Share

KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri
KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri
Penulis: Dwrite

Prolog

Plak!

"Dasar Pelacur! Buah jatuh memang tidak pernah jauh dari pohonnya. Kau sama saja dengan ibumu, Amira." Teriakan itu terdengar lantang di telinga Amira. Gemetar tangannya yang tengah memeluk perut berusaha menahan tangis yang nyaris meledak.

Dona--ibu tiri Amira itu terlihat begitu murka. Alih-alih simpati dia justru menghardik remaja berusia enam belas tahun tersebut tanpa ampun setelah dokter pribadi keluarganya mengatakan bahwa Amira positif hamil, setelah pingsan di sekolahnya.

Hanya beberapa saat setelah selesai diperiksa, Dona langsung menarik kasar jilbab Amira dan menyeretnya untuk dihakimi di ruang keluarga. Kebencian yang sudah mendarah daging sejak ibu Amira, Lena hadir mengusik rumah tangganya sebagai perempuan kedua yang dinikahi suaminya, karena hutang nyawa pada Bapak Lena kala itu.

Dalam ruangan luas tersebut berbagai ekspresi manusia tercipta. Mulai dari tatapan iba dari para pelayan, senyum sinis yang ditunjukkan kakak tertua Amira, juga tatapan datar dari kakak keduanya. Sementara Hanung--sang ayah yang ada di sana hanya bisa terbungkam melihat istrinya mulai menganiaya putri bungsunya. Jeritan Amira terdengar tatkala Dona menarik paksa jilbab putih yang melekat di kepala Amira, lalu menjambak kuat rambutnya.

"Aib, kau itu aib di keluarga ini. Jadi harus dienyahkan!" teriak Dona kesetanan. "Bantu mama, Rendy. Kita seret sampah ini keluar!" Kakak tertua Amira yang ikut menyaksikan penyiksaan itu bangkit dari tempatnya dan berdiri di hadapan Amira yang bersimpuh di lantai. Lalu membopong tubuh kecilnya yang berontak, keluar.

Namun, sebelum mencapai ambang pintu. Tubuh Rendy dihadang seseorang.

"Jangan bertindak gegabah, Kak. Kita tunggu kakek dulu. Biar beliau yang mengambil keputusan," ujar anak kedua Dona yang terkenal paling pendiam.

"Apa-apaan kamu ini, Rama! Sudah tahu kakek tak akan memihak kita kenapa kau masih saja mau membelanya?" sembur Dona.

"Aku bukan membelanya, Ma. Cuma cari aman saja. Daripada kita dalam masalah saat kakek tahu kalau Amira tiba-tiba pergi," papar Rama.

Dona dan Rendy pun terdiam.

"Benar juga." Dona bergumam, lalu menarik lengan kemeja putranya. "Turunkan dia!"

Rendy menurunkan Amira tepat di ambang pintu masuk, lalu ketiganya berlalu ke dalam.

Sepeninggal mereka Amira hanya bisa memeluk lutut dan mulai menangis dalam diam. Tak pernah sedikit pun terpikir dalam benak bahwa hidupnya akan berakhir sedemikian mengerikan. Dilahirkan dalam keluarga kaya, tak membuatnya serta-merta bisa berfoya-foya dan menikmati dunia. Bahkan jauh dari kemewahan dia dan ibunya di sini diperlakukan layaknya para pelayan, atau mungkin lebih buruk.

Belum usai kepedihan menerima kenyataan ibunya difitnah dan dipenjarakan, satu minggu kemudian Amira sudah mendengar kabar bahwa sang ibu ditusuk salah satu narapidana lain. Bagai air garam yang disiram dalam luka yang menganga, hanya berselang lima bulan setelah kematian ibunya, Amira dip3rkosa dan hari ini dinyatakan mengandung benih dari salah satu lelaki b3jat di sini.

Masih dengan isak tangis yang belum mereda. Beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar suara mesin mobil berhenti di pelataran. Dengan wajah penuh air mata, Amira mengangkat kepalanya dan melihat sang kakek dengan raut wajah khawatir langsung berlari kecil memburu tubuh rapuh itu diikuti pamannya--Heru, juga beberapa bodyguardnya di belakang.

