Share

Bab 4 - Babak Belur.

"Mana si Maya!" perempuan bertubuh gendut menatap murka kearahku, kedua tangannya berkacak pinggang dengan mata melotot dan nafas yang memburu.

 

Aku menoleh kebelakang, aku lihat tubuh Maya menggigil bersembunyi dibelakang tubuh Ibunya.

 

"Lu pasti bocah ingusan itu kan!" perempuan gendut melangkah maju, mendekati Mila.

 

"Bu-kan ..." Mila menggeleng cepat.

 

"Dasar pelakor, ga punya adab! Bukan sekolah yang bener malah obral sel*ngkangan sama suami orang!" sembur perempuan itu dengan nafas memburu, kedua tangannya langsung melayang dan mendarat dikepala Mila.

 

"Aduhhh ... sakiiiittt!" Mila memekik keras, memegangi rambut yang dijambak kencang oleh perempuan gendut itu. Aku mematung ditempat, jantungku berdetak dengan kencang.

 

Mengerikan sekali. Bagaimana ini?

 

"Mbak Nurma, toloong ..." Mila mengulurkan tangan kearahku.

 

Aku yang masih kaget dengan kejadian ini, hanya bisa terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Jujur saja aku sendiri takut melihat perempuan gendut itu yang mengamuk membabi buta.

 

"Mbak ... huhu," Mila semakin kesakitan, tubuh kecilnya tak seimbang untuk melawan.

 

"Lepas, Bu. Lepas, bukan dia yang namanya Maya. Dia Mila!" jeritku mencoba memisahkan keduanya.

 

"Jangan ikut campur lo. Gua inget betul muka busuk ini," balas perempuan gendut itu sambil melotot kearahku. Mila semakin menjerit, kepalanya tertunduk akibat serangan mendadak yang diterima perempuan itu.

 

Sekilas jika di perhatikan wajah Maya dan Mila memang terlihat mirip, apa lagi mereka hanya berbeda dua tahun. Garis wajah keduanya memang terlihat sama, mereka bahkan dijuluki si kembar dari kecil.

 

Arya yang sedang terlelap menangis kencang, kaget dengan kegaduhan yang terjadi didekatnya.

 

"Bu ... tolong, Bu!" jerit Mila meminta pertolongan pada Ibunya. Ibu yang mau beranjak menolong, langkahnya tertahan kedua tangannya dipegangi oleh Maya yang sudah menggigil ketakutan.

 

Aku yang tak tega, mencoba melepas cengkraman dirambut Mila. Namun perempuan itu semakin bringas. Malah mendaratkan pukulan dipundakku, membuat Arya semakin menangis kencang.

 

Tenaga perempuan itu benar-benar kuat, jejak tangannya pundakku bahkan terasa sangat perih dan panas akibat pukulannya.

 

"Lepas, Bu. Lepas!" aku masih mencoba memisahkan, melihat Mila yang semakin lemas hatiku tak kuasa melihatnya.

 

"Diam kau si*lan. Jangan ikut campur!" Makinya padaku.

 

"Ibu salah orang. Dia Mila, bukan Maya!" sentakku. Perempuan itu menoleh bengis kearahku, sepertinya dia mulai mencerna kata-kataku.

 

"Dia bukan Maya, Ibu salah." jelasku menatap lekat bola matanya. Aku menoleh pada Maya, perempuan gendut itu mengikuti arah mataku.

 

"Itu Maya. Dia bersembunyi diketiak Ibunya!" tegasku sambil menudingkan jari telunjuk kearah Maya. Nafas perempuan disampingku memburu, dihempasnya kepala Mila dengan kasar kesembarang arah. Mila tersungkur menangis memegangi kepalanya.

 

"Mbak, sakit ..." rintih Mila sambil bangkit dari tempatnya langsung memeluk tubuhku dengan erat.

