Namun mataku terbelalak saat melihat Hasna begitu menawan. Aku yang pernah menjadi orang berada juga Tari-mantan istriku yang juga dari kalangan elite tentu aku hafal betul sejumlah harga outfit. Apalagi dengan yang dikenakan Hasna saat ini. Aku yakin harganya juga fantastis.
Saat aku tak berkedip menatapnya, saat itu pula ia juga menatap ke arah aku dan ibu. Lagi lagi ia melemparkan senyum simpulnya itu. "Sudah bisu mungkin si Hasna itu. Dari kemarin hanya senyam-senyum saja. Akibat pernah dzolim dengan mertua ya jadinya begitu,"gerutu ibu yang menyadari tatapan Hasna kepada kami. "Bukanya terbalik bu. Justru dulu ibu yang sering dzolim ke Hasna. Memperlakukan dia seperti bukan kepada menantu. Tetapi justru seperti babu,"protesku kepada ibu. Ibu bergantian menoleh ke arahku dengan tajam. "Eh wajar ya Zaki. Mertua memperlakukan menantu seperti itu. Lagipula dia juga tidak berkerja bukan? Hanya mengurus rumah dan menadahkan tangan kepadamu. Berbeda dengan Tari yang bekerja. Ah pahit tapi kalau mengingat wanita tak berakhlak itu," "Karena manusia memang memiliki kurang dan lebihnya masing-masing. Yang dianggap lebih juga pasti ada kurangnya. Pun yang kurang juga pasti ada lebihnya." "Alah sok bijak kamu. Karena bertemu Hasna? Ibu akan menjadi orang yang pertama kali tidak akan merestui itu seandainya kamu kembali kepadanya." Aku melengos kesal kepada ibu. "Lagipula mana mau Hasna kembali lagi denganku, bu," "Ya siapa tau. Kita itu keturunan darah biru. Keluarga priyayi. Bisa saja dia kembali tergiur," Aku bosan dengan apa yang disampaikan ibu. Selalu dan terus menerus mengungkit garis keturunan. Yang bagiku saat ini tidak penting dan tidak membantuku sama sekali di situasi seperti ini. "Atau jangan-jangan justru Hasna yang mempunyai kontrakan ini bu? Lihat penampilanya sangat berkelas." Ibu justru tertawa mendengar apa yang aku sampaikan. "Ngarang kamu. Kamu berfikir bahwa Hasna adalah babu yang menjelma menjadi ratu begitu seperti di cerbung-cerbung itu? Kalaupun dia adalah pemilik kontrakan tentu dia punya rumah yang mewah. Tidak disini tempatnya. Dia bisa hidup cukup, bisa makan setiap hari harusnya sudah bersyukur, ibu ini tau betul bagaimana keluarga Hasna. Kamu itu jadi sarjana juga jangan bodoh-bodoh, Ki. Sekarang banyak barang-barang branded KW yang dijual di pasar loak."kata ibu panjang lebar. Aku membenarkan dalam hati ucapan ibu. Tidak mungkin jika Hana yang memiliki kontrakan berpuluh-puluh pintu ini, justru memilih tinggal disini. Penghuni kontrakan berduyun-duyun menuju tempat acara. Di bawah tenda yang terpasang, juga dipasang sebuah panggung kecil dengan grup electone sebagai penghiburnya. Di depan panggung, terdapat sebuah meja panjang dengan prasmanan makanan yang beragam. Ada capjay, rawon, ayam bumbu lapis, ayam bumbu rujak, kakap, telur balado, dan berbagai makanan nusantara lainya. Bahkan kambing guling juga ada. Mirip dengan sebuah acara hajatan. Kendati begitu ada juga beberapa laki-laki bertubuh kekar tinggi besar menjadi tim keamanan yang berjaga di sekeliling tenda. Dan semua penghuni kontrakan tampak menikmatinya. Mereka makan dengan lahap. "Dasar orang-orang susah. Lihatlah seperti orang kelaparan tidak makan satu tahun saja. Eh iya lupa mereka pasti jarang makan enak kan ya,"ucap ibu melihat penghuni kontrakan yang terlihat antusias sekali. "Jangan begitu bu. Kita juga sekarang menjadi orang susah." "Eh tetapi sorry ya kalau hanya makanan seperti itu, ibu