Share

BAB 6 Foto yang Ibu simpan

Mendapat kiriman Vidio ayah dari Lusi membuatku kembali murka.

Karena aku sangat kesal pada ayah kuputuskan untuk masuk kamar tidak jadi ikut makan bersama anak-anak panti, untungnya acara inti yaitu doa bersama sudah selesai. 

Kuajak Aldi, dia harus istirahat besok sudah mulai masuk sekolah.

Kukunci kamar ibu sekarang hanya ada aku dan Aldi, panggilan nenek dan Tante Eni aku hiraukan. Biarlah mereka tahu bahwa aku sedang kecewa.

“Kita tidur Dik, besok harus bangun pagi salat Subuh, dan bersiap ke sekolah. Aldi harus nurut sama Kakak karena sekarang sudah tidak ada Ibu lagi yang selalu menyiapkan keperluan kita,” kataku lembut takut Aldi tertekan karena tindakanku yang mengharuskan dia mandiri.

“Baik, Kak. Aku akan nurut apa pun kata Kakak,” jawabnya sambil menoleh hidungku. 

Kami bersih-bersih badan, sikat gigi, wudu lalu kami tidur. Sebenarnya aku sendiri tidak bisa tidur, pikiranku kacau melayang ke mana-mana.

 Sekarang juga belum terlalu malam masih jam 21.00 WIB. Aldi sudah terlelap kuputuskan untuk mengambil baju ibu yang belum dicuci. Aku rindu ibu, dengan mencium baunya rindu itu sedikit terobati. Inilah rindu yang sangat menyiksa jiwa raga. Merindu pada orang yang kita cintai yang telah pergi untuk selamanya.

Kucium baju tidur terakhir yang dipakai ibu, sengaja aku melarang Mbok untuk mencucinya. Biarlah dikata jorok, tapi hanya dengan inilah aku merasa sedikit bahagia merasa ada ibu yang mendekapku.

Kubayangkan senyuman ibu, pelukan hangatnya dan juga omelan-omelannya. Rindu serindu-rindunya. Tak lupa kuhadiahkan surat Al-fatihah untuk ibu.

Setelah puas aku beranjak ke lemari ibu di sana tidak banyak baju yang ibu punya, karena ibu lebih memilih untuk berpenampilan sederhana padahal baju merek termahal pun ibu bisa beli. Kata ibu lebih baik uangnya ditabung dan sedekahkan pada orang yang lebih membutuhkan.

Ibuku yang hebat, cantik, terhormat dan dermawan masih juga dikhianati oleh ayah padahal wanita yang menjadi selingkuhan ayah bagaikan langit dan bumi dengan ibu.

Kuperiksa tas ibu satu per satu. Tas bermerk yang hanya terdiri dari beberapa saja. Sekali lagi ibu bahkan bisa beli tas dengan merk bagus dan edisi terbaru.

Kuperiksa tas selempang kecil ibu berwarna hitam yang sama dengan punya artis papan atas Nagita Slavina aku ingat itu tas hadiah dari ayah waktu ibu ulang tahun.

Kuperiksa ada dompet berisi beberapa lembaran merah uang ibu. Dan ada foto tangan, kaki, kening, kepala, lehar, perut, paha, dan pergelangan tangan.

Ini foto luka-luka lebam yang sengaja ibu kumpulkan. 

Sebenarnya bingung ini milik siapa, tapi dari tulisan dibalik foto-foto itu adalah tulisan tangan ibu. “Ini untuk saksi aku meminta keadilan di hadapan Allah.”

Iya, aku ingat ini kaki ibu karena memakai gelang emas yang sama persis dengan milikku. Lalu apa maksud dari ini semua? Mungkin ayah melakukan KDRT? Tapi, ayah tidak pernah sekalipun bertengkar dengan ibu. Siapa yang melakukan ini?

Kemarin saat aku ikut memandikan ibu pun melihat banyak keanehan pada jenazah ibu. Ada luka lebam di lengan atas, dada kiri dan juga pangkal paha. Aku kira itu lebam disebabkan karena sakit ibu.

Test pack itu pun sampai sekarang masih belum bisa kusimpulkan milik siapa. Kalau ibu hamil pastinya dokter yang menangani ibu akan mengatakannya. Jika pun tidak hamil, lalu itu test pack milik siapa?

Kusimpan baik-baik foto-foto ini takut jika ada yang menemukannya lalu menyalah gunakan.

Sedang asyik membongkar lemari seseorang mengetuk pintu kamar. Kulirik jam sudah tengah malam.

“Alya, sudah tidur ya, Nak?” Suara ayah terdengar parau, tapi aku malas membuka. 