 

"Huhu ... sakit, Mbak." Mila menangis tersedu-sedu. Aku hanya bisa mengusap-usap kepalanya, mencoba menenangkan.

 

"Jadi elu jal*ng kecil itu!" desisnya sambil menggulung lengang baju.

 

Maya semakin meringsek kebelakang tubuh Ibunya, matanya menyorot tajam kearahku. Seolah marah, aku sudah mengatakan persembunyiannya.

 

"Yayah, sabar Yah. Malu," seru perempuan yang sejak tadi ada dibelakang perempuan gendut itu.

 

"Ini rumah orang, malu tuh diliatin!" sambungnya sambil menunjuk kehalaman rumah. Ternyata diluar sudah banyak tetangga yang berkumpul, mereka berebut masuk menyaksikan keributan ini. Bahkan tetangga teman ghibah Ibu sehari-hari sudah berdiri paling depan dengan mulut mencebik kekiri kanan dan kepala maju celingukan.

 

"Gua ga peduli. Biar semua orang tau sekalian, kalau bocah gatel itu sudah genit merayu suami gua!" sahut Yayah, sambil menepis tangan temannya yang mencoba menghalangi langkahnya.

 

Maya semakin ketakutan, begitu pun Ibu yang wajahnya sudah memucat ketakutan.

 

"Usir dia Bu, usir!" titah Maya, menyuruh Ibunya.

 

Ibu tergagap, tubuhnya didorong-dorong maju oleh Maya.

 

"Pergi kamu dari rumah saya. Jangan membuat keributan disini!" sentak Ibu, dengan suara bergetar.

 

"Gua akan pergi, setelah menginjak-ijak kepala jal*ng itu!" sahut Yayah dengan mata memerah. Sebelum Maya melarikan diri memasuki kamar, Yayah sudah lebih dulu menghadangnya. Ibu yang mencoba memasang badan, tubuhnya langsung didorong hingga terjatuh diatas sofa.

 

Plak plakk!!

 

Dua tamparan bolak-balik mendarat keras dipipi mulus terawat milik Maya, dia menjerit kesakitan saat kepalanya ditarik dengan kencang oleh Yayah.

 

Huh ... sepertinya itu sangat sakit, aku dulu sering merasakannya. Aku jadi mengingat peristiwa yang sama beberapa bulan yang lalu. Melihat Maya menjerit memegangi kepala, kepalaku ikut berdenyut merasakan sakit.

 

'Hajar terus, Bu. Kalau perlu injak kepalanya,' bisikku dalam hati. Bibirku mengulum senyum, melihat kesakitannya.

 

"Dasar gatel! Banyak laki bujang, laki gua lo sikat. Udah ga laku lo ya!" sembur Yayah sambil terus melayangkan pukulannya pada tubuh Maya.

 

"Ampun ... Udah sakit. Ibu toloooong," rintih Maya sambil bercucuran air mata. Aku hanya meringis, sepertinya serangan Yayah memang sangat-sangat menyakitkan.

 

Yayah dengan leluasa menghajar Maya, tak ada seorang pun yang berani memisahkan aksinya. Maya pun tak kuasa melawan, Yayah yang bertubuh besar itu.

 

Ibu hanya menangis, meratapi anak kesayangannya yang dihajar habis didepan matanya sendiri.

 

"To--long ... panggil RT. Kasihan Maya," Ibu menatap iba kearahku. Aku hanya bergeming, berpura tak melihat tatapan menyedihkan itu. Dari pada memisahkan Maya dan Yayah lebih baik aku menikmati tontonan ini.

 

Karna ... entah mengapa hatiku sangat puas melihatnya.

 

***Ofd.

 

Yang mau next kilat jangan lupa tinggalkan komentar dan lope-lopenya ya. Itu sangat membuat aku bersemangat.

 

Jangan lupa subcribe dan vote bintang 5 cerita ini.

 

Salam hangat. 🤗🤗

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status