Share

Bab 3 - Maya Terkejut.

Mas Andri menghentikan langkah, nampak terkejut mendengar ucapanku.

 

"Kamu bicara apa sih, Dek. Jangan bikin pusing!" Mas Andri menatap lekat. Tatapannya sangat tajam, seolah menembus jantungku.

 

Biasanya aku akan takut, dan gentar melihat tatapan itu.

 

"Aku sudah terlalu lelah, menghadapi Ibu dan Adik-Adikmu," jawabku sambil mengalihkan pandang, menatap wajah Arya yang mulai tenang.

 

Mas Andri mencebik, menjatuhkan tubuh disampingku.

 

"Mas ... tidak perlu lagi mengancamku, aku akan pergi sendiri kerumah, Bapak." ucapku. Mas Andri menghela nafas, memandang lurus kearahku.

 

"Omongan mereka jangan diambil hati," sahut Mas Andri.

 

"Ck!" Aku mendengkus, menatapnya lurus-lurus. "Ibumu hampir membunuh anakku, terlalu lama disini bukan hanya aku yang mati tapi juga anakmu!" desisku dengan tatapan menyalang.

 

Mas Andri tersentak mendengar bentakkanku, karna baru kali ini aku berani melawan kata-katanya.

 

Huh ... betapa dungunya aku selama ini, selalu menerima kegilaan mereka.

 

"Ibu ... mungkin hanya emosi. Tidak mungkin dia membunuh cucunya sendiri. Kalau ngomong jangan ngawur." balasnya tak terima.

 

Aku terkekeh, merasa lucu dengan ucapan yang keluar dari mulutnya.

 

"Kalau kamu tak datang, anakmu bisa saja sudah tidak bernyawa saat ini." jawabku, muak. Tubuhku bergetar mengingat kejadian mengerikan itu.

 

Mas Andri terdiam, mungkin dia membenarkan kata-kataku.

 

"Ibu tidak mungkin melakukan hal kasar seperti tadi, jika kamu mau mengerjakan tugas rumah seperti biasa," Mas Andri masih saja membela keluarganya. Darah panas terasa bergejolak diatas kepala, benar-benar muak mendengar ocehannya.

 

"Maksudmu menjadi babu seperti biasa. Mengerjakan semua pekerjaan rumah, sampai mencuci semv*k dan dalaman Adik-Adikmu. Sementara mereka cuma ongkang-ongkang kaki, mencekik ponselnya!" semburku murka. Hati ini menyelekit mengingat perlakuan mereka.

 

"Belum lagi Ibumu, dia selalu bersikap semena-mena padaku. Dia selalu bertingah jahat, apa yang aku lakukan selalu kurang dan salah. Apa dia lupa? Dia punya dua anak perempuan yang sudah remaja.

 

Tidak takut, kalau suatu hari anaknya akan menikah. Dan hidup satu atap dengan keluarga suaminya. Lalu diperlakukan buruk sepertiku?" tanyaku sambil menatap lekat manik coklatnya. Mas Andri lagi-lagi hanya menghela nafas. Entah apa yang ada didalam pikirannya.

 

"Aku bersumpah, Adik-Adikmu akan mendapat perlakuan yang lebih buruk dariku! Kau tahu sikap mereka padaku, dan lucunya kau hanya diam seolah mendukung kelakuan mereka. Ingat Mas! Karma itu berlaku, dan aku harap itu menimpa Adik-Adikmu. Terutama Maya!" kecamku dengan nafas yang memburu, baru kali ini aku meluapkan segala emosiku.

 

Mas Andri memijat pelipisnya, mengusap kepala Arya sekilas lalu bangkit dari tempatnya. Meninggalkan aku tanpa kata-kata, seperti biasa selalu tak menanggapi ucapanku saat aku mengeluh tentang keluarganya.

 

Menaruh Arya dengan hati-hati diatas ranjang, lagi-lagi hati ini mencelos mengingat kejadian mengerikan itu. Air mata mengalir deras, aku begitu cemas dengan keselamatan anakku.

 

Kembali mengemas pakaian, tak banyak yang aku bawa. Hanya perlengkapan Arya dan beberapa potong pakaianku saja.

 

Menggendong Arya dengan kain jarik, membawa tas tak terlalu besar dibelakang pundak. Tekat sudah bulat, ingin pergi dari rumah yang penuh dengan siksaan ini.

 

Ruang tamu dan televisi terlihat sepi, saat aku melangkah keluar, samar mendengar suara obrolan yang terdengar dari kamar Maya yang pintunya terbuka setengah.

