“Nenek, malam ini yang datang ke rumah untuk yasinan anak-anak panti dekat kompleks perumahan kita, kan?” tanyaku sengaja mengalihkan perhatian ayah.
“Iya, benar, nanti habis Maghrib nasi kotaknya dikirim sama pihak kateringnya,” sahut Tante Eni.
“Makasih ya, Tan, sudah bantuin aku sama Ayah,” kataku tulus. Andai tidak ada Tante Eni entah bagaimana nasib ibuku.
“Sudah menjadi kewajiban Tante sebagai Adik. Kamu jangan sungkan ya, Sayang,” jawab Tante Eni. Aku dan ayah kompak mengangguk.
Begitu turun dari mobil ayah langsung lari ke pintu pagar sepertinya sangat tergesa-gesa kemudian melihat ke kanan dan kiri seperti orang mau menyebrang jalan.
“Ayah! Ada apa si?” tanyaku sedikit berteriak karena jarak kami lumayan jauh. Ayah melambaikan tangan memberi tanda semua ok, tapi aku tidak percaya begitu saja. Aku jadi semakin yakin orang yang tadi ngobrol dengan Bude Siti kenal dengan ayah.
Di dalam ternyata sudah ada keluarga dari pihak ayah, ada Tante Devi beserta keluarganya oma, opa dan Om Rudi. Tante Eni dan nenek sudah beramah tamah dan gabung ngobrol dengan mereka bahkan Aldi sudah di pangkuan Oma.
Aku sebenarnya malas melihat mereka yang bermuka dua. Kemarin mereka ke sini sangat sebentar ini tiba-tiba datang lagi pasti karena dengar kabar ayahku sudah pulang. Aku masih berdiri memperhatikan mereka satu per satu. Ayah memegang pundakku dan mengajakku ikut gabung.
Ayah menyalami oma, opa dan yang lainnya. Aku hanya diam memperhatikan. Ayah sepertinya kaget dengan perubahan sikapku yang cuek.
“Nak, sini, salim dulu sama Opa,” ajak ayah, beliau dudu di dekat opa.
“Aku capek Yah, mau istirahat,” jawabku.
“Eh, Alya, kamu kok gitu si, sama orang tua enggak sopan banget!” sahut Nindi anak Tante Devi.
“Suka-suka aku dong, kemarin kalian saja ke sini cuma sebentar enggak ikut doakan Ibu, enggak ikut mengantar ke pemakaman ibuku. Kenapa hari ini kalian tiba-tiba datang ke sini lagi? Apa karena tahu ayahku sudah pulang? Aku bakalan hormat dengan orang yang baik dan menghormatiku juga,” teriakku kesal.
Mereka semua terperangah tak percaya dengan sikapku yang berubah. Nindi yang Tandi membentakku pun langsung menundukkan wajahnya.
“Asal Ayah tahu, ya, itulah sifat keluarga Ayah. Jangan sampai aku punya Ayah bermuka dua seperti mereka!” kataku penuh penekanan. Ayah kaget kemudian dia berusaha menenangkanku.
“Ayah percaya padamu, Sayang. Biar Ayah yang bicara pada mereka. Ayah pun tidak terima dengan kelakuan mereka,” jawab ayah. Mereka semua terkejut dan Oma berdecak kesal.
“Kami kemarin buru-buru Sayang, karena Oma harus cek up ke RS. Maafin Oma, ya? Sini sama Oma peluk Oma,” papar omaku sok baik hati. Bukannya meraih uluran tangan Oma aku justru pergi ke kamarku.
“Alya! Sayang, Nak?” panggil ayah. Kuhiraukan saja. Rasanya hatiku masih dongkol. Bisa-bisanya mereka bersikap begitu mereka pikir aku ini anak kecil yang bisa dibohongi. Kukunci kamar, ambil ponsel ibu. Kuaktifkan WiFi-nya ada banyak panggilan tak terjawab dari nomor yang mengajak ibu bertemu.
[Kamu sudah siap kan, Sayang? Aku on the way. Aku tidak sabar mau lihat kamu pakai baju yang aku kirim kemarin.] Dikirim tadi waktu kami ada di makam.
[Sayang aku sudah ada di depan rumahmu.] Dilengkapi dengan foto halaman rumah kami. Di foto yang dikirimkannya juga terlihat jelas bunga papan ucapan bela sungkawa atas meninggalnya ibu. Apa orang ini tidak tahu.
Kuklik lagi nomornya, tapi sudah diblokir. Aku salin nomornya di ponselku siapa tahu suatu saat aku membutuhkannya.
Kupandangi baju lingerie yang kutaruh asal begitu saja di meja belajarku. Benarkah baju itu untuk ibu? Tapi, semua bukti yang kutemui mengarah ke sana. Apa lelaki tadi kenal begitu dekat dengan ibu sampai ayah pun tadi ketika melihat laki-laki itu tampak terkejut.