sudah hafal rasanya sampai bosan," Aku mulai lelah menanggapi ibu yang sedari tadi hanya hinaan yang dilontarkan. Aku lebih suka mengamati Hasna. Yang bagiku ia lah yang paling menarik diacara ini. Ia mengenakan dress panjang berwarna pink cerah yang pas dengan membalut bentuk tubuhnya dengan jilbab segiempat berwarna senada yang ujungnya ia tata rapi dan di ikat kebelakang. Dengan make up yang sederhana, ia terlihat angun sekali. Hasna versi terbaik yang pernah aku temui. "Mari makan mas, bu,"kata seseorang yang ku ketahui sebagai tetangga kontrakan bernama Mas Anwar-anak sopir angkot yang menunjukan kontrakan ini kemarin. "Silahkan mas,"jawabku. Tampak ku lihat dia tengah membawa sepiring penuh nasi dengan lauk yang berlimpah hingga nasi tersebut tak terlihat. Dan ia memakanya dengan tangan juga begitu lahap. Ibu yang juga melihatnya menjadi bergidik. Aku tau saat itu ibu tengah merasa jijik. "Duh tidak makan berapa abad sih? Cari tempat lain saja yuk Zaky,"ajak ibu. Aku menuruti kemauan ibu, namun mataku tidak lepas dari Hasna. "Nyebut. Tidak usah melirik dia lagi,"kata ibu menegurku setelah tau aku mencuri pandang kepada sang mantan istri. Aku tidak menghiraukan teguran ibu. Ah lihatlah betapa manisnya Hasna bahkan saat menikmati makan pun, ia tampak selalu mengobrol dengan ibu sebelahnya. Karena aku yang tidak menggubris ucapan ibu, akhirnya ibu pun mengikuti arah pandanganku. "Tumben si Hasna itu tidak malu-maluin. Makanya sedikit amat,". Piring yang dipegang Hasna pun nyatanya tak luput dari pandangan ibu. Tetapi ya memang seanggun itu. Hasna sama sekali tidak rakus, justru ia terlihat anggun dari gestur tubuh, dan dari caranya berbicara. Terlihat ia seperti wanita berkelas. "Ibu, tidak makan?"tanyaku akhirnya. "Ibu kenyang melihat Anwar yang makan dengan rakus tadi. Mendadak jadi eneg," Aku maju sendiri untuk mengambil makanan. Membiarkan ibu duduk sendiri disana. "Penghuni baru ya mas?"tanya seorang laki-laki paruh baya terhadapku. Aku mengangguk penuh ramah. Lalu mengulurkan tangan untuk mengajak berjabat. Laki-laki tersebut juga membalas tak kalah ramahnya. "Iya pak perkenalkan saya Zaki. Saya tinggal di kontrakan paling ujung bersama ibu saya," "Saya Pak Khoirul. Kebetulan saya yang ditugaskan untuk menjadi ketua di kompleks ini," "Oh ketua kompleks?" "Ketua kompleks rumah kontrakan. Saya sendiri juga ngontrak,"jawabnya dengan kekeh kecil. Pantas saja di ditunjuk sebagai ketua, pembawaanya ramah dan berwibawa. Orangnya juga asyik diajak ngobrol. "Sering ya pak ada acara seperti ini?"tanyaku. "Hampir setiap tahun mas. Sebenarnya ini bukan hanya untuk penghuni kontrakan saja. Masyarakat umum bisa hadir. Tetapi ya masyarakat sekarang banyak gengsinya untuk sekedar datang ke acara seperti ini. Paling juga para masyarakat yang ekonomi nya kurang beruntung seperti pemulung, atau pengemis. Nanti yang datang setelah ini," "Wah, baik sekali ya pak pemilik rumah kontrakan ini. Tetapi dimana orangnya?" "Dia itu orang kaya mas. Dia juga pemilik perusahaan yang cabangnya banyak. Terakhir saya dengar kabarnya kalau dia sedang mengembangkan anak cabang perusahaanya di New York sana. Namanya Pak Robertio Hadi Sanjaya," Ah nama yang tidak asing di telingaku. Tetapi aku lupa siapa. Mungkin memang kolega perusahaan tempatku bekerja dulu. Setelah berbasa basi aku kembali menuju tempat duduk dekat ibu. "Zaki, jangan asal bersalaman dengan orang. Orang miskin itu banyak bakterinya,"bisik ibu di