Share

Ayah Kandung Azriel

Memang tak mudah bagi korban pemerkosaan untuk hidup tenang setelah trauma mendalam. Sembilan tahun Amira berusaha bertahan dalam ketidakberdayaan di lingkungan asing sendirian. Tubuh rapuh yang masih sering kali gemetaran kala melihat kejadian pemaksaan membuatnya sempat kesulitan beradaptasi di negara orang sampai beberapa kali berniat bunuh diri.

Namun, keadaan telah memaksanya untuk bangkit dari keterpurukan. Iman yang kuat juga menjadi salah satu pondasi dirinya.

Perlahan Amira mulai berani berbaur dengan dunia luar, membesarkan Azriel dengan penuh cinta, walaupun kenyataan bocah itu tercipta dari perbuatan hina seorang lelaki pada dirinya.

Azriel adalah salah satu kekuatan Amira. Senyum bocah itu bak air deras menyirami hatinya yang gersang. Meskipun kerap kali mereka beradu pandang, selalu ada luka terbuka yang mengingatnya pada kejadian sembilan tahun silam.

Namun, kini Amira sudah lebih kuat. Dia banyak belajar dari semua rasa sakit itu hingga bisa menatap para penjahat dengan mata menantang. Karena sejak memutuskan untuk maju, pantang baginya mundur kembali.

Berdera perang telah dikibarkan, dalam keheningan sepertiga malam ia bersujud pada sang Maha Pencipta agar bisa ikut mengiringi langkahnya dalam melawan kebathilan.

"Aamiin." Perempuan itu mengusap wajahnya bersamaan dengan air mata yang lolos keluar. Kemudian bangkit untuk melipat sajadah dan mukena yang sebelumnya dikenakan.

Amira meraih ponselnya di atas nakas. Layar datar berukuran tujuh inci yang bisa dilipat itu menunjukkan satu notifikasi pesan email dari pengirim yang membuatnya sukses mengernyitkan dahi.

RafaelSH02@g***l.com

Selamat malam, Nona Amira. Saya Rafael Herlambang selaku kuasa hukum keluarga Adijaya. Bisa kita bertemu siang ini untuk membahas prihal hak waris?

Amira tertegun sejenak. Apa ini yang dimaksud sang kakek tentang kekuatan kekuasan? Jadi, memang dirinyalah yang pertama diberi tahu isi dari surat wasiatnya.

Terlalu banyak hal mengejutkan yang datang bersamaan, tak lama setelah Amira menginjakkan kaki di rumah ini.

Selain kekuatan dari dalam ternyata ia juga mendapatkan bantuan dari luar. Dimulai dengan telepon dari lelaki misterius yang memberi tahu Amira tentang kondisi sang kakek, hanya berselang beberapa jam setelah pesawat landing ia juga mendapatkan pesan susulan berupa fakta mengejutkan tentang Rendy Darma Adijaya, kakak tertuanya yang ternyata memiliki kelainan orientasi seksual.

Ya, Amira tentu tak tahu menahu tentang hal itu, kalau pesan tersebut tidak datang. Sembilan tahun diasingkan tanpa ada akses untuk berhubungan dengan negara kelahirannya, bagaimana mungkin ia bisa tahu tentang sisi terkelam keluarga Adijaya!

Sebenarnya siapa selain sang kakek yang memihak padanya sekarang?

***

"Si Amira mulai meresahkan," ujar Heru yang baru datang di tempat biasa perkumpulan keluarga. Ruang VIP Kafe Elinor.

"Meresahkan bagaimana maksudmu?" sahut Dona masih dengan tatapan yang belum beralih dari deretan katalog online sebuah brand fashion ternama.

"Dini hari tadi dia sudah berani melemparku dengan k*ndom, lalu memutus kabel listrik saat aku sedang bersenang-senang dengan para wanita sewaan. Setelah itu dengan kurang ajarnya dia memutar surat yasin menggunakan box musik."

"Pssff ...." Tawa Dona nyaris meledak mendengarnya. "Memutar surat yasin? Mungkin dia pikir kau kerasukan, Heru."

Heru mendelik mendengar cibiran kakak iparnya. "Aku serius. Anak itu diam-diam menghanyutkan. Jujur, aku mulai waspada."

"Kenapa harus waspada? Sudah kubilang dia masih sama seperti dulu. Menyedihkan."

