Share

BAB 8 Surat perjanjian.

Prek! 

Kulempar aqua gelas tepat di bawah kaki wanita itu. Kakinya basah terkena cipratan airnya. Dia kaget begitu juga dengan ayah. Senyumnya yang semula mengembang langsung hilang.

 Oma terlihat sangat marah padaku sedang nenek merasa tidak enak dan hendak membawaku beranjak dari sini. Kutolak mentah-mentah ajakan nenek lalu kulanjutkan makanku. Marah juga perlu tenaga aku harus makan banyak untuk melawan perempuan luknut itu.

“Aldi, mau nambah enggak?”

“Enggak, Kak. Cukup, aku sudah kenyang.”

“Ya, sudah. Ayo, kita masuk kamar! Sikat gigi, wudu lalu tidur.” Aldi menurut saja. Aku cepat-cepat menyelesaikan ritualku dan keluar lagi menemui ayah.

Mereka sedang asyik ngobrol dan tampak akrab seperti sudah kenal lama. Perempuan luknut itu sesekali melirik pada ayah dengan senyuman genitnya. Aku bergidik ngeri melihatnya. Ternyata ada di dunia nyata wanita seperti itu.

“Ayah, ayo tidur! Ini sudah malam besok aku harus sekolah,” ajakku dengan gaya bicara yang manja seperti gadis-gadis Korea yang ada di film. 

Perempuan itu langsung memasang wajah masam. Ayah sepertinya bingung harus memilih siapa. Ayah memberi kode lewat gerakan tangannya. Dikiranya aku tidak tahu, dasar ulat bulu.

“Betul, Hen. Besok Alya harus sekolah. Temanilah sebentar,” ucap Nenek. Sepertinya Nenek mengerti aku tidak nyaman dengan perempuan itu.

“I—iya, Bu,” jawab ayah kikuk.

“Oh, iya, tadi Ayah bilang Tante ini teman, Ibu. Benarkah?” tanyaku penasaran.

“Anin, nama Tante, Anin,” katanya penuh percaya diri. Dia mengulurkan tangannya padaku.

“Tante, beneran temannya Ibu?” tanyaku lagi. Aku tidak mau menerima uluran tangannya. Terserah apa kata orang, dibilang tidak sopan pun aku tidak peduli. Andai mereka di posisiku pasti akan sama sepertiku tidak sudi untuk bersentuhan dengan wanita yang sudah merusak rumah tangga orang tuanya.

“Em ... iya, Tante ini teman ibumu, Sayang,” jawabnya kaku sambil menyelipkan anak rambutnya ke belakang kuping.

“Masa sih? Kalau teman Ibu harusnya sudah tahu dong, malam ini tahlilan tiga hari meninggalnya Ibu. Tante aja ke sini pakai baju kurang bahan gitu, paha diumbar ke mana-mana gratisan kalah dong sama paha ayam. Paha ayam aja harganya mahal. Lagi pula teman-teman Ibu enggak ada yang seperti Tante. Mereka semua berhijab dan make up-nya enggak menor macam biduan gini,” kataku panjang lebar. Kutatap mata perempuan itu. Dia tidak berani menatapku justru melihat ke arah ayah sebagai wujud protesnya.

“Eh, iya, benar juga yang dibilang Alya. Tante Tari itu enggak punya teman model begini,” sahut Nindi, tumben itu anak otaknya jernih  Tante Devi dan yang lain manggut-manggut lalu kompakan menatap ayah. Ayah salah tingkah lalu mengajakku masuk kamar.

“Sayang, tidur yuk, sudah malam!” ajak ayah.

“Ok, yuk!” Kugandeng lengah ayah dengan manja.

Di kamar Aldi sudah tidur pulas, aku menyuruh ayah untuk bersih-bersih badan dan wudu sebelum tidur.

Saat ayah masuk kamar mandi aku mengunci pintu kamar dan mengantongi kuncinya rasain kamu tante ulat bule enggak bakalan ayahku bisa keluar lagi dari sini.

Kuraih ponsel di atas meja rias ibu. Kupandangi wajah cantik ibu. Mata bulatnya dihiasi bulu mata lentik meski tanpa maskara, bibir tipisnya, hidung mancungnya, sungguh mirip denganku.

[Selamat tidur, Sayangnya Ibu. I love you.] kubaca lagi pesan terakhir ibu sewaktu aku study tour.

Aku terisak membaca pesan-pesan ibu. Sungguh aku tidak menyangka ibu akan pergi untuk selamanya secepat ini.

“Sssttt ... anak ayah kenapa menangis, nanti cantiknya ilang kalau nangis malam-malam,” ucap ayah. Beliau sudah duduk di sebelahku.

“Aku ingat Ibu. Tidak menyangka Ibu akan pergi secepat ini, Yah. Padahal Ibu orang baik, lembut, penyayang.”

“Sudah takdir Tuhan, Nak. Kamu tidak boleh begitu,” tutur ayah.

“Iya, Ayah benar. Mungkin Tuhan tidak rela Ibu menderita makanya Ibu pergi lebih cepat, semoga Ibu mendapatkan tempat terbaik dan diampuni segala dosanya.” Ayah memelukku. Bisa kudengar jantung ayah berdegup kencang setiap aku mengucapkan kata ibu. Aku tahu ayah pasti merasa bersalah.

“Sudah, jangan sedih terus. Tidur, yuk! Besok kan, harus sekolah,” bujuk ayah. 

Kami beranjak tidur. Ayah tidur di sebelah kanan Aldi dan aku tidur di sebelah kiri Aldi.