"Hei, ada apa, Sayang?" Pak Harun mengelus kepala Amira yang langsung berhambur dalam pelukannya. Lidah Amira terasa kelu untuk menjawab, hingga tangis histerislah yang mewakili semuanya.

Heru yang berdiri di sebelah mereka, terlihat tak acuh dan beberapa kali menguap bosan.

"Sudah, tak apa, Mira. Jangan dipaksakan. Nanti kalau sudah baikkan baru cerita pada kakek. Omong-omong kerudungmu di mana, Nak?" Pak Harun melerai pelukan dan menyeka air mata Amira. Dia tuntun remaja yang hanya bisa menggeleng pelan itu masuk ke dalam rumah dan melihat anggota keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga.

Dona yang melihat Amira dituntun Ayah mertuanya, langsung bangkit dari kursi dan menghampiri mereka di depan tangga menuju kamar Amira. Sama dengan suara lantangnya, bunyi langkah sepatu bertumit itu juga tak kalah nyaringnya.

"Kita harus bicara, Yah. Jalang cilik ini sudah membawa aib dalam keluarga Adijaya!" cecarnya.

"Aib apa maksudmu, Dona?" Lelaki yang masih terlihat berwibawa di usia senjanya itu mengernyitkan dahi dan berbalik menghadap menantunya.

"Dia hamil, Ayah. Bocah sial ini hamil entah anak siapa!" hardiknya dengan telunjuk yang terulur tepat di depan wajah Amira.

Heru yang ada di situ pun ikut terperangah. Tubuhnya mundur selangkah. Sementara Pak Harun yang tak pernah bertindak tanpa berpikir kembali memutar badan menghadap satu-satunya, cucu perempuan di keluarga ini yang menyembunyikan wajah di balik untaian rambut panjang tersebut.

"Benar apa yang ibumu katakan, Nak?" Pak Harun meletakkan kedua tangannya di pundak Amira.

Dengan takut-takut Amira pun mengangguk.

Pak Harun memegangi dadanya, lalu menghela napas panjang. Ditatapnya satu per satu anggota keluarganya yang menatap dengan berbagai ekspresi berbeda itu, saksama.

Beberapa dari mereka tampak tenang, tapi ada juga yang terlihat mulai panik.

"Usir, dia, Yah. Sebelum rumor ini menyebar dan merusak citra keluarga kit--"

"Cukup, Dona! Tinggalkan kami berdua," tegas Pak Harun. Mereka terdiam sejenak, sebelum membubarkan diri.

Tinggallah Amira dan sang kakek, lelaki paruh baya itu menatap cucunya lekat, sebelum menuntun remaja tersebut mendekati taman yang begitu tenang di samping rumah.

Mereka duduk di sebuah ayunan berbentuk lonjong seperti keranjang yang muat menampung dua orang.

Sejenak Pak Harun menatap Amira yang masih terisak. Dia benar-benar tak tahu seberapa banyak beban yang gadis kecil ini tanggung hingga bisa menangis sedemikian lirihnya.

"Tak usah takut. Kakek percaya padamu. Sekarang katakan siapa pelakunya?"

Untuk sesaat Amira hanya terdiam. Namun, akhirnya ia mendapatkan keberanian dan mulai mendekatkan bibirnya ke telinga sang kakek.

Pak Harun terdiam lama setelah mendengar penuturan Amira. Dengan kesedihan yang begitu mendalam, ia raih kedua jemari Amira, lalu menggenggamnya erat.

"Maaf, mungkin untuk sementara kakek tak bisa bertindak banyak, Nak. Karena kakek pun tak berdaya bila sudah dihadapkan dengan citra keluarga di mata publik. Mengingat kondisi yang tak memungkinkan ini, dengan berat hati dan terpaksa kakek harus menerbangkanmu ke Amerika. Besarkan anakmu di sana, dan sekolahlah yang rajin setelahnya. Kakek janji saat tiba saatnya nanti kamu akan diberi kekuatan untuk melawan mereka."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Besarkan anakmu disana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status