Share

Bab 5 Pesan Romantis

Tidak mau membuat ayah curiga aku pun pura-pura tidak tahu kalau beliau terkejut.

“Nenek, malam ini yang datang ke rumah untuk yasinan anak-anak panti dekat kompleks perumahan kita, kan?” tanyaku sengaja mengalihkan perhatian ayah.

“Iya, benar, nanti habis Maghrib nasi kotaknya dikirim sama pihak kateringnya,” sahut Tante Eni.

“Makasih ya, Tan, sudah bantuin aku sama Ayah,” kataku tulus. Andai tidak ada Tante Eni entah bagaimana nasib ibuku.

“Sudah menjadi kewajiban Tante sebagai Adik. Kamu jangan sungkan ya, Sayang,” jawab Tante Eni.  Aku dan ayah kompak mengangguk.

Begitu turun dari mobil ayah langsung lari ke pintu pagar sepertinya sangat tergesa-gesa kemudian melihat ke kanan dan kiri seperti orang mau menyebrang jalan.

“Ayah! Ada apa si?” tanyaku sedikit berteriak karena jarak kami lumayan jauh. Ayah melambaikan tangan memberi tanda semua ok, tapi aku tidak percaya begitu saja. Aku jadi semakin yakin orang yang tadi ngobrol dengan Bude Siti kenal dengan ayah.

Di dalam ternyata sudah ada keluarga dari pihak ayah, ada Tante Devi beserta keluarganya oma, opa dan Om Rudi. Tante Eni dan nenek sudah beramah tamah dan gabung ngobrol dengan mereka bahkan Aldi sudah di pangkuan Oma.

Aku sebenarnya malas melihat mereka yang bermuka dua. Kemarin mereka ke sini sangat sebentar ini tiba-tiba datang lagi pasti karena dengar kabar ayahku sudah pulang. Aku masih berdiri memperhatikan mereka satu per satu. Ayah memegang pundakku dan mengajakku ikut gabung.

Ayah menyalami oma, opa dan yang lainnya. Aku hanya diam memperhatikan. Ayah sepertinya kaget dengan perubahan sikapku yang cuek.

“Nak, sini, salim dulu sama Opa,” ajak ayah, beliau dudu di dekat opa.

“Aku capek Yah, mau istirahat,” jawabku.

“Eh, Alya, kamu kok gitu si, sama orang tua enggak sopan banget!” sahut Nindi anak Tante Devi.

“Suka-suka aku dong, kemarin kalian saja ke sini cuma sebentar enggak ikut doakan Ibu, enggak ikut mengantar ke pemakaman ibuku. Kenapa hari ini kalian tiba-tiba datang ke sini lagi? Apa karena tahu ayahku sudah pulang? Aku bakalan hormat dengan orang yang baik dan menghormatiku juga,” teriakku kesal.

 Mereka semua terperangah tak percaya dengan sikapku yang berubah. Nindi yang Tandi membentakku pun langsung menundukkan wajahnya.

“Asal Ayah tahu, ya, itulah sifat keluarga Ayah. Jangan sampai aku punya Ayah bermuka dua seperti mereka!” kataku penuh penekanan. Ayah kaget kemudian dia berusaha menenangkanku.

“Ayah percaya padamu, Sayang. Biar Ayah yang bicara pada mereka. Ayah pun tidak terima dengan kelakuan mereka,” jawab ayah. Mereka semua terkejut dan Oma berdecak kesal.

“Kami kemarin buru-buru Sayang, karena Oma harus cek up ke RS. Maafin Oma, ya? Sini sama Oma peluk Oma,” papar omaku sok baik hati. Bukannya meraih uluran tangan Oma aku justru pergi ke kamarku.

“Alya! Sayang, Nak?” panggil ayah. Kuhiraukan saja. Rasanya hatiku masih dongkol. Bisa-bisanya mereka bersikap begitu mereka pikir aku ini anak kecil yang bisa dibohongi. Kukunci kamar, ambil ponsel ibu. Kuaktifkan WiFi-nya ada banyak panggilan tak terjawab dari nomor yang mengajak ibu bertemu.

[Kamu sudah siap kan, Sayang? Aku on the way. Aku tidak sabar mau lihat kamu pakai baju yang aku kirim kemarin.] Dikirim tadi waktu kami ada di makam.

[Sayang aku sudah ada di depan rumahmu.] Dilengkapi dengan foto halaman rumah kami. Di foto yang dikirimkannya juga terlihat jelas bunga papan ucapan bela sungkawa atas meninggalnya ibu. Apa orang ini tidak tahu.

Kuklik lagi nomornya, tapi sudah diblokir. Aku salin nomornya di ponselku siapa tahu suatu saat aku membutuhkannya.