 

"Mas Andri sepertinya marah besar, Bu." terdengar suara Maya. Aku melangkah pelan, mendekatkan tubuh disamping pintu kamarnya. Penasaran, dengan obrolan mereka.

 

"Halah ... biarin saja. Marah juga tidak akan lama," balas Ibu.

 

"Kalau si Nurma beneran pergi dari rumah, siapa dong yang cuci bajuku. Belum lagi cucian piring, nyapu ngepel. Iih malas banget!"

 

Hening ... tak ada jawaban dari Ibu.

 

"Gimana dong, Bu. Aku tidak mau ya, disuruh mengerjakan itu semua!" rengek Maya.

 

"Sudahlah ... mana mungkin si Nurma pergi dari sini. Mau dicerai dia sama Masmu!" balas Ibu.

 

"Tapi sekarang dia resek, Bu. Sudah mulai ngelawan, Mas Andri juga sejak Arya lahir jadi kurang tegas sama si Nurma." sahut Maya dengan raut jengkel. Dari jauh, aku bisa melihat ekpresi wajahnya yang terlihat benar-benar kesal.

 

Sepertinya perlawananku membuatnya tidak nyaman.

 

"Jangan-jangan Mas Andri sudah mulai cinta sama si Nurma." cebik Maya sambil melipat tangan didadanya.

 

"Halah ... mana mungkin. Si Nurma itu jelek, item. Kamu harus tahu. Masmu menikah dengan Nurma itu karna terpaksa, dia itu frustasi ditinggal nikah sama si Fatmah."

 

Hatiku mencelos, mata ini memanas mendengar ucapan Ibu. Aku bukan tak tahu, tapi mengingat itu semua tentu saja membuat hatiku teriris.

 

Saat  Mas Andri melamarku, aku tahu hanya dijadikan pelampiasan saja. Mas Andri sakit hati melihat pujaan hatinya lebih memilih laki-laki lain dari pada harus menunggu usaha bengkelnya maju.

 

Aku yang sejak dulu memang sangat suka dan mendambanya, tentu saja tidak menyia-nyiakan lamaran itu. Aku menerima dengan suka cita dan membantu modal usahanya.

 

Setelah menikah aku kira Mas Andri sudah benar cinta, tapi ternyata dia hanya memanfaatkan aku dan menjadikan aku sebagai babu dirumah Ibunya.

 

Aku yang terlanjur sayang hanya bisa pasrah dan menerima. Jika mengingat itu semua, rasanya aku tidak berhenti untuk merutuki kebodohanku sendiri.

 

"Mbak Nur, lagi ngapain disitu?" Aku terlonjak saat melihat Mila--Adik Mas Andri yang kedua tiba-tiba ada dibelakangku. 

 

"Kok bawa tas segala, mau kemana?" belum sempat aku menjawab, Mila sudah mencecar pertanyaan lain.

 

"Eh ... itu Mbak mau pulang kerumah, Bapak." jawabku sambil memaksakan senyum.

 

Usia Mila dua tahun lebih muda dari Maya, meski sikapnya tidak semenyebalkan Maya tapi sifat malas mereka sebelas dua belas tidak berbeda. Selalu mengandalkan aku.

 

"Beneran mau minggat rupanya!" Maya sudah berdiri didepan pintu kamar, memandang sinis kearahku.

 

"Pergi saja. Andri juga tidak akan mencari. Kehilangan istri jelek, tidak berarti apa-apa buat dia!" Ibu ikut menimpali, membuat dada ini langsung bergemuruh mendengarnya.

 

Andai Arya tak ada didalam gendongan, sudah pasti akanku sumpal mulut busuknya.

 

"Woy! Maya keluar lo!" suara teriakan perempuan diluar mengusik ketegangan kami, Ibu dan Maya saling lempar pandang terkejut mendengar suara gaduh diluar rumah.

 

"Bocah ingusan, perempuan ga bener! Keluar lo pelakor!!" teriak suara yang sama.

 

Mila yang penasaran langsung beranjak dari tempatnya, begitu pun aku yang menyusulnya dari belakang.

 

"Mana, si Maya!" perempuan bertubuh gendut menatap murka kearahku, kedua tangannya berkacak pinggang dengan mata melotot dan nafas yang memburu.

 

Aku menoleh kebelakang, aku lihat tubuh Maya menggigil bersembunyi dibelakang tubuh Ibunya.

 

***Ofd.

 

Tinggalkan jejak kalau kamu suka dengan cerita ini. Jangan lupa subcribe dan ikuti akun Azzila07.

 

Salam hangat.  🤗🤗

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status