Aku pura-pura memejamkan mata, kuintip ayah dari balik gulingku. Beliau menatap langit-langit kamar sesekali menghela nafas berat. Lalu menatap kami berdua.

Aku hampir terlelap saat ponsel ayah berdering. Volumenya yang sangat kuat membuat ayah kaget. Sebenarnya tadi aku yang menambah volumenya sampai full sewaktu ayah di kamar mandi. Jadi jika tante ulat bulu telepon aku bisa dengar dan pura-pura kaget.

“Ayah, siapa yang telepon malam-malam begini? Aku kaget, Yah,” rajukku.

“Oh, ini. Enggak tahu. Ayah juga kaget,” jawab ayah ekspresinya lucu sekali.

“Non aktifkan aja, Yah. Nanti aku enggak bisa tidur kalau ada yang telepon lagi.” Ayah menurut saja. Lalu kami melanjutkan tidur kami. 

Kuintip ayah lagi, beliau sudah memejamkan matanya sambil memeluk Aldi. Aku sedikit tenang dan akhirnya aku pun memejamkan mata.

Sebentar lagi azan Subuh seperti biasa Aldi sudah bangun dan rapi hendak pergi ke Masjid. Kubangunkan Ayah, karena susah bangun Aldi menercikkan air ke wajah ayah.

“Aldi!” Ayah tampak marah, tapi sedetik kemudian berusaha meredamnya.

“Ayah masih ngantuk, Nak. Ada apa bangunin Ayah?”

“Sudah hampir Subuh, Yah. Ayo, cepat kita ke Masjid!” jawab Aldi sambil menunjuk jam dinding.

“Ayah, salat di rumah saja nanti.”

“Enggk bisa, laki-laki harus salat di Masjid kalau di rumah salatnya pakai mukena,” kata Aldi lagi sambil menarik-narik lengan ayah. Ajaib! Ayah mau beranjak ke kamar mandi dan mengambil air wudu.

Kesempatan ini aku gunakan untuk mengembalikan lagi kunci pintu yang semalam aku bawa tidur. Akhirnya aku malam ini berhasil mencegah ayah bertemu dengan tante ulat bulu.

🌸🌸🌸🌸

“Hen, siapa sebenarnya perempuan semalam? Apa kamu sudah berniat menggantikan posisi anak Ibu di rumah ini?” tanya nenek. Kami semua sedang sarapan.

“Em ... eng—gak, Bu. Mana mungkin secepat ini. Aku sangat mencintai Tari,” jawab ayah berbohong.

Ayah aktingmu percuma karena anakmu ini sudah tahu kebusukan ayah.

“Tuan, ada tamu ingin bertemu dengan Tuan, apa boleh masuk?” tanya Pak Satpam.

“Siapa?” 

“Laki- laki tapi, saya lupa tanya namanya,” jawab Pak Satpam.

“Suruh tunggu, aku segera ke sana.” Ayah langsung menyusul pak Satpam ke depan.

 Karena aku penasaran jadi aku membuntuti ayah. Itu laki-laki pemilik mobil Jeep. Ada apa sebenarnya, mungkinkah ayah kenal? Terlihat perdebatan sengit antara ayah dan orang itu.

Pasti ayah kenal, kalau tidak kenal tidak akan begitu.

“Siapa, Yah?” tanyaku pada ayah beliau buru-buru masuk rumah sedang orang itu terlihat menendang pintu pagar.

“Biasa teman Ayah pagi-pagi cari masalah. Sudah, ya, Ayah berangkat kerja dulu,” pamit ayah. 

“Adi, itu jemputannya sudah datang. Buruan!” teriakku. Aldi ke luar rumah di dampingi Mbok.

Aku juga gegas ke kamar mengambil tas dan merapikan jilbab. Aku ingat hari ini harus mengumpulkan rapor sedang aku lupa menyimpannya di mana.

“Mbok! Tahu raporku enggak?” teriakku pada wanita yang sudah mengurusku sejak kecil.

Tergopoh-gopoh mbok masuk kamarku. 

“Rapor itu buku hasil belajar bukan, Non?” Duh, pakai tanya segala mbok ini.

“Iya, Mbok! Ih, bikin kesel deh. Ayo, cepetan bantuin cari udah siang ini nanti aku telat!" titahku.

“Sebentar, Non.” Bukannya ikut cari mbok malah kabur keluar.

Aku ingat betul rapor itu aku taruh di sini di rak buku besar kenapa tidak ada siapa yang memindahkan kalau bukan mbok, karena hanya beliau lah di rumah ini  yang rajin beberes setelah ibu.

“Ini, Non. Ada di lemari Mbok, waktu itu Nyonya yang menitipkannya,” ucap mbok sambil memberikan raporku. Aneh rapor aja harus si mbok yang simpan. 

“Ya, sudah, makasih ya, Mbok. Aku berangkat dulu.” Kucium tangan mbok lalu beranjak keluar.

Sudah sampai pintu pagar aku harus kembali lagi, raporku belum ditanda tangani. Mana ayah sudah berangkat kerja. Masa Nenek yang tanda tangan nanti jelek.

Kubuka raporku kembali mencoba meniru tanda tangan ibu karena beliaulah yang selalu tanda tangan raporku dari kecil.

Ada lipatan kertas terselip di raporku. Segera kubuka dan kubaca.

Surat perjanjian. Baru membaca atasnya saja langsung kulipat lagi kertas itu dan kumasukkan ke dalam tas. Apa ini yang dicari ayah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status