( Untuk part seterusnya akan dibuat POV AUTHOR ya gais)
🌿🌿🌿 Namun siapa sangka saat Anwar mengajak Zaki masuk ke dalam ternyata isinya penuh dengan barang rongsokan. Namun tempat Ini bersih dan tertata rapi. Pak Haji yang digadang-gadang akan memberikan pekerjaan untuk Zaki ternyata adalah pengepul barang rongsokan. "Tunggu dulu War,"cegah Zaki sembari menahan kerah Anwar agar tidak melanjutkan langkahnya. "Kenapa mas?" "Kamu mau menghina saya atau mau menjerumuskan saya? Saya ini lulusan sarjana, War. Mana mungkin bekerja di tempat rongsokan seperti ini?"tanya Zaki sedikit emosi dengan nada penekanan di setiap katanya. Anwar menghela nafas pelan. Lalu ia membuang muka ke arah lain. "Mau setinggi apapun pendidikan seorang laki-laki, kalau dia tidak bekerja maka serasa dia tidak punya harga diri. Saya tidak bermaksud menghina atau menjerumuskan Mas Zaki. Saya hanya niat ingin menolong. Lagipula apa yang salah bekerja di tempat pengepul rongsokan? Toh itu juga halal. Sebenarnya usaha ini menjanjikan kalau memang tau alur skemanya. Tapi ya kembali lagi, saya minta ma'af jika menurut Mas Zaky, saat ini saya menyinggung anda. Permisi," Anwar berlalu pergi dari hadapan Zaki. Seperti mesin, tiba-tiba otak Zaki berfikir secara cepat. Mau makan apa kalau ia tidak bekerja? Mau sampai kapan ia terus berlalu lalang dijalanan mencoba mencari pekerjaan yang bergengsi. Yang ada justru menghabiskan uang untuk bekal. Mungkin jadi pemulung pun ia akan lakukan. Asal ibunya tidak tau. "Anwar tunggu,"panggil Zaki lagi. Anwar berbalik badan dengan lesu. Tentu ia turut merasa kesal dengan tingkah laku Zaki. "Ayolah. Aku mau. Tapi aku minta tolong, jangan sampai ibu ku tau pekerjaaan ku yang sebenarnya,"pinta Zaki. Anwar masih melirik Zaki dengan tatapan yang tidak suka. "Please,". Zaki menelangkupkan kedua tanganya dengan tatapan mengiba. "Iyalah. Ayo,"jawab Anwar akhirnya. Zaki mengekor langkah Anwar untuk masuk ke dalam bangunan kecil yang mirip dengan rumah. Ia penasaran seperti apa sosok Pak Haji tersebut. Terlihat Anwar berbicara dengan seorang perempuan paruh baya mengenakan daster. Perempuan itu juga mencuri pandang ke arahnya. Tidak lama kemudian, Anwar berbalik menemui Zaki. "Mas Zaki, sudah bisa langsung bekerja hari ini,"kata Anwar. Ada rasa lega di hati Zaki. Walaupun belum sepenuhnya ia merasa cocok dengan pekerjaan ini. "Ngomong-ngomong Pak Haji nya mana, War?" "Pak Haji ya tidak tinggal disini lah. Ini hanya usahanya saja. Sesekali kalau sempat saja ia kesini," Zaki mengangguk mengerti. Begitulah kalau seorang pengusaha, bisa bekerja semaunya tanpa ada yang berani mengomentari. Ah andai ia dulu mendengarkan kalimat Hasna. Mungkin ia sekarang sudah menjadi bos. "Melamun saja. Sebentar lagi para pekerja sudah datang. Oh iya Mas Zaki kerjanya nanti menyortir barang-barang rongsokan dari pemulung ya. Yang kertas, besi atau botol dipisahkan ya,"kata Anwar membuyarkan lamunan Zaki tentang Hasna. Zaki mengangguk. Namun dia tidak bisa membayangkan setiap hari harus bergumul dengan para pemulung. Belum lagi penampilan, bau, bahkan bakteri yang mungkin mereka bawa. Ia yang sedari lahir tinggal di tempat steril, kini seperti merasakan bahwa dunia memang