Menunggu kedatangan kakek Parmin, bu Indri dan nek Sumi tampak berbincang hangat. Pak Wiguna juga terlihat ikut mengobrol bersama mereka. Sementara, Setya, melirik-lirik ke arah Kamila. Yang jika Kamila menoleh ke arahnya, dia mengedipkan sebelah matanya pada Kamila.
"Bu Sumi, kakinya sudah mulai bisa digerakkan, ya?" Bu Indri menanyakan perihal kesehatan nek Sumi.
"Iya, Nak Indri. Sudah tidak terlalu kaku. Nak Wiguna merawat saya dengan baik," ucap Nek Sumi tersenyum sembari menyebut nama Pak Wiguna, yang mengurus penyembuhan kakinya itu.
Pak Wiguna rutin datang kerumah nek Sumi setiap dua hari sekali, untuk melakukan cek pada kaki nek Sumi yang terkena kanker tulang itu. Pak Wiguna juga memberikan pengobatan dengan sukarela pada nek Sumi, dengan arti, nek Sumi tidak perlu membayar pengobatannya pada pak Wiguna. Meskipun, obat nek Sumi relatif mahal, dan jarang sekali ada stok obat dari Puskesmas desa, pak Wiguna selalu menggunakan uang pribadinya untuk membeli obat-obatan. Tak hanya nek Sumi, pak Wiguna juga kerap membantu warga desa yang kurang mampu, dengan memberikan pengobatan gratis.
"Silahkan diminum tehnya, Nak," tawar nek Sumi pada tamunya itu.
"Iya, Bu. Seharusnya tidak usah repot-repot," ujar bu Indri.
"Ini, ada sedikit bingkisan dari kami," imbuhnya sembari menyerahkan bingkisan yang dibawanya tadi, pada nek Sumi.
"Terima kasih banyak, Nak. Minumlah seadanya, ya. Tidak repot, kok. Lagipula yang menyiapkan itu semua, adalah Kamila, bukan Ibu. Ibu sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Berjalan saja pun, tidak bisa. Sekarang, Kamila lah yang memikul semua beban rumah tangga, dirumah ini. Ibu tak tau, jika tak ada Kamila disisi Ibu." Nek Sumi tampak sedikit berbangga hati pada cucunya itu
"Iya, Bu. Kamila anak yang rajin. Saya tau, itu. Maka dari itu, kami ingin mempersunting Kamila, untuk menjadi menantu kami, sekaligus istri dari Setya, putra kami semata wayang ini." Bu Indri mengangguk-angguk sembari mengelus punggung Setya yang duduk disebelahnya.
Percakapan mereka terhenti, ketika melihat Kakek Parmin sudah berjalan dekat kearah mereka.
Kakek Parmin yang tampak sudah bersiap, berjalan penuh keyakinan mendekati tempat semua orang sedang duduk. Kamila yang melihat kakeknya datang, lantas bangkit, dan beralih duduk di lantai, disamping neneknya.
Setya yang sedari tadi memandangi Kamila, pandang matanya juga turut mengikuti kemana Kamila pergi. Membuat Kamila, yang menyadari hal itu, tampak sedikit malu malu.
Kakek Parmin duduk dikursi, yang bersebrangan dengan Setya. Menyunggingkan senyumnya pada Setya, serta ayah dan ibu Setya. Dipikirannya sudah dihantui angan-angan akan mendapatkan uang banyak dari mereka.
Setelah menyalami pak Wiguna, kakek Parmin mulai berbasa-basi.
"Nak Wiguna, dan Nak Indri, ada apa, ya, datang kerumah jelek kami ini. Hehe. Ada hal penting apa yang ingin dibicarakan?" ujarnya pura-pura tak tahu, apa maksud dari kedatangan para tamunya itu.
"Dasar Kakek tua, pandai sekali dia berpura-pura di depan Bunda dan Ayah. Pasti dia ada maunya, hingga bersikap sangat manis," batin Setya, yang merasa sikap kakek Parmin berubah seratus delapan puluh derajat, dari biasanya. Setya memutar bola matanya, merasa jengah dengan sikap pura-pura kakek Parmin.