“Sepertinya Alya, sudah tidur om. Tadi acara belum selesai dia langsung masuk kamar. Emang dasar itu anak Om enggak punya sopan santun, bukannya ikut berdoa malam ngabur ke kamar,” sahut Nindi dia pasti sedang mencari muka pada ayah.

Terdengar helaan nafas berat dari ayah, kemudian tidak terdengar apa-apa lagi  mungkin mereka sudah pergi menjauh.

Kantuk mulai menyerang padahal aku belum selesai memeriksa lemari ibu. Akhirnya aku terlelap dengan memeluk foto  dan baju ibu. Aku berharap bisa mimpi bertemu dengan ibu dan mendapatkan jawaban dari semua kebingunganku.

“Kak, bangun! Kakak!” teriak Aldi tepat di telingaku.

Aku terbangun gelagapan. Bajuku basah bukan karena keringat, tapi karena terkena siraman air minum oleh Aldi.

“Kakak ....” Aldi memelukku erat sekali.

“Baju Kakak basah, Dik.” Aku mencoba mengurai pelukam Aldi, tapi Aldi menolak.

“Aku takut Kakak meninggal juga seperti Ibu. Tadi Kakak mengigau dan dari tadi aku bangunin Kakak, tapi enggak bangun-bangun padahal sudah kusiram air minum segelas,” ungkapnya sampai menangis.

“Hei, enggak boleh bilang begitu ya, Dik. Kakak baik-baik saja kok.” Kubalas pelukan adik semata wayangku ini.

Aku tadi bermimpi ibu datang, tapi tidak berbicara apa pun hanya melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum manis. Jalannya mundur padahal aku lari mengejar, tapi tidak juga aku bisa menangkapnya.

“Kak, jangan tinggalin aku, ya?” ucap Aldi.

 Kutanggapi dengan anggukan kepala.

 “Sudah Subuh, Dik. Ayo, kita salat dulu!” ajakku.

Setelah selesai bersiap-siap kami ke luar kamar, masih sepi tampak ayah terlelap di sofa depan.

Nenek dan Tante Eni juga sudah siap sarapan.

 Jadilah kami sarapan berempat.

“Nek, semalam Kakak tidur sambil menangis,” adu Aldi. Nenek yang juga seperti malas sarapan beliau menatapku lekat-lekat.

“Kenapa, Al? Kalau ada masalah cerita sama Nenek, jangan disimpan sendiri,” ucap Nenek.

 Tangan keriputnya lembut membelai wajahku.

“Aku mimpi bertemu Ibu, Nek,” jawabku jujur.

“Sabar, ya, Sayang. Kita semua memang sangat kehilangan ibumu. Tante juga semalam mimpi bertemu Mbak Tari, dia tersenyum melambai-lambaikan tangannya,” ungkap Tante Eni. Aku terkejut kenapa mimpi kami bisa sama, tapi aku lebih memilih diam. Entah kenapa aku merasa untuk tidak menceritakan semuanya pada orang yang ada di rumah ini. Tante Eni baik, tapi aku belum ingin terbuka padanya entahlah mungkin nanti.

“Ibu bilang apa, Kak?” tanya Aldi.

“Enggak bilang apa pun Dik, hanya menemui Kakak, saja ....”

“Halah itu cuma kembang tidur enggak usah terlalu dipikirkan, orang yang sudah mati tidak akan pernah kembali apa lagi hadir dalam mimpi kita. Kamu itu kebanyakan berhalusinasi Al, makanya kalau mau tidur baca doa dulu!” sahut oma yang langsung duduk sarapan bersama kami.

Aku sangat kesal mendengar penuturan oma. Kubanting sendok makan ke lantai sebagai tanda protesku. 

Tidak ada lagi yang bersuara, Aldi ketakutan lalu memeluk nenek. Aku pergi menyambar tas sekolahku. Aku sengaja hanya bersalaman dengan nenek dan Tante Eni.

Karena sekolahku dekat dari rumah jadi kuputuskan untuk jalan kaki saja bersama Yuda anak Bu RT. Kami terbiasa berangkat bersama.

Kutarik lengan Yuda, untuk bersembunyi di balik tembok rumahnya. Di depan jalan gang rumah kami ada mobil Jeep kemarin dan laki-laki kemarin dia seperti sedang mengawasi rumahku.

 Itu adalah laki-laki yang mengirimi Ibu baju lingerie. Ada apa dia pagi-pagi ke sini.

“Ada apa Al, kok kamu ngajak aku bersembunyi?" protes Yuda.

“Ssstt! Di depan sana ada orang yang sedang ....”

“Oh, Om itu? Bukankah itu teman ibumu Al? Waktu itu aku pernah lihat ibumu bersama Om itu turun dari mobil Jeep itu,” terang Yuda.

Aku semakin bingung. Ada apa sebenarnya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lu mah ada jg samperin bokap lu ini malah masuk kamar ngerajuk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status