“Kak, dipanggil Nenek,” ucap Aldi, dia mengetuk-ngetuk pintu.
Kubuka pintu, melihat sekitar takut ada yang melihat.
“Aldi, sini dulu Dik.” Kutarik tangannya supaya masuk.“Ada apa Kak?” tanyanya bingung.
“Kamu sudah janji kan, untuk tidak memberi tahu benda pipih yang kemarin kamu temukan?” kataku mengingatkan Aldi agar tidak memberi tahu tentang test pack yang dia temukan.
“Aman, Kak. Aku akan jadi orang yang amanah,” jawabnya mantap.
Aku lega setidaknya aku bisa lebih dulu menyelidiki itu milik siapa. Pasalnya ibu selalu terbuka padaku apa lagi aku juga sangat menantikan hadirnya seorang adik.
Ibu sangat sulit hamil karena penyakit tumor jinak yang dideritanya setelah melahirkanku. Aldi sendiri sebenarnya bukan adik kandungku itu kenapa aku berjarak sangat jauh darinya.
Meskipun begitu, aku tetap sayang padanya. Ayah dan ibu juga tidak membedakan kasih sayang di antara kami.“Kok, Kakak malah bengong, sih?” ujar Aldi.
“Eh, iya. Kakak ngantuk, Dik. Tolong bilang Nenek suruh tunggu sebentar Kakak siap-siap dulu.” Aldi mengangguk lalu keluar.
Kukemasih paket yang baru saja aku buka, untungnya Aldi bukan anak yang kepo jadi dia cuek melihat ini semua apa lagi aku juga sering belanja online.
“Alya ... boleh Ayah masuk?”
“Masuk aja, Yah. Enggak dikunci.”
Ayah memperhatikanku sedang memakai jilbab aku masih tidak ingin berinteraksi dengan ayah. Hatiku masih kesal.
Ayah menarikku untuk duduk di sebelahnya, membelai lembut kepalaku lalu mencium keningku.
“Maafkan Ayah, Nak,” ucapnya lagi. Aku bergeming dan langsung berdiri.
“Sudah mendung aku takut nanti hujan deras lebih baik kita ke makam Ibu sekarang, Yah!" ajakku lalu berjalan mendahului ayah menuju mobil.
Sepanjang perjalanan hanya terdengar celotehan Aldi saja, yang ditanggapi oleh Tante Eni. Ayah pun diam membisu.
“Hendra, yang sabar, ya? Kita hidup memang penuh cobaan. Meskipun Tari sudah tidak ada kamu tetaplah menantu Ibu. Ayah dari cucu Ibu,” ucap nenek membesarkan hati ayah.
Duh, nenek, andai dirimu tahu apa yang dilakukan menantu kesayanganmu di luar sana pastilah nenek tidak akan sudi cucumu ini diasuh oleh tangannya.
“Alya, kamu boleh sedih dan marah, tapi jangan diam begitu pada ayahmu, kasihan kan, Ayah juga sedih kehilangan tulang rusuknya untuk selama-lamanya,” tutur nenek lembut sambil menjawil hidungku.
“Iya, Nek,” jawabku singkat. Ayah melirikku sekilas.
Sesampainya di makam ayah menangis histeris seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Tuluskah ayahku? Ah, rasanya aku tidak begitu yakin.
Baju ayah kotor terkena tanah merah kuburan. Sepertinya beliau tidak peduli, tangisannya makin lama makin menyayat hati. Hanya aku yang tidak ikut menangis, nenek, tante, Aldi, si mbok dan juga supir pun ikut menangis.
Tidak mau mengganggu suasana aku putuskan kembali ke mobil yang terparkir di bahu jalan tidak jauh dari pintu masuk pemakaman umum ini.
Berdiri bersandar di mobil dan membuka sosial media ibu lewat HP-ku. Tidak sulit bagiku untuk mengaksesnya karena aku tahu persis apa pun yang ibu buat jika harus menggunakan password pasti memakai tanggal dan tahun pernikahan yang dibalik. Sebegitu cintanya ibu pada ayah.