"Begini, Pak. Kami datang kemari, berniat melamar cucu Bapak. Apakah Bapak bersedia melepas cucu Bapak, untuk dinikahi oleh anak kami, Setya?" Pak Wiguna membuka suara, perihal kedatangaannya kepada kakek Parmin.
"Oh, tentu saja." Kakek Parmin tampak mengangguk-angguk sembari kembali menyunggingkan senyumnya pada kedua orang tua Setya.
"Tapi, ehhmm... berani bayar mahar berapa, kalian?" ungkap kakek Parmin, tanpa merasa ragu yang membuat Kamila, serta nek Sumi, terlonjak kaget.
"Cucu saya ini, anak baik-baik. Anak rumahan, tidak pernah keluyuran seperti kebanyakan gadis di desa ini. Menginjakkan kaki di kota saja, dia tak pernah. Jadi, tentu kalian harus membayar mahar yang mahal pada kami," lanjutnya, meyakinkan orang tua Setya, agar mau memberinya banyak uang.
Dia berusaha memanfaatkan kesempatan, sebelum Kamila menikah, untuk mengambil uang dari keluarga calon suami cucunya itu.
"Hmmm. Baiklah, Pak. Semua sudah kami fikirkan. Namun, yang Setya putuskan adalah, akan memberikan mahar seperangkat alat sholat pada Kamila. Tidak berupa uang tunai." Pak Wiguna dengan tenang menjelaskan pada kakek Parmin, tentang apa yang sudah dirembukkan bersama Setya--putranya.
"Hahhh. Tidak bisa! Saya tidak terima jika mahar yang diberikan pada anak ini, hanya berupa seperangkat alat sholat. Tidak berguna!" Kakek Parmin bangkit dari tempat duduknya, seraya menggebrak meja kayu yang berada di hadapannya. Sikap tenang yang ditunjukkan oleh pak Wiguna, tak lantas membuat kakek Parmin bisa menahan amarahnya.
"Kalian ini kan, orang kaya. Tidak pantas jika kalian hanya memberikan itu saja pada anak ini. Dasar, orang kaya pelit!" Kakek Parmin berbicara dengan kasar, dan tangannya menunjuk-nunjuk bergantian ke arah Setya, juga orang tuanya.
"Kakek, cukup! Jangan bicara seperti itu. Kamila tidak membutuhkan uang, Kek. Kamila hanya ingin bahagia, hidup bersama Setya." Kamila sudah tidak tahan mendengar semua perkataan Kakeknya.
Kamila bangkit, lalu menghentikan semua ocehan kakeknya. Selain merasa malu pada keluarga Setya, Kamila juga tak ingin membenarkan perkataan sang kakek. Kamila tak ingin, keluarga Setya berfikir buruk tentangnya.
"Kamu ini, tidak usah ikut campur. Aku melakukan ini, untuk kebaikan kamu juga, anak kurang ajar!" Emosi kakek Parmin semakin tersulut, kala melihat Kamila sudah berani menghentikannya ketika sedang bicara.
Dia tampak melangkah maju ke arah Kamila. Tangannya kini sudah siap dilayangkan mengarah ke wajah Kamila. Namun, sebelum itu terjadi, Setya langsung sigap, menghentikannya.
"Kakek, hentikan ini! Jangan berani lagi menyentuh Kamila, calon istriku. Atau Kakek, akan berhadapan denganku." Setya bangkit, dan memegang tangan kakek Parmin, yang sudah mendekati wajah Kamila, hingga gadis itu berusaha mengelak ketakutan. Rahangnya mengeras, melihat perlakuan Kakek Parmin pada Kamila, tepat di hadapannya.
Kakek Parmin menatap tajam pada Setya. Dia melepas kasar tangannya, dari genggaman Setya. Dia terlihat masih sangat marah pada pemuda itu.
