Share

BAB 9 Surat perjanjian dan Dokter keluarga

🌸🌸🌸

“Aaaww! Pakai mata dong! Main tabrak aja!” teriak Nindi, buku yang dibawanya berantakan semua. 

“Namanya juga buru-buru,” jawabku cuek. Dia menunduk memunguti bukunya.

“Loh, Non, kok balik lagi?” tanya mbok.

“Aku sakit perut, Mbok,” jawabku berbohong.

“Apa perlu Mbok hubungi Dokter, Non?”

“Enggak usah Mbok, aku mau BAB.” Aku lari masuk kamar.

Kukunci pintu lalu kuambil lagi kertas perjanjian yang kulipat tadi.

Ternyata ini surat perjanjian hutang piutang.

Di sini dituliskan ayah sebagai pihak ke dua dan Pak Yadi sebagai pihak pertama.

Poin pertama menyebutkan bahwa pihak pertama yaitu Pak Yadi meminjamkan sejumlah uang kepada pihak ke dua. Fantastis 750 Milyar. Aku sampai menghitung nolnya di belakang angka untuk memastikan jumlah yang kubaca tidak salah.

Poin ke dua berisi tentang jaminan yang ayah berikan, yaitu sertifikat vila, perkebunan, rumah ini dan juga BPKB tiga mobil yang ayah punya.

Poin ke tiga berisi pihak ke dua akan membayar hutang tersebut dengan cara dicicil setiap bulan dengan bunga 0.2% kepada pihak pertama dengan tenggang waktu 3 tahun.

Poin ke empat berisi jika pihak ke dua tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut dalam tenggang waktu yang telah ditentukan maka  pihak pertama berhak atas semua barang jaminan tersebut jika tidak maka seluruh aset yang sudah dijadikan jaminan akan ditarik oleh pihak pertama.

 Terakhir dibubuhi pernyataan jika surat ini dibuat oleh ke dua pihak tanpa paksaan dari pihak mana pun. Lalu di tanda tangani di atas materai dan surat ini dibuat dua rangkap.

Tidak ada yang aneh dari surat ini. Kubuka lagi halaman berikutnya.

Di halaman berikutnya ada surat pernyataan perjanjian hutang piutang. Aku lihat tanggal dan tahun pembuatannya berselang dua tahun dari surat perjanjian pertama. Baru saja kubaca baris pertama bahwa ayah belum bisa melunasi hutangnya nenek sudah buat keributan.

“Alya! Kamu tidak apa-apa, Nak?” teriak nenek menggedor-gedor pintu kamarku.

Buru-buru aku lipat kembali kertas ini dan kumasukkan ke dalam tas sekolahku.

“Enggak, Nek, tadi perutku hanya mules saja setelah BAB lumayan enakan. Kayaknya tadi pagi Mbok masaknya terlalu pedas aku, kan enggak bisa makan pedas, Nek,” jawabku. 

“Syukurlah, Nenek khawatir. Sebentar lagi Dokter Fatma datang untuk memeriksa. Kamu istirahatlah,” ucap nenek dan berlalu ke luar kamar.

Kalau begini aku tidak bisa gerak bebas. Aku berasa seperti pencuri di rumahku sendiri. Nenek kenapa juga manggil dokter, terlalu berlebihan dikit-dikit panggil dokter. 

Kukunci kamar dan ikut keluar. Keluarga ayah sedang bersantai ria di ruang keluarga. Males sebenarnya berurusan dengan mereka yang mengaku saudara, tapi saat kami susah mereka tidak ada satu pun.

Contohnya barusan, hanya nenek dan si mbok yang khawatir padahal mereka semua tahu aku bilang sakit perut. Apa mereka tahu  hutang-hutang ayah. Setahuku usaha ayah maju, selalu menang tender, tapi kenapa tidak bisa bayar hutang. Apa ayah kena tipu? Tapi, bukankah tidak semudah itu tipu menipu dalam bisnis raksasa?

Perempuan selingkuhan ayah pun modis dan glamor pasti itu duit dapat dari ayah, jika ayah tidak bisa bayar hutang kenapa main perempuan? Apa satu ibuku saja tidak cukup. Ibu wanita cantik dan menarik awet muda juga berkelas. Beliau selalu mendapat sanjungan dari berbagai kalangan jika ikut ayah acara kantor itu aku tahu karena aku beberapa kali sempat ikut.

Lalu kenapa kemarin selingkuh ayah bilang teman ibu, apa dia bermaksud mengelabui kami semua. Di dalam hatiku sangat yakin kalau wanita itu berambisi mau menjadi nyoya besar di sini. Menggantikan posisi ibu. 

