Share

Penyimpangan

Rendy Darma Adijaya, adalah putra pertama Hanung Adijaya dan Dona Kirani. Sejak remaja lelaki ini aktif dalam banyak bidang kemasyarakatan. Selain salah satu pewaris utama PT. AJ beberapa waktu belakangan dia juga baru saja bergabung dengan salah satu partai besar di tanah air, dan memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Menurut berita yang santer terdengar, Rendy adalah salah satu anggota keluarga Adijaya yang paling ambisius lagi serakah.

Akhir-akhir ini dia bahkan sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan stop LGBT bagi seluruh jaringan masyarakat dalam ruang lingkupnya. Namun, siapa yang menyangka. Bahwa tindakan tersebut ternyata adalah salah satu upaya untuk menutupi penyimpangan orientasi seksualnya yang sudah bertahun-tahun diderita.

Tiga tahun lalu saat ia memutuskan untuk menikahi Andini--salah satu putri seorang pendiri partai yang saat ini tengah memimpin sebagai pejabat daerah tersebut sebenarnya juga untuk menutupi aibnya dari keluarga maupun orang-orang di luar sana. Tak heran memang, sampai detik ini perempuan cantik berusia dua puluh lima tahun itu masih belum juga mengandung, karena Rendy tak pernah menyentuhnya selama tiga tahun pernikahan mereka.

Brak.

Prang.

Crak.

"S*alan, wanita sundal! Bagaimana mungkin dia bisa tahu?" Di dalam kamarnya Rendy tapi bisa lagi membendung amarah yang sudah menggunung sejak makan malam beberapa saat lalu. Hingga barang-barang di dalam kamar mewah itu menjadi sasaran amukannya.

Ancaman Amira tak bisa lagi ia anggap sebagai isapan jempol semata. Ada masa depan yang dipertaruhkan, ada keyakinan yang tercoreng, juga citra yang sudah susah payah ia bangun di mata masyarakat.

Bahkan keluarga terdekatnya pun tak ada yang mengetahui hal itu, bagaimana mungkin Amira bisa tahu?

Bila rumor ini sampai tersebar, selain tak bisa naik untuk pemilihan kepala daerah tahun depan, dia juga akan menerima banyak hujatan dari berbagai lapisan masyarakat. Dari semua itu, Rendy paling takut dengan amukan ayahnya.

"Ada apa ini, Mas?" Andini yang baru saja masuk terlihat terkejut. Perempuan bertubuh mungil, tapi berisi dengan kulit pucat itu berlari kecil dan menghampiri suaminya.

"Lepas!" Namun, belum apa-apa tangan Andini sudah ditepisnya.

Perempuan itu memantung, detik berikutnya tatapannya menajam.

"Kau ini kenapa, hah? Apa yang Amira katakan di ruang makan tadi?" tanya Andini dengan suara tak kalah lantang.

Rendy mengusap wajahnya kasar, lalu berbalik menghadap istrinya.

"Bukan apa-apa. Kau tak perlu tahu," ujarnya dingin. Dan hendak berniat berlalu. Namun, sebelum sempat ia melangkah, tangan Andini sudah menghentikannya.

"Kau pikir hanya dirimu yang punya masalah di sini? Aku juga lelah, Mas. Tiap kali pulang keluarga selalu menanyakan prihal momongan yang tak kunjung hadir. Bagaimana bisa aku hamil bila menyentuhku pun kau tak pernah. Sebenarnya pernikahan macam apa in--"

Plak!

Tubuh Andini ambruk ke lantai. Dengan nanar ia tatap sang suami yang dengan teganya melayangkan tamparan.

"Itulah sebabnya kalau kau terlalu banyak bicara, Andini. Kalau kau sangat ingin punya anak, minta saja Paman Heru untuk menghamilimu sana. Aku tak akan keberatan mengakui benihnya sebagai anakku!" Setelah mengatakannya Rendy menepuk pakaiannya dan berlalu.

Di tempatnya Andini memegangi jejak merah yang tertinggal di pipinya. Perempuan itu terisak dalam hening.

Tak lama tiba-tiba ia dengar suara derap langkah mendekat. Amira yang kebetulan melintas di depan kamar tersebut langsung masuk sepeninggal Rendy setelah dia mendengar suara keras dari arah sini.

"Kenapa kau tak minta cerai saja? Aku yakin banyak lelaki yang lebih menghargaimu daripada manusia tak punya akhlak itu. Bagaimana bisa dia meminta istrinya dihamili orang lain. Sinting," ucapnya sembari membantu Andini bangkit dan menuntunnya menuju sofa panjang di sudut kanan ruang kamar.

Perempuan berambut sebahu itu menoleh, menatap Amira sejenak. Lalu menunduk kemudian.

"Aku tak bisa. Dia punya kelemahanku," ujarnya lirih.

Akhirnya Amira hanya bisa menghela napas.

"Ternyata sejak dulu kau masih sebrengsek itu, Mas Rendy."

***

Setelah dari kamar Andini, Amira berniat untuk kembali ke kamarnya untuk menemani Azriel yang sudah terlelap selepas sholat subuh tadi. Ia mulai prihatin akan kondisi mental putranya bisa terus tinggal di neraka ini.

Namun, mau bagaimana lagi. Perempuan itu sudah berjanji untuk menuntut hak keadilan yang selama ini tak ia dan almarhumah ibunya dapatkan.

