HAI, MANTAN ISTRI
"Dasar kere. Orang miskin saja belagu nyewa kontrakan mewah,"gerutu Bu Talita memaki kami. Tidak dapat aku sembunyikan betapa malunya kami saat diusir dari kontrakan. Apalagi banyak pasang mata yang melihatnya. Aku dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barang yang aku punya. Lebih tepatnya hanya baju yang aku punya. "Eh baru juga punya kontrakan seperti ini saja simbongnya sudah selangit. Awas kalau aku kaya, akan kubeli kontrakanmu termasuk kesombonganmu juga,"teriak ibu tidak mau kalah. Begitulah ibu. Ia pantang disakiti, pantang dihina meskipun memang begini keadaanya. Dan oleh siapapun itu. Beliau sama sekali tidak perduli. Tante Talita dan ibu dulunya adalah kawan akrab. Namun saat kami mulai susah membayar kontrakan, beliau mengusir kami. Aku maklum. Memang begitulah perputaran modalnya. Aku diam sepanjang perjalanan yang aku sendiri tidak tau akan kemana. "Zaki, kamu itu lulusan sarjana. Kenapa susah sekali cari kerja sih,"gerutu ibu. Aku menghela nafas pelan. "Umur Zaki juga sudah tidak muda lagi bu. Jadi susah untuk cari pekerjaan dengan jabatan seperti sebelumnya. Lagipula ibu selalu melarang Zaki untuk bekerja apa adanya dulu,' "Ya iyalah. Kalau kamu bekerja ala kadarnya. Mana cukup untuk kebutuhan hidup? Lagipula si Tari itu keterlaluan sekali. Sudah tau suaminya tertimpa musibah di PHK, eh dia justru ikut ninggalin. Dasar perempuan tidak ada akhlak." "Ibu sendiri kan dulu yang menyuruh Zaki menikahinya? Dan meninggalkan Hasna demi dia,"ibu diam. Namun fikiranku melayang ke amsa silam. Betapa kasihan sekali Hasna-mantan istriku, ia kerap kali disudutkan keluargaku karena ia hanya lulusan SD dan dari keluarga miskin. Keluargaku yang kerap mengaku sebagai keluarga priyayi selalu merendahkannya. Bukan hanya ibu tetapi dari pihak sanak saudara bahkan nenek juga terkesan tidak suka dengan Hasna. Dan Hasna memilih menyerah mengakhiri semuanya membawa pergi anak semata wayang kami-Ranita terlebih saat keluargaku jelas-jelas menjodohkanku dengan Tari yang dianggap mereka pantas bersanding dengan darah biru seperti keluarga kami. Namun apa yang terjadi kala aku yang semula menjabat di posisi tinggi diperusahaahn tiba-tiba di PHK secara sepihak? Tari meninggalkanku. Dan satu persatu sanak saudara mulai menjauh. Tidak perduli. Pesangon dari perusahaan yang tidak seberapa lama kelamaan akan habis. Apalagi saat itu kami dikagetkan dengan almarhum ayah yang meninggalkan hutang begitu banyak hingga terpaksa rumah kami satu-satunya dijual. Saat itu aku mengusulkan agar sisa uang yang ada dibelikan rumah ala kadarnya. Namun ibu menolaknya. Beliau yang terbiasa hidup mewah tidak setuju jika kami memulai semua dari nol. Dari yang sederhana dulu. Akhirnya kami mengontrak rumah yang bisa dikatakan lumayan mewah untuk ukuran kontrakan biasanya. "Zaki, apa yang kamu lakukan?" "Mau menunggu angkot bu. Mau sampai kemana jika kita jalan tidak ada arah tujuanya?" "Naik angkot?"tanya ibu bergidik. "Kalau ibu tidak mau yasudah. Zaki pergi sendiri,"ujarku yang mulai kesal dengan ibu. "Mau kemana mas?" "Pak saya mau tanya barangkali bapak tau kontrakan sekitar sini yang harganya terjangkau?" Bapak supir angkot sejenak diam berfikir. "Ada sih mas. Kontrakan nya bersih. Tapi ya banyak pintu. Jadi mungkin akan ramai suasanya." "Oh iya tidak apa-apa pak. Antarkan saya kesana ya," Ibu melotot ke arahku. Menandakan beliau tidak setuju dengan keputusanku ini. Tapi aku mencoba untuk mengacuhkanya. Aku lelah menuruti semua kemauan ibu yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial ku. Angkot berhenti di sebuah lahan yang luas. Kontrakan itu bergandeng. Dan tertata begitu rapi juga bersih. Banyak anak kecil yang asyik bermain di sekitarnya Entah siapa pemiliknya, namun aku sangat menyukai konsepnya. Ia bak perumahan sederhana dengan status kontrakan. Harganya juga ramah di kantong untuk para pekerja berekonomi rendah. Aku sama sekali tidak menatap ibu. Bagaimana ekspresinya bisa ku prediksikan. Oleh karena itu sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak beradu tatap dengan beliau. Kontrakan yang kebetulan kosong ada diujung. Pak sopir hafal betul karena sang anak juga mengontrak disini. Aku harus melewati berpuluh puluh pintu kontrakan sebelum menuju kontrakan yang aku tuju. Disini aku berani mengedarkan pandang. Dan aku akan bertekad apapun pekerjaan yang aku dapat, aku akan lakukan. Tidak perduli jika ibu selalu melarang ku. Namun langkahku mendadak terhenti, saat aku melihat wanita yang tidak asing kini berdiri di depan pintu sebuah kontrakan bersama anak perempuan yang begitu manis. Dia Hasna-mantan