Share

BAB 4 Mobil Jeep siapa?

Aku syok dan bingung. Salah kirimkah orang ini? Tapi, namanya jelas itu nama ibuku.

“Kak, dipanggil Nenek,” ucap Aldi, dia mengetuk-ngetuk pintu.

Kubuka pintu, melihat sekitar takut ada yang melihat.

“Aldi, sini dulu Dik.” Kutarik tangannya supaya masuk.

“Ada apa Kak?” tanyanya bingung.

“Kamu sudah janji kan, untuk tidak memberi tahu benda pipih yang kemarin kamu temukan?” kataku mengingatkan Aldi agar tidak memberi tahu tentang test pack yang dia temukan.

“Aman, Kak. Aku akan jadi orang yang amanah,” jawabnya mantap.

 Aku lega setidaknya aku bisa lebih dulu menyelidiki itu milik siapa. Pasalnya ibu selalu terbuka padaku apa lagi aku juga sangat menantikan hadirnya seorang adik.

 Ibu sangat sulit hamil karena penyakit tumor jinak yang dideritanya setelah melahirkanku. Aldi sendiri sebenarnya bukan adik kandungku itu kenapa aku berjarak sangat jauh darinya.

 Meskipun begitu, aku tetap sayang padanya. Ayah dan ibu juga tidak membedakan kasih sayang di antara kami. 

“Kok, Kakak malah bengong, sih?” ujar Aldi.

“Eh, iya. Kakak ngantuk, Dik. Tolong bilang Nenek suruh tunggu sebentar Kakak siap-siap dulu.” Aldi mengangguk lalu keluar.

Kukemasih paket yang baru saja aku buka, untungnya Aldi bukan anak yang kepo jadi dia cuek melihat ini semua apa lagi aku juga sering belanja online.

“Alya ... boleh Ayah masuk?”

“Masuk aja, Yah. Enggak dikunci.”

Ayah memperhatikanku sedang memakai jilbab aku masih tidak ingin  berinteraksi dengan ayah. Hatiku masih kesal.

Ayah menarikku untuk duduk di sebelahnya, membelai lembut kepalaku lalu mencium keningku. 

“Maafkan Ayah, Nak,” ucapnya lagi. Aku bergeming dan langsung berdiri.

“Sudah mendung aku takut nanti hujan deras lebih baik kita ke makam Ibu sekarang, Yah!" ajakku lalu berjalan mendahului ayah menuju mobil.

Sepanjang perjalanan hanya terdengar celotehan Aldi saja, yang ditanggapi oleh Tante Eni. Ayah pun diam membisu.

“Hendra, yang sabar, ya? Kita hidup memang penuh cobaan. Meskipun Tari sudah tidak ada kamu tetaplah menantu Ibu. Ayah dari cucu Ibu,” ucap nenek membesarkan hati ayah. 

Duh, nenek, andai dirimu tahu apa yang dilakukan menantu kesayanganmu di luar sana pastilah nenek tidak akan sudi cucumu ini diasuh oleh tangannya.

“Alya, kamu boleh sedih dan marah, tapi jangan diam begitu pada ayahmu, kasihan kan, Ayah juga sedih kehilangan tulang rusuknya untuk selama-lamanya,” tutur nenek lembut sambil menjawil hidungku.

“Iya, Nek,” jawabku singkat. Ayah melirikku sekilas.

Sesampainya di makam ayah menangis  histeris seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Tuluskah ayahku? Ah, rasanya aku tidak begitu yakin.

Baju ayah kotor terkena tanah merah kuburan. Sepertinya beliau tidak peduli, tangisannya makin lama makin menyayat hati. Hanya aku yang tidak ikut menangis, nenek, tante, Aldi, si mbok dan juga supir pun ikut menangis.

Tidak mau mengganggu suasana aku putuskan kembali ke mobil yang terparkir di bahu jalan tidak jauh dari pintu masuk pemakaman umum ini.

 Berdiri bersandar di mobil dan membuka sosial media ibu lewat HP-ku. Tidak sulit bagiku untuk mengaksesnya karena aku tahu persis apa pun yang ibu buat jika harus menggunakan password pasti memakai tanggal dan tahun pernikahan yang dibalik. Sebegitu cintanya ibu pada ayah.