Kupandangi baju lingerie yang kutaruh asal begitu saja di meja belajarku. Benarkah baju itu untuk ibu? Tapi, semua bukti yang kutemui mengarah ke sana. Apa lelaki tadi kenal begitu dekat dengan ibu sampai ayah pun tadi ketika melihat laki-laki itu tampak terkejut.

Jika memang benar ibu kenal dekat dengan lelaki itu dan mereka sampai mempunyai hubungan spesial lalu apa bedanya dengan ayah, bukankah itu artinya mereka sama-sama berkhianat?

Aku harus bicara pada siapa masalah ini? Saat ini tidak ada satu pun orang yang kupercaya di rumah ini. Jika aku sendiri apa aku akan kuat dan bisa. Aku benar-benar dilema.

🌸🌸🌸

Aku sedang membantu nenek dan Tante Eni mengatur nasi kotak untuk anak-anak yatim yang akan berdoa untuk ibuku saat ayah menerima telepon diam-diam dan sedikit berlari masuk ke dalam kamar mandi dapur. Karena aku curiga segera kubuntuti ayah. Diam-diam menguping pembicaraan ayah.

“Baiklah, Nin. Aku usahakan nanti ke sana. Sudah dong, jangan merajuk gitu ... Alya sedang membutuhkanku saat ini. Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya.” 

“Ngapain kamu!” tegur Nindi dia menepuk bahuku hingga aku menjerit karena terkejut.

“Mau ke toiletlah, kamu kira mau ke mana? Shopping?” jawabku ketus aku tidak mau Nindi tahu rencanaku.

Klek! Suara handle pintu terbuka lalu ayah ke luar.

“Kalian kenapa ada di sini ribut-ribut?” tanya ayah heran. Dia pasti sangat takut ketahuan.

“Ayah, kok, ikutan aneh kayak Nindi sih? Mau ke toilet dong, masa iya mau shopping?” 

“Alasan aja itu Om, tadi aku lihat dia menempelkan kupingnya di pintu kamar mandi. Ah, pasti dia mau nguping atau ngintip 'tuh!” sahut Nindi.

“Ngintip kok ayah? Enggak keren banget! Mending aku ngintip oppa-oppa Korea." Mendengar jawabanku justru ayah tertawa terbahak-bahak dan membuat Nindi kesal lalu beranjak pergi.

“Memang di toilet kamu tidak bisa, Nak?” tanya ayah.

“Bisa, tapi kejauhan. Kan, aku lagi ikut bantuin Nenek di dapur, Yah?” kataku beralasan. 

“Ya, sudah, Ayah ke depan dulu ya, Nak. Sebentar lagi Isya.” Kutatap punggung ayah yang semakin menjauh, jujur dari lubuk hatiku yang terdalam aku masih banyak berharap ini hanyalah mimpi.

“Al, kamarmu kok dikunci si?” teriak Nindi kesal dia berjalan ke arahku.

“Kenapa emang?” 

“Ya, aku mau istirahat lah, pelit banget sih!” ucapnya lagi enggak tahu malu.

“Ada kamar tamu, kenapa harus di kamarku?” Kuberanjak menghampiri Aldi, dia seperti sedang mencari sesuatu.

“Dik, kamu kenapa?” Aldi tersentak kaget.

“Itu, Kak, Oma sama Tante Devi masuk ke kamar Ibu dan menyuruh aku keluar,” jawabnya sambil menunjuk kamar ibu. 

Aku segera masuk kamar ibu dan mengusir mereka semua. 

“Kamu itu tidak punya sopan santun ya! Orang tua lagi istirahat disuruh pergi!” bentak Oma bahkan dia menoyor kepalaku.

“Ini kamar pribadi ibuku, Oma kalau mau istirahat di kamar tamu aja. Lagi pula dari tadi Oma sama Tante Devi Cuma duduk-duduk doang, kok capek! Cepetan keluar!" teriakku kuat sekali sengaja agar mengundang perhatian ayah.

“Ih, apaan si, teriak-teriak gitu!” Oma menjewer kupingku sambil berlalu keluar.

Segera kukunci kamar ibu dan kembali bergabung dengan nenek. 

Ting!

Pesan dari Lusi.

Dia mengirimkan sebuah foto.

[Ayahmu ada di rumah kontrakan samping rumahku, Al] Kudownload foto yang dikirim Lusi, benar saja itu ayah masih menggunakan baju kokoknya. Pantas saja ayah tidak ikut berdoa bersama kukira beliau di teras luar bersama dengan Bapak-Bapak pengurus panti ternyata memang sengaja pergi.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status