Beranda / Rumah Tangga / KARMA MERTUA / IKATAN IBU DAN ANAK

Share

IKATAN IBU DAN ANAK

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-04 18:46:40

Hari itu hari kelima Ibu telah berada di rumahnya, dan giliran Mas Daru dan aku yang menjaganya. Pagi pagi benar sudah kusiapkan beberapa pakaian untuk suami dan anak-anakku menginap disana. Bismillah, kutata hatiku untuk bisa menjalani ini dengan ikhlas. 

 

Kami langsung menuju rumah Ibu setelah mengantarkan Rendra dan Jody ke sekolah mereka terlebih dahulu. Dan alangkah terkejutnya kami saat tiba disana melihat Intan mondar mandir seperti setrikaan di teras rumah.

 

"Lama amat sih, Mas, Mbak. Aku harus buru-buru pulang nih," omelnya.

 

"Ini masih jam berapa to, Tan? Belum ada jam 7 juga kok udah dibilang telat," kataku membela diri.

 

"Ya sudah sana kalau mau pulang sekarang," kata Mas Daru setelah memarkirkan motornya di teras rumah. "Ibu sudah diberi sarapan kan?" tanya Mas Daru.

 

"Belum," sahut Intan.

 

"Lha .. kok belum?" Dahi Mas Daru mengernyit. 

 

"Ya kan hari ini jatahnya Mas to? Lagian salah kalian berdua jam segini baru datang. Aturan habis subuh kesininya, jadi bisa bikin sarapan," ujarnya dengan sangat menyebalkan.

 

"Lah, Tan. Kan kita juga harus ngurusin anak-anak sekolah dulu," kataku. "Belum mandi juga ibunya?" tanyaku sedikit melotot ke arahnya. Dia menggeleng.

 

"Piye to, Tan, Tan," Mas Daru menggeleng-gelengkan kepala kesal.

 

"Ris, siapkan dulu sarapan buat Ibu, keburu kelaperan jam segini belum makan. Harus minum obat kok jam segini belum di kasih sarapan," omel suamiku.

 

Aku bergegas masuk rumah dan menuju dapur setelah si manja itu pergi. Kucari apapun di kulkas yang bisa kubuat untuk sarapan mertuaku. Untungnya masih ada sedikit sisa nasi di alat penanak. 

 

Kubawa sepiring nasi goreng dan teh hangat ke kamar ibu setelah siap. Sampai disana kulihat Mas Daru sedang berbicara pelan dengan ibunya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kulihat orang tua itu sedikit kaget saat wajahku menyembul di pintu kamar.

 

"Ini Mas sarapannya." Kuletakkan makanan dan minuman ibu di atas nakas sebelah kursi dimana Mas Daru duduk.

 

"Alhamdulillah, sudah siap Buk sarapannya. Sarapan dulu aja ya, habis itu baru mandi," kata Mas Daru pada ibunya yang hanya dijawab dengan anggukan. 

 

"Ibuk mau aku atau Riris yang nyuapin?" tanya suamiku. Kulihat ekor mata ibu melirik sebentar ke arahku yang berdiri di belakang suamiku.

 

"Aku makan sendiri saja, Ru," katanya sambil menggerakkan tubuhnya berusaha duduk. Dengan cekatan Mas Daru membenarkan letak bantal di sandaran tempat tidur dan mengangkat tubuh ibunya agar posisinya sedikit terduduk.

 

"Sudah, biar Daru suapin aja," katanya. Dan dia mulai menyuapi ibunya dengan telaten. Aku memperhatikan pemandangan itu dengan hati trenyuh, hampir menangis. Segala pikiran campur aduk menjadi satu di kepalaku, antara senang, sedih, sakit hati, jengkel, terharu, atau entah apalagi.

 

"Aku siapkan air mandi dulu, Mas," pamitku pada suamiku saat kurasa aku tak bisa lagi menahan air mata untuk segera jatuh. Sungguh Aku tak ingin wanita tua itu melihatku menangis. Tidak untuk saat ini.

 

***

 

"Sudah, Ris, air mandinya?!" Teriakan Mas Daru dari dalam kamar menyadarkanku dari lamunan. Air yang kujerang di kompor ternyata sudah panas dari tadi dan aku malah melamun.

 

"Sudah Mas," sahutku. "Sebentar aku bawa kesitu," jawabku sedikit berteriak agar dia mendengarku.

 

Kusiapkan air hangat ke dalam baskom dan kusambar handuk serta lap mandi dari jemuran baju untuk kubawa ke kamar ibu.

 

"Ini mas," kataku sambil menaruh baskom di atas meja. 

 

"Mau dimandikan aku atau Riris, Buk?" Lagi-lagi Mas Daru bertanya. Ibu mertua menatapku sebentar dengan sorot matanya yang terlihat takut-takut.

 

"Sama kamu aja, Ru," jawabnya. Aku mengulum senyum, mungkin dia takut padaku, takut kalau tiba-tiba kusiramkam air panas ke mukanya. Ish, apa yang kupikirkan, batinku. 

 

"Ya sudah kalau gitu. Ris, tolong siapkan baju untuk Ibuk ya?" Mas Daru menunjuk ke arah lemari.

 

"Ya, Mas." 

 

Lebih dari sepuluh menit Mas Daru dengan cekatan membersihkan badan ibunya dengan air hangat yang tadi kusiapkan. Dan aku hanya mematung di dekatnya sambil sesekali mengulurkan padanya barang-barang yang dibutuhkannya. 

 

Wanita tua itu terlihat sungguh begitu menyedihkan tergolek di atas tempat tidurnya tanpa daya. Wajah garang yang biasanya dia tampilkan padaku lenyap seketika berganti muka penuh kesakitan saat Mas Daru tidak sengaja menyentuh beberapa bagian tubuhnya yang sakit kala membersihkannya.

 

Kuberistighfar berkali-kali. Jika kebencianku belum berakhir untuk wanita ini, jangan kau berikan derita yang sama kepadaku kelak saat aku tua, berikanlah segera kesembuhan untuk mertuaku, putihkanlah hatinya dan hilangkan kebenciannya atasku Ya Allah, doaku dalam hati. 

 

***

 

"Aku jemput Rendra sama Jody dulu ya, Ris. Tolong jagain Ibu sebentar," pamit Mas Daru padaku yang sedang berkutat dengan sayuran di dapur. Aku mengangguk.

 

Belum ada 5 menit suamiku pergi, tiba-tiba terdengar suara seperti kaca pecah dari kamar ibu. Panik, segera ku bergegas melihatnya. 

 

"Ada apa, Bu?" tanyaku. Dia tidak menjawab, hanya memandang ke arah lantai dimana kaca berserakan disana. Itu gelas teh yang tadi pagi kubuatkan, pecah berantakan di lantai. Aku buru-buru kembali ke dapur mengambil tempat sampah dan kain pel. Kubersihkan kaca-kaca berserakan itu dengan sigap sambil sesekali kulirik mertuaku yang tetap masih diam membisu di atas tempat tidur. Matanya terlihat bingung dan aneh serta tak melihat ke arahku.

 

"Ibu mau minum?" tanyaku usai membersihkan lantai. Dia hanya memandangku tanpa menyahut. Anggukannya lemah sampai hampir tak bisa kulihat. Aku tersenyum tipis menyaksikan itu, lalu kembali ke dapur dan sebentar kemudian membawakannya air putih yang telah kutaruh di botol berukuran tanggung.

 

Aku sedikit kaget saat kuulurkan botol itu padanya tubuhnya justru refleks beringsut sedikit menjauh. Dahiku langsung berkerut. Sebegitu takutnya kah dia sekarang padaku? Batinku. Kupegang paksa tangannya lalu kutaruh botol minuman itu di genggamannya.

 

"Ini minum untuk ibu, taruh di samping situ, biar gampang kalau mau minum, ya?" kataku dengan mimik tegas. Tapi kurasa aku malah semakin menakutinya karena kulihat bahunya berkerut seperti orang ketakutan. Hampir saja aku tertawa keras melihat peristiwa itu, untungnya bisa kutahan.

 

"Jangan takut padaku Bu, aku bukan orang jahat ..." kataku lirih di telinganya sambil menepuk-nepuk punggung tangannya. Tapi hatiku lalu justru melanjutkan 'sepertimu'. 

 

Kurasa sepertinya ada sosok lain dalam diriku yang sedang tertawa menyeringai saat itu di dalam sana.

 

***

 

"Ibu ...!!!" Suara anak-anakku yang berteriak dari luar mengusik kesenanganku terdiam bersama ibu mertuaku di dalam kamarnya.

 

"Hei ... sudah pulang, Sayang?" kataku menyambut mereka. Mas Daru yang muncul dari pintu kamar langsung menuju ibunya. 

 

"Ayo sini, Rendra, Jody, salim sama nenek." Dia menyuruh kedua anakku menghampiri ibunya. Rendra dan Jody hanya saling pandang di dekatku membuat Mas Daru nampak bingung, lalu menoleh ke arahku.

 

"Ayo salim dulu!" ajak Mas Daru lagi. Kedua anakku malah menatapku. Sejenak kuterdiam mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. 

 

"Rendra sama Jody salim sama nenek dulu ya," kataku akhirnya sambil melemparkan senyum pada mereka. Dan mereka pun menurut. Benar-benar ikatan antara ibu dan anak itu sangat mengagumkan, pikirku. Mereka bisa menyukai seseorang jika ibunya juga menyukainya, begitu pun sebaliknya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KARMA MERTUA   PART 25 (ENDING)

    "Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.

  • KARMA MERTUA   PART 24

    Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.

  • KARMA MERTUA   PART 23

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak

  • KARMA MERTUA   PART 22

    "Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat

  • KARMA MERTUA   PART 21 (FIVE PARTS TO END)

    Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a

  • KARMA MERTUA   IBU BUNUH DIRI (DARU P.O.V)

    Tak pernah kurasakan kegelisahan dan kesedihan yang sebesar ini selama hidupku, bahkan tidak saat aku menunggui bapak sakaratul maut beberapa tahun yang lalu. Melihat ibu terbaring kritis di ruang ICU membuatku merasa sepertinya dia akan pergi meninggalkanku. Dia memang bukan ibu kandungku, tapi takkan bisa kupungkiri bahwa aku mencintainya lebih dari diriku sendiri.Walaupun dia bukan wanita yang sempurna, karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Namun pengorbanan dan kasih sayangnya telah membawaku tumbuh menjadi sebesar ini tanpa kekurangan membuatku tak bisa menutup mata dengan kondisinya saat ini.Dia mungkin tak memiliki kesempurnaan cinta seorang ibu, tapi setidaknya sepanjang hidupku sebelum aku bertemu dengan Riris, istriku, dialah wanita pertama yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanku.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status