Share

TUKANG NYINYIR

"Ibu kenapa, Mas, semalem?" Tak bisa kucegah rasa penasaranku saat suamiku pulang pagi itu dari rumah ibunya.

 

"Nggak tau tuh, nangis terus ngeluh sakit. Ditanya sakitnya dimana nggak dijawab. Besok deh kalau pas bawa kontrol coba sekalian aku tanyakan ke dokternya."

 

"Obatnya sudah diminumkan belum?" tanyaku curiga jangan-jangan si Rita lupa belum ngasih obatnya karena kebiasaan anak itu sibuk mainan HP.

 

"Kata si Rita udah sih." Mas Daru menguap lebar. "Duuh padahal hari ini kerjaanku dari Wisnu numpuk, tapi malah ngantuk banget," keluhnya.

 

"Lha emang tadi nggak tidur di sana?"

 

"Mana bisa tidur, Ris. Ibu ngaduh terus kesakitan. Nggak bisa tidur aku jadinya."

 

"Katanya mau gantian jaga sama Rita. Gimana sih?"

 

"Dia tidur, aku nggak tega mau bangunin."

 

'Hmmm, manggil kakaknya minta tolong gantian jaga, eh sendirinya malah molor,' batinku. Kuserahkan segelas teh hangat padanya. 

 

"Jangan terlalu dimanjakan, nanti ngelunjak," kataku. Dalam hati aku terkikik geli, nggak tega sebenarnya ngomong nyinyir begitu sama suami.

 

***

 

Siang itu, Mas Daru pamit pergi ke tempat sahabatnya, Wisnu, mengantarkan job terjemahan yang dia ambil. Sementara aku bermaksud menyibukkan diri di dapur menyiapkan makan siang untuk anak-anakku. Baru mulai kupakai celemek ketika tiba-tiba kudengar suara cempreng Budhe Endar, tetangga kontrakanku, dari luar meneriakkan namaku.

 

"Mbak Riris, Mbak!" teriaknya. Terdengar ketukan di pintu depan. Aku tergopoh membukanya.

 

"Ada apa, Budhe?" tanyaku saat melihat wajahnya di balik pintu.

 

"Itu ... ada yang nyari, Mbak," tunjuknya pada seseorang yang nangkring di atas motornya. Kulongokkan kepalaku keluar dan kulihat seorang wanita sedang duduk dengan santainya di atas motor keluaran terbarunya. 

 

"Intan," sapaku.

 

"Mas Daru ada, Mbak?" tanyanya tanpa beranjak dari tempatnya duduk.

 

"Baru keluar, Tan. Ada perlu apa?" tanyaku.

 

"Masih lama nggak ya?" Benar-benar tidak sopan ini anak. Bertamu ke rumah orang kok nggak mau turun dari motor. Pantesan tadi Budhe Endar mukanya kucel menatapnya tidak suka.

 

"Enggak sih kayaknya. Cuma ngumpulin kerjaan aja. Masuk dulu, Tan," ajakku basa basi. Dengan malas-malasan dia turun dari motornya dan memperhatikan sekeliling kontrakanku sebentar. Ini memang pertama kalinya dia datang kesiini. Padahal sudah hampir 2 tahun aku dan Mas Daru tinggal di sini, tapi baik ipar-iparku itu ataupun ibu mertuaku belum pernah ada yang datang berkunjung ke kontrakan kami.

 

"Ayo masuk!" ajakku lagi.

 

"Nggak usah mbak, aku disini aja," jawabnya dengan tatapan aneh. Barangkali jijik karena rumah kontrakan ini kecil dan tidak bagus, jauh dengan rumah suaminya yang baru atau rumah ibu yang luas.

 

"Tapi nggak ada kursi lho, Tan, di luar, ke dalam aja sambil duduk," kataku basa-basi. Entah kenapa belakangan aku jadi hobi mengusili adik-adik iparku ini. Aku senang saat melihat wajah-wajah mereka bete dan merasa nggak nyaman.