istriku. Aku tercekat. Namun Hasna justru tersenyum. Ibu menyadari hal itu. "Kenapa? Mau mentertawakan kami? Ingat ya sama-sama miskin,"sela ibu dengan nada ketus seperti biasa. Namun Hasna yang dihadapanku sungguh berbeda. Dia begitu anggun dengan balutan jilbabnya. Tidak seperti saat bersamaku dulu yang selalu terlihat kusam. Tapi aku sadar. Barangkali Hasna sudah mempunyai kehidupan baru. Aku tidak boleh ikut campur. Bahkan mengganggunya. "Dunia memang sempit sekali. Kali ini ibu izinkan kita mengontrak disini. Tetapi secepatnya ibu akan meminta pindah. Kamu tau jika ada Hasna disini berarti tempat ini adalah tempat orang miskin. Ibu anti sekali dengan itu,". Ibu masih saja mengomel. Namun fikiranku seakan terjeda karena pertemuanku dengan Hasna barusan. Kontrakan ini tidak begitu luas. Hanya sebuah ruang tamu lalu kemudian satu ruangan yang dibagi menjadi kamar dan dapur kecil juga kamar mandi. Tidak apa. Asal nyaman di tempati. Belum juga kami sempat beristirahat, suara ketukan pintu terdengar dari luar. "Baru juga masuk. Sudah ada yang bertamu. Apa sudah ditagih bayar listrik?"gerutu ibu yang terpaksa berdiri untuk melihat siapa yang datang. Seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu. Menenteng dua kotak nasi di tanganya. Ibu bahkan menelan saliva melihatnya. "Ma'af mengganggu Bu. Ini buat ibu sekeluarga. Dari ibu kontrakan. Tradisi disini setiap hari Jumat, pemilik kontrakan selalu berbagi makanan."kata laki-laki itu. "Duh sudah seperti orang susah saja di santuni. Asal bapak tau ya. Saya itu seorang priyayi," "Priyayi kok ngontrak Bu. Ada-ada saja ibu ini,"protes lelaki itu dan memilih pergi. Walau ibu tidak menerima kotak nasi itu tetapi sang bapak tetap meletakan ya di depan pintu. Dan ibu membawanya ke dalam. "Ya begitu orang miskin. Diberi kekayaan sedikit saja mulai keluar sombongnya. Aku yang sejak lahir sudah kaya raya saja ahh sudah biasa merasakan jadi orang kaya," "Bu sudahlah turunkan gengsi. Keadaan kita tidak sama dengan dulu. Ini yang dimaksud roda itu berputar," Ibu mencibirkan bibirnya ke arahku. Namun lagi lagi tidak ku perdulikan. Aku mulai membuka kotak nasi itu. Isinya ayam bakar juga ada sebuah undangan. Undangan gathering. Ah pantas saja ada yang mendirikan tenda di samping kontrakan ini. Aku mengagumi pemilik kontrakan. Siapa gerangan yang begitu baik terhadap kaum dengan ekonomi rendah seperti ini. Keesokan harinya benar saja, penghuni kontrakan tampak antusias sekali mengikuti gathering. Ada yang bilang ini adalah makan besar dengan berbagai jenis makanan tersedia. Namun mataku terbelalak saat melihat Hasna...Hujan deras yang mengguyur sejak sore masih belum juga reda. Suara petir bersahutan, seolah mencerminkan suasana hati yang tengah kalut di rumah kontrakan kecil itu. Zaki duduk di teras dengan secangkir teh yang sudah mendingin di tangannya, sementara pikirannya berkelana jauh. Ia menatap lurus ke depan, tapi matanya kosong. Di sampingnya, Fatihah duduk diam, memeluk lutut, wajahnya menegang.“Kamu kenapa diam saja?” tanya Zaki pelan, memecah keheningan.Fatihah tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku lelah, Zaki. Lelah dengan semua ini. Kenapa aku selalu merasa kita ini berada di bawah bayang-bayang Hasna?”Zaki menoleh, menatap istrinya dengan penuh kelembutan. “Tidak ada bayang-bayang siapa pun, Fatihah. Ini hanya perasaanmu saja. Hasna sudah membantu kita, itu karena dia tulus, bukan karena ingin menunjukkan bahwa dia lebih baik dari kita.”“Tapi aku merasa kalah,” gumam Fatihah lirih. “Kamu tidak pernah membelaku. Setiap kali ada ma
Malam itu, hujan deras mengguyur, menyisakan genangan air di jalan-jalan kecil sekitar rumah kontrakan Zaki dan Fatihah. Suasana mencekam seiring petir yang bersahutan. Zaki pulang dengan langkah tergesa, tubuhnya basah kuyup. Di tangannya tergenggam sebuah payung yang tampak tak mampu melindunginya sepenuhnya.Ketika membuka pintu, ia menemukan Fatihah duduk di ruang tamu dengan wajah masam. Di meja, secangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Tanpa menunggu Zaki berbicara, Fatihah langsung menyambutnya dengan nada sinis."Kamu dari mana? Malam-malam begini baru pulang, pasti ada urusan yang nggak penting," katanya dengan tatapan tajam.Zaki hanya terdiam, menahan napasnya sebelum akhirnya mengucapkan, "Aku baru saja dari luar mencari jalan keluar.""Jalan keluar apa? Kita baik-baik saja, Zaki. Kamu saja yang terlalu banyak khawatir!" Fatihah bersikeras.Zaki menghela napas panjang. "Fatihah, aku tidak mau masalah ini semakin besar. Sikapmu ke Hasna tadi pagi itu tidak benar. Dia
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m