“Alya? Kamu tidak dengar dari tadi Nenek panggil?” ujar nenek membuyarkan lamunanku.

“Eh—iya kenapa, Nek?”

“Itu dokter Fatma sudah datang kamu kok malah bengong di sini?”

“Oh ... iya, Nek. Aku temui Dokter Fatma dulu ya.” 

Dokter cantik itu sudah menungguku di ruang keluarga berbaur bersama keluarga ayah.

“Pagi, Alya,” sapanya.

“Pagi, Dok. Kita ke kamar aja ya, Dok. Di sini enggak nyaman,” sindirku pada mereka. Seketika mereka diam dan berdecak kesal padaku. 

Dokter Fatma memeriksa keadaanku dia beberapa kali mengernyitkan keningnya pasti dia tahu kalau aku tidak sakit. Aku senyum-senyum enggak jelas padanya. Beliau kemudian tertawa cekikikan.

“Rahasia kita ya, Dok,” ucapku.

“Hihihi, iya. Ih, dasar anak nakal.” Tiba-tiba nenek dan yang lainnya masuk kamarku.

“Alya, butuh istirahat, Nek. Dia terlalu banyak pikiran jadi mudah lelah dan stres jadi berpengaruh juga pada pencernaannya.”

“Oh, iya, Dok. Ya, sudah kami tunggu di depan ya, Dok.”

Dokter Fatma lalu menutup pintu.

“Dokter, aku mau tanya kemarin waktu Ibu sakit apa ada berobat dengan Dokter?” Jujur ibu tidak pernah mengeluh sakit yang parah hanya pusing, mual dan lemas saja.

“Iya ....”

“Ibu sakit apa, Dok?” Dokter Fatma terdiam cukup lama aku jadi semakin penasaran sebenarnya ibu sakit apa.

“Dokter, apa Ibu sedang hamil?” tanyaku lagi.

 Dokter Fatma cukup terkejut dengan pertanyaanku.

“Ayolah, Dok, jujur saja padaku. Aku perlu tahu keadaan ibuku,” ucapku memohon.

“Kamu tahu ibumu hamil dari mana, Al?”

“Jadi benar Ibu sedang hamil?” kataku histeris.

“Kamu tahu dari mana, Al? Saya tidak ....”

“Aku akan jawab pertanyaan Dokter jika Dokter jujur padaku.” Dokter Fatma tersenyum lalu membingkai wajahku dengan ke dua tangannya.

“Dengar, Alya, Ibumu yang memintaku untuk tidak mengatakan tentang kehamilannya pada siapa pun. Karena saya sudah berjanji pada almarhumah makanya sampai sekarang saya tidak mengatakan pada keluarganya. Lalu tiba-tiba kamu tanya begitu apa ibumu sendiri yang mengatakannya padamu?” Mendengar jawaban Dokter Fatma aku menangis histeris. 

“ Ya Allah, Ibu kenapa sampai merahasiakan hal ini. Kenapa?” Dokter Fatma memelukku.

“Apa Ayah tahu, Dok?” tanyaku lagi. Dokter Fatma hanya menggeleng. 

“Apa ada penyakit lain, Dok?”

“Tidak ada, Al. Sepengetahuan saya tidak ada,” jawaban Dokter Fatma yang menurutku aneh.

“Apa Dokter tidak berbohong?” cecarku.

“Em ... Alya, saya rasa perbincangan kita cukup sampai di sini dulu ....”

“Dokter, kenapa buru-buru?”

“Saya masih ada pasien lagi dan harus ke rumah sakit.”

“Tapi, Dokter aku belum ....”

“Kita bisa bicara lain kali ya, Al. Saya pamit dulu. Nanti saya kasih resep seperti biasa kamu bisa menebusnya di apotek.” Tak lagi aku tanggapi perkataan Dokter Salma. 

“Jika kita berbincang terlalu lama di sini akan ada yang curiga.”

“Ma—ksud, Dokter?”

“Kamu sudah besar, kamu pasti paham ucapanku, sampai jumpa lain waktu. Masih ingat kan, saya tugas di mana?” Aku mengangguk saja meski masih kurang paham dengan ucapan Dokter Fatma.

Sebelum pergi Dokter Fatma mengelus rambutku.

“Rahasiakan obrolan kita, ok." Aku mengiyakan lalu mengantarnya sampai depan pintu kamar.

Terdengar berbagai pertanyaan dari mereka, entahlah benar-benar peduli atau sekedar kepo saja.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Indra BI
Ya cukup baik tapi terlalu bertele tele tks
goodnovel comment avatar
Farhat Alfatih
baus bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status