Share

Mengenang Rumahmu

Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.

Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.

Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.

Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung menawarkan diri untuk menjadi teman seperjalanan. Benar-benar berjalan karena Arman tidak diijinkan membawa sepeda. Bukan orang tua Arman tak mampu membelikan, melainkan karena saat liburan, Arman diserempet mobil dengan sepedanya.

Dan sejak itulah, Arman menjadi teman seperjalanan pergi dan pulang sekolah bagi Mala. Hanya saja, di tahun-tahun terakhir sekolah SMA, Arman merasa jika Mala sepertinya menjaga jarak. Arman tidak tahu kenapanya, karena Arman juga malu bertanya.

"Saya sudah sampai."

Arman yang tadi melihat-lihat rumah Mala dengan kerinduan akan masa lalu, menoleh dan tersenyum kalem. Ia sadar kalau ini adalah pengusiran halus. "Rumahmu masih sama."

"Ya. Saya akan masuk."

"Saya haus." Arman langsung menerobos masuk. Ia membuka gerbang dan berjalan santai menuju teras.

Seumur hidupnya mengenal Mala, ini adalah pertama kalinya Arman masuk sampai ke halaman dan ke teras rumah. Sejak dulu ia ingin tahu rasanya duduk-duduk di teras rumah Mala yang terlihat asri. Teras rumah yang dikelilingi semacam pagar tembok lagi, tetapi dengan tinggi di bawah pinggang. Cocok untuk duduk-duduk santai.

Arman tapi memilih duduk di kursi rotan. Bersandar dengan damai sembari memandangi wajah Mala yang mengkerut dan berjalan perlahan. Dengan santainya Arman melambaikan tangan, meminta Mala lebih dekat lagi. Agak kurang ajar karena itu adalah rumah Mala.

"Capek, ya?" tanya Arman lembut.

Mala makin cemberut. Ia bahkan menghentakkan kakinya saat menaiki anak tangga teras yang hanya ada lima anak tangga. Mala juga dengan sengaja menghempaskan diri saat duduk agar Arman merasa kalau ia tidak suka sekaligus menjawab pertanyaan Arman.

"Gak haus?"

Sebuah sindiran untuk Mala. Biar bagaimanapun, Arman sudah menjadi tamu dan keduanya habis berlari pagi sama-sama. Lari pagi yang tak diharapkan Mala karena sebenarnya ia ingin berlari menjauhi Arman.

"Saya haus." Arman mengelus lehernya dan dengan sengaja menelan air liurnya di hadapan Mala.

Mala menyentak tubuhnya berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tepat memasuki ruang tengah, Mala melihat Bu Lis keluar dari kamat ibunya.

"Mama 'dah bangun?" tanya Mala setengah berbisik.

"Belum. Tidurnya tumben nyenyang banget." Bu Lis tersenyum. Terlihat kelegaan di wajahnya. Mala menduga hari-hari Bu Lis pasti melelahkan dengan keadaan ibunya yang selalu ketakutan.

"Semalam kan saya nemani Mama tidur."

Bu Lis mendelik. "Mbak Mala tidur sama Ibu?" tanya Bu Lis percaya tak percaya. Ia sangat mengenali momongannya itu yang selalu bersihan dan pasti akan sulit tidur dengan keadaan kamar yang seperti kamar majikan perempuannya itu.

"Terpaksa." Mala mengedikkan kedua bahunya. "Mama semalam ketakutan."

"Pantas tidurnya nyenyak."

"Bu Lis ngecek Mama tiap pagi?"

"Iya, Mbak. Sekalian ngantar teh panas dan makanan apalah. Pagi ini saya goreng pisang kayu. Manis. Mau?"

"Bikinkan teh dua sama bawa gorengannya ke depan, ya." Suatu kebetulan.

"Ada tamu?" Entah kenapa Bu Lis musti berbisik saat bertanya, tetapi itu membuat Mala terkekeh kecil.

"Si Arman. Ingat?"

Bu Lis terdiam dengan kening berkerut makin dalam. Tak lama wajahnya seperti terkejut. "Ah, cowok yang selalu jemput Mbak Mala itu. Wah, bisa ketemu lagi, ya. Jodoh kayaknya."

Seketika wajah Mala terasa hangat. "Apa, sih, Bu. Udah sana cepetan bawin makanan minuman."

"Iya. Iya. Saya buatkan spesial pakai siraman susu cokelat manis." Bu Lis tertawa kecil sembari melangkah cepat menuju ke belakang rumah.

Mala tersenyum lebar. Setelah hari-hari kurang menyenangkan, pagi ini ada senyum buat semua. Tidak semua, cukup Mala dan Bu Lis.

Saat Mala akan berbalik, tatapannya terarah pada kamarnya yang kini ditempati Ratna. Mala bertanya-tanya apakah Mala sudah pulang atau belum. Tapi, kemudian ia memutuskan bertanya ke Bu Lis di belakang.

Terlihat Bu Lis menyiapkan dua cangkir untuk tehnya.

"Bu Lis, tadi liat Tante Ratna keluar?"

Bu Lis terlihat berpikir. "Memangnya Bu Ratna keluar?" tanya Bu Lis balik.

"Berarti Bu Lis gak liat Tante Ratna keluar, ya."

"Enggak, Mbak. Tadi setelah Mbak Mala keluar, saya belanja di depan. Tapi, kayaknya gak liat Bu Ratna keluar."

"Tadi saya liat Tante Ratna di luar."

"Di mana?" Kini Bu Lis menyiapkan piring dan menata beberapa pisang goreng yang terlihat masih hangat ke piring kuno berwarna putih.

"Di daerah dekat stadion."

"Jauh juga olahraganya, Mbak."

"Hmmm.... Iseng aja. Tapi, Tante Ratna kapan ya keluarnya. Apa setelah Bu Lis keluar belanja, ya."

"Bisa jadi, Mbak. Ini mau di bawa sendiri atau saya bawkan?" Bu Lis sudah memegang nampan besar berisi dua cangkir teh hangat. Sepoci kecil teh untuk tambah dan sepiring pisang kayu goreng.

"Saya bawa sendiri aja, deh." Mala mengambil nampan dari tangan Bu Lis. "Tapi, Tante Ratna sudah pulang atau belum, ya."

"Ndak tau juga, Mbak. Saya ndak liat."

"Okelah."

Mala masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ke teras rumah. Sesampainya di teras rumah, Mala langsung berdiri kaku. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Perasaannya menjadi dingin. Di dalam diri Mala, ada ketidaksukaan juga ketakutan. Mala terdiam kaku.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status