Dan ternyata Hasna yang mengulurkan uang itu. Penjual sayur menatapnya bingung. Bergantian menatap Hasna dan juga Bu Ratih. Tentu dia heran mengapa Hasna begitu berbaik hati kepada pendatang baru di kontrakan tersebut.
Hasna paham. Ia mengembangkan seulas senyumnya. "Dia mantan ibu mertua saya," "Eh tidak usah ya. Saya disini bukan pengemis yang minta-minta ke kamu. Hidup berubah sedikit saja, sombong. Mau buktiin kalau situ sekarang jadi kaya? Bisa saja uang hasil hutang kan? Lagipula kamu pasti bangga ya pernah jadi menantu seorang priyayi seperti saya."jawab Bu Ratih dengan angkuh. "Jadi menantu ibu dibenci. Jadi mantan menantu pun juga sama. Sebenarnya mau Bu Ratih itu apa sih?"tanya Hasna dengan suara datar tapi disertai tatapan tajam. "Nih. Saya cuma bawa uang delapan ribu saja. Catat sebagai hutang,"perintah Bu Ratih lalu berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Hasna. "Huuu.. Dasar. Ujung-ujungnya hutang saja berlagak mengaku priyayi,"gerutu tukang sayur. "Duh Mbak Hasna mimpi apa punya mertua seperti itu?" "Jadi dia nenek Ranita mbak? Dan anak si ibu itu yang tadi pagi saya lihat berboncengan dengan Anwar itu papa kandungnya Ranita?" "Untung sudah cerai ya mbak. Coba kalau masih punya mertua modelan begitu, bisa mati perlahan," Beragam komentar dari ibu-ibu penghuni kontrakan yang lain turut membanjiri pendengaran Hasna. Dia tidak merasa harus da di tutupi. Untuk apa? Toh kenyatan memang begitu. Bu Ratih membanting pintu kontrakan. Brakk... "Woy.. Itu bukan pintu nenek moyang lo. Sopan sedikit."teriak tetangga samping kontrakan. "Ahh," Bu Ratih benar-benar kacau. Ia yang biasanya kaya, tidak bisa terus menerus hidup pas-pasan seperti ini. Sisa uang tabungan Zaki yang tinggal menipis juga di simpan zaki sendiri. Setiap hari Zaki hanya memberikan uang sebesar sepuluh ribu. Andai Zaki tau betapa ibunya pusing mengatur uang belanja dati yang semula besar langsung terhempas menjadi sepuluh ribu. * Hari pertama Zaki bekerja, ia masih terlihat canggung. Yang biasanya berjibaku dengan kertas dan komputer kini ia harus berjibaku dengan rongsokan. Belum lagi para pemulung yang mengantri saat menjual hasil rongsokanya. Bermacam-macam. Ada yang bau badan. Nafasnya bau. Bahkan dengan keadaan tubuh mereka yang belum mencuci tangan dan kakinya hingga kotoran yang menempel membuat mereka di ikuti oleh lalat. Belum lagi jenis barang yang mereka bawa juga membawa aroma tersendiri. Tetapi masih untung ia diberi fasilitas sarung tangan dan masker. Namun tetap saja tajamnya bau nyatanya mampu menembus lapisan masker tersebut. Zaki mendadak mual. Tempat ini memang bersih. Tetapi orang yang lalu lalang disini baginya juga kotor. Ia seakan ingin menyerah dengan pekerjaan ini. Namun jika mengingat bagaimana ia harus makan setiap hati, membuat nya juga berpikir berulang kali untuk menyerah. 