Jika memang benar ibu kenal dekat dengan lelaki itu dan mereka sampai mempunyai hubungan spesial lalu apa bedanya dengan ayah, bukankah itu artinya mereka sama-sama berkhianat?
Aku harus bicara pada siapa masalah ini? Saat ini tidak ada satu pun orang yang kupercaya di rumah ini. Jika aku sendiri apa aku akan kuat dan bisa. Aku benar-benar dilema.
🌸🌸🌸
Aku sedang membantu nenek dan Tante Eni mengatur nasi kotak untuk anak-anak yatim yang akan berdoa untuk ibuku saat ayah menerima telepon diam-diam dan sedikit berlari masuk ke dalam kamar mandi dapur. Karena aku curiga segera kubuntuti ayah. Diam-diam menguping pembicaraan ayah.
“Baiklah, Nin. Aku usahakan nanti ke sana. Sudah dong, jangan merajuk gitu ... Alya sedang membutuhkanku saat ini. Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya.”
“Ngapain kamu!” tegur Nindi dia menepuk bahuku hingga aku menjerit karena terkejut.
“Mau ke toiletlah, kamu kira mau ke mana? Shopping?” jawabku ketus aku tidak mau Nindi tahu rencanaku.
Klek! Suara handle pintu terbuka lalu ayah ke luar.
“Kalian kenapa ada di sini ribut-ribut?” tanya ayah heran. Dia pasti sangat takut ketahuan.
“Ayah, kok, ikutan aneh kayak Nindi sih? Mau ke toilet dong, masa iya mau shopping?”
“Alasan aja itu Om, tadi aku lihat dia menempelkan kupingnya di pintu kamar mandi. Ah, pasti dia mau nguping atau ngintip 'tuh!” sahut Nindi.
“Ngintip kok ayah? Enggak keren banget! Mending aku ngintip oppa-oppa Korea." Mendengar jawabanku justru ayah tertawa terbahak-bahak dan membuat Nindi kesal lalu beranjak pergi.
“Memang di toilet kamu tidak bisa, Nak?” tanya ayah.
“Bisa, tapi kejauhan. Kan, aku lagi ikut bantuin Nenek di dapur, Yah?” kataku beralasan.
“Ya, sudah, Ayah ke depan dulu ya, Nak. Sebentar lagi Isya.” Kutatap punggung ayah yang semakin menjauh, jujur dari lubuk hatiku yang terdalam aku masih banyak berharap ini hanyalah mimpi.
“Al, kamarmu kok dikunci si?” teriak Nindi kesal dia berjalan ke arahku.
“Kenapa emang?”
“Ya, aku mau istirahat lah, pelit banget sih!” ucapnya lagi enggak tahu malu.
“Ada kamar tamu, kenapa harus di kamarku?” Kuberanjak menghampiri Aldi, dia seperti sedang mencari sesuatu.
“Dik, kamu kenapa?” Aldi tersentak kaget.
“Itu, Kak, Oma sama Tante Devi masuk ke kamar Ibu dan menyuruh aku keluar,” jawabnya sambil menunjuk kamar ibu.
Aku segera masuk kamar ibu dan mengusir mereka semua.
“Kamu itu tidak punya sopan santun ya! Orang tua lagi istirahat disuruh pergi!” bentak Oma bahkan dia menoyor kepalaku.
“Ini kamar pribadi ibuku, Oma kalau mau istirahat di kamar tamu aja. Lagi pula dari tadi Oma sama Tante Devi Cuma duduk-duduk doang, kok capek! Cepetan keluar!" teriakku kuat sekali sengaja agar mengundang perhatian ayah.
“Ih, apaan si, teriak-teriak gitu!” Oma menjewer kupingku sambil berlalu keluar.
Segera kukunci kamar ibu dan kembali bergabung dengan nenek.Ting!
Pesan dari Lusi.
Dia mengirimkan sebuah foto.
[Ayahmu ada di rumah kontrakan samping rumahku, Al] Kudownload foto yang dikirim Lusi, benar saja itu ayah masih menggunakan baju kokoknya. Pantas saja ayah tidak ikut berdoa bersama kukira beliau di teras luar bersama dengan Bapak-Bapak pengurus panti ternyata memang sengaja pergi.