benar-benar berputar untuknya. "Memangnya kamu juga bekerja disini?"tanya Zaki. Anwar menggeleng lemah. "Saya sopir angkot sama seperti bapak saya," Zaki tidak habis fikir, kenapa Anwar juga seolah tau betul seluk beluk disini. Bahkan ia dengan mudahnya memasukan ia untuk bekerja disini. Dilihat dari penampilanya, tidak mungkin Anwar ada kaitanya dengan pemilik usaha ini. "Tetapi apa Mas Zaki mau bekerja dengan kemeja putih, rapi dengan sepatu fantovel begini. Mas Zaki tidak bekerja di kantoran lho,". Lagi-lagi Anwar memprotes Zaki. Tanpa banyak cakap, Anwar berlalu lagi masuk ke dalam. Kemudian tidak berselang lama ia kembali lagi dengan membawa kaos berwarna hitam bertuliskan UD. RAHMAN RONGSOK. Hati Zaki ingin tertawa. Terlebih jika dia memakainya. Mantan seorang manager perusahaan besar yang biasanya memakai jas rapi kinu memakai seragam bertukiskan rongsokan. Usaha pengepul rongsok begini saja bahkan ada kaosnya sendiri. Zaki menerima dengan setengah hati. Baru sekali dalam seumur hidupnya menerima pakaian pemberian orang lain. "Tidak usah jijik, Mas. Ini bukan bekas," "Ini seragam War?" "Tidak juga. Dipakai syukur, tidak dipakai ya tidak apa-apa. Ah sudahlah sebenarnya Mas Zaki niat bekerja atau tidak sih?"gerutu Anwar. "Iya iya. Kamu sensitif sekali sih War. Seperti perempuan lagi mens saja." "Lagipula Mas Zaki itu banyak tanya nya. Banyak maunya. Kalau tidak karena permintaan. Saya enggan membawa Mas Zaki kesini." "Permintaan?" Zaki merasa heran. Sebelumnya Anwar sendirilah yang menawarinya pekerjaan. Bukan ia sendiri yang meminta pekerjaan tersebut. Anwar menutup mulutnya dengan kedua tanganya. "Ah lupakan saja. Saya terlalu banyak pikiran. Jadinya melantur," "Dasar aneh,"gumam Zaki * "Yur...sayurr...,"teriak penjual sayur yang biasa berkeliling dan menjajakan daganganya di area kontrakan. Para ibu-ibu berbondong-bondong keluar. Ada yang sembari menggendong anak, ada yang masih dengan koyo yang menempel di dahi. Dan beragam jenis manusianya. Bu Ratih-Ibu Zaki juga turut keluar. Meskipun sebenarnya ia enggan berbelanja di tukang sayur. Kebiasaanya dari dulu yang belanja di supermarket. Walaupun sayuran sekalipun. Hasna juga turut keluar dengan menggandeng Ranita yang sudah bersih dan wangi. Ramburnya di ikat satu di belakang dengan pita berwarna merah. Hasna pun juga mengenakan baju satu set panjang dengan jilbab instan warna senada. Bu Ratih hanya menatap mereka dengan sinis. "Ayam harganya berapa pak?"tanya Hasna. "Sekilo 35.500 mbak. Untuk Mbak Hasna cukup 35.000 saja," "Maksa banget buat kelihatan kaya."sindir Bu Ratih. Semua mata tertuju pada Bu Ratih. Mereka semua berganti menatap sinis ke arahnya. Sementara Hasna enggan memanggapinya. "Ini sayurnya kok layu begini sih pak. Tidak seperti sayur segar di supermarket-supermarket gitu,"protes Bu Ratih. "Lah sayur di supermarket itu sering disemprot air bu. Makanya terlihat segar," "Sok tau kamu. Seperti pernah ke supermarket saja," "Gini-gini jangan diremehkan bu. Tampangnya memang hanya penjual sayur. Tetapi ibu tidak tau kan bagaimana kekayaan saya,"jawab penjual sayur tidak mau kalah. "Lah ibu biasa belanja di supermarket kok justru ngontrak disini. Aneh,"lanjutnya. "Jangan