Share

Babak Baru Dimulai

Penulis: Dwrite
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-22 15:06:10

Jakarta, 14 Januari 2009

Gadis berusia enam belas tahun itu berdiri mematung saat ambulans mengantar jasad ibu yang sangat dicintainya ke rumah duka. Kehilangan yang teramat dalam itu kembali dia rasakan setelah tahun sebelumnya Hendra, paman tersayangnya juga telah tiada. Dua kematian tak wajar pada ibu dan pamannya itu membuat perasaannya benar-benar porak-poranda. Seketika masa depan cerah yang dia yakini adanya, tak lagi dia damba. Sumber kebahagiaannya telah sirna. Dia merasa neraka akan segera datang dan melengkapi penderitaannya, saat dia melihat ibu tiri dan kakak sulungnya tertawa kecil di sudut ruang, menatap jasad ibunya yang malang.

“Kamu kuat, Sayang. Masih ada kakek!” Amira menoleh saat merasakan pelukan hangat itu melingkupi tubuh gigilnya. Tangis yang sedari tadi dia tahan akhirnya tumpah juga dalam dekapan satu-satunya orang yang bisa dia jadikan penopang.

“Mira takut, Kek,” lirih suara itu terlontar di sela tangis yang semakin hebatnya.

“Tidak, Sayang. Tak ada yang perlu kamu takuti. Ada kakek di sini!” Bukannya tenang, tangis Amira justru semakin meradang. Tak bisa dipungkiri, seberapa besar pun kasih sayang yang kakeknya limpahkan, seberapa banyak pun perhatian yang diberikan. Kehadiran Amira tetaplah cucu bayangan dalam keluarga konglomerat yang orang anggap sempurna ini.

Tak boleh ada celah. Walaupun darah Adijaya mengalir dalam tubuhnya, tapi kehadiran Amira tetap tak bisa ditampik sebagai aib keluarga. Anak yang berasal dari istri kedua yang tak selevel dengan mereka. Anak dari narapidana yang dituduh membunuh pewaris kedua keluarga. Bahkan sudah enam belas tahun berlalu, tetapi status Amira dan Lena masih belum resmi menjadi bagian dari keluarga. Hal itulah yang membuat Amira selalu takut, hal itulah yang membuat Amira selalu merasa lemah. Karena dia tidak punya kuasa, karena dia tidak punya cukup kekuatan untuk keluar dari belenggu keluarganya sendiri.

.

.

.

Bendera kuning berkibar di depan rumah besar kediaman Keluarga Adijaya, karangan bunga ucapan belasungkawa datang dari mana-mana, berjejer panjang memenuhi berbagai berita. Kematian salah satu konglomerat yang cukup berpengaruh ini disiarkan di berbagai media. Khususnya televisi. Mengingat PT. Adijaya Sejahtera, atau biasa disingkat PT. AJ. Adalah perusahaan yang memiliki saham di salah satu stasiun TV terbesar di tanah air, yaitu FaTV.

Ambulans yang sejak semalam mengantar jasad mendiang ke rumah duka, sudah bersiap mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Yaitu salah satu pusat pemakaman elite San Diego Hills yang terletak di Karawang, Jawa Barat.

Dari semua anggota keluarga yang ikut mengantar, hanya Amira yang benar-benar menunjukkan duka mendalam yang tak terkesan dipaksa seperti yang lainnya. Mata bulat bening itu terlihat sembab dan sayu, karena hampir semalaman hanya dia yang duduk di samping jasad Pak Harun yang sudah dikafani dan melantunkan ayat-ayat suci, sementara yang lainnya lelap dalam mimpi. Sembari menuntun Azriel dan memeluk bingkai foto sang kakek, dia naik ke dalam ambulans. Sementara anggota keluarga lain mengendarai mobil mewahnya masing-masing.

