Karena aku sangat kesal pada ayah kuputuskan untuk masuk kamar tidak jadi ikut makan bersama anak-anak panti, untungnya acara inti yaitu doa bersama sudah selesai.
Kuajak Aldi, dia harus istirahat besok sudah mulai masuk sekolah.
Kukunci kamar ibu sekarang hanya ada aku dan Aldi, panggilan nenek dan Tante Eni aku hiraukan. Biarlah mereka tahu bahwa aku sedang kecewa.
“Kita tidur Dik, besok harus bangun pagi salat Subuh, dan bersiap ke sekolah. Aldi harus nurut sama Kakak karena sekarang sudah tidak ada Ibu lagi yang selalu menyiapkan keperluan kita,” kataku lembut takut Aldi tertekan karena tindakanku yang mengharuskan dia mandiri.
“Baik, Kak. Aku akan nurut apa pun kata Kakak,” jawabnya sambil menoleh hidungku.
Kami bersih-bersih badan, sikat gigi, wudu lalu kami tidur. Sebenarnya aku sendiri tidak bisa tidur, pikiranku kacau melayang ke mana-mana.
Sekarang juga belum terlalu malam masih jam 21.00 WIB. Aldi sudah terlelap kuputuskan untuk mengambil baju ibu yang belum dicuci. Aku rindu ibu, dengan mencium baunya rindu itu sedikit terobati. Inilah rindu yang sangat menyiksa jiwa raga. Merindu pada orang yang kita cintai yang telah pergi untuk selamanya.
Kucium baju tidur terakhir yang dipakai ibu, sengaja aku melarang Mbok untuk mencucinya. Biarlah dikata jorok, tapi hanya dengan inilah aku merasa sedikit bahagia merasa ada ibu yang mendekapku.
Kubayangkan senyuman ibu, pelukan hangatnya dan juga omelan-omelannya. Rindu serindu-rindunya. Tak lupa kuhadiahkan surat Al-fatihah untuk ibu.
Setelah puas aku beranjak ke lemari ibu di sana tidak banyak baju yang ibu punya, karena ibu lebih memilih untuk berpenampilan sederhana padahal baju merek termahal pun ibu bisa beli. Kata ibu lebih baik uangnya ditabung dan sedekahkan pada orang yang lebih membutuhkan.
Ibuku yang hebat, cantik, terhormat dan dermawan masih juga dikhianati oleh ayah padahal wanita yang menjadi selingkuhan ayah bagaikan langit dan bumi dengan ibu.
Kuperiksa tas ibu satu per satu. Tas bermerk yang hanya terdiri dari beberapa saja. Sekali lagi ibu bahkan bisa beli tas dengan merk bagus dan edisi terbaru.
Kuperiksa tas selempang kecil ibu berwarna hitam yang sama dengan punya artis papan atas Nagita Slavina aku ingat itu tas hadiah dari ayah waktu ibu ulang tahun.
Kuperiksa ada dompet berisi beberapa lembaran merah uang ibu. Dan ada foto tangan, kaki, kening, kepala, lehar, perut, paha, dan pergelangan tangan.
Ini foto luka-luka lebam yang sengaja ibu kumpulkan.Sebenarnya bingung ini milik siapa, tapi dari tulisan dibalik foto-foto itu adalah tulisan tangan ibu. “Ini untuk saksi aku meminta keadilan di hadapan Allah.”
Iya, aku ingat ini kaki ibu karena memakai gelang emas yang sama persis dengan milikku. Lalu apa maksud dari ini semua? Mungkin ayah melakukan KDRT? Tapi, ayah tidak pernah sekalipun bertengkar dengan ibu. Siapa yang melakukan ini?
Kemarin saat aku ikut memandikan ibu pun melihat banyak keanehan pada jenazah ibu. Ada luka lebam di lengan atas, dada kiri dan juga pangkal paha. Aku kira itu lebam disebabkan karena sakit ibu.
Test pack itu pun sampai sekarang masih belum bisa kusimpulkan milik siapa. Kalau ibu hamil pastinya dokter yang menangani ibu akan mengatakannya. Jika pun tidak hamil, lalu itu test pack milik siapa?
Kusimpan baik-baik foto-foto ini takut jika ada yang menemukannya lalu menyalah gunakan.
Sedang asyik membongkar lemari seseorang mengetuk pintu kamar. Kulirik jam sudah tengah malam.“Alya, sudah tidur ya, Nak?” Suara ayah terdengar parau, tapi aku malas membuka.
“Sepertinya Alya, sudah tidur om. Tadi acara belum selesai dia langsung masuk kamar. Emang dasar itu anak Om enggak punya sopan santun, bukannya ikut berdoa malam ngabur ke kamar,” sahut Nindi dia pasti sedang mencari muka pada ayah.
Terdengar helaan nafas berat dari ayah, kemudian tidak terdengar apa-apa lagi mungkin mereka sudah pergi menjauh.
Kantuk mulai menyerang padahal aku belum selesai memeriksa lemari ibu. Akhirnya aku terlelap dengan memeluk foto dan baju ibu. Aku berharap bisa mimpi bertemu dengan ibu dan mendapatkan jawaban dari semua kebingunganku.
“Kak, bangun! Kakak!” teriak Aldi tepat di telingaku.
Aku terbangun gelagapan. Bajuku basah bukan karena keringat, tapi karena terkena siraman air minum oleh Aldi.
“Kakak ....” Aldi memelukku erat sekali.
“Baju Kakak basah, Dik.” Aku mencoba mengurai pelukam Aldi, tapi Aldi menolak.
“Aku takut Kakak meninggal juga seperti Ibu. Tadi Kakak mengigau dan dari tadi aku bangunin Kakak, tapi enggak bangun-bangun padahal sudah kusiram air minum segelas,” ungkapnya sampai menangis.
“Hei, enggak boleh bilang begitu ya, Dik. Kakak baik-baik saja kok.” Kubalas pelukan adik semata wayangku ini.
Aku tadi bermimpi ibu datang, tapi tidak berbicara apa pun hanya melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum manis. Jalannya mundur padahal aku lari mengejar, tapi tidak juga aku bisa menangkapnya.
“Kak, jangan tinggalin aku, ya?” ucap Aldi.
Kutanggapi dengan anggukan kepala.“Sudah Subuh, Dik. Ayo, kita salat dulu!” ajakku.
Setelah selesai bersiap-siap kami ke luar kamar, masih sepi tampak ayah terlelap di sofa depan.Nenek dan Tante Eni juga sudah siap sarapan. Jadilah kami sarapan berempat.“Nek, semalam Kakak tidur sambil menangis,” adu Aldi. Nenek yang juga seperti malas sarapan beliau menatapku lekat-lekat.“Kenapa, Al? Kalau ada masalah cerita sama Nenek, jangan disimpan sendiri,” ucap Nenek.
Tangan keriputnya lembut membelai wajahku.“Aku mimpi bertemu Ibu, Nek,” jawabku jujur.
“Sabar, ya, Sayang. Kita semua memang sangat kehilangan ibumu. Tante juga semalam mimpi bertemu Mbak Tari, dia tersenyum melambai-lambaikan tangannya,” ungkap Tante Eni. Aku terkejut kenapa mimpi kami bisa sama, tapi aku lebih memilih diam. Entah kenapa aku merasa untuk tidak menceritakan semuanya pada orang yang ada di rumah ini. Tante Eni baik, tapi aku belum ingin terbuka padanya entahlah mungkin nanti.
“Ibu bilang apa, Kak?” tanya Aldi.
“Enggak bilang apa pun Dik, hanya menemui Kakak, saja ....”
“Halah itu cuma kembang tidur enggak usah terlalu dipikirkan, orang yang sudah mati tidak akan pernah kembali apa lagi hadir dalam mimpi kita. Kamu itu kebanyakan berhalusinasi Al, makanya kalau mau tidur baca doa dulu!” sahut oma yang langsung duduk sarapan bersama kami.
Aku sangat kesal mendengar penuturan oma. Kubanting sendok makan ke lantai sebagai tanda protesku.
Tidak ada lagi yang bersuara, Aldi ketakutan lalu memeluk nenek. Aku pergi menyambar tas sekolahku. Aku sengaja hanya bersalaman dengan nenek dan Tante Eni.
Karena sekolahku dekat dari rumah jadi kuputuskan untuk jalan kaki saja bersama Yuda anak Bu RT. Kami terbiasa berangkat bersama.
Kutarik lengan Yuda, untuk bersembunyi di balik tembok rumahnya. Di depan jalan gang rumah kami ada mobil Jeep kemarin dan laki-laki kemarin dia seperti sedang mengawasi rumahku.
Itu adalah laki-laki yang mengirimi Ibu baju lingerie. Ada apa dia pagi-pagi ke sini.
“Ada apa Al, kok kamu ngajak aku bersembunyi?" protes Yuda.
“Ssstt! Di depan sana ada orang yang sedang ....”
“Oh, Om itu? Bukankah itu teman ibumu Al? Waktu itu aku pernah lihat ibumu bersama Om itu turun dari mobil Jeep itu,” terang Yuda.
Aku semakin bingung. Ada apa sebenarnya?
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni