Share

IKATAN IBU DAN ANAK

Hari itu hari kelima Ibu telah berada di rumahnya, dan giliran Mas Daru dan aku yang menjaganya. Pagi pagi benar sudah kusiapkan beberapa pakaian untuk suami dan anak-anakku menginap disana. Bismillah, kutata hatiku untuk bisa menjalani ini dengan ikhlas. 

 

Kami langsung menuju rumah Ibu setelah mengantarkan Rendra dan Jody ke sekolah mereka terlebih dahulu. Dan alangkah terkejutnya kami saat tiba disana melihat Intan mondar mandir seperti setrikaan di teras rumah.

 

"Lama amat sih, Mas, Mbak. Aku harus buru-buru pulang nih," omelnya.

 

"Ini masih jam berapa to, Tan? Belum ada jam 7 juga kok udah dibilang telat," kataku membela diri.

 

"Ya sudah sana kalau mau pulang sekarang," kata Mas Daru setelah memarkirkan motornya di teras rumah. "Ibu sudah diberi sarapan kan?" tanya Mas Daru.

 

"Belum," sahut Intan.

 

"Lha .. kok belum?" Dahi Mas Daru mengernyit. 

 

"Ya kan hari ini jatahnya Mas to? Lagian salah kalian berdua jam segini baru datang. Aturan habis subuh kesininya, jadi bisa bikin sarapan," ujarnya dengan sangat menyebalkan.

 

"Lah, Tan. Kan kita juga harus ngurusin anak-anak sekolah dulu," kataku. "Belum mandi juga ibunya?" tanyaku sedikit melotot ke arahnya. Dia menggeleng.

 

"Piye to, Tan, Tan," Mas Daru menggeleng-gelengkan kepala kesal.

 

"Ris, siapkan dulu sarapan buat Ibu, keburu kelaperan jam segini belum makan. Harus minum obat kok jam segini belum di kasih sarapan," omel suamiku.

 

Aku bergegas masuk rumah dan menuju dapur setelah si manja itu pergi. Kucari apapun di kulkas yang bisa kubuat untuk sarapan mertuaku. Untungnya masih ada sedikit sisa nasi di alat penanak. 

 

Kubawa sepiring nasi goreng dan teh hangat ke kamar ibu setelah siap. Sampai disana kulihat Mas Daru sedang berbicara pelan dengan ibunya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kulihat orang tua itu sedikit kaget saat wajahku menyembul di pintu kamar.

 

"Ini Mas sarapannya." Kuletakkan makanan dan minuman ibu di atas nakas sebelah kursi dimana Mas Daru duduk.

 

"Alhamdulillah, sudah siap Buk sarapannya. Sarapan dulu aja ya, habis itu baru mandi," kata Mas Daru pada ibunya yang hanya dijawab dengan anggukan. 

 

"Ibuk mau aku atau Riris yang nyuapin?" tanya suamiku. Kulihat ekor mata ibu melirik sebentar ke arahku yang berdiri di belakang suamiku.

 

"Aku makan sendiri saja, Ru," katanya sambil menggerakkan tubuhnya berusaha duduk. Dengan cekatan Mas Daru membenarkan letak bantal di sandaran tempat tidur dan mengangkat tubuh ibunya agar posisinya sedikit terduduk.

 

"Sudah, biar Daru suapin aja," katanya. Dan dia mulai menyuapi ibunya dengan telaten. Aku memperhatikan pemandangan itu dengan hati trenyuh, hampir menangis. Segala pikiran campur aduk menjadi satu di kepalaku, antara senang, sedih, sakit hati, jengkel, terharu, atau entah apalagi.

 

"Aku siapkan air mandi dulu, Mas," pamitku pada suamiku saat kurasa aku tak bisa lagi menahan air mata untuk segera jatuh. Sungguh Aku tak ingin wanita tua itu melihatku menangis. Tidak untuk saat ini.

 

***

 

"Sudah, Ris, air mandinya?!" Teriakan Mas Daru dari dalam kamar menyadarkanku dari lamunan. Air yang kujerang di kompor ternyata sudah panas dari tadi dan aku malah melamun.

 

"Sudah Mas," sahutku. "Sebentar aku bawa kesitu," jawabku sedikit berteriak agar dia mendengarku.

 

Kusiapkan air hangat ke dalam baskom dan kusambar handuk serta lap mandi dari jemuran baju untuk kubawa ke kamar ibu.

 

"Ini mas," kataku sambil menaruh baskom di atas meja. 

 

"Mau dimandikan aku atau Riris, Buk?" Lagi-lagi Mas Daru bertanya. Ibu mertua menatapku sebentar dengan sorot matanya yang terlihat takut-takut.