Pemakaman ini memang dilakukan sesederhana mungkin, pihak keluarga juga sepakat hanya mengundang wartawan dari media partner perusahaannya saja, yaitu FaTV. Sepanjang perjalanan Amira menatap tubuh yang terbujur kaku itu, wajah pucatnya sekali lagi mengantarkan rasa perih yang sama seperti saat ibu dan omnya pergi meninggalkannya di dunia yang kejam ini.

***

Proses pemakaman selesai dilakukan kurang dari sejam. Para pelayat satu per satu mulai meninggalkan lokasi pemakaman, begitu pun dengan ayah, ibu tiri, paman, dan para saudara tiri Amira yang lain.

Di samping pusara terakhir kakeknya Amira kembali terisak mengingat kejadian sembilan tahun lalu sebelum terbang ke New York. Kilas balik kejadian paling traumatis dalam hidupnya itu kembali terbayang. Berputar, silih berganti mengantar tiap kecamuk perasaan yang membuatnya untuk sejenak merasa amat lelah.

Di lokasi pemakaman keluarga ini hanya tinggal ia dan Azriel yang tersisa. Matahari terlihat sudah meninggi, terasa terik menusuk kulit seolah ikut membakar gejolak dalam diri Amira untuk segera menuntut keadilan.

Ini bukan dendam, karena dendam adalah salah satu hal yang dibenci Tuhan. Hanya pelajaran. Pelajaran yang sedikit demi sedikit akan ia berikan pada para manusia tak memiliki hati yang menghuni kediaman utama Adijaya.

Sekali lagi Amira tatap ketiga makam yang terletak sejajar itu. Semuanya adalah anggota keluarga yang paling dekat dan menyayanginya selama ini, tapi sayangnya lebih dulu dipanggil Tuhan.

Makam pertama yang sudah berumur sekitar sepuluh tahun tersebut adalah milik almarhum Hendra, anak kedua Pak Harun yang merupakan adik dari Hanung dan kakak dari Heru. Mendiang Hendralah yang dituduh keluarga Adijaya telah dibunuh oleh Lena--ibu Amira, karena perempuan itu satu-satunya saksi terakhir di lokasi kejadian Hendra meregang nyawa. Sampai saat ini pembunuh sebenarnya masih belum terungkap, karena Lena kunci utamanya sudah lebih dulu wafat di sel tahanan.

Kini dia benar-benar sendirian. Orang-orang yang berada di pihaknya sudah lebih dulu meninggalkan. Namun. Kenyataan itu bukan membuatnya takut, melainkan semakin tertantang. Di tengah segala kekurangan, di atas kedua kaki yang menopang, dia akan mengerahkan segala kemampuan untuk melawan.

"Tunggu sebentar, Bu, Om, Kek. Mira janji akan segera mengungkap kebusukan mereka."

***

Ruang makan dengan luas 8 x 8 meter persegi itu terlihat ramai menjelang makan malam. Para pelayan lalu-lalang menyiapkan kudapan dari mulai makanan pembuka, utama, lalu penutup. Satu per satu anggota keluarga Adijaya berdatangan dan mengisi tempat masing-masing.

Di tengah makan malam yang sedang berlangsung khidmat itu, suara derap langkah terdengar mendekat. Terlihat Amira datang menuntun Azriel yang berjalan di sampingnya. Dia memberi isyarat pada pelayan untuk menarik kursi yang hendak diduduki, lalu memberi jarak sejumlah satu sekat kursi dari anggota keluarganya yang lain.

"Wah, apa-apaan ini? Seketika selera makanku hilang bila harus semeja dengan wanita kotor," Rendy tertawa mengejek.

"Oh, no. Tadi pagi aku baru saja melakukan treatment tarik benang. Jangan sampai kerutan di wajahku kembali muncul hanya karena emosi." Dona terlihat mengembuskan napas panjang sembari memijat pelan pelipisnya.

"Astaga Amira, lihatlah bersamaan dengan kedatanganmu dua lalat masuk dan berputar-putar di atas meja makan." Heru terlihat menepuk-nepuk udara mencari lalat yang sebenarnya tak ada. Sementara Rama, Hanung, dan istri Rendy memilih bungkam melihatnya.

