dan Setya berada di ambang pintu. Kamila lantas menjunjung tangan bu Indri dan pak Wiguna ke dahinya. 

Bu Indri tampak mengenakan gamis set sederhana, namun tampak mewah berada di tubuhnya. Bu Indri juga tampat membawa bingkisan berupa buah-buahan yang terbungkus rapi, di tangannya. 

Sementara pak Wiguna dan Setya, mengenakan celana bahan, dan kemeja lengan panjang bercorak batik. Setya terlihat semakin tampan memakai pakaian formal seperti itu. Setya juga memakai tas selempang kecil di pundaknya, yang entah apa isinya. Mereka datang hanya berjalan kaki. Karna jarak rumah mereka yang tidak terlalu jauh.

"Silahkan masuk, Pak, Bu," ucap Kamila, yang disambut senyum hangat oleh bu Indri dan pak Wiguna.

"Apakah Bunda dan Ayah saja yang diperbolehkan masuk? Calon suami, tidak boleh masuk? Ya sudah, aku duduk disini saja," celetuk Setya, karna namanya tidak disebut dan tidak dipersilahkan masuk oleh Kamila. Bu Indri refleks mencubit lengan putranya yang jahil itu.

"Setya apa-apaan sih. Pakek bilang calon suami segala didepan Ibu dan Ayah nya. Bikin aku malu saja," batin Kamila, yang sebenarnya bahagia dengan ucapan Setya.

"Maafin Setya, ya, Nak Mila. Kamu tahu sendirilah, dia ini memang nakal," ucap bu Indri pada Kamila yang pipinya menjadi seperti tomat karna digoda oleh Setya. 

"Kamu ini, Setya, lihat, Kamila jadi malu, tuh." Pak Wiguna tertawa kecil melihat tingkah putranya itu.

"Iya, tidak apa-apa Bu, Pak," ujar Kamila sungkan.

Kamila yang tidak mengetahui, bahwa Setya akan membawa ibu dan ayahnya pagi ini, agak sedikit gugup. Untung saja, Kamila setiap habis sholat subuh, langsung membersihkan rumah, dan memasak sarapan pagi. Jadi, Kamila tidak terlalu kerepotan melihat kedatangan tamu secara tiba-tiba. 

  

"Silahkan duduk, Pak, Bu." Kamila mempersilahkan Bu Indri dan Pak Wiguna duduk dikursi kayu tua milik Neneknya. Empat buah kursi, dan satu buah meja kayu itulah, yang menjadi tempat duduk tamu jika berkunjung kerumah mereka. Disitu juga, tempat Kakek Parmin biasanya minum kopi.

"Silahkan duduk, Setya," ujar Kamila pada Setya yang tampak ingin kembali menggoda Kamila. Namun gagal, karna Kamila sudah mempersilahkannya untuk duduk.

"Terima kasih tuan rumah." Setya tersenyum jahil pada Kamila, membuat gadis itu kembali tersipu malu.

"Kamila permisi sebentar ya, Pak, Bu," ucap Kamila santun, disertai anggukan ayah dan ibu Setya. 

Kamila kembali dari dapur, membawakan teh hangat, dan sepiring biskuit di atas nampan, lalu meletakkannya di atas meja. 

"Silahkan, Pak, Bu. Kamila panggilkan Nenek dan Kakek dulu, ya." Kamila menyuguhkan teh dan biskuit, dan kembali pamit untuk membawa nek Sumi, serta membangunkan kek Parmin yang masih tidur, ke ruang tamu bersama bu Indri dan pak Wiguna.

Setelah memakaikan nek Sumi pakaian rapi, dan mengenakan kerudung, Kamila membopong nek Sumi keatas kursi roda yang dibeli Kamila di toko bahan bekas, sewaktu masih menerima kiriman uang dari bu Ratih--ibu kandungnya, dan membawa sang nenek duduk bersama keluarga Setya. 

Sembari mereka berbincang, Kamila membangunkan kakek Parmin, yang malam tadi, pulang larut. Dengan hati-hati, Kamila membangunkan kakeknya yang tidur di kamar belakang, di sebelah kamar tempat nek Sumi, dan Kamila tidur. Karna kakek Parmin, tak mau tidur dengan nek Sumi, yang selalu terjaga tengah malam, untuk minum. Dan kakek Parmin, tak mau direpotkan olehnya. Sebab itu, dia memutuskan untuk tidur di kamar lain, terpisah dengan nek Sumi.

"Kek, bangun Kek. Kamila sudah siapin kopi. Nanti dingin. Diluar juga ada tamu, Kek," ujar Kamila lembut, agar tak membuat Kakeknya marah. 

"Tamu siapa? Temanku? Kalau bukan, suruh pulang saja." Kakek Parmin menggeliat malas.

"Bukan, Kek. Itu ada Setya, dan keluarganya," jelas Kamila.

"Setya, teman kamu, yang orang kaya itu?" Kakek Parmin mulai membuka matanya, namun masih dalam posisi berbaring.

"Mau apa dia kesini sama keluarganya? Kamu bikin masalah, ya?" Selidik Kakek Parmin.

"Mereka mau melamar Mila." Bola Mata kakek Parmin seperti mau keluar mendengar penuturan Kamila. 

"Apa kamu bilang?" Kek Parmin langsung melonjak bangkit dari tidurnya. Dia sepertinya sangat girang mendengar Kamila akan dilamar orang kaya.

Kakek Parmin bergegas membersihkan diri, lalu mengganti pakaiannya. Dia sangat antusias mendengar Kamila akan dinikahi oleh Setya. Bukan karna dia menyukai Setya, namun mengingat bahwa Setya, adalah anak orang kaya di desa ini.

"Ini kesempatan emas, aku bisa memanfaatkan orang kaya itu, agar mau memberiku uang. Aku akan puas minum dan berjudi. Aku akan bersenang senang," gumam kakek Parmin yang di otaknya hanya ada uang, uang, dan uang.

"Ternyata, anak itu ada gunanya juga. Tak sia sia aku pelihara sejak kecil." Dia berbicara sendiri sambil mematut dirinya dicermin, sambil membayangkan akan mendapat uang banyak dari keluarga Setya.

Sungguh busuk hati Kakek Parmin. Bukannya bahagia karna cucunya akan menikah, dia malah bahagia karna akan mengambil keuntungan dari pernikahan Kamila.

Entah apa yang membuat hatinya menjadi batu, hingga tak terdapat kepedulian untuk cucunya itu. Padahal Kamila, meskipun kerap kali disiksa kakek Parmin, gadis itu tetap menyayanginya. Jika Kakek nya pulang dengan keadaan mabuk parah, Kamila tetap mengurus kakeknya itu dengan penuh kelembutan.

Pernah, suatu hari, Kakek Parmin terbaring sakit selama dua minggu. Tangan dan kakinya tak bisa bergerak. Kamila adalah orang yang merawatnya. Bukan karna tak ada orang lain selain dirinya yang akan merawat kakek, namun hati lembut gadis itu yang tak menyimpan rasa benci sedikitpun.

Jika mengingat perbuatan kakek Parmin padanya, Kamila sangat wajar jika menolak merawatnya. Tapi yang gadis itu lakukan, dengan telaten dia menjaga kakek, dan neneknya yang juga terbaring sakit. Menyuapi makan keduanya, bahkan, saat buang air ditempat tidur, gadis itu dengan ikhlas membersihkannya.

Tidak ada yang didapatkannya dengan melakukan semua itu. Setelah sehat, Kakek Parmin kembali berbuat semena-mena padanya. Kembali menyiksa gadis itu tanpa ampun. Bahkan, kaki Kamila disiramnya dengan air panas sampai melepuh dan membekas sampai sekarang, karna lama menyiapkan kopi untuknya. 

Sungguh pahit kisah hidup Kamila. Dia berusaha sendiri untuk kehidupannya. Kamila juga harus menguatkan hatinya hari demi hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status