Friends list ibu tidak sampai ribuan rata-rata perempuan semua. Dari setiap postingan ibu pun tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Hanya akun semalam yang mengirimkan foto senonoh dan itu pun tidak berkawan dengan ibu.

Perkiraanku ada dua, kemungkinan pertama akun itu mata-mata yang dikirim ibu dan yang ke dua selingkuhan ayah yang sengaja mengirimkannya.

Kemungkinan pertama sudah pasti salah, karena foto-fotonya yang terekspos dalam akun itu sama persis dengan wanita yang tidak sengaja bertabrakan denganku dan foto yang dikirimkannya. 

Aku yakin ini adalah kesengajaan dari wanita itu, mungkin agar ibu tahu kalau suaminya telah berbagi ranjang dengannya dan sengaja memanas-manasi ibu.

 

“Al, kenapa di sini?” tegur Tante Eni. Mereka semua rupanya sudah selesai. 

“Eh ... itu Te, aku enggak bisa kalau berlama-lama di sana aku takut tidak bisa kontrol diri seperti kemarin nanti kalau aku pingsan malah menyusahkan yang lain,” jawabku. Sebenarnya aku tidak kuat melihat drama ayah. Bagiku sekarang ayah adalah pembohong kelas kakap.

“Nenek tahu perasaanmu Sayang. Ya, sudah kita pulang yuk, sudah mau turun hujan. Kasihan juga ayahmu pasti lelah baru pulang kerja butuh istirahat,” ucap nenek. Aku menanggapi ucapan nenek dengan tertawa kecil, lucu sekali.

 Lelah tentu saja apa lagi dari perjalanan jauh terus bersenang-senang dengan selingkuhannya, tapi bukan lelah karena pekerjaan.

Dalam perjalanan HP ayah terus saja berdering, tapi diabaikan aku yang duduk tepat di samping ayah merasa sangat terganggu.

“Angkat saja Mas, siapa tahu penting loh,” tegur Tante Eni.

“Ah, biarkan saja, En. Aku capek baru saja sampai ini yang telepon dari atasan mungkin hanya menanyakan sudah sampai atau belum,” jawab ayah gugup.

Ayah-ayah ... selain pandai berbohong ternyata pandai berakting juga. 

“Ayah, malam ini aku ingin tidur bersama Ayah, ya?” Cepat-cepat aku utarakan keinginanku sebelum ayah mencari alasan lagi untuk pergi ke rumah selingkuhannya.

“Baik, Ayah juga rindu dengan putri Ayah ini, nanti malam kita tidur bertiga ya, sama Aldi juga,” jawab ayah.

“Aku tidak mau hanya nanti malam saja, Yah. Aku mau sampai 40 hari ke depan bertepatan dengan hari ke 40 ibu meninggal,” kataku lagi sambil terisak. Aku harus mendapat simpati ayah dengan begini aku lebih leluasa untuk menjauhkan ayah dari pelakor itu.

Ayah memang salah dan aku sangat benci padanya, tapi aku juga tidak ingin wanita itu menang karena berhasil mendapatkan ayah seutuhnya. Aku akan buat ayah dan wanita itu menyesal kemudian ayah bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. 

Aku hanya anak kemarin sore dengan cara bermanja beginilah aku bisa merebut kembali ayahku. Semoga saja berhasil.

“Boleh saja bermanja pada ayahmu, Al, tapi ingat kamu sudah besar loh, malu ah. Ayah juga kan, punya kesibukan,” ucap nenek.

“Hanya 40 hari saja kok, Nek. Apa Nenek tega melihatku terus bersedih?” jawabku.

“Biar Bu, tidak apa-apa lagi pula wajar Alya begini, dia pasti sangat sedih ditinggal Tari. Aku juga senang Bu, bisa lebih dekat lagi dengan putriku,” sahut ayah. 

Ketika mobil memasuk kompleks perumahanku ada sebuah mobil Jeep yang terparkir tidak jauh dari warung Bude Siti. Terlihat pria seumuran ayah sedang bercakap-cakap dengan Bude Siti. Secara bersamaan tak sengaja ayah menengok ke arah sana. Ekspresi ayah di luar dugaanku, beliau terlihat kaget dan matanya langsung beralih lagi lurus ke depan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status