"Haaaaahhh. Pokoknya, kalau kalian mau anak ini, kalian harus memberikanku sejumlah uang yang aku inginkan!" Dengan mendengkus kasar, Kakek Parmin masih tetap berusaha agar bisa mendapatkan sejumlah uang dari keluarga Setya. Uang yang pasti akan digunakannya untuk kepentingan pribadinya, seperti, mabuk, dan judi.
"Tenanglah dulu, Pak. Ayo kita selesaikan ini dengan kepala dingin. Duduklah, Pak. Setya, ayo duduk, Nak." Pak Wiguna menjadi penengah antara Setya dan kakek Parmin, agar tak terjadi kericuhan yang akan mengundang perhatian para tetangga.
"Baiklah, aku sudah menduga hal ini sebelumnya. Namun, jika Kakek ingin mendapatkan uang, Kakek harus menerima persyaratan dariku!" Sembari duduk, Setya memberi penawaran serius pada Kakek Parmin, yang diyakininya, akan disetujui oleh lelaki tua mata duitan itu.
"Persyaratan. Persyaratan. Ayo, katakan, cepat!" Dengan tidak sopan, Kakek Parmin berucap pada Setya.
"Betul, Nak. Persyaratan apa yang kamu maksudkan?" tanya Pak Wiguna heran pada Setya. Karna sebelumnya, Setya tak menceritakan hal ini padanya.
"Begini, Ayah, Bunda. Setelah Setya berkonsultasi melalui telpon, dengan Om Ilham malam tadi, Setya membuat surat pernyataan di atas materai, yang berisi perjanjian, agar Kakek Parmin tak mengusik dan berusaha mengganggu rencana pernikahan Setya dan Kamila. Jika Kakek Parmin bersedia menandatangani surat ini, maka Setya akan memberikan uang yang dimintanya," jelas Setya pada Ayahnya, sembari memberikan surat yang ia keluarkan dari tas selempangnya, untuk dibaca sang Ayah.
Om Ilham adalah sepupu Pak Wiguna, sekaligus Notaris, pemilik kantor tempat Setya bekerja paruh waktu.
"Apakah harus seperti ini, Nak?" Setelah membaca isi surat itu, dan mengembalikannya pada Setya, Pak Wiguna merasa tidak enak hati pada nek Sumi dan Kamila.
Meskipun dia tahu, bahwa kakek Parmin memang tidak bisa dipercaya, hingga harus dibuat perjanjian seperti ini, tapi ada hati Kamila dan nek Sumi yang juga harus dijaganya.
"Mesti, Ayah. Karna Setya tahu, bagaimana watak dari Kakek ini. Dia berdalih, bahwa dia sangat membenci Kamila. Tapi disisi lain, dia ingin memeras keringat Kamila, agar menghasilkan uang untuknya." Setya merasa kesal mengingat watak asli dari kakek Parmin yang sebenarnya.
"Sudahlah, tidak usah banyak omong kamu, anak kecil. Serahkan surat itu padaku, biar aku tanda tangan. Setelah itu, kamu harus memberi uang sepuluh juta, padaku!" ujar kakek Parmin ketus. Dia tampak sudah tak sabar ingin mendapatkan uang dari Setya.
"Ini. Tanda tangan diatas materai!" perintah Setya pada kakek Parmin, sembari mengulurkan bolpen kepadanya. Dan kakek Parmin, tentu saja dengan cepat menandatangani surat itu, tanpa harus membaca poin-poin perjanjian itu. Akal sehatnya sudah dibutakan oleh uang.
"Sudah selesai. Sekarang, sini uangnya!" Kakek Parmin meminta uang yang dijanjikan oleh Setya.
"Nih, Kakek ambil semuanya. Uang ini senilai sepuluh juta rupiah. Dengan janji, mulai detik ini, Kakek tak akan menyakiti, dan menyusahkan Kamila lagi! Jika tidak, Kakek akan berurusan dengan polisi!" gertak Setya sembari menyodorkan amplop berisi uang tunai, yang sengaja di ambil dari tabungannya, kepada kakek Parmin, yang dengan sigap menyambar amplop berisi uang tersebut.
"Kalau begini, kan, sama-sama enak. Sekarang, terserah saja mau kalian apakan anak ini. Aku tidak perduli! Bawa saja dia ke ujung dunia, agar tak kembali ke kehidupanku. Dan, ya, bawa juga ini, neneknya sekalian. Biar tak membuatku susah, disini." Kakek Parmin beranjak dari tempat duduknya, setelah mengintip sedikit, isi dari amplop itu.
"Dan satu lagi, kalian tak akan bisa menikahkan anak itu. Karna, tak ada yang tahu, siapa Ayah dari anak pembawa sial itu. Hahahahahha. Terima kasih untuk uang ini. Aku akan bersenang senang." Kakek Parmin berlalu pergi, setelah berhasil membuka luka lama dihati Kamila. Kakek Parmin tampak bersorak riang, mendapati uang yang kini ada di tangannya.
Sementara Kamila, tertunduk dengan uraian air mata, serta rasa pilu yang menghujam ulu hatinya. Jika diingatkan tentang sosok Ayah, Kamila tak mampu menahan kesedihannya. Terlebih lagi, dia akan menikah. Bagaimana mungkin, dia bisa melangsungkan pernikahan, tanpa kehadiran sang Ayah, yang bahkan namanya pun, Kamila tak mengetahuinya.
Melihat guratan kepedihan di wajah Kamila, bu Indri yang terbilang sangat menyayangi gadis bermata indah itu, lantas mendekat pada Kamila, dan memeluknya erat. Bu Indri membiarkan Kamila menangis sesenggukan di pelukannya. Agar beban di hati gadis itu, sedikit berkurang.
"Menangislah, sayang. Luapkan saja. Agar hatimu merasa sedikit lega. Bunda akan selalu ada untuk Kamila. Banyak orang yang menyayangi Kamila." Bu Indri menenangkan calon menantunya itu, dengan penuh kelembutan.
Nek Sumi, yang menyaksikan hal itu, juga turut menitikkan air mata. Beliau terharu, melihat bu Indri yang sangat menyayangi Kamila. Nek Sumi merasa lega, karna Kamila akan menikah dengan lelaki yang tepat, begitupun dengan keluarganya yang sangat menghargai, dan menyayangi Kamila.
Kakek Parmin sudah diatasi. Sekarang, satu masalah lagi datang. Jika ingin menikah, Kamila harus mencari tahu siapa ayah kandungnya untuk menjadi wali pernikahan. Karna seperti yang diketahui, kakek Parmin adalah kakek dari pihak ibu. Tentu saja, kakek Parmin tidak punya andil untuk menjadi wali di pernikahan Kamila. "Semua yang dikatakan Kakek itu, benar adanya, Setya. Bagaimana mungkin kita bisa menikah, jika Ayah kandungku, tak pernah ada yang mengetahui sosoknya, kecuali Ibu." Kamila membuka suara, dengan sisa tangisan yang baru saja mereda. Dengan suaranya yang lembut, Kamila mengiyakan perkataan kakek Parmin barusan. "Sementara Ibu, sudah puluhan tahun tidak pulang. Bahkan, dua tahun belakangan ini, Ibu tak pernah memberi kabar," imbuhnya dengan nada sedih mengingat sang Ibu yang tak kunjung terdengar kabar beritanya. "Tenang lah, Kamila. Aku akan berusaha mencari jalan keluar untuk masalah ini. Aku berjanji padamu." Setya menenangkan Kamila. Tekad lela