Kedua tangan Amira terkepal kuat menggenggam garpu dan sendok perak di kedua sisi tangannya. Perempuan berjilbab itu berusaha mengabaikan cibiran mereka dan mulai makan.

"Apa yang mereka katakan, Mommy?" tanya Azriel dengan sorot penuh keingintahuan karena selama di sini telinganya selalu ditutup headphone berbentuk telinga kucing berwarna hitam. Walaupun Bahasa Inggris merupakan bahasa keseharian mereka, tapi sejak berumur tiga tahun Amira sudah mengajarinya basic dasar bahasa ibu, hingga Azriel sedikit-sedikit mengerti apa yang dikatakan mereka. Tak mau mengambil risiko anaknya menerima perlakuan toxic dari keluarganya sendiri, akhirnya Amira memutuskan untuk memasanginya penutup telinga.

"Bukan apa-apa, Sa—“

"Wah, wah, wah. Pantas saja sejak kemarin bocah ini banyak diam, kukira dia bisu. Ternyata kau menyumbat telinganya deng—“

"Jangan menyentuhnya atau kupatahkan pergelangan tanganmu!" Dengan tatapan tajam Amira menatap kakak tertuanya, dan mencengkeram tangan lelaki berumur tiga puluh dua tahun itu sebelum sempat dia menarik headphone yang Azriel kenakan.

Rendy mematung. Untuk sejenak dia terkesiap, lalu menepis kasar tangan Amira. "Ada apa dengannya? Aku cuma berinisiatif melepaskan benda itu agar telinga anakmu tidak rusak mendengar musik yang begitu keras."

Amira bangkit dari kursi setelah mendorongnya keras sampai terpelanting ke belakang. Para pelayan yang ikut menyaksikan mulai berpandangan dan mengambil langkah mundur.

"Lebih baik anakku rusak pendengarannya, daripada dia rusak mentalnya karena mulut busuk kalian!" teriak Amira habis kesabaran, "Belum ada konfirmasi dari pengacara keluarga tentang pembagian warisan. Jadi, sebelum hari itu tiba aku masih memiliki hak yang sama dengan kalian!"

Seketika semuanya terdiam. "Di sini aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin memenuhi keinginan Azriel yang terus merengek meminta agar bisa makan bersama keluarganya! Hanya itu. Tak bisakah sekali saja kalian tutup mulut sampah itu dan membiarkan kami makan dengan tenang, hah?" Suara Amira meninggi.

Susah payah ia menahan tangis agar terlihat kuat di hadapan para manusia l4knat ini.

"Sudah, sudah. Biarkan dia makan." Hanung akhirnya angkat bicara setelah sebelumnya hanya bungkam.

Amira menghela napas panjang. Dibantu seorang pelayan yang mengangkat kembali kursi yang sudah terjungkal. Amira kembali duduk di samping Azriel.

"Mom ...." Bocah itu berujar lirih.

"Tak apa, Sayang. Tadi mommy cuma kaget karena ada tikus di kolong meja." Amira mengusap kepala Azriel. "Ayo makan!"

"Cih, tikus. Lagi pula untuk apa dia ikut mengurusi hak waris? Seperti akan mendapatkan bagiannya saja. Lebih baik urusi saja anak yang tak ada bapaknya itu." Amira kembali memejamkan mata sejenak, dia bangkit dan berjalan menghampiri Rendy yang duduk di samping istrinya.

"Dia punya bapak, Mas Rendy! Orangnya mungkin salah satu di antara kalian. Tapi, yang jelas bukan dirimu. Karena aku tahu sejak dulu kau tak pernah menyukai wanita. Maka dari itu aku heran, bagaimana kau bisa menikahi wanita malang di sampingmu ini?" bisik Amira di telinganya.

Deg!

Rendy menoleh dengan mata yang sudah membelalak sempurna.

"Ba-bagaimana kau bisa—“

"Nikmati hidupmu selagi bisa, Mas. Tak ada yang tahu besok ada lusa kau tiba-tiba kehilangan semuanya, karena mulut berbisamu."

Amira kembali ke tempatnya. Mengabaikan tatapan tanya dari semua orang yang ada di sana. Meninggalkan Rendy dalam lamunan panjang akan masa depannya yang telah jatuh di tangan Amira.

Sembari memasukkan sepotong steik ke dalam mulut, Amira tersenyum kecil sembari menatap kakak tertuanya dari kejauhan, lalu bergumam.

"Dapat satu."

.

.

.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Last Extra Part

    Resepsi pernikahan berakhir lancar, meski sempat ada drama cinta segitiga yang berujung dengan patah hatinya Jojo. Meskipun begitu kondisi kembali kondusif mengingat lelaki bertubuh tinggi kecil itu cukup pandai membalikan keadaan, dan tiba-tiba bangkit dari pingsan dan meneriakan 'PRANK' menggunakan microphone yang entah bagaimana masih ada di genggaman tangannya untuk menutupi rasa malu atau memperbaiki apa yang seharusnya tak terjadi. Finalnya semua masalah clear saat perempuan berambut sebahu itu menghajarnya, lalu Al dan Zara pun resmi saling mengungkapkan perasaan yang selama ini tertutupi gengsi. Dengan hati besar Jojo memilih mengesampingkan perasaannya demi persahabatan yang sudah susah payah dibangun sejak awal. Sementara itu di vila tak jauh dari Pine Hill, Cibodas. Amira dan Rafael mengawali malam pertama mereka dengan sholat berjamaah. Setelah selesai melipat alat sembahyang, keduanya pun duduk dengan canggung di tepi pembaringan. Kedua tangan Amira terlihat bertaut d

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Extra Part (2)

    "Semua orang mungkin menyayangkan kenapa pada akhirnya aku memilih seseorang yang baru datang, dibandingkan dia yang sejak awal berjuang. Tapi kenyamanan tak bisa paksakan, Zara. Sejak aku tahu Dustin menjadi bagian dari masa laluku yang kelam, aku tak bisa membohongi diri bahwa ketakutan itu masih selalu menghantui. Sesuatu yang sudah pecah tak akan bisa kembali utuh meski sudah diperbaiki sedemikian rupa, begitu pun kepercayaan dan keyakinan dalam menjatuhkan pilihan. Ucapan Rafael kala itu berhasil meruntuhkan dinding ego yang telah lama kubangun tinggi. Mulanya pernikahan tak pernah menjadi bagian dari rencana masa depanku, tapi setelah lelaki itu datang semua bantahan itu berhasil dia patahkan."Zara termangu menatap Amira di samping pelaminan saat Rafael izin untuk mengobrol dengan Al dan ibunya, serta Bu Fatma. Dia paham betul bagaimana kondisi Amira, hingga tak bisa berbuat apa-apa saat perempuan itu menjatuhkan pilihannya pada sang pengacara. Lagi pula Zara tak bisa terus-me

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Extra Part (1)

    Ketika sebuah perasaan muncul tanpa disadari, saat itulah setiap insan menyadari bahwa perasaan yang murni selalu timbul pada seseorang yang terkadang tidak dikehendaki. Nasehat tak lagi berarti, tindakan mulai tak terkendali, hingga waktu perlahan mulai berlari.Menata hati yang sudah berserakan karena masa lalu kelam, memanglah sulit. Namun, lebih sulit lagi menyembuhkan luka seorang wanita saat dia sudah terjatuh dalam kubangan derita, mengalami krisis kepercayaan, hingga akhirnya menutup diri dan tenggelam dalam kesendirian.Situasi tersebut berhasil dilewati Rafael Herlambang. Waktu satu tahun mungkin terkesan singkat dalam meluluhkan hati keras seorang Amira Hasna Adijaya. Meski keraguan pekat sempat membuatnya mengurungkan niat saat mendengar wanita itu bahkan sempat menolak lelaki yang sudah ada di sampingnya lebih dari delapan tahun lamanya. Namun, tekad yang bulat berhasil membuatnya ada di posisi sekarang. ***Kedua tangan berbeda ukuran itu masih saling bertautan di atas

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Berdamai dengan Masa Lalu, Menuju Hidup Baru

    Hampa, adalah perasaan yang saat ini tengah Amira rasakan. Kesepian yang mencekam membuatnya tak yakin bisa kembali menjalani hari dengan senyuman, meski segala problema kehidupan telah berhasil dia selesaikan.Kehilangan, menjadi satu-satu yang memberikan dampak besar. Rumah megah dengan segala kemewahan ini tak ayal membuatnya nyaman di tengah keramaian para pelayan, justru sepi bak di tengah hutan. Sepekan berlalu sejak Rama dikebumikan, wartawan masih hilir-mudik di depan pelataran. Pemberitan tentang kasus rama dan keluarga Adijaya masih menjadi headline teratas berbagai surat kabar dan media online. Perlingkuhan, anak hasil hubungan terlarang, dan isu kemandulan semua terkuak. Kini, aib keluarganya menjadi konsumsi publik tanpa bisa dicegah. Seminggu ini bahkan dia tak berani keluar rumah dan menyelesaikan segala pekerjaan kantor di balik pintu kamar. Tak ada yang bisa Amira lakukan. Kini, uang tak lagi bisa digunakan untuk membungkam kebohongan yang akan terus berdampak di m

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Minta Maaf

    "Dalam hidup, terkadang memang begitu banyak hal mengejutkan yang terjadi di luar perkiraan. Kelahiran, azal, serta takdir semua sudah diatur oleh sang pemilik kehidupan. Bahkan seseorang yang mulanya kita percaya bisa menjadi orang yang paling kita benci. Roda itu berputar, Amira. Tak perlu mengukur seperti apa keadilan yang sudah Tuhan beri pada setiap makhluk-Nya. Karena semua sudah pada porsinya masing-masing. Mungkin saja di luar sana ada yang dicoba lebih, tapi tidak mengeluh." Di atas tanah merah itu Amira bersimpuh, tak peduli meski lengket dan pekatnya bentala mengotori rok putih yang dikenakannya.Setetes bulir bening kembali mengalir turun membasahi pipi mulus perempuan itu, saat matanya terpejam untuk kedua kali di hadapan pusara terakhir para anggota keluarganya. Pagi ini, satu lagi jasad anggota keluarga Adijaya telah dikebumikan di samping makam yang lain. Keputusan untuk menguburkan jasad tersebut sempat ditentang beberapa pihak, karena kehadirannya dianggap sebagai

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Pengorbanan

    "Itu suara tembakan dari dalam, kan?" Zara mengguncang bahu Dede, ketika mendengar sayup-sayup suara tembakan yang memekakkan telinga terdengar dari dalam gudang, di tengah keheningan yang tercipta setelah semua musuh berhasil dikalahkan.Para korban terlihat sudah bergelimpangan di sekitar gudang. Ada yang luka ringan, berat, bahkan sampai tewas mengenaskan. Beruntung semua sekutu yang dibawa Zara hampir setengahnya berhasil selamat dan hanya terkena luka ringan, pun Zara dan Dede. Mereka terlihat saling mengobati sembari menunggu pihak berwajib datang untuk mengevakuasi para korban dan menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penculikan dan pelarian Rama yang buron selama hampir 2 x 24 jam. "Berarti Al berhasil menyelamatkan Amira, Azriel, dan Nicholle?" Zara kembali bertanya. Raut wajahnya semakin panik, karena Dede tak jua menjawabnya.Sembari membalut luka di lengannya, Dede hanya bisa menggeleng pelan. "Saya nggak tahu, Mbak. Dari awal perjalanan aja Bang Al udah ngga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status