telingaku. "Ibu benaran tidak mau makan?"tanyaku sembari menglahap makanan yang bagiku sangat memanjakan lidah ini. Ibu hanya sekilas melihatku. Namun dapat ku dengar suara perutnya yang keroncongan. "Sudah. Tidak usah gengsi bu." Akhirnya ibu mau bangkit dari duduknya dan mengambil makan yang ada di meja. Namun siapa sangka saat itu juga Hasna tengah menggandeng Ranita untuk mengambil makanan. Dapat aku dengar sayup sayup percakapan antara mereka. "Nenek,"sapa Ranita dengan ramah. Ibu hanya tersenyum kecut yang ia paksakan. Ranita membawa piring berisi kuah soto. Tetapi na'as kakinya menyandung kaki meja hingga semangkok kuah soto tersebut membasahi baju ibu. Apa yang terjadi setelah itu? Ibu berkacak pinggang. Matanya melotot. Ranita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya merapat sekali di tubuh Hasna. "Ma-ma'af nek. Rani tidak sengaja,"kata bocah kecil itu dengan nada yang bergetar. "Heh kamu tau harga pakaian yang saya pakai ini? Ini dibeli di luar negeri. Ini baju dengan brand terkenal. Uang makanmu seumur hidup pun mungkin tidak bisa mengganti harga bajuku ini,"teriak ibu bersungut marah. Hingga menyita perhatian publik untuk melihatnya. Hasna yang dulu selalu menunduk saat disalahkan, saat di hina , saat dimaki. Kini justru terlihat tenang. Ia sejenak berbalik badan. Entah apa yang dilakukan. "Segini cukup?"tanya Hasna menyerahkan selembar kertas yang ku duga adalah sebuah cek...Hujan deras yang mengguyur sejak sore masih belum juga reda. Suara petir bersahutan, seolah mencerminkan suasana hati yang tengah kalut di rumah kontrakan kecil itu. Zaki duduk di teras dengan secangkir teh yang sudah mendingin di tangannya, sementara pikirannya berkelana jauh. Ia menatap lurus ke depan, tapi matanya kosong. Di sampingnya, Fatihah duduk diam, memeluk lutut, wajahnya menegang.“Kamu kenapa diam saja?” tanya Zaki pelan, memecah keheningan.Fatihah tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku lelah, Zaki. Lelah dengan semua ini. Kenapa aku selalu merasa kita ini berada di bawah bayang-bayang Hasna?”Zaki menoleh, menatap istrinya dengan penuh kelembutan. “Tidak ada bayang-bayang siapa pun, Fatihah. Ini hanya perasaanmu saja. Hasna sudah membantu kita, itu karena dia tulus, bukan karena ingin menunjukkan bahwa dia lebih baik dari kita.”“Tapi aku merasa kalah,” gumam Fatihah lirih. “Kamu tidak pernah membelaku. Setiap kali ada ma
Malam itu, hujan deras mengguyur, menyisakan genangan air di jalan-jalan kecil sekitar rumah kontrakan Zaki dan Fatihah. Suasana mencekam seiring petir yang bersahutan. Zaki pulang dengan langkah tergesa, tubuhnya basah kuyup. Di tangannya tergenggam sebuah payung yang tampak tak mampu melindunginya sepenuhnya.Ketika membuka pintu, ia menemukan Fatihah duduk di ruang tamu dengan wajah masam. Di meja, secangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Tanpa menunggu Zaki berbicara, Fatihah langsung menyambutnya dengan nada sinis."Kamu dari mana? Malam-malam begini baru pulang, pasti ada urusan yang nggak penting," katanya dengan tatapan tajam.Zaki hanya terdiam, menahan napasnya sebelum akhirnya mengucapkan, "Aku baru saja dari luar mencari jalan keluar.""Jalan keluar apa? Kita baik-baik saja, Zaki. Kamu saja yang terlalu banyak khawatir!" Fatihah bersikeras.Zaki menghela napas panjang. "Fatihah, aku tidak mau masalah ini semakin besar. Sikapmu ke Hasna tadi pagi itu tidak benar. Dia
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m