Heru terdiam sesaat, pandangannya menerawang. "Aku pernah sekali melecehkannya. Bagaimana kalau dia menjadikan kejadian itu sebagai senjata? Ah aku bahkan sudah lupa ras--"

"APA?" Pandangan Dona yang semula fokus pada layar iPad berukuran sepuluh inci di atas meja, seketika membelalak menatap Heru. "Kau sudah gila, hah?" Dona memukul belakang kepalanya.

"Tapi aku yakin bocah yang dia bawa bukan anakku," sanggah Heru.

"Bagaimana bisa kau begitu yakin, B*doh. Kau pikir anak polos seperti Amira bisa tidur dengan sembarang pria?" hardik Dona.

"Ng ... sebenarnya aku hanya menduga. Karena dilihat dari sisi mana pun bocah itu tak ada mirip-miripnya denganku."

"Astaga, Heru." Dona menekan pelipis, perempuan paruh baya yang selalu identik dengan lipstik merah menyala itu menyandarkan tubuh dengan kasar ke sandaran sofa. "Bagaimana kalau sampai publik tahu kau melecehkan keponakan sendiri."

"Habislah. Sebentar lagi giliranmu, Paman," timpal Rendy yang akhirnya angkat bicara setelah sebelumnya banyak diam.

"Maksudmu?" Heru mengernyitkan dahi menatap Rendy yang mulai beranjak.

Namun, bukannya menjelaskan lelaki itu jangkung itu hanya mengedikkan bahu dan berlalu.

"Aiss ... apa maksud si Rendy itu?" Heru mengacak rambutnya frustrasi.

***

Matahari tak terlalu terik tengah hari ini, jalanan ibukota masih saja sepadat biasanya pada jam makan siang.

Di sebuah restoran pinggir jalan yang tak terlalu ramai, Amira datang untuk memenuhi undangan pertemuan kuasa hukum kakeknya. Perempuan itu tampak anggun dan tak kalah fashionable dari anggota keluarga Adijaya yang lain. Outfit yang ia kenakan dari atas ke bawah terlihat begitu elegan, tapi tak mencolok. Kaus polos berwarna pastel yang dipadupadankan dengan jaket kulit hitam beserta kulot berbahan siffon putih premium dengan pashmina berwarna senada kaus. Ditambah heels bertumit lima sentimeter yang menunjang tubuh tinggi semampainya. Semuanya berasal dari satu brand ternama. Lucci.

Semua itu ia kenakan sebenarnya bukan karena kemauan melainkan tuntutan. Lahir dalam keluarga konglomerat, memaksanya untuk berpenampilan demikian untuk menjaga citra keluarganya.

Terlihat duduk berhadapan. Amira menatap pemuda yang bisa ia taksir berusia sekitar awal tiga puluhan. Wajahnya tampan dengan kulit seputih porselen dan mata sipit khas ras Tionghua. Melihat kedatangan Amira menggunakan mobil mewah berwarna merah matanya seolah tak bisa berhenti berkedip dan menelan ludah.

Ya, Amira memang sejelita itu. Lahir dari rahim seorang wanita yang terkenal paling cantik di desa ditambah keturunan keluarga Adijaya yang juga terkenal menawan. Salah satu anggota keluarganya bahkan ada yang terjun langsung ke dunia entertainment.

"Ekhmm ...." Pemuda bernama Rafael itu terlihat berdeham sejenak.

"Saya baru melihat Anda," ujar Amira memulai percakapan lebih dulu.

"Ah, iya. Saya menggantikan Ayah yang wafat  tiga tahun lalu karena serangan jantung. Tuan Harun sendiri yang langsung menunjuk saya sebagai pengganti beliau," terangnya.

Amira hanya mangut-mangut.

"Jadi boleh kita mulai dengan silsilah keluarga Adijaya?" tanya Rafael.

Amira mengangguk. "Silakan."

"Harun Adijaya adalah anak tunggal dari Hadi Adijaya pendiri PT. AJ yang bergerak di bidang industri dan bahan pangan. Selain dari itu, keluarga Adijaya juga memiliki saham yang cukup besar di salah satu Stasiun TV ternama, dan beberapa aset berupa tempat karaoke, resort, villa, dan kafe.  Beliau memiliki tiga orang putra laki-laki, yang salah satunya telah wafat, dua menantu  yang salah satunya ibu Anda, dan tiga orang cucu, serta satu cicit." Rafael terdiam sesaat.  Sejenak ia menatap Amira yang memasang sorot serius, sebelum melanjutkan.