Bersambung
Mendapat kiriman Vidio ayah dari Lusi membuatku kembali murka.Karena aku sangat kesal pada ayah kuputuskan untuk masuk kamar tidak jadi ikut makan bersama anak-anak panti, untungnya acara inti yaitu doa bersama sudah selesai. Kuajak Aldi, dia harus istirahat besok sudah mulai masuk sekolah.Kukunci kamar ibu sekarang hanya ada aku dan Aldi, panggilan nenek dan Tante Eni aku hiraukan. Biarlah mereka tahu bahwa aku sedang kecewa.“Kita tidur Dik, besok harus bangun pagi salat Subuh, dan bersiap ke sekolah. Aldi harus nurut sama Kakak karena sekarang sudah tidak ada Ibu lagi yang selalu menyiapkan keperluan kita,” kataku lembut takut Aldi tertekan karena tindakanku yang mengharuskan dia mandiri.“Baik, Kak. Aku akan nurut apa pun kata Kakak,” jawabnya sambil menoleh hidungku. Kami bersih-bersih badan, sikat gigi, wudu lalu kami tidur. Sebenarnya aku sendiri tidak bisa tidur, pikiranku kacau melayang ke mana-mana. Sekarang juga belum terlalu malam masih jam 21.00 WIB. Aldi sudah terle
Sekolah pun aku tidak fokus sampai ditegur guru beberapa kali bahkan mapel olahraga kepalaku sampai kena bola voli. Foto-foto itu, baju lingerie, dan juga pesan-pesan mesra itu masih terngiang memenuhi pikiranku. Apa yang harus aku lakukan. Aku bingung sekali.Aku mendapati kamar ibu sedikit terbuka padahal tadi sewaktu berangkat sekolah aku ingat betul sudah terkunci dan kuncinya pun masih ada padaku.Nenek dan Tante Eni masih di dapur, Aldi belum pulang. Kalau bukan ayah berarti keluarga ayah yang memaksa masuk.Kuintip ke dalam benar saja ayah sedang mencari sesuatu di lemari ibu. Baju ibu berserakan semua. Rak-rak buku perpustakaan mini ibu pun sangat berantakan semua buku jatuh berserakan di lantai.“Ayah?” panggilanku tidak terdengar hingga aku harus mencolek bahunya.“Yah, Ayah?”“Ya Tuhan! Alya! Bikin kaget saja,” teriak ayah beliau terlonjak kaget.“Ayah sedang cari apa? Kenapa kamar Ibu jadi berantakan begini?” tanyaku penasaran.“Ayah mencari berkas yang dibutuhkan di kant
Prek! Kulempar aqua gelas tepat di bawah kaki wanita itu. Kakinya basah terkena cipratan airnya. Dia kaget begitu juga dengan ayah. Senyumnya yang semula mengembang langsung hilang. Oma terlihat sangat marah padaku sedang nenek merasa tidak enak dan hendak membawaku beranjak dari sini. Kutolak mentah-mentah ajakan nenek lalu kulanjutkan makanku. Marah juga perlu tenaga aku harus makan banyak untuk melawan perempuan luknut itu.“Aldi, mau nambah enggak?”“Enggak, Kak. Cukup, aku sudah kenyang.”“Ya, sudah. Ayo, kita masuk kamar! Sikat gigi, wudu lalu tidur.” Aldi menurut saja. Aku cepat-cepat menyelesaikan ritualku dan keluar lagi menemui ayah.Mereka sedang asyik ngobrol dan tampak akrab seperti sudah kenal lama. Perempuan luknut itu sesekali melirik pada ayah dengan senyuman genitnya. Aku bergidik ngeri melihatnya. Ternyata ada di dunia nyata wanita seperti itu.“Ayah, ayo tidur! Ini sudah malam besok aku harus sekolah,” ajakku dengan gaya bicara yang manja seperti gadis-gadis Kore
🌸🌸🌸“Aaaww! Pakai mata dong! Main tabrak aja!” teriak Nindi, buku yang dibawanya berantakan semua. “Namanya juga buru-buru,” jawabku cuek. Dia menunduk memunguti bukunya.“Loh, Non, kok balik lagi?” tanya mbok.“Aku sakit perut, Mbok,” jawabku berbohong.“Apa perlu Mbok hubungi Dokter, Non?”“Enggak usah Mbok, aku mau BAB.” Aku lari masuk kamar.Kukunci pintu lalu kuambil lagi kertas perjanjian yang kulipat tadi.Ternyata ini surat perjanjian hutang piutang.Di sini dituliskan ayah sebagai pihak ke dua dan Pak Yadi sebagai pihak pertama.Poin pertama menyebutkan bahwa pihak pertama yaitu Pak Yadi meminjamkan sejumlah uang kepada pihak ke dua. Fantastis 750 Milyar. Aku sampai menghitung nolnya di belakang angka untuk memastikan jumlah yang kubaca tidak salah.Poin ke dua berisi tentang jaminan yang ayah berikan, yaitu sertifikat vila, perkebunan, rumah ini dan juga BPKB tiga mobil yang ayah punya.Poin ke tiga berisi pihak ke dua akan membayar hutang tersebut dengan cara dicicil se