Friends list ibu tidak sampai ribuan rata-rata perempuan semua. Dari setiap postingan ibu pun tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Hanya akun semalam yang mengirimkan foto senonoh dan itu pun tidak berkawan dengan ibu.
Perkiraanku ada dua, kemungkinan pertama akun itu mata-mata yang dikirim ibu dan yang ke dua selingkuhan ayah yang sengaja mengirimkannya.
Kemungkinan pertama sudah pasti salah, karena foto-fotonya yang terekspos dalam akun itu sama persis dengan wanita yang tidak sengaja bertabrakan denganku dan foto yang dikirimkannya.
Aku yakin ini adalah kesengajaan dari wanita itu, mungkin agar ibu tahu kalau suaminya telah berbagi ranjang dengannya dan sengaja memanas-manasi ibu.
“Al, kenapa di sini?” tegur Tante Eni. Mereka semua rupanya sudah selesai.“Eh ... itu Te, aku enggak bisa kalau berlama-lama di sana aku takut tidak bisa kontrol diri seperti kemarin nanti kalau aku pingsan malah menyusahkan yang lain,” jawabku. Sebenarnya aku tidak kuat melihat drama ayah. Bagiku sekarang ayah adalah pembohong kelas kakap.
“Nenek tahu perasaanmu Sayang. Ya, sudah kita pulang yuk, sudah mau turun hujan. Kasihan juga ayahmu pasti lelah baru pulang kerja butuh istirahat,” ucap nenek. Aku menanggapi ucapan nenek dengan tertawa kecil, lucu sekali.
Lelah tentu saja apa lagi dari perjalanan jauh terus bersenang-senang dengan selingkuhannya, tapi bukan lelah karena pekerjaan.
Dalam perjalanan HP ayah terus saja berdering, tapi diabaikan aku yang duduk tepat di samping ayah merasa sangat terganggu.
“Angkat saja Mas, siapa tahu penting loh,” tegur Tante Eni.
“Ah, biarkan saja, En. Aku capek baru saja sampai ini yang telepon dari atasan mungkin hanya menanyakan sudah sampai atau belum,” jawab ayah gugup.
Ayah-ayah ... selain pandai berbohong ternyata pandai berakting juga.
“Ayah, malam ini aku ingin tidur bersama Ayah, ya?” Cepat-cepat aku utarakan keinginanku sebelum ayah mencari alasan lagi untuk pergi ke rumah selingkuhannya.
“Baik, Ayah juga rindu dengan putri Ayah ini, nanti malam kita tidur bertiga ya, sama Aldi juga,” jawab ayah.
“Aku tidak mau hanya nanti malam saja, Yah. Aku mau sampai 40 hari ke depan bertepatan dengan hari ke 40 ibu meninggal,” kataku lagi sambil terisak. Aku harus mendapat simpati ayah dengan begini aku lebih leluasa untuk menjauhkan ayah dari pelakor itu.
Ayah memang salah dan aku sangat benci padanya, tapi aku juga tidak ingin wanita itu menang karena berhasil mendapatkan ayah seutuhnya. Aku akan buat ayah dan wanita itu menyesal kemudian ayah bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Aku hanya anak kemarin sore dengan cara bermanja beginilah aku bisa merebut kembali ayahku. Semoga saja berhasil.
“Boleh saja bermanja pada ayahmu, Al, tapi ingat kamu sudah besar loh, malu ah. Ayah juga kan, punya kesibukan,” ucap nenek.
“Hanya 40 hari saja kok, Nek. Apa Nenek tega melihatku terus bersedih?” jawabku.
“Biar Bu, tidak apa-apa lagi pula wajar Alya begini, dia pasti sangat sedih ditinggal Tari. Aku juga senang Bu, bisa lebih dekat lagi dengan putriku,” sahut ayah.
Ketika mobil memasuk kompleks perumahanku ada sebuah mobil Jeep yang terparkir tidak jauh dari warung Bude Siti. Terlihat pria seumuran ayah sedang bercakap-cakap dengan Bude Siti. Secara bersamaan tak sengaja ayah menengok ke arah sana. Ekspresi ayah di luar dugaanku, beliau terlihat kaget dan matanya langsung beralih lagi lurus ke depan.
Bersambung
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak