Share

Babak Baru Dimulai

Jakarta, 14 Januari 2009

Gadis berusia enam belas tahun itu berdiri mematung saat ambulans mengantar jasad ibu yang sangat dicintainya ke rumah duka. Kehilangan yang teramat dalam itu kembali dia rasakan setelah tahun sebelumnya Hendra, paman tersayangnya juga telah tiada. Dua kematian tak wajar pada ibu dan pamannya itu membuat perasaannya benar-benar porak-poranda. Seketika masa depan cerah yang dia yakini adanya, tak lagi dia damba. Sumber kebahagiaannya telah sirna. Dia merasa neraka akan segera datang dan melengkapi penderitaannya, saat dia melihat ibu tiri dan kakak sulungnya tertawa kecil di sudut ruang, menatap jasad ibunya yang malang.

“Kamu kuat, Sayang. Masih ada kakek!” Amira menoleh saat merasakan pelukan hangat itu melingkupi tubuh gigilnya. Tangis yang sedari tadi dia tahan akhirnya tumpah juga dalam dekapan satu-satunya orang yang bisa dia jadikan penopang.

“Mira takut, Kek,” lirih suara itu terlontar di sela tangis yang semakin hebatnya.

“Tidak, Sayang. Tak ada yang perlu kamu takuti. Ada kakek di sini!” Bukannya tenang, tangis Amira justru semakin meradang. Tak bisa dipungkiri, seberapa besar pun kasih sayang yang kakeknya limpahkan, seberapa banyak pun perhatian yang diberikan. Kehadiran Amira tetaplah cucu bayangan dalam keluarga konglomerat yang orang anggap sempurna ini.

Tak boleh ada celah. Walaupun darah Adijaya mengalir dalam tubuhnya, tapi kehadiran Amira tetap tak bisa ditampik sebagai aib keluarga. Anak yang berasal dari istri kedua yang tak selevel dengan mereka. Anak dari narapidana yang dituduh membunuh pewaris kedua keluarga. Bahkan sudah enam belas tahun berlalu, tetapi status Amira dan Lena masih belum resmi menjadi bagian dari keluarga. Hal itulah yang membuat Amira selalu takut, hal itulah yang membuat Amira selalu merasa lemah. Karena dia tidak punya kuasa, karena dia tidak punya cukup kekuatan untuk keluar dari belenggu keluarganya sendiri.

.

.

.

Bendera kuning berkibar di depan rumah besar kediaman Keluarga Adijaya, karangan bunga ucapan belasungkawa datang dari mana-mana, berjejer panjang memenuhi berbagai berita. Kematian salah satu konglomerat yang cukup berpengaruh ini disiarkan di berbagai media. Khususnya televisi. Mengingat PT. Adijaya Sejahtera, atau biasa disingkat PT. AJ. Adalah perusahaan yang memiliki saham di salah satu stasiun TV terbesar di tanah air, yaitu FaTV.

Ambulans yang sejak semalam mengantar jasad mendiang ke rumah duka, sudah bersiap mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Yaitu salah satu pusat pemakaman elite San Diego Hills yang terletak di Karawang, Jawa Barat.

Dari semua anggota keluarga yang ikut mengantar, hanya Amira yang benar-benar menunjukkan duka mendalam yang tak terkesan dipaksa seperti yang lainnya. Mata bulat bening itu terlihat sembab dan sayu, karena hampir semalaman hanya dia yang duduk di samping jasad Pak Harun yang sudah dikafani dan melantunkan ayat-ayat suci, sementara yang lainnya lelap dalam mimpi. Sembari menuntun Azriel dan memeluk bingkai foto sang kakek, dia naik ke dalam ambulans. Sementara anggota keluarga lain mengendarai mobil mewahnya masing-masing.

Pemakaman ini memang dilakukan sesederhana mungkin, pihak keluarga juga sepakat hanya mengundang wartawan dari media partner perusahaannya saja, yaitu FaTV. Sepanjang perjalanan Amira menatap tubuh yang terbujur kaku itu, wajah pucatnya sekali lagi mengantarkan rasa perih yang sama seperti saat ibu dan omnya pergi meninggalkannya di dunia yang kejam ini.

***

Proses pemakaman selesai dilakukan kurang dari sejam. Para pelayat satu per satu mulai meninggalkan lokasi pemakaman, begitu pun dengan ayah, ibu tiri, paman, dan para saudara tiri Amira yang lain.

Di samping pusara terakhir kakeknya Amira kembali terisak mengingat kejadian sembilan tahun lalu sebelum terbang ke New York. Kilas balik kejadian paling traumatis dalam hidupnya itu kembali terbayang. Berputar, silih berganti mengantar tiap kecamuk perasaan yang membuatnya untuk sejenak merasa amat lelah.

Di lokasi pemakaman keluarga ini hanya tinggal ia dan Azriel yang tersisa. Matahari terlihat sudah meninggi, terasa terik menusuk kulit seolah ikut membakar gejolak dalam diri Amira untuk segera menuntut keadilan.

Ini bukan dendam, karena dendam adalah salah satu hal yang dibenci Tuhan. Hanya pelajaran. Pelajaran yang sedikit demi sedikit akan ia berikan pada para manusia tak memiliki hati yang menghuni kediaman utama Adijaya.

Sekali lagi Amira tatap ketiga makam yang terletak sejajar itu. Semuanya adalah anggota keluarga yang paling dekat dan menyayanginya selama ini, tapi sayangnya lebih dulu dipanggil Tuhan.

Makam pertama yang sudah berumur sekitar sepuluh tahun tersebut adalah milik almarhum Hendra, anak kedua Pak Harun yang merupakan adik dari Hanung dan kakak dari Heru. Mendiang Hendralah yang dituduh keluarga Adijaya telah dibunuh oleh Lena--ibu Amira, karena perempuan itu satu-satunya saksi terakhir di lokasi kejadian Hendra meregang nyawa. Sampai saat ini pembunuh sebenarnya masih belum terungkap, karena Lena kunci utamanya sudah lebih dulu wafat di sel tahanan.

Kini dia benar-benar sendirian. Orang-orang yang berada di pihaknya sudah lebih dulu meninggalkan. Namun. Kenyataan itu bukan membuatnya takut, melainkan semakin tertantang. Di tengah segala kekurangan, di atas kedua kaki yang menopang, dia akan mengerahkan segala kemampuan untuk melawan.

"Tunggu sebentar, Bu, Om, Kek. Mira janji akan segera mengungkap kebusukan mereka."

***

Ruang makan dengan luas 8 x 8 meter persegi itu terlihat ramai menjelang makan malam. Para pelayan lalu-lalang menyiapkan kudapan dari mulai makanan pembuka, utama, lalu penutup. Satu per satu anggota keluarga Adijaya berdatangan dan mengisi tempat masing-masing.

Di tengah makan malam yang sedang berlangsung khidmat itu, suara derap langkah terdengar mendekat. Terlihat Amira datang menuntun Azriel yang berjalan di sampingnya. Dia memberi isyarat pada pelayan untuk menarik kursi yang hendak diduduki, lalu memberi jarak sejumlah satu sekat kursi dari anggota keluarganya yang lain.

"Wah, apa-apaan ini? Seketika selera makanku hilang bila harus semeja dengan wanita kotor," Rendy tertawa mengejek.

"Oh, no. Tadi pagi aku baru saja melakukan treatment tarik benang. Jangan sampai kerutan di wajahku kembali muncul hanya karena emosi." Dona terlihat mengembuskan napas panjang sembari memijat pelan pelipisnya.

"Astaga Amira, lihatlah bersamaan dengan kedatanganmu dua lalat masuk dan berputar-putar di atas meja makan." Heru terlihat menepuk-nepuk udara mencari lalat yang sebenarnya tak ada. Sementara Rama, Hanung, dan istri Rendy memilih bungkam melihatnya.

Kedua tangan Amira terkepal kuat menggenggam garpu dan sendok perak di kedua sisi tangannya. Perempuan berjilbab itu berusaha mengabaikan cibiran mereka dan mulai makan.