'Mungkin memang belum terbiasa,'batinya mencoba menghibur dirinya sendiri. "Orang baru mas?"tanya salah satu pegawai yang bertugas mengangkat barang hasil sortiran untuk mengumpulkan pada tempantnya sendiri-sendiri. Zaki hanya mengangguk. Ia canggung berinteraksi dengan orang yang dia anggap sebagai kaum rendaham. Dia biasa berinteraksi dengan para pekerja berpakaian rapi, berjas serta memakai parfum kelas mahal. "Canggung amat mas. Saya ngantuk ini nunggu hasil sortiran kamu. Tidak selesei-selesei. Lihat yang lain begitu cekatan bekerja,"gerutu pria paruh baya itu Zaki menoleh pada pekerja yang sama-sama menyortir sampah sepertinya. Tangan mereka cekatan. Seperti tidak perduli apa yang mereka pegang itu bekas apa saja. "Namanya juga orang baru mas. Semuanya harus perlu penyesuaian kan?"elak Zaki. Tetapi ia masih melembutkan suaranya. "Hah. Percuma Pak Haji membayarmu lima puluh rjbu tiap harinya kalau cara kerjamu lelet begini,"komentar pria itiu lagi sembari ngeloyor pergi. Lima puluh ribu? Zaki tak habis fikir. Uang itu dulu hanya menjadi uang transportnya per hari. Kini ia harus mati-matian seperti bekerja di kubangan sampah untuk mencari uang sebesar lima puluh ribu itu. Kini keadaan benar-benar menamparnya. Tak berselang lama ada wanita paruh baya membawa satu kamtong kresek penuh bungkusan kertas minyak. Sepertinya berisi nasi bungkus. Lalu ia membagikanya kepada pekerja disitu. Termasuk pemulung yang menyetor rongsokanya. Mereka tampak gembira sekali menerima itu. Dan sebagian langsung memakanya di tempat. Zaki semakin bergidik. Saat tangan-tangan itu menyentuh nasi tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. "Mbak, tak ada sendok kah?"tanya Zaki pada perempuan yang membagikan nasi itu. Namun wajahnya seketika berubah menjadi judes. "Manja sekali sih. Kalau takut kotor, sana cuci tangan dulu,"jawab wanita itu sembari beralu. "Kerja di pengepul rongsok kok maunya bersih saja,". Wanita itu masih menggerutu walau langkahnya sudah jauh. Zaki terpaksa mencari kran air. Memang ada. Tapi tidak disediakan sabun. Hingga ia harus ekstra menggosok tanganya. "Duh lama amat sih,"protes orang yang antri di belakang. "Tidak ada sabun. Jadinya harus benar-benar higienis," "Huuu sok bersih. Sok kaya,"sorak yang lain. Ia berusaha tak mendengarkan celotehan itu. Beruntung hari ini jam berlalu begitu cepat. Pukul empat sore semua pekerja berkumpul untuk menerima upah. Zaki membolak balik selembar uang kertas berwarna biru tersebut. Jika ia beri kepada ibu semuanya tentu dalam sekejap pun uang tersebut mampu habis. Ya dia berfikir untuk sehemat mungkin mengatur uang. Zaki pulang berjalan kaki. Melewati banyak kontrakan yang berderet untuk menuju kontraknya yang ada diujung. Lingkungan yang bertolak belakang dengan masa lalunya dulu. Kembali lagi pandanganya selalu tertuju pada mantan istrinya yang sedang menyuapi Ranita di teras. Anggun sekali. Tidak seperti Hasna yang ia temui dulu. Saat netra itu menatap justru Hasna melemparkan sebuah senyuman membuat hati Zaki bergetar. Ah tapi percuma asa itu ada, Hasna sudah menjadi milik orang lain. Namun siapa kiranya laki-laki yang mengangkat derajat wanita itu? Entahlah. Tapi Zaki yakin lambat laun ia pasti akan tau. "Papa,"panggil Ranita. Zaku menoleh. Mau tidak mau sepantasnya ia mengindahkan panggilan putrinya itu. "Papa pulang kerja?"tanya Ranuta. "Iya nih sayang. Papa masih bau acem,"jawab Zaki. Takut Hasna dan Ranita tidak nyaman dari bau badan karena bekerja di tempat pengepul rongsokan. "Papa lupa?" "Apa sayang?" "Biasanya sepulang kerja, dulu papa selalu membelikan Ranita coklat atau es krim," Spontan Hasna