Share

BAB 8 Surat perjanjian.

Penulis: Kencana Ungu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-13 11:35:32

Prek! 

Kulempar aqua gelas tepat di bawah kaki wanita itu. Kakinya basah terkena cipratan airnya. Dia kaget begitu juga dengan ayah. Senyumnya yang semula mengembang langsung hilang.

 Oma terlihat sangat marah padaku sedang nenek merasa tidak enak dan hendak membawaku beranjak dari sini. Kutolak mentah-mentah ajakan nenek lalu kulanjutkan makanku. Marah juga perlu tenaga aku harus makan banyak untuk melawan perempuan luknut itu.

“Aldi, mau nambah enggak?”

“Enggak, Kak. Cukup, aku sudah kenyang.”

“Ya, sudah. Ayo, kita masuk kamar! Sikat gigi, wudu lalu tidur.” Aldi menurut saja. Aku cepat-cepat menyelesaikan ritualku dan keluar lagi menemui ayah.

Mereka sedang asyik ngobrol dan tampak akrab seperti sudah kenal lama. Perempuan luknut itu sesekali melirik pada ayah dengan senyuman genitnya. Aku bergidik ngeri melihatnya. Ternyata ada di dunia nyata wanita seperti itu.

“Ayah, ayo tidur! Ini sudah malam besok aku harus sekolah,” ajakku dengan gaya bicara yang manja seperti gadis-gadis Korea yang ada di film. 

Perempuan itu langsung memasang wajah masam. Ayah sepertinya bingung harus memilih siapa. Ayah memberi kode lewat gerakan tangannya. Dikiranya aku tidak tahu, dasar ulat bulu.

“Betul, Hen. Besok Alya harus sekolah. Temanilah sebentar,” ucap Nenek. Sepertinya Nenek mengerti aku tidak nyaman dengan perempuan itu.

“I—iya, Bu,” jawab ayah kikuk.

“Oh, iya, tadi Ayah bilang Tante ini teman, Ibu. Benarkah?” tanyaku penasaran.

“Anin, nama Tante, Anin,” katanya penuh percaya diri. Dia mengulurkan tangannya padaku.

“Tante, beneran temannya Ibu?” tanyaku lagi. Aku tidak mau menerima uluran tangannya. Terserah apa kata orang, dibilang tidak sopan pun aku tidak peduli. Andai mereka di posisiku pasti akan sama sepertiku tidak sudi untuk bersentuhan dengan wanita yang sudah merusak rumah tangga orang tuanya.

“Em ... iya, Tante ini teman ibumu, Sayang,” jawabnya kaku sambil menyelipkan anak rambutnya ke belakang kuping.

“Masa sih? Kalau teman Ibu harusnya sudah tahu dong, malam ini tahlilan tiga hari meninggalnya Ibu. Tante aja ke sini pakai baju kurang bahan gitu, paha diumbar ke mana-mana gratisan kalah dong sama paha ayam. Paha ayam aja harganya mahal. Lagi pula teman-teman Ibu enggak ada yang seperti Tante. Mereka semua berhijab dan make up-nya enggak menor macam biduan gini,” kataku panjang lebar. Kutatap mata perempuan itu. Dia tidak berani menatapku justru melihat ke arah ayah sebagai wujud protesnya.

“Eh, iya, benar juga yang dibilang Alya. Tante Tari itu enggak punya teman model begini,” sahut Nindi, tumben itu anak otaknya jernih  Tante Devi dan yang lain manggut-manggut lalu kompakan menatap ayah. Ayah salah tingkah lalu mengajakku masuk kamar.

“Sayang, tidur yuk, sudah malam!” ajak ayah.

“Ok, yuk!” Kugandeng lengah ayah dengan manja.

Di kamar Aldi sudah tidur pulas, aku menyuruh ayah untuk bersih-bersih badan dan wudu sebelum tidur.

Saat ayah masuk kamar mandi aku mengunci pintu kamar dan mengantongi kuncinya rasain kamu tante ulat bule enggak bakalan ayahku bisa keluar lagi dari sini.