"Apa yang mereka katakan, Mommy?" tanya Azriel dengan sorot penuh keingintahuan karena selama di sini telinganya selalu ditutup headphone berbentuk telinga kucing berwarna hitam. Walaupun Bahasa Inggris merupakan bahasa keseharian mereka, tapi sejak berumur tiga tahun Amira sudah mengajarinya basic dasar bahasa ibu, hingga Azriel sedikit-sedikit mengerti apa yang dikatakan mereka. Tak mau mengambil risiko anaknya menerima perlakuan toxic dari keluarganya sendiri, akhirnya Amira memutuskan untuk memasanginya penutup telinga.

"Bukan apa-apa, Sa—“

"Wah, wah, wah. Pantas saja sejak kemarin bocah ini banyak diam, kukira dia bisu. Ternyata kau menyumbat telinganya deng—“

"Jangan menyentuhnya atau kupatahkan pergelangan tanganmu!" Dengan tatapan tajam Amira menatap kakak tertuanya, dan mencengkeram tangan lelaki berumur tiga puluh dua tahun itu sebelum sempat dia menarik headphone yang Azriel kenakan.

Rendy mematung. Untuk sejenak dia terkesiap, lalu menepis kasar tangan Amira. "Ada apa dengannya? Aku cuma berinisiatif melepaskan benda itu agar telinga anakmu tidak rusak mendengar musik yang begitu keras."

Amira bangkit dari kursi setelah mendorongnya keras sampai terpelanting ke belakang. Para pelayan yang ikut menyaksikan mulai berpandangan dan mengambil langkah mundur.

"Lebih baik anakku rusak pendengarannya, daripada dia rusak mentalnya karena mulut busuk kalian!" teriak Amira habis kesabaran, "Belum ada konfirmasi dari pengacara keluarga tentang pembagian warisan. Jadi, sebelum hari itu tiba aku masih memiliki hak yang sama dengan kalian!"

Seketika semuanya terdiam. "Di sini aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin memenuhi keinginan Azriel yang terus merengek meminta agar bisa makan bersama keluarganya! Hanya itu. Tak bisakah sekali saja kalian tutup mulut sampah itu dan membiarkan kami makan dengan tenang, hah?" Suara Amira meninggi.

Susah payah ia menahan tangis agar terlihat kuat di hadapan para manusia l4knat ini.

"Sudah, sudah. Biarkan dia makan." Hanung akhirnya angkat bicara setelah sebelumnya hanya bungkam.

Amira menghela napas panjang. Dibantu seorang pelayan yang mengangkat kembali kursi yang sudah terjungkal. Amira kembali duduk di samping Azriel.

"Mom ...." Bocah itu berujar lirih.

"Tak apa, Sayang. Tadi mommy cuma kaget karena ada tikus di kolong meja." Amira mengusap kepala Azriel. "Ayo makan!"

"Cih, tikus. Lagi pula untuk apa dia ikut mengurusi hak waris? Seperti akan mendapatkan bagiannya saja. Lebih baik urusi saja anak yang tak ada bapaknya itu." Amira kembali memejamkan mata sejenak, dia bangkit dan berjalan menghampiri Rendy yang duduk di samping istrinya.

"Dia punya bapak, Mas Rendy! Orangnya mungkin salah satu di antara kalian. Tapi, yang jelas bukan dirimu. Karena aku tahu sejak dulu kau tak pernah menyukai wanita. Maka dari itu aku heran, bagaimana kau bisa menikahi wanita malang di sampingmu ini?" bisik Amira di telinganya.

Deg!

Rendy menoleh dengan mata yang sudah membelalak sempurna.

"Ba-bagaimana kau bisa—“

"Nikmati hidupmu selagi bisa, Mas. Tak ada yang tahu besok ada lusa kau tiba-tiba kehilangan semuanya, karena mulut berbisamu."

Amira kembali ke tempatnya. Mengabaikan tatapan tanya dari semua orang yang ada di sana. Meninggalkan Rendy dalam lamunan panjang akan masa depannya yang telah jatuh di tangan Amira.

Sembari memasukkan sepotong steik ke dalam mulut, Amira tersenyum kecil sembari menatap kakak tertuanya dari kejauhan, lalu bergumam.

"Dapat satu."

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status