Hari ini, Setya kembali ke kota untuk kuliah. Karna masa akhir pekan sudah berlalu. Sebenarnya, hati Setya sangat berat meninggalkan Kamila di desa. Tapi, dia juga tak bisa libur dari kuliahnya, karna sedang berlangsung ujian. Setelah pamit dengan Kamila kemarin sore, dan meninggalkan sebuah ponsel pada Kamila, hati Setya tak lagi begitu gelisah. Dia sudah sedikit tenang, karna bisa bertanya kabar Kamila, melalui telepon. Setya memberikan ponsel yang dulu dibelikan oleh ayahnya, pada Kamila. Ponsel itu sudah jarang ia gunakan. Karna, Setya sudah memiliki ponsel baru, yang dibelinya memakai uang dari gajinya bekerja. Dan atas usul dari pak Wiguna dan bu Indri juga, Setya memberikan ponsel itu pada Kamila. Agar Setya tidak berat hati meninggalkan Kamila. Ya, meskipun ibu dan ayah Setya berada di desa yang sama dengan Kamila, dan jarak rumah mereka tidak begitu jauh, Setya tetap saja tak tenang. Jika sewaktu-waktu Kamila memerlukan bantuan, dan dia
Setya dan Rizki sudah sampai di pos, tempat pengiriman surat terakhir yang dikirim oleh Bu Ratih, ke desa. Setelah memasuki pagar, Setya dan Rizki lalu memakirkan motor Setya. Di sana terlihat seorang lelaki paruh baya, yang sepertinya, telah bekerja cukup lama di kantor itu. Bisa dilihat dari pakaian dinasnya yang sudah tampak sedikit usang. Melihatnya, Rizki lantas menghampiri lelaki itu. "Selamat sore, Pak," ucap Rizki, sembari menyambangi lelaki yang terlihat seusia ibunya itu, dengan duduk persis di samping lelaki yang tengah santai di kursi panjang, di halaman kantor tersebut. "Iya, Nak. Ada yang bisa saya bantu?" balas lelaki itu ramah pada Rizki dan Setya. "Mari, duduk," ujar lelaki itu pada Setya yang tampak masih berdiri di samping Rizki. "Iya, Pak. Perkenalkan, saya Setya." Setya kemudian duduk di sebelah Rizki, lalu mengulurkan tangannya pada lelaki berseragam kantor pos itu, yang lantas disambut hangat olehnya. "Saya, Jupr
Rintik hujan menghiasi pemandangan di luar jendela kamar Setya. Usai mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan oleh om Ilham, Setya tak kunjung merasa lelah dan mengantuk. Sementara, jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Seharian, Setya tak menerima kabar dari Kamila. Dan dia pun, tak berusaha untuk menghubungi Kamila. Bukan karna dia enggan, namun, kesibukannya dari pagi hingga sore, membuatnya tak punya luang untuk menghubungi Kamila. Setya menatap layar ponsel pintarnya, lalu memandangi poto Kamila, yang dijepret secara diam-diam olehnya, dengan kamera ponsel miliknya. Potret Kamila yang tengah membaca buku itu, terpajang manis menghiasi layar depan ponsel pemuda itu. Rasa rindu, lantas menyeruak dalam hatinya. Jika tak mengingat jam yang sudah sangat larut, Setya ingin sekali menghubungi Kamila. "Kamila. Bersabarlah, sayang. Aku pasti akan mencari keberadaan ibu," lirihnya sembari menatap gambar diri Kamila. Malam itu, Setya benar-benar tak
Setya duduk termenung diteras kontrakan tempatnya tinggal. Dia tengah menunggu kedatangan sahabatnya, untuk menelurusi lebih lanjut, tentang pak Jupri, yang mereka temui kemarin sore. Setya masih belum bisa memecahkan teka-teki, siapa sebenarnya pak Jupri, dan apa hubungannya dengan bu Ratih, serta bangunan bekas kebakaran itu. Kriiing. Bunyi ponsel, membuyarkan lamunan Setya. Bunda Indri yang menelpon. "Assalamualaikum, Nak." Suara Bu Indri langsung terdengar dari sebrang sana. "Waalaikumsalam, Bunda." Setya menjawab salam sang Ibu. "Setya, ada sesuatu yang ingin Bunda bicarakan, Nak. Ini mengenai Kamila." Bu Indri sepertinya ingin segera menceritakan apa yang terjadi pada Kamila, pada Setya. "Ya, ada apa dengan Kamila, Bunda?" Mendengar suara sang Bunda, yang jelas terdengar sedang khawatir itu, membuat Setya menjadi tak tenang. "Tapi, Bunda mohon, kamu jangan tersulut emosi, Nak. Dan Bunda mohon, setelah