Kuraih ponsel di atas meja rias ibu. Kupandangi wajah cantik ibu. Mata bulatnya dihiasi bulu mata lentik meski tanpa maskara, bibir tipisnya, hidung mancungnya, sungguh mirip denganku.

[Selamat tidur, Sayangnya Ibu. I love you.] kubaca lagi pesan terakhir ibu sewaktu aku study tour.

Aku terisak membaca pesan-pesan ibu. Sungguh aku tidak menyangka ibu akan pergi untuk selamanya secepat ini.

“Sssttt ... anak ayah kenapa menangis, nanti cantiknya ilang kalau nangis malam-malam,” ucap ayah. Beliau sudah duduk di sebelahku.

“Aku ingat Ibu. Tidak menyangka Ibu akan pergi secepat ini, Yah. Padahal Ibu orang baik, lembut, penyayang.”

“Sudah takdir Tuhan, Nak. Kamu tidak boleh begitu,” tutur ayah.

“Iya, Ayah benar. Mungkin Tuhan tidak rela Ibu menderita makanya Ibu pergi lebih cepat, semoga Ibu mendapatkan tempat terbaik dan diampuni segala dosanya.” Ayah memelukku. Bisa kudengar jantung ayah berdegup kencang setiap aku mengucapkan kata ibu. Aku tahu ayah pasti merasa bersalah.

“Sudah, jangan sedih terus. Tidur, yuk! Besok kan, harus sekolah,” bujuk ayah. 

Kami beranjak tidur. Ayah tidur di sebelah kanan Aldi dan aku tidur di sebelah kiri Aldi.

Aku pura-pura memejamkan mata, kuintip ayah dari balik gulingku. Beliau menatap langit-langit kamar sesekali menghela nafas berat. Lalu menatap kami berdua.

Aku hampir terlelap saat ponsel ayah berdering. Volumenya yang sangat kuat membuat ayah kaget. Sebenarnya tadi aku yang menambah volumenya sampai full sewaktu ayah di kamar mandi. Jadi jika tante ulat bulu telepon aku bisa dengar dan pura-pura kaget.

“Ayah, siapa yang telepon malam-malam begini? Aku kaget, Yah,” rajukku.

“Oh, ini. Enggak tahu. Ayah juga kaget,” jawab ayah ekspresinya lucu sekali.

“Non aktifkan aja, Yah. Nanti aku enggak bisa tidur kalau ada yang telepon lagi.” Ayah menurut saja. Lalu kami melanjutkan tidur kami. 

Kuintip ayah lagi, beliau sudah memejamkan matanya sambil memeluk Aldi. Aku sedikit tenang dan akhirnya aku pun memejamkan mata.

Sebentar lagi azan Subuh seperti biasa Aldi sudah bangun dan rapi hendak pergi ke Masjid. Kubangunkan Ayah, karena susah bangun Aldi menercikkan air ke wajah ayah.

“Aldi!” Ayah tampak marah, tapi sedetik kemudian berusaha meredamnya.

“Ayah masih ngantuk, Nak. Ada apa bangunin Ayah?”

“Sudah hampir Subuh, Yah. Ayo, cepat kita ke Masjid!” jawab Aldi sambil menunjuk jam dinding.

“Ayah, salat di rumah saja nanti.”

“Enggk bisa, laki-laki harus salat di Masjid kalau di rumah salatnya pakai mukena,” kata Aldi lagi sambil menarik-narik lengan ayah. Ajaib! Ayah mau beranjak ke kamar mandi dan mengambil air wudu.

Kesempatan ini aku gunakan untuk mengembalikan lagi kunci pintu yang semalam aku bawa tidur. Akhirnya aku malam ini berhasil mencegah ayah bertemu dengan tante ulat bulu.

🌸🌸🌸🌸

“Hen, siapa sebenarnya perempuan semalam? Apa kamu sudah berniat menggantikan posisi anak Ibu di rumah ini?” tanya nenek. Kami semua sedang sarapan.

