Share

Bangkit dari Keterpurukan

New York, 28 Januari 2018

"Pulang sekarang, Mir. Kakek sekarat."

Seketika mata perempuan berjilbab itu membulat sempurna, saat menerima panggilan telepon dari tanah kelahirannya setelah sembilan tahun lamanya.

Baru saja ia hendak mengabaikan panggilan dari nomor privat dengan suara yang disamarkan tersebut, tapi urung saat mendengar nama sang kakek disebut. Amira jelas tak bisa diam saja mengetahuinya.

Mengingat pria tua berumur akhir tujuh puluh itu adalah satu-satunya orang yang memihak Amira saat hampir semua keluarganya mengasingkan perempuan berusia dua puluh enam tahun itu sejak sembilan tahun lalu dalam keadaan hamil muda ke negara ini. Kakeknya pulalah yang membiayai kehidupan dan sekolah Amira selama tinggal di negara Paman Sam selama lebih dari sewindu.

"Ini siapa?" lirih Amira bertanya.

Tut! Tut! Tut!

Namun, panggilan langsung terputus secara sepihak sebelum sempat ia mendapat jawaban.

Amira terjaga cukup lama dalam posisi itu. Dia tatapan pemandangan Kota New York dari balik kaca pembatas lantai lima belas kamar apartemennya.

Sudah bertahun-tahun berlalu sejak ia menginjakkan kaki di sini, seorang diri, dalam keadaan hamil, tanpa seorang pun yang dikenal. Air matanya seolah telah habis ditumpahkan di pusara terakhir sang ibu yang wafat di sel tahanan, karena perbuatan yang sama sekali tak pernah dilakukan.

Meskipun terlahir dalam salah satu keluarga konglomerat terkaya di Indonesia. Namun, sejak kecil ia sudah mendapatkan bertubi-tubi ketidakadilan dari hampir seluruh anggota keluarganya, hanya karena terlahir dari seorang wanita yang mereka anggap rendahan.

Dalam ponsel di genggaman tangannya, Amira menatap sebuah artikel yang baru terbit beberapa jam lalu. Layar datar berukuran tujuh inci tersebut menunjukkan tentang kondisi sang kakek saat ini.

*Pengusaha ternama Harun Adijaya terkena serangan jantung dan dilarikan ke rumah sakit. Menurut kesaksian salah satu anggota keluarganya, beliau tengah dalam keadaan kritis.*

Amira menghela napas sejenak, dan mulai membulatkan tekad serta mengumpulkan keberanian untuk kembali berhadapan dengan keluarga yang berhasil membuatnya merasakannya betapa menyakitkannya neraka dunia.

***

Pesawat Singapore Airlines baru saja landing di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah melakukan dua kali transit dan menempuh dua puluh dua jam perjalanan dari New York, akhirnya Amira menginjakkan kaki kembali di negara kelahirannya.

Terdapat persamaan dan perbedaan yang mencolok antara keberangkatan dan kepulangannya. Perbedaannya adalah saat berangkat dipenuhi ketakutan, tapi ketika kembali ia begitu percaya diri. Sedangkan persamaannya ada dalam ekspresi wajah Amira yang sama-sama penuh duka saat datang dan pulang.

Suara boot berwarna hitam mengkilap itu terdengar nyaring mengiringi langkah perempuan dengan pakaian kasual tersebut. Tangan kanannya mendorong koper berukuran sedang, sementara tangan kirinya menuntun bocah tampan berumur delapan tahun yang terlihat antusias menatap sekeliling, saat sang ibu mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan keluarga yang hanya pernah ia dengar dari mulut ibunya.

"Mom, apa perjalanan kita masih jauh dari sini?" tanya bocah tersebut saat Amira menuntunnya untuk masuk ke dalam taksi.

Perempuan berkulit putih itu tersenyum, lalu mengusap kepala putranya.

"Sebentar lagi, Ziel. Rumah kakek buyut lurus saja dari sini, kok," terangnya sembari mendaratkan bokong di samping bocah bernama Azriel tersebut.