asal bicara kamu. Saya ini keluaga priyayi. Berdarah biru," Penjual sayur terdiam. Orang seperti Bu Ratih memang tidak ada habisnya jika ditanggapi. "Lele juga pucat-pucat begini,"komentarnya lagi. "Kalau tidak mau, tidak usah dibeli bu," Bu Ratih mendengkus kesal. "Ya sudah tempe lima sama dua ikat kangkung layu ini totalnya berapa?" "Semuanya pas sepuluh ribu,"jawab penjual sayur dengan ketus. "Delapan ribu saja. Nih,"kekeh Bu Ratih sembari menyerahkan uang dengan kasar. "Bu, saya hanya mengambil untung 200 rupiah per bijinya. Kok tega sekali?" "Lah lihatlah kangkung ini sudah layu,". Bu Ratih tetap tidak mau kalah. "Ya sudah sembilan ribu saja,"jawab ketus penjual sayur. "Enggak. Delapan ribu saja," "Katanya priyayi tapi sadis banget kalau nawar," "Kamu juga katanya kaya raya, mengalah uang seribu perak saja tidak mau. Kegiatan tawar menawar tersebut sudah mirip seperti perdebatan. Tak ada yang kalah dan tidak ada yang mau mengalah. "Bang, ini uang saya. Kembalianya buat bayar belanja ibu ini saja," Tangan kuning langsat itu terulur menyerahkan selembar uang berwarna biru. Bu Ratih mendongak menatap si empunya uang. Dam ternyata Hasna...Hujan deras yang mengguyur sejak sore masih belum juga reda. Suara petir bersahutan, seolah mencerminkan suasana hati yang tengah kalut di rumah kontrakan kecil itu. Zaki duduk di teras dengan secangkir teh yang sudah mendingin di tangannya, sementara pikirannya berkelana jauh. Ia menatap lurus ke depan, tapi matanya kosong. Di sampingnya, Fatihah duduk diam, memeluk lutut, wajahnya menegang.“Kamu kenapa diam saja?” tanya Zaki pelan, memecah keheningan.Fatihah tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku lelah, Zaki. Lelah dengan semua ini. Kenapa aku selalu merasa kita ini berada di bawah bayang-bayang Hasna?”Zaki menoleh, menatap istrinya dengan penuh kelembutan. “Tidak ada bayang-bayang siapa pun, Fatihah. Ini hanya perasaanmu saja. Hasna sudah membantu kita, itu karena dia tulus, bukan karena ingin menunjukkan bahwa dia lebih baik dari kita.”“Tapi aku merasa kalah,” gumam Fatihah lirih. “Kamu tidak pernah membelaku. Setiap kali ada ma
Malam itu, hujan deras mengguyur, menyisakan genangan air di jalan-jalan kecil sekitar rumah kontrakan Zaki dan Fatihah. Suasana mencekam seiring petir yang bersahutan. Zaki pulang dengan langkah tergesa, tubuhnya basah kuyup. Di tangannya tergenggam sebuah payung yang tampak tak mampu melindunginya sepenuhnya.Ketika membuka pintu, ia menemukan Fatihah duduk di ruang tamu dengan wajah masam. Di meja, secangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Tanpa menunggu Zaki berbicara, Fatihah langsung menyambutnya dengan nada sinis."Kamu dari mana? Malam-malam begini baru pulang, pasti ada urusan yang nggak penting," katanya dengan tatapan tajam.Zaki hanya terdiam, menahan napasnya sebelum akhirnya mengucapkan, "Aku baru saja dari luar mencari jalan keluar.""Jalan keluar apa? Kita baik-baik saja, Zaki. Kamu saja yang terlalu banyak khawatir!" Fatihah bersikeras.Zaki menghela napas panjang. "Fatihah, aku tidak mau masalah ini semakin besar. Sikapmu ke Hasna tadi pagi itu tidak benar. Dia
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m