menegur putrinya itu. Ia sudah mewanti-wanti agar tidak meminta ke orang lain. Zaki salah tingkah. Di rogohnya saku celananya. Ada uang sepuluh ribu lalu ia berikan kepada Ranita. "Ranita beli sendiri ya nak. Papa lupa. Papa sudah tua."jawab Zaki dengan candaanya. Saat tangan mungil itu hendak mengambil pemberian papanya, secepat kilat juga Hasna melarangnya. "Ranita, didalam kan jajanya masih banyak. Tidak usah ya," Ranita mengangguk dan menuruti perintah mamanya. "Tak apalah Hasna. Sudah lama aku tidak membelikan sesuatu untuk Ranita. "Kapan-kapan saja. Ingat kondisimu sekarang," "Kamu menghinaku?" Hasna melengos ke arah lain "Niat baik pun masih kamu salah artikan mas? Lalu seperti apa wanita yang kamu gadang-gadang sempurna itu? Sebaiknya kamu harus lebih belajar cara memaknai hidup mas," Zaki terdiam. Ia memang keras kepala. Bahkan sulit baginya menerima nasihat dari orang lain. Hasna memggandeng Ranita untuk masuk ke dalam. Lebih tepatnya memaksa. Dan Zaki merasa tidak berhak mencegahnya. Ia berjalan gontai menuju kontrakan. Kepulanganya disambut riuh oleh ibunya. "Zaki, akhirnya kamu dapat pekerjaan nak? Di perusahaan mana? Coba cerita sama ibu,"perintah Bu Ratih dengan antusias. "Aku...Hujan deras yang mengguyur sejak sore masih belum juga reda. Suara petir bersahutan, seolah mencerminkan suasana hati yang tengah kalut di rumah kontrakan kecil itu. Zaki duduk di teras dengan secangkir teh yang sudah mendingin di tangannya, sementara pikirannya berkelana jauh. Ia menatap lurus ke depan, tapi matanya kosong. Di sampingnya, Fatihah duduk diam, memeluk lutut, wajahnya menegang.“Kamu kenapa diam saja?” tanya Zaki pelan, memecah keheningan.Fatihah tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku lelah, Zaki. Lelah dengan semua ini. Kenapa aku selalu merasa kita ini berada di bawah bayang-bayang Hasna?”Zaki menoleh, menatap istrinya dengan penuh kelembutan. “Tidak ada bayang-bayang siapa pun, Fatihah. Ini hanya perasaanmu saja. Hasna sudah membantu kita, itu karena dia tulus, bukan karena ingin menunjukkan bahwa dia lebih baik dari kita.”“Tapi aku merasa kalah,” gumam Fatihah lirih. “Kamu tidak pernah membelaku. Setiap kali ada ma
Malam itu, hujan deras mengguyur, menyisakan genangan air di jalan-jalan kecil sekitar rumah kontrakan Zaki dan Fatihah. Suasana mencekam seiring petir yang bersahutan. Zaki pulang dengan langkah tergesa, tubuhnya basah kuyup. Di tangannya tergenggam sebuah payung yang tampak tak mampu melindunginya sepenuhnya.Ketika membuka pintu, ia menemukan Fatihah duduk di ruang tamu dengan wajah masam. Di meja, secangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Tanpa menunggu Zaki berbicara, Fatihah langsung menyambutnya dengan nada sinis."Kamu dari mana? Malam-malam begini baru pulang, pasti ada urusan yang nggak penting," katanya dengan tatapan tajam.Zaki hanya terdiam, menahan napasnya sebelum akhirnya mengucapkan, "Aku baru saja dari luar mencari jalan keluar.""Jalan keluar apa? Kita baik-baik saja, Zaki. Kamu saja yang terlalu banyak khawatir!" Fatihah bersikeras.Zaki menghela napas panjang. "Fatihah, aku tidak mau masalah ini semakin besar. Sikapmu ke Hasna tadi pagi itu tidak benar. Dia
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m