“Em ... eng—gak, Bu. Mana mungkin secepat ini. Aku sangat mencintai Tari,” jawab ayah berbohong.

Ayah aktingmu percuma karena anakmu ini sudah tahu kebusukan ayah.

“Tuan, ada tamu ingin bertemu dengan Tuan, apa boleh masuk?” tanya Pak Satpam.

“Siapa?” 

“Laki- laki tapi, saya lupa tanya namanya,” jawab Pak Satpam.

“Suruh tunggu, aku segera ke sana.” Ayah langsung menyusul pak Satpam ke depan.

 Karena aku penasaran jadi aku membuntuti ayah. Itu laki-laki pemilik mobil Jeep. Ada apa sebenarnya, mungkinkah ayah kenal? Terlihat perdebatan sengit antara ayah dan orang itu.

Pasti ayah kenal, kalau tidak kenal tidak akan begitu.

“Siapa, Yah?” tanyaku pada ayah beliau buru-buru masuk rumah sedang orang itu terlihat menendang pintu pagar.

“Biasa teman Ayah pagi-pagi cari masalah. Sudah, ya, Ayah berangkat kerja dulu,” pamit ayah. 

“Adi, itu jemputannya sudah datang. Buruan!” teriakku. Aldi ke luar rumah di dampingi Mbok.

Aku juga gegas ke kamar mengambil tas dan merapikan jilbab. Aku ingat hari ini harus mengumpulkan rapor sedang aku lupa menyimpannya di mana.

“Mbok! Tahu raporku enggak?” teriakku pada wanita yang sudah mengurusku sejak kecil.

Tergopoh-gopoh mbok masuk kamarku. 

“Rapor itu buku hasil belajar bukan, Non?” Duh, pakai tanya segala mbok ini.

“Iya, Mbok! Ih, bikin kesel deh. Ayo, cepetan bantuin cari udah siang ini nanti aku telat!" titahku.

“Sebentar, Non.” Bukannya ikut cari mbok malah kabur keluar.

Aku ingat betul rapor itu aku taruh di sini di rak buku besar kenapa tidak ada siapa yang memindahkan kalau bukan mbok, karena hanya beliau lah di rumah ini  yang rajin beberes setelah ibu.

“Ini, Non. Ada di lemari Mbok, waktu itu Nyonya yang menitipkannya,” ucap mbok sambil memberikan raporku. Aneh rapor aja harus si mbok yang simpan. 

“Ya, sudah, makasih ya, Mbok. Aku berangkat dulu.” Kucium tangan mbok lalu beranjak keluar.

Sudah sampai pintu pagar aku harus kembali lagi, raporku belum ditanda tangani. Mana ayah sudah berangkat kerja. Masa Nenek yang tanda tangan nanti jelek.

Kubuka raporku kembali mencoba meniru tanda tangan ibu karena beliaulah yang selalu tanda tangan raporku dari kecil.

Ada lipatan kertas terselip di raporku. Segera kubuka dan kubaca.

Surat perjanjian. Baru membaca atasnya saja langsung kulipat lagi kertas itu dan kumasukkan ke dalam tas. Apa ini yang dicari ayah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KARMA PERSELINGKUHAN AYAH    BAB 189. TAMAT. Pelabuhan hati.

    Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta

  • KARMA PERSELINGKUHAN AYAH    BAB 188. Meyakinkanku.

    “Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya

  • KARMA PERSELINGKUHAN AYAH    BAB 187. Bukan laki-laki baik.

    “Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya

  • KARMA PERSELINGKUHAN AYAH    BAB 186. Ekstra Part. Pertemuan tak terduga.

    Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t

  • KARMA PERSELINGKUHAN AYAH    BAB 185. Tamat.

    POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo

  • KARMA PERSELINGKUHAN AYAH    BAB 184. Mustahil Angga tidak tahu.

    POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status