"Siapa saja yang akan kita temui di sana, Mom? Tante, om, kakek, sepupu-sepupu?" celotehnya antusias. Sudah sejak lama Azriel mendamba sebuah keluarga utuh, karena selama ini ia hanya tinggal dengan sang Mommy dan seorang asisten rumah tangga paruh baya yang sudah menjaganya sejak lahir bernama--Nicholle.

Amira terdiam sejenak. Dalam hati ia meringis lirih. Hanya tinggal menghitung menit sampai binar di mata bulat itu perlahan sirna, saat mengetahui keluarga utuh yang begitu ia damba tersebut, ternyata tak pernah menginginkannya.

Meskipun tahu hal buruk akan segera terjadi, Amira tetap mengukir seulas senyum di bibir agar putranya tak kecewa terlalu diri.

"Ya, semua ada, Sayang," ucapnya.

"Wah. Pasti ramai sekali. Apakah Daddy juga akan ada di sana?"

Deg!

Amira membantu.

Sejenak ia seolah kehilangan kata-kata, tapi detik berikutnya berhasil mengendalikan diri.

Dengan ragu ia mengangguk.

"Ya. Mudah-mudahan. Sudah, ya, Nak. Nanti Mommy ceritakan di rumah saja. Sekarang pakai dulu headphone-nya. Saat sampai nanti tolong jangan dulu dilepas sebelum Mommy minta!"

Bocah itu pun mengangguk tanpa banyak bertanya.

Amira hanya ingin berjaga-jaga agar Azriel tak perlu mendengarkan kata-kata kejam yang bisa saja keluar dari mulut keluarganya setiba mereka nanti.

***

Terletak di salah satu kawasan perumahan paling elite di pusat Kota Metropolitan. Bangunan setinggi tiga tingkat dengan luas keseluruhan lebih dari 4000 meter persegi bergaya khas Eropa-- kediamanan utama keluarga konglomerat Adijaya berada.

Mobil taksi yang dikendarai Amira dan Azriel pun tiba di depan gerbang menuju pelataran seluas landasan pesawat tersebut. Setelah membayar argo sesuai yang tertera, ia mendorong barang bawaan dan menuntun Azriel menuju pos penjaga di depan agar membukakan gerbang untuknya.

Saat melihat Amira berhenti di depan gerbang. Tiga orang penjaga berseragam itu langsung menghadang jalannya.

"Mohon maaf, Nyonya. Bisa tunjukkan kartu pengenal dan salah satu anggota keluarga yang hendak Anda tuju?" Salah satu dari mereka mulai menginterogasi Amira.

Namun, dengan tenang perempuan dengan tinggi semampai itu menghela napas sejenak dan mulai menjelaskan.

"Amira Hasna Adijaya. Saya ingin bertemu dengan Tuan Harun Adijaya."

Ketiganya langsung tersentak. Mereka berpandangan, lalu membuka jalan untuk Amira dan Azriel.

"Si-silakan, Nona."

Amira pun beranjak masuk. Namun, beberapa langkah ke depan. Ia sudah mendengar ketiga penjaga itu mengobrol di belakangnya.

"Bukannya dia putri yang terbuang itu?"

"Ya, kudengar dia diusir karena hamil."

"Eh, katanya ibunya juga meninggal di sel tahanan dengan tuduhan membunuh, kan?"

"Jangan-jangan bocah itu anaknya?"

"Kasihan, padahal parasnya begitu menawan."

Setelah memejamkan mata sejenak, Amira mampu menguatkan diri dan melangkah menuju pintu masuk.

"Ini belum seberapa," gumamnya.

Pintu terbuka di hadapan dengan dua orang pelayan yang menyambutnya setelah mengenalkan diri.

"Keluarga Anda sedang makan besar di ruang makan, Nona," ucap salah satu pelayan.

Dahi Amira mengernyit.

"Makan besar? Di saat kakek sekarat? Apa mereka sudah tak waras!" Kedua pelayan berseragam hitam itu hanya bisa tertunduk.

Dengan langkah lebar dia berjalan menuju ruang makan setelah menitipkan Azriel pada salah satu pelayan.

Sesampainya di ruangan luas dengan meja makan berbentuk persegi panjang yang muat menampung dua puluh orang, Amira tertegun. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana manusia-manusia dengan kekuasaan itu masih sempat bersenda gurau di saat tetuanya sedang berjuang antara hidup dan mati.

