Home / Rumah Tangga / KARMA MERTUA / TUKANG NYINYIR

Share

TUKANG NYINYIR

Author: Reinee
last update Last Updated: 2021-07-04 18:46:01

"Ibu kenapa, Mas, semalem?" Tak bisa kucegah rasa penasaranku saat suamiku pulang pagi itu dari rumah ibunya.

 

"Nggak tau tuh, nangis terus ngeluh sakit. Ditanya sakitnya dimana nggak dijawab. Besok deh kalau pas bawa kontrol coba sekalian aku tanyakan ke dokternya."

 

"Obatnya sudah diminumkan belum?" tanyaku curiga jangan-jangan si Rita lupa belum ngasih obatnya karena kebiasaan anak itu sibuk mainan HP.

 

"Kata si Rita udah sih." Mas Daru menguap lebar. "Duuh padahal hari ini kerjaanku dari Wisnu numpuk, tapi malah ngantuk banget," keluhnya.

 

"Lha emang tadi nggak tidur di sana?"

 

"Mana bisa tidur, Ris. Ibu ngaduh terus kesakitan. Nggak bisa tidur aku jadinya."

 

"Katanya mau gantian jaga sama Rita. Gimana sih?"

 

"Dia tidur, aku nggak tega mau bangunin."

 

'Hmmm, manggil kakaknya minta tolong gantian jaga, eh sendirinya malah molor,' batinku. Kuserahkan segelas teh hangat padanya. 

 

"Jangan terlalu dimanjakan, nanti ngelunjak," kataku. Dalam hati aku terkikik geli, nggak tega sebenarnya ngomong nyinyir begitu sama suami.

 

***

 

Siang itu, Mas Daru pamit pergi ke tempat sahabatnya, Wisnu, mengantarkan job terjemahan yang dia ambil. Sementara aku bermaksud menyibukkan diri di dapur menyiapkan makan siang untuk anak-anakku. Baru mulai kupakai celemek ketika tiba-tiba kudengar suara cempreng Budhe Endar, tetangga kontrakanku, dari luar meneriakkan namaku.

 

"Mbak Riris, Mbak!" teriaknya. Terdengar ketukan di pintu depan. Aku tergopoh membukanya.

 

"Ada apa, Budhe?" tanyaku saat melihat wajahnya di balik pintu.

 

"Itu ... ada yang nyari, Mbak," tunjuknya pada seseorang yang nangkring di atas motornya. Kulongokkan kepalaku keluar dan kulihat seorang wanita sedang duduk dengan santainya di atas motor keluaran terbarunya. 

 

"Intan," sapaku.

 

"Mas Daru ada, Mbak?" tanyanya tanpa beranjak dari tempatnya duduk.

 

"Baru keluar, Tan. Ada perlu apa?" tanyaku.

 

"Masih lama nggak ya?" Benar-benar tidak sopan ini anak. Bertamu ke rumah orang kok nggak mau turun dari motor. Pantesan tadi Budhe Endar mukanya kucel menatapnya tidak suka.

 

"Enggak sih kayaknya. Cuma ngumpulin kerjaan aja. Masuk dulu, Tan," ajakku basa basi. Dengan malas-malasan dia turun dari motornya dan memperhatikan sekeliling kontrakanku sebentar. Ini memang pertama kalinya dia datang kesiini. Padahal sudah hampir 2 tahun aku dan Mas Daru tinggal di sini, tapi baik ipar-iparku itu ataupun ibu mertuaku belum pernah ada yang datang berkunjung ke kontrakan kami.

 

"Ayo masuk!" ajakku lagi.

 

"Nggak usah mbak, aku disini aja," jawabnya dengan tatapan aneh. Barangkali jijik karena rumah kontrakan ini kecil dan tidak bagus, jauh dengan rumah suaminya yang baru atau rumah ibu yang luas.

 

"Tapi nggak ada kursi lho, Tan, di luar, ke dalam aja sambil duduk," kataku basa-basi. Entah kenapa belakangan aku jadi hobi mengusili adik-adik iparku ini. Aku senang saat melihat wajah-wajah mereka bete dan merasa nggak nyaman.

 

Dia terlihat agak menimbang, lalu akhirnya berjalan malas-malasan masuk ke dalam kontrakan.

 

"Maaf ya tempatnya kayak gini," godaku sambil menahan senyum. "Silahkan duduk!"

 

Dia hanya tersenyun tipis tidak segera duduk di kursi tamuku yang murahan. Terlihat geli dengan ruang tamuku yang juga sangat kecil mungkin. 

 

"Mau minum apa?" tanyaku.

 

Belum sempat dia jawab, terdengar suara motor Mas Daru berhenti di luar.

 

"Mas!" Intan langsung menghambur keluar lagi, melupakan tawaranku tentang minuman.

 

"Lho, Tan, Kamu disini? Ada apa?" tanya Mas Daru kaget.

 

"Ayo Mas ikut aku." Dia menarik tangan suamiku.

 

"Ikut kemana? Hari ini kamu tugas jaga ibu kan?" tanya Mas Daru.

 

"Iya .. Ayo Mas Daru kesana juga sekarang," bujuknya manja.

 

"Lha kenapa to memangnya? Ibu kenapa?" selidik suamiku.

 

"Wis to, Mas. Pokoknya ayo, yang penting Mas kesana dulu. Ayok!" Dia tetap memaksa.

 

Mas Daru tampak bingung menatapku berusaha mencari jawaban, aku mengedikkan bahuku mengisyaratkan padanya bahwa aku pun tak tahu apa-apa.  Kenapa ini si Intan? Kemarin adiknya, Rita, eh sekarang gantian dia yang bertingkah aneh.

 

***

 

"Siapa to Mbak itu tadi?" tanya Budhe Endar menghampiriku di teras rumah sesaat setelah Mas Daru pergi mengikuti adiknya.

 

"Eee itu ... anu Budhe," Aku bingung mau bilang apa ke tetanggaku itu. Masa' iya aku punya adik yang nggak ada sopannya kayak gitu. "Adiknya Mas Daru, Budhe," kataku sambil terkekeh kecil berharap dia paham dengan situasinya.

 

"Eeeee ladalah ... adiknya Mas Daru to? Kok buedaa banget yo Mbak sama kakaknya. Lha wong kakaknya baik dan sopan gitu e, lha kok adiknya penyinyilan," kata Budhe Endar dengan cara ngomongnya yang khas. Kutahan tawaku dengan komentarnya.

 

"Yaah begitulah, Budhe."

 

"Ndak pernah kelihatan kesini ya, Mbak?"

 

"Iya, Budhe. Orang sibuk soalnya," kataku sarkas sambil terkikik. Tetanggaku itu pun jadi ikutan terkikik.

 

***

 

"Hiih, kebangeten si Intan," gerutu suamiku saat tiba di rumah.

 

"Kenapa, Mas?"

 

"Masa' Ibu buang air besar dia malah lari kesini manggil aku."

 

"Ya ampun, jadi tadi Intan kesini gara-gara Ibu BAB?"

 

"Iyoo ..." Aku terbahak mendengar itu. 

 

"Lha kok malah ketawa to, Ris?" suamiku keheranan melihatku tertawa lepas.

 

"Nggak papa kok," terpaksa kuhentikan tawaku saat melihat wajahnya bersungut. Takut dia tersinggung dengan tawaku. "Pikir aja sendiri itu adik-adikmu, Mas, Ya Allah." Kututupi mulutku agar suamiku tak melihatku tertawa.

 

"Kalau kayak gini mah mendingan kita disana aja, Ris," ujarnya sebelum menyeruput teh hangatnya.

 

"Nah, mulai deh ... mulai deh," kataku memelototinya. 

 

"Kan enak aku nggak usah bolak balik gini, capek! Kalau kayak gini ya sama aja aku juga yang ngerawat Ibu," gerutunya lagi.

 

"Kebanyakan dimanja sih. Gitu deh jadinya," nyinyirku. Astaghfirullah, sekarang aku malah jadi tukang nyinyir nih gara-gara punya hobi baru ngisengin ipar-iparku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KARMA MERTUA   PART 25 (ENDING)

    "Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.

  • KARMA MERTUA   PART 24

    Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.

  • KARMA MERTUA   PART 23

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak

  • KARMA MERTUA   PART 22

    "Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat

  • KARMA MERTUA   PART 21 (FIVE PARTS TO END)

    Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a

  • KARMA MERTUA   IBU BUNUH DIRI (DARU P.O.V)

    Tak pernah kurasakan kegelisahan dan kesedihan yang sebesar ini selama hidupku, bahkan tidak saat aku menunggui bapak sakaratul maut beberapa tahun yang lalu. Melihat ibu terbaring kritis di ruang ICU membuatku merasa sepertinya dia akan pergi meninggalkanku. Dia memang bukan ibu kandungku, tapi takkan bisa kupungkiri bahwa aku mencintainya lebih dari diriku sendiri.Walaupun dia bukan wanita yang sempurna, karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Namun pengorbanan dan kasih sayangnya telah membawaku tumbuh menjadi sebesar ini tanpa kekurangan membuatku tak bisa menutup mata dengan kondisinya saat ini.Dia mungkin tak memiliki kesempurnaan cinta seorang ibu, tapi setidaknya sepanjang hidupku sebelum aku bertemu dengan Riris, istriku, dialah wanita pertama yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status