 

"Sama kamu aja, Ru," jawabnya. Aku mengulum senyum, mungkin dia takut padaku, takut kalau tiba-tiba kusiramkam air panas ke mukanya. Ish, apa yang kupikirkan, batinku. 

 

"Ya sudah kalau gitu. Ris, tolong siapkan baju untuk Ibuk ya?" Mas Daru menunjuk ke arah lemari.

 

"Ya, Mas." 

 

Lebih dari sepuluh menit Mas Daru dengan cekatan membersihkan badan ibunya dengan air hangat yang tadi kusiapkan. Dan aku hanya mematung di dekatnya sambil sesekali mengulurkan padanya barang-barang yang dibutuhkannya. 

 

Wanita tua itu terlihat sungguh begitu menyedihkan tergolek di atas tempat tidurnya tanpa daya. Wajah garang yang biasanya dia tampilkan padaku lenyap seketika berganti muka penuh kesakitan saat Mas Daru tidak sengaja menyentuh beberapa bagian tubuhnya yang sakit kala membersihkannya.

 

Kuberistighfar berkali-kali. Jika kebencianku belum berakhir untuk wanita ini, jangan kau berikan derita yang sama kepadaku kelak saat aku tua, berikanlah segera kesembuhan untuk mertuaku, putihkanlah hatinya dan hilangkan kebenciannya atasku Ya Allah, doaku dalam hati. 

 

***

 

"Aku jemput Rendra sama Jody dulu ya, Ris. Tolong jagain Ibu sebentar," pamit Mas Daru padaku yang sedang berkutat dengan sayuran di dapur. Aku mengangguk.

 

Belum ada 5 menit suamiku pergi, tiba-tiba terdengar suara seperti kaca pecah dari kamar ibu. Panik, segera ku bergegas melihatnya. 

 

"Ada apa, Bu?" tanyaku. Dia tidak menjawab, hanya memandang ke arah lantai dimana kaca berserakan disana. Itu gelas teh yang tadi pagi kubuatkan, pecah berantakan di lantai. Aku buru-buru kembali ke dapur mengambil tempat sampah dan kain pel. Kubersihkan kaca-kaca berserakan itu dengan sigap sambil sesekali kulirik mertuaku yang tetap masih diam membisu di atas tempat tidur. Matanya terlihat bingung dan aneh serta tak melihat ke arahku.

 

"Ibu mau minum?" tanyaku usai membersihkan lantai. Dia hanya memandangku tanpa menyahut. Anggukannya lemah sampai hampir tak bisa kulihat. Aku tersenyum tipis menyaksikan itu, lalu kembali ke dapur dan sebentar kemudian membawakannya air putih yang telah kutaruh di botol berukuran tanggung.

 

Aku sedikit kaget saat kuulurkan botol itu padanya tubuhnya justru refleks beringsut sedikit menjauh. Dahiku langsung berkerut. Sebegitu takutnya kah dia sekarang padaku? Batinku. Kupegang paksa tangannya lalu kutaruh botol minuman itu di genggamannya.

 

"Ini minum untuk ibu, taruh di samping situ, biar gampang kalau mau minum, ya?" kataku dengan mimik tegas. Tapi kurasa aku malah semakin menakutinya karena kulihat bahunya berkerut seperti orang ketakutan. Hampir saja aku tertawa keras melihat peristiwa itu, untungnya bisa kutahan.

 

"Jangan takut padaku Bu, aku bukan orang jahat ..." kataku lirih di telinganya sambil menepuk-nepuk punggung tangannya. Tapi hatiku lalu justru melanjutkan 'sepertimu'. 

 

Kurasa sepertinya ada sosok lain dalam diriku yang sedang tertawa menyeringai saat itu di dalam sana.

 

***

 

"Ibu ...!!!" Suara anak-anakku yang berteriak dari luar mengusik kesenanganku terdiam bersama ibu mertuaku di dalam kamarnya.

 

"Hei ... sudah pulang, Sayang?" kataku menyambut mereka. Mas Daru yang muncul dari pintu kamar langsung menuju ibunya. 

 

"Ayo sini, Rendra, Jody, salim sama nenek." Dia menyuruh kedua anakku menghampiri ibunya. Rendra dan Jody hanya saling pandang di dekatku membuat Mas Daru nampak bingung, lalu menoleh ke arahku.

 

"Ayo salim dulu!" ajak Mas Daru lagi. Kedua anakku malah menatapku. Sejenak kuterdiam mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. 

 

"Rendra sama Jody salim sama nenek dulu ya," kataku akhirnya sambil melemparkan senyum pada mereka. Dan mereka pun menurut. Benar-benar ikatan antara ibu dan anak itu sangat mengagumkan, pikirku. Mereka bisa menyukai seseorang jika ibunya juga menyukainya, begitu pun sebaliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status