"Jadi, begini Nona Amira. Menurut surat wasiat, Anda bisa saja mendapatkan tujuh puluh persen bagian dari keseluruhan harta waris dan aset-aset Tuan Harun. Namun, dengan syarat, Anda bisa menemukan bukti keterlibatan anggota keluarga Adijaya yang lain pada kasus pembunuhan Tuan Hendra sepuluh tahun lalu yang memenjarakan ibu Anda, juga tersangka yang telah menyuntikkan zat-zat berbahaya pada tubuh Tuan Harun hingga menyebabkan kondisinya terus melemah sebelum akhirnya meninggal dunia."

Seketika Amira tersentak.

"Jadi penyebab meninggalnya kakek bukan karena penyakit, melainkan percobaan pembunuhan yang disengaja?" pekiknya. "Astagfirullah."

"Ya, menurut keterangan dokter seperti itu. Namun, kami belum bisa menarik kesimpulan, karena kurangnya bukti. Oh, iya bersamaan dengan surat wasiat ini beliau juga menitipkan sebuah berkas rahasia yang mungkin bisa membantu Anda dalam penyelidikan nanti. Namun, saya baru akan memberikannya setelah Anda mendapatkan setidaknya dua fakta tentang anggota keluarga Adijaya yang tidak orang ketahui."

Amira tertegun sejenak.

"Kira-kira berapa lama waktu yang saya butuhkan sampai pengumuman hak waris itu dibacakan, Mas?"

"Bisa dalam beberapa minggu, paling lama mungkin bulanan."

"Bulanan?" Amira membatin. Bagaimana dia bisa bertahan dengan keluarga tak tahu diri itu sampai berbulan-bulan lamanya?

***

Gerbang yang menjulang setinggi lima meter tersebut terbuka otomatis kala mobil yang dikendari Amira baru tiba di pelataran kediaman Adijaya. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil ferrari berwarna hitam metalik berjalan mengekor di belakangnya.

Amira keluar dari mobil setelah ia memarkirkan kendaraan roda empat tersebut di depan jalan yang merupakan akses masuk kediaman. Pergi terlalu lama membuatnya khawatir akan kondisi Azriel yang hanya ditinggal dengan salah satu pelayan.

Langkahnya berayun lebar, saat menyerahkan kunci mobil pada salah satu penjaga untuk dimasukan ke garasi. Namun, sebelum sempat langkahnya mencapai ambang pintu sebuah panggilan mengejutkannya.

"Mommy!"

Sontak Amira berbalik dan mendapati sang putranya turun dari dalam mobil ferrari yang mengekor di belakang. Bersamaan dengan itu ia melihat Rama turun dari balik kursi kemudi.

"Ziel habis diajak jalan-jalan sama, Om Rama, Mom. Ternyata Jakarta tak kalah menyenangkan dari New York," celoteh Azriel begitu bersemangat. Dia bahkan tak mengindahkan perubahan mimik wajah Mommynya yang begitu tegang dengan gigi gemelatuk dan sebelah tangan yang meremas kuat jaket yang dikenakan.

"Ziel kenapa pergi nggak bilang-bilang sama, Mommy, hah? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu? Nggak ada yang bisa kita percaya di sini selain Tuhan, Nak!" Amira mengguncang keras tubuh Azriel yang mulai ketakutan melihat mommynya berteriak tak karuan.

"Hei, kau berlebihan, Amira. Dia ketakutan." Rama yang melihat itu berinisiatif menarik Azriel dari jangkauan Amira. "Lagipula aku yang membawanya per--"

"Jangan sentuh anakku dengan tangan kotormu, Mas Rama!" bentak Amira sembari kembali menarik Azriel. "Kami tak butuh belas kasihan kalian, kami tak butuh simpatimu!"

Rama mematung. Dia tatap wajah Amira yang sudah sepenuhnya merah padam dengan kedua tangan yang tak berhenti gemetaran.

Lelaki paling menawan di keluarga Adijaya itu melangkah mendekat, dan berhenti hanya beberapa senti di hadapan Amira.

"Jadi, benar. Azriel adalah anakku?" gumam Rama tepat di depan wajah Amira.

Sejenak ia beralih pada Azriel dan meminta bocah itu untuk masuk lebih dulu ke dalam.

Amira kembali menatap Rama dengan tajam. Pandangan perempuan itu sudah berkabut. Sekuat tenaga dia berusaha tak mengalihkan pandangannya dari sepasang mata elang yang menyorot angkuh tersebut.

"Bukan." Amira menarik kerah sweter dengan potongan turtle neck yang Rama kenakan. "Jangan terlalu percaya diri, Mas. Azriel hanya punya ibu, dia tak pernah punya ayah." Lalu menyentaknya hingga membuat tubuh tinggi tegap itu terhuyung ke belakang.

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status