"Berhenti Nurma! Atau aku lempar bayimu!" teriak Ibu yang sudah ada didekat Arya. Secepat kilat dia menggendong anakku dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Bayi Arya bergeliat, tak lama suara tangisnya terdengar. Ibu melototkan mata, menatap bengis kearahku."Lepas!" teriaknya sambil mengangkat lebih tinggi tubuh anakku.Aku membeku ditempat, nyaliku mencuit melihat Arya menjadi sasaran kemarahan Nenek licik itu. Maya menepuk-nepuk tanganku yang masih menjerat dilehernya."Le-pas, siaal. Mau mati anak lo," ucapnya dengan suara tersendat-sendat.Hatiku gerimis, meradang mendengar ocehannya. Bola mataku mengarah pada Maya, bukan melonggarkan tangan, aku malah semakin erat mencengkram lehernya."A-aa ..." Maya mengerang, wajahnya sudah memerah menandakan oksigen mulai melambat masuk ke dalam pernafasannya."Lepas, Nurma!" jerit Ibu lagi. Aku menoleh sinis, menantang sorot mata tajamnya."Lepas dulu anakku, aku akan melepas orang pemalas ini," ucapku dengan wajah datar. Aku sengaja tak melihat pada Arya yang tangisnya semakin kencang."Taruh Arya ditempatnya, atau Maya akan kehabisan nafas!" sambungku sambil mengeratkan cengkraman."To--long ..." suara Maya semakin menghilang, dan kehabisan tenaga memukuli tanganku."Jangan main-main Nurma. Lepas! Atau aku lempar bayi cengeng ini!" pekiknya dengan nafas menggebu-gebu.Aku terpaku ditempat melihat raut wajah Ibu yang terlihat sungguh-sungguh.Benarkah, Ibu akan melempar bayiku. Cucunya sendiri?"Nurma!" teriak Ibu dengan mata menyalang, sorotnya tak lepas dari Maya yang mulai lemah tak berdaya."Baiklah ... kau sendiri yang meminta, bukan?" desis Ibu dengan wajah penuh amarah.Tubuhku menggigil, mataku terpejam saat melihat Ibu ingin menghempaskan tubuh mungil cucunya sendiri."Ibu ..." jerit suara laki-laki yang sangat aku kenal.Mata terbuka lebar, kulihat Mas Andri melototkan mata saat melihat aksi Ibu."Ibu mau apa sama, Arya!" Mas Andri berlari menuju Ibunya lalu merampas Arya dari tangan Ibu."Ibu mau bunuh anakku!" tanya Mas Andri dengan wajah memerah.Pelan aku melepas cengkraman pada Maya, lalu melangkah mundur menjauhinya.Ibu membeku ditempat, wajahnya sangat tegang mendengar ucapan Mas Andri."Ya ... Ibumu mau melempar anakmu, Mas. Dia mau membunuh anakmu!" sahutku dengan suara keras. Mas Andri menatap Ibu tak percaya, kulihat wajah Ibu sudah diliputi ketakutan."Bu--kan, bukan begitu, Nak. Kamu salah paham." jelas Ibu dengan suara bergetar. Karna baru kali ini, aku melihat Mas Andri sangat marah pada Ibunya sendiri."Apanya yang salah paham, aku dengar sendiri Ibu teriak-teriak ingin melempar bayiku!" balas Mas Andri dengan suara keras dan sorot mata yang menyalang."I-tu ... Uhuk, itu semua karna Nurma, Mas. Dia menyerang Ibu dan mencekik leherku," Maya bersuara sambil mengatur nafas dan terbatuk-batuk."Tidak mungkin Nurma berbuat begitu!" sargah Mas Andri, membuat bibir ini terangkat sebelah. Ada aliran dingin yang masuk ketengkuk leherku, saat mendengar pembelaannya. Tentu saja, karna selama menikah baru kali ini aku dibela olehnya."Nurma selalu sabar disuruh-suruh. Dia selalu menurut sama Ibu, mana mungkin Nurma mau melukai Ibu," sambungnya sambil menoleh kearahku. Aku hanya merunduk, memasang wajah sedih memelas.Ya karna selama ini penglihatan Mas Andri seperti itu. Aku selalu patuh, tunduk dan takut pada Ibu mertua. Mustahil bukan, kalau hari ini tiba-tiba saja aku melawannya."Aku tidak bohong, Mas." bantah Maya."Sudah! Keluar dari kamarku. Awas kalau sampai Arya kenapa-kenapa!" sembur Mas Andri.Maya menghentakkan kaki dengan keras diatas lantai, bangkit