Seberapa keras pun terjangan ombak, kapan pun air laut bisa surut. Sembilan tahun tinggal di negara orang dan mengenal berbagai jenis manusia. Sudah cukup bagi Amira untuk menghadapi dunia yang kejam ini.

"Apa yang kau katakan pada Andini?" Rendy yang entah muncul dari mana tiba-tiba menghadang tubuh Amira yang baru saja hendak melangkah menaiki tangga.

Perempuan itu hanya menatap kakak tertuanya dengan datar. "Tak ada. Lagi pula masih belum waktunya untuk kehan--hmmpt" Dahi Amira mengernyit, sekuat tenaga ia berusaha melepaskan cengkeraman kuat lengan Rendy di rahangnya.

"Dengar wanita sial. Kau belum tahu siapa aku. Dengan atau tanpa sadar aku bisa melenyapkanmu dan anak har--"

Plak!

Entah kekuatan dari mana Amira berhasil menepis tangan Rendy dan melayangkan tamparan di pipi kanannya, hingga meninggalkan bekas kemerahan di kulit sawo matang itu.

"Berhenti memanggilnya anak haram. Sudah kubilang bapak kandung Azriel adalah salah satu anggota keluarga ini," teriaknya berapi-api.

Amira mencengkeram gaun tidur yang dikenakannya, dan kembali mengatur napas yang mulai tersengal-sengal.

"Ada apa ini?" Hanung dan Dona yang mendengar teriakan menggema itu langsung keluar dari kamar. Kebetulan kamarnya memang terletak di lantai dasar sama dengan Rendy.

Begitu pula dengan Andini juga beberapa pelayan. Dari lantai dua Rama juga terlihat keluar dari kamarnya dan memeriksa.

Amira mengedarkan pandangannya. Setelah itu terpaku pada Rendy. Ia tatap tajam lelaki yang sempat terhuyung karena tamparan Amira dan berpegangan pada penyangga tangga.

"Urusan kita belum selesai, Mas," desisnya sebelum berlalu naik dan mengabaikan semua orang.

"Cih, selain rendahan ternyata dia juga tak punya sopan-santun. Aku jadi ragu apa benar dia anakmu," cibir Dona.

Hanung hanya terdiam, kemudian menarik tangan istrinya untuk kembali ke dalam.

"Sudahlah. Ayo tidur."

Di perjalanan menuju kamar, Amira sempat berpapasan dengan Rama. Raut wajah lelaki tampan itu tak terbaca saat pandangan mereka saling mengunci untuk beberapa saat.

Amira yang lebih dulu memalingkan pandangan, sambil berlalu dia sempat menabrak bahu lelaki itu.

***

Di dalam kamar yang terletak di lantai dua itu Amira terlihat menggelar sajadah dan bersiap menunaikan Salat Tahajud untuk ketenangan batinnya.

Dengan mukena yang sudah melekat, dan bersiap salat, sejenak ia menatap Azriel yang tidur lelap di atas ranjang berukuran king tersebut. Dia memang belum berani membiarkan Azriel tidur sendiri. Karena kemungkinan buruk selalu ada di rumah ini.

Siapa yang tahu, saat lelap dalam tidur, Amira tak menyadari ada seseorang yang berniat menyakiti putranya. Ya, dia tak mau mengambil risiko itu.

Setelah puas memandangi putranya. Amira sudah bersiap menunaikan salat. Namun, sebelum sempat tangannya terangkat--dari lantai yang sama dengan kamarnya ia mendengar suara musik berdentum begitu keras.

"Astagfirullah." Amira mengelus dada. "Mungkin ini yang dinamakan setan berwujud manusia. Makam kakek bahkan belum mengering, tapi dengan seenaknya mereka berpesta. Nauzubillah."

Masih dengan mengenakan mukena Amira meraih sebuah box musik kecil tapi bersuara lantang di samping rak TV, setelah itu mengambil sebuah gunting di dekat vas bunga. Dengan perlahan ia berjalan menuju ruang karaoke yang berjarak sekitar lima meter dari kamar.

Di sana ia melihat Pamannya Heru tengah asik berdansa dengan sekitar tiga orang wanita seksi yang entah ia bawa dari mana, dini hari seperti ini.

"Astagfirullah."

Amira hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Setelah itu ia berjalan menuju pusat musik menggema, dan menggunting kabel listrik yang terhubung menuju alat pengeras suara tersebut. Kemudian meletakkan box kecil yang ia bawa sebelumnya di atas meja bawah layar besar, bersamaan dengan berbungkus-bungkus alat kontrasepsi yang tersebar di sana.

Perempuan itu tertegun sejenak. Lalu meraih sekitar lima bungkus benda tersebut, lalu menghampiri Heru.

"Apa yang kau lakukan, Ja--arrgh." Sebelum sempat menyelesaikan kalimat Amira sudah lebih dulu melempar lima bungkus sekaligus benda tersebut tepat ke wajah Heru.

"Pakai itu! Tak semua wanita sudi menerima benih harammu!" desis Amira, sebelum berlalu dan memutar murotal surat yasin melalui ponselnya, hingga langsung terhubung ke box musik yang sudah diletakkan di bawah TV, hingga menggema di ruang berukuran 6 x 8 tersebut.

"AMIRAA ...!"

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status