"Tahan sebentar, ya, Kamila. Bunda oleskan cairan antiseptik dulu pada lukamu," ujar Bu Indri yang membantu Kamila mengoleskan cairan antiseptik yang diberikan oleh pak Wiguna. "Pelan pelan saja, Bun. Itu pasti perih sekali. Memang keterlaluan anak itu. Tega-teganya menyerang Kamila sampai terluka." Pak Wiguna yang segera bergegas datang dari puskesmas, setelah ditelpon oleh bu Indri, tampak merasa geram pada Utari, yang telah melukai calon menantunya itu. "Iya, Nak Wiguna. Ibu juga merasa sangat terkejut dengan kedatangan Utari. Ibu menyangka, bahwa Kakeknya lah yang datang, dan menggedor pintu dengan keras. Tapi ternyata bukan. Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ibu sangat cemas mendengar keributan yang terjadi di luar rumah. Untung saja, Nak Indri menyelamatkan Kamila. Kalau Nak Indri tak kebetulan akan mampir kemari, entah apa lagi yang anak itu lakukan pada Kamila, cucuku." Nek Sumi menyambut perkataan pak Wiguna. Hatinya sangat terluka melihat cucu yang sangat
Setya masih merasa marah, atas apa yang telah terjadi kepada Kamila. Dia tak berhenti mengkhawatirkan Kamila. Hingga, suara dari sepeda motor Rizki membuyarkan perhatiannya. "Wah, itu muka kusut banget. Ada masalah apa?" Rizki yang baru saja sampai, dan belum turun dari motor, lantas mencecar Setya dengan pertanyaan. "Turun dulu, dan duduk disini. Melepas helm aja belum, udah langsung nyari topik." Setya belum menjawab pertanyaan Rizki yang masih nangkring diatas motor, diiringi tawa kecil Rizki yang menyadari kebenaran dari perkataan Setya tadi. "Ya, iya. Nih, udah turun. Tapi itu muka, gak usah ditekuk juga, kali," ujar Rizki dengan muka tengilnya, menggoda Setya yang sedang kelihatan sedang tak ingin bercanda itu. "Kamila, Ki. Dia terluka. Wajahnya dicakar Utari." Setya mulai membuka pembicaraan pada Rizki, yang kini sudah duduk disampingnya. "Ha, Utari? Siapa lagi itu?" tanya Rizki yang memang tidak mengenal gadis berambut pirang itu
"Ayo, masuk. Kita ngobrol di dalam," ajak pak Jupri pada Setya dan Rizki, yang masih berdiri di ambang pintu. Merekapun masuk ke dalam rumah pak Jupri, dan duduk di kursi bambu yang terletak di ruang tamu rumahnya. "Nak Setya, dan Nak Rizki, mau minum apa? Biar Bapak bikinin." Pak Jupri menawarkan. "Tidak usah, Pak. Kami baru saja minum tadi. Iya kan, Setya," tolak Rizki halus, seraya melihat ke arah Setya, agar juga menolak tawaran minum dari pak Jupri. Karna sejujurnya, Rizki masih menaruh curiga pada pak Jupri. Dia takut, pak Jupri akan mencelakai dirinya dan juga Setya. "Eh, iya, Pak. Tidak usah minum. Bapak duduk di sini saja. Banyak yang ingin kami tanyakan pada bapak." Setya yang langsung mengerti dengan kode yang diberikan oleh Rizki, lantas mencegah pak Jupri untuk menyuguhkan minuman pada mereka. "Oh, ya sudah. Bapak mengerti." Pak Jupri mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan tau tentang Rizki yang menaruh curiga padanya. "Ba