🌸🌸🌸Aku bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Bingung dan pusing harus berbuat apa.Aku sangat sayang pada ibuku di satu sisi aku pun bingung harus mulai dari mana. Aku takut tindakan yang kulakukan salah dan akan mencelakaiku.Satu-satunya yang dimiliki ibu adalah aku rasanya tidak mungkin kalau aku abai. Aku pun tidak sudi wanita penggoda itu masuk ke dalam hidupku. Cukup ayah saja yang dihinggapi jangan sampai aku pun terkena racunnya.Aku harus menebus obat yang sudah diresepkan Dokter Fatma aku tidak mau orang-orang di rumah ini curiga padaku. Benar kata Dokter Fatma aku harus hati-hati aku tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Keluarga ini terlalu banyak drama dan bermuka dua.“Mau ke mana, Al. Kamu jalan kok sambil bengong gitu. Lagi mikirin apa sih?” tegur Tante Eni. Aku sudah sampai teras rumah, tapi pikiranku melalang buana.“Mau ke apotek, mau beli obat yang diresepkan dokter, tapi mau minta tolong aja sama Pak Satpam.”“Sini biar Tante aja yang beliin sekalian, Tante
Assalamualaikum my readers 🙏 semoga semuanya dalam keadaan sehat walafiat yaa ... jika ada yang bagus dari cerbung-cerbungku ambil hikmahnya jika tidak maka buang buruknya.Bantu follow akunku ya, like, coment, subs cerbungku, and share 🙏☺️🌸🌸🌸Aku berpikir sejenak. Masa sih, ayah tidak bisa membayar cicilan hutangnya. Apa ayah pernah mengalami kerugian besar? Seingatku ayah selalu menang tender dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sampai kakek selalu memuji kerja bagus ayah.Kubaca lagi poin ke dua, di sana tertulis pihak pertama meminta ibu sebagai jaminannya jika tidak maka ibu akan menjadi milik pihak pertama dan hutang dianggap lunas.Gila, ini si, human traffic dan korbannya adalah ibuku sendiri. Setega ini ayah demi uang rela menjual istrinya.Poin ke tiga berisi pernyataan bahwa tidak ada paksaan dari pihak mana pun. Dibubuhi tanda tangan ayah, orang yang bernama Pak Yadi dan terakhir tanda tangan ibu di atas materai dan dirangkap dua.Jika ini tidak ada paksaan dari
Assalamualaikum my readers, bantu follow akunku, yuk, biar aku makin tambah semangat nulisnya🙏☺️ Btw jika ada yang baik ambil hikmahnya dan buang buruknya.🌸🌸🌸🌸“Oma, meski aku anak kemarin sore, tapi aku tahu. Ingat ya, Oma, aku ini anak milenial apa pun aku tahu. Beda dengan zamannya Oma dulu, seusiaku mungkin sudah punya anak dan ganti suami dua kali.” Mendengar pernyataanku oma melotot dan menahan marah. Kan, makanya jangan aneh-aneh aku tahu kartu oma. Bahkan aku tahu kalau ayah dan Tante Devi bukan saudara kandung yang memberi tahuku tentu saja ibu dulu sewaktu masih hidup.“Lancang sekali mulutmu itu, Alya!” teriak oma. Kalau sekarang bukan hujan petir pasti semua orang rumah kaget dan terbangun dari mimpi indahnya.“Upps ... maaf ya, Oma. Aku hanya nebak aja kok, kan, rata-rata orang zaman dulu begitu. Senang gonta-ganti pasangan bahkan neneknya temanku nikah lima kali dan anaknya lima dari suami berbeda-beda.” Dada Oma naik turun nafasnya memburu jelas sekali tersinggung
Assalamualaikum everyone ❤️ terima kasih banyak atas supportnya. Bantu follow akunku, like, komen, subs semua cerbungku, and share🙏☺️Kalau ada baiknya ambil hikmahnya dan buang buruknya. Diksi yang aku pakai memang sangat sederhana ya, karena menyesuaikan umur anak SMA kelas X, tapi kalau inti cerita insya Allah benar-benar mengedepankan cerita untuk dikonsumsi oleh kalangan kita para oran tua.🌸🌸🌸 “Ayah?”“Alya, Ayah tidak suka kalau kamu lancang begitu!” tegur ayah.“Ayah, jahat banget password HP pakai diganti segala memang aku lancang bagaimana aku ini kan, anak Ayah? Satu lagi apa maksud Ayah minta aku hapus postingan foto tadi? Apa Ayah malu punya anak aku dan istri seperti Ibu?” kataku mengelak. Untungnya aku masih ingat akun ayah tadi menyuruhku menghapus foto postinganku.“Ayah ... em—itu mungkin salah kirim,” elaknya.“Masa? Ayah sudah mulai bohong, ya? Coba sini mana ponsel Ayah buruan buka,” ujarku sengaja memancing kepanikan ayah karena aku tahu yang mengirim pesan