dari tempatnya. Menyeret tangan Ibu yang sejak tadi mematung menatap anak laki-laki kesayangannya.Sepertinya Ibu shock, melihat Mas Andri yang biasa menurut bak kerbau yang dicucuk hidungnya kini berani melawannya."Sayang, anak Ayah. Kamu ga apa-apa kan, Nak?" Mas Andri menimang Arya, lalu menciumnya dengan rasa takut.Walau Mas Andri buruk sebagai suami, tapi dia begitu menyayangi anaknya. Itulah salah satu alasan, aku bisa bertahan hidup sajauh ini."Nih, susui Arya. Dia kelihatannya sangat ketakutan!" Mas Andri menyerahkan Arya ketanganku. Tanganku bahkan masih bergetar, menerima Arya ke dalam pelukkan.Syukur Alhamdulillah, kamu tidak apa-apa sayang. Kalau benar Ibu melemparmu, mungkin Bunda akan membunuh dua manusia tak berakal itu."Kamu mau kemana, Dek?" Langkah Mas Andri terhenti saat melihat ransel yang tergeletak dibawah lemari."Aku mau pergi, tidak ada gunanya lagi rumah tangga ini dipertahankan!" sahutku sambil menenangkan Arya dan menyusuinya."Pergi. Pergi kemana?" alis tebal itu menaut kencang."Kerumah orangtuaku. Kau tidak perlu repot-repot memulangkanku," sindirku. Setiap aku melakukan kesalahan dia selalu mengancam akan memulangkan aku, kini aku tak peduli.Mas Andri terdiam, mengamati wajahku dan Arya bergantian."Aku tidak mengizinkanmu pulang," ucap Mas Andri, sambil melangkah keluar kamar."Terserah ... aku tak butuh izinmu. Aku sudah muak di perlakukan seperti babu dirumah ini!" jawabku sambil menatap sinis kearahnya.Mas Andri menghentikan langkah, nampak terkejut mendengar ucapanku.***Ofd.Lanjut, tinggalkan jejak ya.Salam hangat 🤗🤗Mas Andri menghentikan langkah, nampak terkejut mendengar ucapanku."Kamu bicara apa sih, Dek. Jangan bikin pusing!" Mas Andri menatap lekat. Tatapannya sangat tajam, seolah menembus jantungku.Biasanya aku akan takut, dan gentar melihat tatapan itu."Aku sudah terlalu lelah, menghadapi Ibu dan Adik-Adikmu," jawabku sambil mengalihkan pandang, menatap wajah Arya yang mulai tenang.Mas Andri mencebik, menjatuhkan tubuh disampingku."Mas ... tidak perlu lagi mengancamku, aku akan pergi sendiri kerumah, Bapak." ucapku. Mas Andri menghela nafas, memandang lurus kearahku."Omongan mereka jangan diambil hati," sahut Mas Andri."Ck!" Aku mendengkus, menatapnya lurus-lurus. "Ibumu hampir membunuh anakku, terlalu lama disini bukan hanya aku yang mati tapi juga anakmu!" desisku dengan tatapan menyalang.Mas Andri tersentak mendengar bentakkanku, karna baru kali ini aku berani melawan kata-katanya.Huh ... betapa dungunya aku selama ini, selalu menerima kegilaan mereka."Ibu ... mungkin hanya em
"Mana si Maya!" perempuan bertubuh gendut menatap murka kearahku, kedua tangannya berkacak pinggang dengan mata melotot dan nafas yang memburu.Aku menoleh kebelakang, aku lihat tubuh Maya menggigil bersembunyi dibelakang tubuh Ibunya."Lu pasti bocah ingusan itu kan!" perempuan gendut melangkah maju, mendekati Mila."Bu-kan ..." Mila menggeleng cepat."Dasar pelakor, ga punya adab! Bukan sekolah yang bener malah obral sel*ngkangan sama suami orang!" sembur perempuan itu dengan nafas memburu, kedua tangannya langsung melayang dan mendarat dikepala Mila."Aduhhh ... sakiiiittt!" Mila memekik keras, memegangi rambut yang dijambak kencang oleh perempuan gendut itu. Aku mematung ditempat, jantungku berdetak dengan kencang.Mengerikan sekali. Bagaimana ini?"Mbak Nurma, toloong ..." Mila mengulurkan tangan kearahku.Aku yang masih kaget dengan kejadian ini, hanya bisa terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Jujur saja aku sendiri takut melihat perempuan gendut itu yang mengamuk membabi buta.
"To--long ... panggil RT. Kasihan Maya," Ibu menatap iba kearahku. Aku hanya bergeming, berpura tak melihat tatapan menyedihkan itu. Dari pada memisahkan Maya dan Yayah lebih baik aku menikmati tontonan ini.Karna ... entah mengapa hatiku sangat puas melihatnya."Huhu, tolong siapa saja lapor RT," Ibu meratap keluar pintu, dimana tetangga sudah padat menyaksikan pertikaian ini."Itu si Maya beneran pacaran sama laki orang? Ya ampun. Malu-maluin ya, ga nyangka!" cibir suara sumbang dari kerumunan."Idih najis ya ... sampai dilabrak sama istri sah nya. Gelayy!" sahut entah suara siapa."Pantes selalu modis, selingkuhan Om-Om kali ya. Apa Aki-Aki? Haha ..." Gelak tawa meremehkan terdengar riuh. Ibu semakin merunduk, tak punya muka untuk membantah ucapan mereka.Aishh ... kidmat sekali mendengarnya.Bibirku tersungging dengan sendirinya, kutatap wajah Arya yang sudah membuka mata dengan rasa haru.Lihatlah, sayang. Bahkan Bunda tak perlu repot, membalas mereka semua. Nenek dan Bibimu suda
"Lo liat dan pelototin tuh kelakuan Adek lo. Hebat, kalau lo ga jijik!" cibir Yayah dengan senyum menyerigai.Gusar, Mas Andri meraih gawai dari tangan Yayah. Tak begitu lama mata itu terbelalak, dengan wajah memerah dan nafas yang memburu. Aku sampai menegakkan badan, mencuri pandang kearah gawai yang ada ditangan Mas Andri.Gambar apa sih?"Gila lu, May! Bener-bener ga beradab, murahan!" Geram Mas Andri sambil menoleh kearah Maya.Ibu yang panik langsung merampas gawai yang tergenggam ditangan Mas Andri, matanya pun ikut membesar saat melihat sesuatu yang ada didalam layar."Jangan percaya, Mas. Ini pasti editan!" bantah Ibu. "Kau pasti ingin menjatuhkan anakku kan, dasar penipu. Kurang ajar!" maki Ibu menunjuk-nunjuk wajah Yayah."Ck! Ga usah nunjuk-nunjuk muka saya, Bu!" Yayah menepis tangan Ibu dengan kasar."Sebagai orang tua, Ibu harusnya sadar diri, malu melihat tingkah menjijikan anak Ibu. Saya sudah sabar selama ini, saya sudah baik-baik menegur agar jalang cilik itu menjauh
"Ibu fikir Bapak tidak punya telinga? Aib keluarga ini sudah pasti menyebar dengan cepat. Siap-siap saja, anak kesayangan Ibu mati ditangan Bapak." Sahut Mas Andri dengan senyum mengejek.Hatiku bersorak, tak sabar menunggu Bapak pulang dari tempat kerja.Sepertinya Mas Andri sudah sangat muak melihat Ibu yang terus-terusan membela Maya.Ibu semakin cemas, berkali dia memijat kening dengan gusar."Huh ... bagaimana ini," gumam Ibu sambil menjatuhkan tubuh disofa tunggal. Ibu menyenderkan tubuh dipunggung sofa sambil memijit pelipis dengan mata terpejam. Ketara sekali dia sedang sangat gelisah."Kenapa Ibu terus membela Maya, jangan-jangan Ibu sudah tahu kalau si Maya pacaran sama suami orang," Mas Andri mengamati Ibu dengan tajam. Ibu yang sedang bersandar langsung menegakkan badan, terkejut mendengar ucapan Mas Andri."Ka-mu bicara apa sih. Ibu ga tau apa-apa," bantah Ibu sedikit gelagapan."Kemarin si Maya dapet hape baru dari pacarnya. Ibu juga dibeliin gamis dan kerudung mahal. Ba