 

Dia terlihat agak menimbang, lalu akhirnya berjalan malas-malasan masuk ke dalam kontrakan.

 

"Maaf ya tempatnya kayak gini," godaku sambil menahan senyum. "Silahkan duduk!"

 

Dia hanya tersenyun tipis tidak segera duduk di kursi tamuku yang murahan. Terlihat geli dengan ruang tamuku yang juga sangat kecil mungkin. 

 

"Mau minum apa?" tanyaku.

 

Belum sempat dia jawab, terdengar suara motor Mas Daru berhenti di luar.

 

"Mas!" Intan langsung menghambur keluar lagi, melupakan tawaranku tentang minuman.

 

"Lho, Tan, Kamu disini? Ada apa?" tanya Mas Daru kaget.

 

"Ayo Mas ikut aku." Dia menarik tangan suamiku.

 

"Ikut kemana? Hari ini kamu tugas jaga ibu kan?" tanya Mas Daru.

 

"Iya .. Ayo Mas Daru kesana juga sekarang," bujuknya manja.

 

"Lha kenapa to memangnya? Ibu kenapa?" selidik suamiku.

 

"Wis to, Mas. Pokoknya ayo, yang penting Mas kesana dulu. Ayok!" Dia tetap memaksa.

 

Mas Daru tampak bingung menatapku berusaha mencari jawaban, aku mengedikkan bahuku mengisyaratkan padanya bahwa aku pun tak tahu apa-apa.  Kenapa ini si Intan? Kemarin adiknya, Rita, eh sekarang gantian dia yang bertingkah aneh.

 

***

 

"Siapa to Mbak itu tadi?" tanya Budhe Endar menghampiriku di teras rumah sesaat setelah Mas Daru pergi mengikuti adiknya.

 

"Eee itu ... anu Budhe," Aku bingung mau bilang apa ke tetanggaku itu. Masa' iya aku punya adik yang nggak ada sopannya kayak gitu. "Adiknya Mas Daru, Budhe," kataku sambil terkekeh kecil berharap dia paham dengan situasinya.

 

"Eeeee ladalah ... adiknya Mas Daru to? Kok buedaa banget yo Mbak sama kakaknya. Lha wong kakaknya baik dan sopan gitu e, lha kok adiknya penyinyilan," kata Budhe Endar dengan cara ngomongnya yang khas. Kutahan tawaku dengan komentarnya.

 

"Yaah begitulah, Budhe."

 

"Ndak pernah kelihatan kesini ya, Mbak?"

 

"Iya, Budhe. Orang sibuk soalnya," kataku sarkas sambil terkikik. Tetanggaku itu pun jadi ikutan terkikik.

 

***

 

"Hiih, kebangeten si Intan," gerutu suamiku saat tiba di rumah.

 

"Kenapa, Mas?"

 

"Masa' Ibu buang air besar dia malah lari kesini manggil aku."

 

"Ya ampun, jadi tadi Intan kesini gara-gara Ibu BAB?"

 

"Iyoo ..." Aku terbahak mendengar itu. 

 

"Lha kok malah ketawa to, Ris?" suamiku keheranan melihatku tertawa lepas.

 

"Nggak papa kok," terpaksa kuhentikan tawaku saat melihat wajahnya bersungut. Takut dia tersinggung dengan tawaku. "Pikir aja sendiri itu adik-adikmu, Mas, Ya Allah." Kututupi mulutku agar suamiku tak melihatku tertawa.

 

"Kalau kayak gini mah mendingan kita disana aja, Ris," ujarnya sebelum menyeruput teh hangatnya.

 

"Nah, mulai deh ... mulai deh," kataku memelototinya. 

 

"Kan enak aku nggak usah bolak balik gini, capek! Kalau kayak gini ya sama aja aku juga yang ngerawat Ibu," gerutunya lagi.

 

"Kebanyakan dimanja sih. Gitu deh jadinya," nyinyirku. Astaghfirullah, sekarang aku malah jadi tukang nyinyir nih gara-gara punya hobi baru ngisengin ipar-iparku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status