Menyadari kehadiran Amira, seketika semua hening. Mereka mulai berbisik dan saling sikut.

"Siapa yang menghubungi kotoran itu?"

"Untuk apa sampah itu datang ke mari?"

"Pasti kau yang menghubunginya, kan?"

"Apakah dia datang dengan anak haramnya?"

Amira mengedarkan pandangan, tajam mata bening itu menatap orang-orang yang masih terikat kekerabatan dengannya. Bahkan dalam kondisi genting seperti ini mereka masih sempat saling tuduh dan mempertanyakan tentang kehadirannya di sini setelah sembilan tahun berlalu. Ia tatap bergantian wajah-wajah yang seolah tanpa dosa itu.

Ayah yang bahkan menganggapnya tak pernah ada, terlihat duduk di kursi utama. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana lelaki paruh baya itu memilih bungkam saat ibunya difitnah dengan kejam, bahkan saat Amira dipaksa pergi ke Amerika.

Sementara di sebelah kanan, ada ibu tirinya. Wanita biadab yang seolah hilang rasa simpati dan menempatkannya dalam posisi ini. Karena dia pula Amira pernah merasakan bagaimana menyakitkannya hampir kehabisan napas di dalam lubang kloset.

Lalu yang duduk berhadapan dengan ibu tirinya ada kakak tertua Amira yang bersebelahan dengan seorang wanita yang ia yakini sebagai istrinya. Karena dia, Amira pernah merasakannya bagaimana perihnya tamparan sampai sudut bibirnya robek.

Sedangkan lelaki dengan ekspresi datar yang duduk di sebelah ibu tirinya adalah kakak kedua Amira. Meskipun tak banyak bicara. Tapi diamnya adalah racun.

Satu lagi ada pamannya, adik sang ayah. Lelaki berusia awal dua puluhan yang pernah melecehkan ibunya di hadapannya.

Dari ke empat orang itu ada yang telah menancapkan duri paling tajam yang langsung tertusuk tepat ke ulu hatinya.

Yaitu salah satu di antara mereka yang memilih bungkam saat ia dihakimi karena kehamilan yang disebabkan salah satu dari tiga pria yang masih duduk tenang dengan kepala mendongak angkuh.

Seolah masih lekat dalam ingatannya bagaimana perih tak terperi yang ia rasakan sembari meminta pengampunan agar tangan kasar itu tak menjamah tubuhnya kecilnya yang saat itu belum genap berusia enam belas tahun.

Amira memejamkan mata rapat-rapat untuk beberapa saat. Setelah itu mengepalkan tangan dan berujar lantang.

"Sebutkan di mana kakek dirawat, sebelum kuobrak-abrik meja makan ini!"

***

Di samping brankar dalam ruang ICU VVIP itu Amira berdiri. Menatap tubuh renta yang tak berdaya tengah menatapnya sayu dengan infusan dan hela napas yang terdengar lemah.

Amira duduk di sisinya. Erat ia genggam tangan keriput sang kakek. Luluh air matanya saat mengingat hanya tinggal kakeklah yang menyayanginya di dunia ini.

"Sekarang sudah waktunya, Mira. Ungkap kejahatan mereka, Kakek berikan semua kedudukan ini padamu. Sekarang kamu sudah cukup dewasa dan mampu untuk menghadapi kejamnya keluarga ini. Jangan menyerah, Nak. Kamu tak sendiri di dunia ini."

Di hadapannya Amira melihat sang kakek akhirnya meregang nyawa. Tangisnya tak terbendung lagi. Dengan tangan yang mengepal erat, ia berbalik. Menatap para manusia laknat di balik pintu ruang ICU itu yang bersembunyi di balik tangis buaya, padahal ia yakin semuanya tertawa bahagia atas kematian tetua mereka.

Harta yang selama ini mereka perjuangan sebagai penjilat, hanya tinggal selangkah lagi jatuh dalam pelukan mereka. Namun, pada kenyataannya sang kakek telah mengatur semuanya sedemikian rupa, hingga hanya Amira yang mempunyai kendali atas semuanya.

"Tunggu sebentar lagi, Bu. Mira janji kita akan mendapatkan keadilan yang selama ini susah payah diperjuangkan."

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status