"Ada apa, Mas?" tanyaku."Bapak ..." jawab Mas Andri dengan wajah tegang.Tubuhku ikut menegang, dengan langkah pelan aku melebarkan pintu keluar dari kamar. Sengaja aku berdiri didepan pintu dan menutupnya, takut suara bising mereka mengganggu tidur Arya."Anak s*tan. Malu-maluin keluarga, buka pintunya si*l!!" Teriak Bapak begitu lantang, membuat tubuhku bergetar hebat. Selama tinggal dirumah ini, Bapak orang yang paling bijak. Dia tak banyak bicara, dan tak pernah menyusahkan aku sebagai menantunya.Brakk braaakk!!Bapak menendang pintu dengan keras, karna Maya tak juga membuka pintu, Bapak langsung beranjak menuju dapur. Ibu yang sejak tadi mengekori Bapak mencoba menahan, tapi sepertinya usaha Ibu sia-sia."Diem kamu, Bu. Jadi orangtua harusnya malu, anak salah jangan dibela. Matiin aja dari pada lempar kotoran kemuka orangtua!" sentak Bapak sambil menghempas tubuh Ibu dengan kasar."Bapak mau ngapain, Pak. Sudah kasihan Maya dari tadi dipukulin orang. Huhu," Ibu merengek, menang
Hai Kakak, jangan lupa subcribe dulu ya sebelum membaca. Jika sudah, trimakasih banyak. 🥰🥰------ofd------"Tespack siapa nih," gumamku sambil membuka isi didalam kotak tersebut."Haah ..."Mataku membulat saat melihat garis dua yang terlihat didalam benda tersebut.Tubuhku membeku, fikiran langsung tertuju pada satu nama.Mungkinkah ... tapi masa iya sampai sejauh ini? Kembali aku mengamati dengan teliti, benda ini benar-benar menunjukan garis dua meski garis yang satu masih terlihat samar.Dengan hati-hati aku menaruh benda itu diatas laci tempat penyimpanan sampho lalu melanjutkan aktifitas.Aku simpan benda itu didalam lemari pakaian, Mas Andri bergeliat saat mendengar suara Arya yang mulai menangis."Dek, siapkan aku makan, bawa kedalam ya. Aku malas makan diluar," ucap Mas Andri sambil bangkit dari tidurannya, lalu menimang Arya."Iya," sahutku singkat lalu keluar kamar menuju dapur.Eh, rujak nanas siapa nih?Langkahku terhenti dimeja makan, saat melihat irisan nanas segar le
Alisku menaut saat melihat bak mandi dan ember tidak berada ditempatnya. Seperti ada orang yang menggeser-geser letak bak dan mencari sesuatu."Minggir!" Aku tersentak saat Maya menarik kasar tubuhku keluar dari toilet. Tatapannya begitu bengis, seakan ingin menerkamku.Brakk!!Pintu dibanting keras dari dalam, jantungku hampir saja copot mendengar bantingan pintu itu."Dasar valak!" rutukku sambil meninju pintu toilet. Tuman!"Heh. Sial lu ya!" Geram Maya. Aku melipat tangan, menunggu Maya keluar dari pintu. Sesekali harus diremes mulutnya. Aku Kakak iparnya, secuil pun dia tidak pernah menghormatiku.Pintu terbuka kasar, Maya sedikit terkejut melihat wujudku yang berdiri tepat didepannya."Awas lu, ngalangin pandangan gua aja!" Lagi dia mendorong tubuhku. Aku menarik nafas dalam-dalam, menguatkan hati dan fikiran. Tangan sudah terkepal kuat, masa iya aku harus nonjok muka Maya yang sudah babak belur?Sabar ... sabar. Biarkan orang lain aja yang hajar itu bocah tengik.Aku menghibur